bahan kuliah pemikiran islam di indonesia

blogger templates


1.      Sejauh mana disiplin ilmu ini diharapkan akan dapat membantu para mahasiswa, sarjana dan ‘ulama untuk memahami lebih mendalam tentang agama yang diperlukan?
Jawab:
Ilmu-Ilmu Kemanusiaan atau sering disebut juga dengan ilmu sosial (social science) adalah sekelompok disiplin akademis yang mempelajari aspek-aspek yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan sosialnya.
Ilmu sosial ini lahir dari filsafat manusia yang mana disebabkan oleh rasa ingin tahu manusia akan dirinya sendiri, karena manusia cenderung untuk hidup berkelompok sehingga ia disebut sebagai makhluk sosial (zoon political), kemudian dinamika dalam kehidupan manusia juga tidak teratur, berbeda dengan hukum alam yang bersifat pasti dan teratur, padahal manusia itu sendiri juga bagian dari alam.
Fenomena keagamaan adalah gejala universal dan unik serta penuh misteri, sehingga berbagai ilmu sosial tertarik untuk mempelajarinya. Ahli sejarah, filsafat, linguistik, psikologi, serta ilmu sosial dan humaniora lainnya memperlajari kehidupan beragama. Berkembanglah sosiologi agama, anthropologi agama, psikologi agama, sejarah agama, di samping ilmu agama (teologi) yang memang dikenal khusus mempelajari ajaran agama.[1]
Dengan memahami disiplin ilmu-ilmu kemanusiaan ini, dapat membantu para mahasiswa, sarjana dan ulama untuk meningkatkan potensi diri dan membuka wawasan dalam memahami ilmu agama, khususnya agama Islam. Dan dengan mempelajari disiplin ilmu ini akan memudahkan untuk mempelajari ajaran-ajaran agama, karena ajaran-ajaran agama tersebut lebih mudah dipahami jika kita mendekatinya dengan ilmu-ilmu kemanusiaan. Kita akan mengerti bahwa agama bukanlah sekedar kepercayaan dan ibadah semata, akan tetapi banyak aspek-aspek kemanusiaan lainnya yang bisa didekati melalui agama, seperti sosial-kemasyarakatan, ekonomi, sejarah, budaya dan sebagainya.
Agama itu untuk manusia, dengan memahami agama kita bisa menikmati hidup ini untuk menjadi khalifah di muka bumi ini, karena tujuan dari agama adalah untuk kemashlahatan umat manusia. Orang yang beragama pasti prospek hidupnya tidak hanya di dunia saja, tetapi juga di akhirat. Sehingga di sinilah timbul pentingnya moral dan akhlak, karena agama mengajarkan moral dan akhlak manusia yang baik.
Jadi ilmu-ilmu kemanusiaan dipelajari dalam studi agama, agar agama itu dapat berelevansi dalam kehidupan manusia. Dalam artian, orang bisa menerapkan agama di dalam setiap aspek kehidupan mereka, jangan agama hanya berlaku di tempat-tempat peribadatan saja, tetapi kita juga bisa menerapkan nilai-nilai ajaran agama dalam kehidupan. Kalau tidak melihat agama dari segi ilmu-ilmu kemanusiaan tersebut, praktis agama hanya menjadi sebuah dongeng atau pelipur lara saja.
2.      Uraikan makna “membudayakan agama atau meng-agamakan budaya”? Mana yang lebih “tepat” menurut anda?
Jawab:
Makna dari istilah “membudayakan agama” adalah menjadikan agama sebagai landasan budaya atau dengan kata lain adalah agama yang melahirkan kebudayaan, sehingga nilai-nilai universal yang terkandung di dalam agama dapat diterapkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, membudayakan agama sangatlah penting. Dengan membudayakan agama, kita dapat merasakan secara langsung bagaimana manfaat nilai-nilai dari agama tersebut di dalam kehidupan kita.
Sedangkan “mengagamakan budaya” adalah kita jadikan unsur-unsur kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun sebagai bagian dari aspek agama. Unsur-unsur ini kemudian diterapkan dalam pelaksanaan agama baik yang menyangkut dalam peribadatan maupun yang berhubungan dengan kemasyarakatan.
Dengan demikian, di antara dua istilah tersebut, saya melihat bahwa membudayakan agama lebih tepat untuk kita kembangkan dari pada meng-agamakan budaya. Karena dengan membudayakan agama kita dapat merasakan secara langsung manfaat dari agama tersebut di dalam kehidupan kita.
Sehingga aspek-aspek agama tidak hilang dari kehidupan kita dan selalu terpatri di dalam masyarakat. Sedangkan budaya yang sudah ada secara turun-temurun yang mana budaya tersebut sejalan dengan nilai-nilai agama tetap kita pelihara dan dijaga, tetapi hanya sebatas sebagai kebudayaan kita saja.


3.      Bagaimana cara agama dipelajari sehingga dia memberi ethos (nilai) kepada si pemeluknya?
Jawab:
Secara umum, agama dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia antara manusia dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Di sini agama merupakan sebuah teks suci. Adapun hubungan agama dengan manusia, terutama kegiatan-kegiatan manusia yang menjadi penganut agama, tidak tercakup dalam definisi tersebut.[2]
Menurut pengamatan saya, ada beberapa pelajaran yang harus dipelajari agar pemahaman agama dapat memberi ethos (nilai) kepada si pemeluknya diantaranya adalah, pertama, apabila menganut agama tauhid, maka menyakini Tuhan Maha Esa, pencipta alam semesta. Sehingga ada keyakinan, sesuatu berasal dari Tuhan dan akhirnya akan kembali kepada Tuhan.
Kedua, dengan cara mempelajari dan mengkajinya secara mendalam sehingga timbul pemahaman bahwa agama itu tidak sempit. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan penelitian terhadap agama, baik melalui pendekatan anthropologi, sosiologi, sejarah, kebudayaan dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Misalnya pendekatan yang digunakan oleh para anthropologi dalam meneliti wacana keagamaan adalah pendekatan kebudayaan, yaitu melihat agama sebagai inti kebudayaan. Nilai-nilai keagamaan tersebut terwujud dalam kehidupan masyarakat.
Ketiga, adanya kesadaran bahwa hidup manusia tidak terbatas hanya pada hidup dunia, tetapi masih ada kehidupan lain sebagai lanjutan hidup pertama. Seterusnya menjadi keyakinan bahwa di antara kedua hidup itu, hidup kedualah yang lebih penting dari hidup pertama. Sehingga akan timbul dari dalam diri pemeluk agama tersebut rasa tunduk dan patuh kepada kemauan Tuhan (Allah).[3]
Keempat, hidup dalam beragama harus ada tujuan, yaitu membersihkan diri dan mensucikan jiwa dan roh. Tujuan agama memanglah membina manusia baik-baik, manusia yang jauh dari kejahatan. Oleh sebab itu, agama erat hubungannya dengan pendidikan moral. Agama tanpa ajaran moral tidak akan berarti dan tidak akan dapat mengubah kehidupan pemeluknya. Maka, tidak mengherankan kalau agama selalu diidentifikasikan dengan moralitas.

4.      Ada agama yang selama ini dipahami dengan pendekatan fiqih semata, pendekatan apa lagi yang sangat dibutuhkan untuk menata masyarakat harmonis yang beragama?
Jawab:
Selain agama dipahami dengan pendekatan fiqih, agama juga bisa dipahami dengan pendekatan budaya dan pendekatan antropologi.
Dilihat dari pendekatan budaya, agama sebagai ajaran Tuhan bukanlah kebudayaan, karena bukan hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Akan tetapi, ajaran agama bukan semuanya yang merupakan wahyu Tuhan. Banyak pula yang merupakan interpretasi dan pendapat pemuka agama terhadap wahyu Tuhan itu, sehingga merupakan kebudayaan. Namun demikian, ada juga agama yang memang merupakan kebudayaan manusia, yaitu yang hanya berasal dari tradisi turun-temurun dan tidak jelas siapa pembawanya, kapan dan di mana turunnya. Ilmu perbandingan agama menamakan ajaran yang terakhir ini sebagai agama budaya.[4]
Adapun yang mula-mula dialami oleh manusia adalah budaya, karena pada mulanya budaya manusia adalah usaha-usaha untuk mempertahankan hidupnya dimulai dengan berburu, berternak (menjinakkan hewan), kemudian manusia mulai bertani sehingga sampai masa modern dengan munculnya industri-industri. Dalam menjalani kehidupannya, manusia menghadapi berbagai tantangan seperti bencana alam (misalnya banjir, musim kemarau, musim dingin) dan bencana dari manusia (misalnya perang). Dilatar belakangi adanya tantangan-tantangan tersebut, timbullah kesadaran pada manusia terhadap kepercayaan kepada agama (keyakinan).
Nurcholish Madjid menjelaskan hubungan agama dan budaya. Menurutnya, agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar budaya didasarkan pada agama; tidak pernah terjadi sebaliknya. Oleh karena itu, agama adalah primer dan budaya adalah sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena ia sub-ordinat terhadap agama dan tidak pernah sebaliknya.
Jadi, memahami agama dengan pendekatan budaya sangat dibutuhkan, karena akan memudahkan bagi pemeluknya untuk mempelajari agama yang bertujuan rahmatan lil’alamin.

            Dari pendekatan antropologis didalam memahami agama, dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melaui pendekatan ini agama nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.

Penelitian antropologis yang induktif, yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis.
Melalui pendekatan antropologis, kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dan kita juga dapat melihat hubungan antara agama dan negara (state and religion). Akan selalu menarik melihat fenomena negara agama seperti melihat kenyataan negara Turki modern yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi konstitusi negaranya menyebut sekularisme sebagai prinsip dasar kenegaraan yang tidak dapat ditawar-tawar.
Melalui pendekatan antropologis sebagaimana tersebut di atas terlihat dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia, dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan manusia.
Dengan demikian pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya.


[1] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia…, hal. 11.
[2] U. Maman Kh. Et.al. Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktik, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 93.

[3] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid 1, (Jakarta: UI-Press, 1985), hal. 15-16.

[4] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia…, hal. 37.

0 Response to "bahan kuliah pemikiran islam di indonesia"