BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Imam Abu Hanifah adalah
salah seorang imam yang empat dalam sejarah islam, ia lahir dan meninggal lebih
dahulu dari para imam-imam yang lain. Karena dialah yang kita bicarakan lebih
dahulu dari imam-imam yang lain. Imam Abu Hanifah seorang berjiwa yang besar,
dalam arti kata seorang yang berhasil dalam hidupnya, dia seorang yang bijak
dalam bidang ilmu pengetahuan tepat dalam memberikan sesuatu keputusan bagi
sesuatu masalah atau peristiwa yang dihadapi.
Karena dia seorang yang
berakhlak atau berbudi pekerti yang luhur, ia dapat menggalang hubungan yang
erat dengan pejabat pemerintah, ia mendapat tempat yang baik dalam masyarakat
pada masa itu, sehingga beliau telah berhasil menyandang jabatan atau gelar
yang tertinggi yaitu imam besar (Al-Imam Al-‘Adham) atau ketua Agung. Imam Abu
Hanifah terkenal sebagai orang ahli dalam ilmu Fiqh di negara Irak, beliau juga
juga sebagai ketua kelompok ahli fikri (Ahlu-Ra’yi).[1]
Ia mendapat penghargaan masa itu, seorang utusan yang di antar oleh Abdullah
bin Al-Mubaraq (seorang pejabat ketika itu) berkata: “imam Abu Hanifah adalah
akal ilmu pengetahuan” dan perutusan lain pun berkata ia sebagai pakar dalam
ilmu Fiqh. [2]
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini
adalah:
1.
Biografi
Abu Hanifah
2.
Prinsip-prisip
yang dipegang abu hanifah
3.
Metode
istinbath yang digunakan Abu Hanifah
4.
Ciri dan
contoh ijtihat Abu Hanifah
5.
Perbedaan
Istinbath Abu Hanifah Dengan Imam Mazhab Yang Lain
6.
Murid Dan
Pengembang Mazhab sesudah Abu Hanifah Serta Buku Utama mazhab.
BAB II
Kajian Teoritis
A.
Biografi
Abu Hanifah
Menurut sejarawan,
Imam Hanafi adalah Abu Hanifah bin An-Nukman bin Tsabit bin Zufi At-Tamimi.
Beliau masih mempunyai pertalian kekeluargaan dengan Ali bin Abi Thalib ra.
Beliau di lahirkan di kufah pada tahun 80 H / 699 M, pada masa pemerintahan
Al-Qalid bin Abd Malik, beliau menghabiskan waktu kecil hingga tumbuh menjadi dewasa
di sana. Sejak masih kanak-kanak beliau telah menghafal Al-Quran.[3]
Dalam hal memperdalam
pengetahuannya tentang Al-Quran beliau sempat berguru kepada imam Ashin,
seorang ulama terkenal pada masa itu. Beliau juga di kenal orang yang sangat
tekun dalam mempelajari ilmu, sebagai gambaran, beliau pernah belajar fiqh
kepada ulama yang paling terpandang pada masa itu yakni Humad Abu Sulaiman, tak
kurang dari 18 tahun lamanya.[4]
10 tahun sepeninggal
gurunya yakni tahun 130 H, Imam pergi meninggalkan kota kufah menuju
Mekkah. Beliau tinggal beberapa tahun lamanya di sana dan di tempat
itu pula beliau bertemu dengan salah seorang murid Abdullah bin Abbas ra.
Semasa hidupnya, Imam
Abu Hanifah di kenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud,
sangat tawaddhu' dan sangat teguh memegang ajaran agama. beliau tidak tertarik
kepada jabatan-jabatan resmi kenegaraan, bahkan beliau pernah menolak tawaran
sebagai hakim (qadhi) yang di tawarkan oleh Al-Manshur. Konon, karena
penolakannya itu, beliau kemudian di penjarakan hingga akhir hayatnya.[5]
Imam Abu Hanifah
wafat pada tahun 150 H / 767 M pada usia 70 tahun. Beliau di makamkan di
pekuburan khizra. Pada tahun 450 H / 1066 M, didirikanlah sebuah sekolah yang
di beri nama Jami' Abu Hanifah.
Menurut Prof. Dr.
Huzaemah Tahido Yanggo, MA dalam bukunya Pengantar Perbandingan Mazhab menjelaskan,
Abu Hanifah pada mulanya gemar menekuni ilmu qira`at, hadis, nahwu,
sastra, syi`ir, teologi dan ilmu-ilmu lainnya yang berkembang pada masa itu.
Selian mumpuni dalam fiqih, beliau juga sangat kental dengan teologinya,
sehingga ia menjadi salah seorang tokoh terpandang dalam ilmu tersebut. Karena
ketajaman pemikirannya, ia sanggup menangkis serangan segolongan Khawarij yang
doktrin ajarannya sangat ekstrim.
Selanjutnya, Abu
Hanifah menekuni ilmu fiqih di kufah yang pada waktu itu merupakan pusat
pertemuan para ulama fiqih yang cendereung rasional (ahlur ra`yi). Di Iraq
sendiri terdapat sebuah “Universitas” bernama Madrasah Kufah yang dirintis oleh
sahabat Rasulullah yang bernama Ibnu Mas`ud. Kepemimpinan Madrasah Kufah
kemudian beralih kepada Ibrahim An-Nakha`I, lalu Hammad bin Abi Sulaiman
Al-Asy`ari (wafat 120 H). Hammad bin Sulaiman adalah salah seorang Imam besar
ketika itu. Ia muraid dari Alqomah bin Qais dan Al-Qadhi Syuriah; keduanya
adalah tokoh dan pakar fiqih yang terkenal di Kuffah dari kalangan tabi`in.
Dari Hammad itulah Imam Abu Hanifah mempelajari ilmu fiqih dan hadis. Setelah
itu ia sempat mengembara ke Hijjaz beberapa kali untuk mendalami fiqih dan
hadisnya sebagai nilai tambah kualitas keilmuannya. Sepeninggal Hammad,
Madrasah Kuffah sepakat untuk mengangkat Abu Hanifah sebagai “rektor” Madrasah
Kuffah. Selama itu ia mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah
fiqih. Fatwa-fatwanya itu merupakan dasar utama dari pemikiran mazhab Hanafi
yang dikenal sekarang ini.[6]
B.
Guru Abu
Hanifah
Imam hanafi adalah sorang imam yang sangat
bersemangat dalam menuntut ilmu beliau belajar kepada Hammad ibn Abbas Sulaiman
dan beliaupun belajar kepada para-para tabi’in seperti Atha’ ibn Abi Rabah dan
Nafi’ Maulana ibn Umar.[7]
C.
Murid-Murid Abu Hanifah
Sepeninggal beliau,
ajaran dan ilmunya tetap tersebar melalui murid-muridnya yang cukup banyak.
Diantara murid-muridnya yang terkenal adalah:
1.
1.Abu Yusuf, Abdullah
bin Mubarak
2.
waki' bin jarah, Ibn
hasan Al-Syaibani,
3.
dan yang paling
populer adalah Anas bin Malik, yang kelak mendirikan Mazhab Maliki dll.
Sedangkan di antara
kitab-kitabnya adalah: Al-Musu'an (kitab hadits, di kumpulkan oleh muridnya)
Al-Makharij (di riwayatkan oleh Abu Yusuf) dan Fiqh Akbar (kitab fiqh yang
lengkap).[8]
D.
Karya
Abu Hanifah
Prof. Dr. Huzaemah
Tahido Yanggo yang mengutip Jamil Ahmad dalam bukunya Hundred Great Muslems mengemukakan
bahwa, Abu Hanifah meninggalkan tiga karya besar yaitu
1. Fiqhul Akbar
2. Al-`Aalim wal
Muta`allim
3. Musnad Fiqh
(majalah ringkas yang sangat populer)
Menurut Syed Ameer
Ali dalam bukunya The Spirit of Islam, karya-karya Abu Hanifah, baik
mengenai fatwa-fatwanya, maupun ijtihad-ijtihadnya ketika itu (pada masa beliau
masih hidup) belum dikodifikasikan. Setelah beliau meninggal, buah pikirannya
dikodifikasikan oleh murid-murid dan pengikut-pengikutnya sehingga menjadi
mazhab ahlur ra`yi yang hidup dan berkembang sampai sekarang. [9]
E.
Prinsip Yang Dipegang Abu Hanifah
Abu Hanifah dikenal
sebagai Ahli Ra`yi dalam menetapkan hukum Islam, baik yang diistimbathkan dari
Al-Quran atau pun hadis. Beliau banyak menggunakan nalar. Beliau mengutamakan ra`yi
ketimbang khabar ahad. Abu Hanifah dalam berijtihad menetapkan suatu
hukum berpegang kepada beberapa dalil syara' yaitu Al-Qur'an, Sunnah, Ijma'
Sahabat, Qiyas, Istihsan, dan 'Urf.
Prinsip yang
digunakan oleh imam hanafi adalah :
1. Metode Dialektika
Dengan menggunakan
analogi terhadap suatu permasalahan, metode yang digunakan oleh hanafi
independen dalam artian lebih menjurus kepada pemikiran-pemikiran
individualistik, yang diikuti dengan pola qiyas.[10]
2. Metode Istihsan
Yaitu upaya untuk
mentawaqufkan prinsip-prinsip umum dalam sat nas desebabkan adanya nas lain
yang menghendaki demikian, metode ini dikaitkan dengan maqsid al-syari’ah.[11]
Sedangkan cara
berijtihad Abu Hanifah yang bersifat tambahan adalah:
(a) Bahwa Dilalah
lafad umum (“am”) adalah Qoth’i seperti lafadz Khash;
(b) Bahwa pendapat
sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat umum adalah bersifat Khusus
(c) bahwa banyaknya
yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (Rajih)
(d) adanya penolakan
terhadap Mafhum (makna tersirat) syarat dan sifat
(e) bahwa apabila
perbuatan Rawi menyalahi riwayatnya yang dijadikan dalil adalah perbuatannya,
bukan riwayatnya,
(f) menggunakan
Istikhsan dan meninggalkan Qiyas apabila diperlukan.
Langkah ijtihad yang
ditempuh oleh Abu Hanifah dapat dilihat dari ungkapannya yaitu “ sungguh, saya
berpegang pada Kitab Allah jika aku dapati disana. Jika tidak saya mengambil
sunnah Rasulullah Saw. Dan atsar shahihah yang tersiar di kalangan ulama
tsiqah.Jika tidak aku dapati juga di Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saya
mengambil pendapat sahabat yang aku kehendaki pula. Kemudian aku tidak keluar
dari pendapat mereka ke pendapat yang lain. Bila kasus tersebut pernah
diputuskan oleh orang-orang seperti Ibrahim, al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirin,
dan Sa’id al-Musayyab, maka saya akan berijtihad juga seperti mereka telah
berijtihad”. [12]
F.
Metode
Istinbath Yang Digunakan Abu Hanifah
1.
Al-Qur’an
Terkait hal ini, imam
Abu Hanifah sependapat dengan Jumhur ulama lainnya bahwa Al-Qur'an merupakan
sumber hukum Islam. Juga beliau sependapat bahwa Al-Qur'an adalah lafadz dan
maknanya. Sumber ini, seperti yang sudah kami uraikan, adalah sumber yang muttafaq.
Termasuk Imam Abu Hanifah. Namun, Abu Hanifah berbeda pendapat mengenai
terjemah Al-Qur'an ke dalam bahasa selain bahasa Arab. Menurut beliau bahwa
terjemah tersebut juga termasuk Al-Qur'an.[13]
Diantara dalil yang
menunjukkan pendapat Imam Hanafi tersebut adalah dia membolehkan sholat dengan
menggunakan bahasa Persi, sekali pun tidak dalam keadaan darurat. Padahal
menurut Imam Syafi'i sekalipun orang itu bodoh tidak boleh membaca Al-Qur'an
dengan menggunakan bahasa selain Arab dalam sholat.
Alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan bahwa Al-Quran merupakan hujjah dan hukum-hukumnya
dijadikan sebagai undang-undang yang harus diikuti dan ditaati oleh manusia
adalah, Al-Quran diturunkan dari Allah SWT, disampaikan kepada manusia dengan
jalan yang pasti dan tidak terdapat keraguan tentang kebenarannya tanpa ada
campur tangan manusia dalam penyusunannya. Hal ini mengandung arti Al-Quran
merupakan mukjizat yang membuat manusia tidak mampu untuk mendatangkan yang
semisalnya [14]
2. As-Sunnah
Kalau Imam Hanafi
tidak menemukan ketentuan hukum suatu masalah dalam Al-Qur'an, dia mencarinya
dalam Sunnah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 7;
وَمَا
آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Para ulama
sepakat bahwa hadits shahih itu merupakan sumber hukum, namun mereka berbeda
pendapat dalam menilai keshahihan suatu hadits. Menurut pendapat Imam Hanafi di
lihat dari segi sanad, hadits itu terbagi dalam mutawatir, masyhur dan ahad dan
semua ulama telah menyepakati kehujjahan hadits mutawatir, namun mereka berbeda
pendapat dalam menghukumi hadits ahad, yaitu hadits yang di riwayatkan dari
Rosulullah SAW. oleh seorang, dua orang atau jama'ah, namun tidak mencapai
derajat mutawatir.[15]
Para
Imam Madzhab sepakat tentang kebolehan mengamalkan hadits ahad dengan syarat
berikut:
·
Perawi sudah mencapai usia baligh dan berakal
· Perawi harus muslim
· Perawi haruslah orang yang
adil, yakni bertakwa dan menjaga dari perbuatan tercela
· Perawi harus betul-betul dhabit
terhadap yang di riwayatkannya, dengan mendengar dari Rosulullah, memahami
kandungannya, dan benar-benar menghafalnya.
` Kemudian Imam Hanafi
menambahkan tiga syarat selain syarat di atas, yaitu:
-
Perbuatan perawi tidak
menyalahi riwayatnya itu.
-
Kandungan hadits bukan hal yang
sering terjadi.
-
Riwayatnya tidak menyalahi
qiyas apabila perawinya tidak faqih.
Diantara
para perawi yang tidak faqih menurut Imam Abu Hanifah adalah Abu Hurairah,
Salman Al-farisi, dan Anas Ibnu Malik. Secara rinci, kami
tidak menjabarkan tentang hadis panjang lebar, sebagaimana al-Quran sebelumnya.
Tentang hal ini pernah dibahas panjang lebar pada mata kuliah `Ulumul Hadiis
di awa; smester.
3.
Ijma` Para Sahabat
Para ulama, termasuk
Imam Abu Hanifah telah sepakat bahwa ijma` merupakan salah satu sumber hukum
dalam Islam. Ia menempati urutan ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah. Tidak
ada ulama yang menolak tentang kesepakatan ijma`. Posisi ijma` sebagai sumber
hukum ini diinspirasi dari surat An-Nisa ayat 59
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُول .
. .
Pada lafazh ulil amri di atas, mengandung dua
pengertian sebagaimana yang ditafsir oleh Ibnu Abbas :
1.
Penguasa dunia seperti raja, presiden, sultan, atau umara.
2. ‘Penguasa
agama yaitu para ulama mujtahid dan ahli fatwa agama.[16]
Kedua macam ulil amri
di atas wajib bagi ummat Islam untuk menaatinya selama mereka tidak
bertentangan dengan hukum Allah. Tidak boleh ada ijmak yang mukhalafah dengan
apa yang ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Terminologi ijma` dikaitkan
dengan ulil amri di atas termasuk kepada point kedua yaitu mujtahid atau ahli
fatwa yang memiliki kedudukan sebagai pemimpin agama. kesepakatan mereka
terhadap hukum suatu masalah itu disebut ijma` yang mengikat bagi ummat
Islam untuk diikuti. [17]
Kedudukan ijma`
sebagai sumber hukum islam didasari oleh hadis Nabi yang mengaskan bahwa pada
hakikatnya ijma` adalah milik ummat Ilam secara keseluruhan. Imam mujtahid
merupakan wakil ummat dalam memutuskan hukum. Tentunya mereka sebagai wakil
ummat tidak mungkin berdusta atau berbuat kesalahan yang disengaja. Maka jika
mereka sudah berkumpul dan memutuskan hukum suatu masalah, maka keputusannya
dianggap abash dan benar. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW
ما رأى
المسلمون حسنا فهو عند الله حسن (رواه أحمد)
Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka hal itu pun baik di sisi
Allah. (H.R Ahmad)
Menurut Abu Zahra sebagaimana dikutip oleh Satria Effendi, bahwa para ulama
berbeda pendapat tentang jumlah pelaku kesepakatan ijma`itu dapat dianggap
sebagai kesepakatan yang mengikat untuk di ikuti. Menurut mazhab Maliki,
kesepakatan dianggap ijma’ meskipun hanya berupa kesepakatan penduduk
madinah yang dikenal sebagai ijma’ ahli madinah. Menurut kalangan syiah, ijma’
adalah kesepaktan para imam di kalangan mereka. Adapun menurut jumhur ulama ijma’
sudah di anggap sah dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid.
Dan menurut Abdul Karim Zaidan, ijma dianggap terjadi bila merupakan
kesepakatan seluruh ulama mujtahid.
4.
Qiyas,
Jumhur ulama sepakat
bahwa qiyas merupakan sumber hukum. Ia berada pada urutan keempat setelah
Al-Quran, Hadis, dan Ijma`. Bagi ulama yang menjadikan qiyas sebagai sumber
hukum atau disebut mutsbitul qiyaas, memiliki alasan yang kuat baik dari
sisi nash maupun akal. Dalam nash al-Quran terdapat banyak ayat yang menyuruh
agar manusia dapat menggunakan akalnya semaksimal mungkin. Menurut Abu Zahra
sendiri tidak kurang dari 50 ayat berbicara agar manusia mau mengguunakan
aklanya[18].
Di antaranya terdapat dalam surat Al-Hasyr ayat 59 yang artinya ambillah
pelajaran wahai orang yang memiliki pandangan (akal).
Qiyas memiliki empat
rukun yang tidak boleh dilanggar. Artinya kalau salah satu dari empat rukun ini
tidak ada, maka qiyas tidak boleh terjadi. Rukun-rukun yang empat tersebut
banyak dibicarakan dalam kitab-kitab ushul fiqih, ialah
·
Al-Ashlu, sesuatu yang ada nash
hukumnya. Ia disebut juga al-maqiis `alaih (yang dikiaskan kepadanya), mahmul
`alalih (yang dijadikan pertanggungan), dan musyabbah bih (yang
diserupakan dengannya)
·
Al-Furu`, yaitu : sesuatu yang
tidak ada nash hukumnya. Ia juga dinamakan al-maqiis (yang diqiyaskan), al-mahmuul
(yang dipertanggungjawabkan), dan al-musyabbah (yang diserupakan).
·
Hukum asal, yaitu
hukum syara` yang ada nashnya. Dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al-furu`.
·
Al-`illat, yaitu suatu sifat
yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok, dan berdasarkan adanya
keberadaan sifat itu pada cabang (far`), maka ia disamakan dengan pokoknya dari
segi hukum.
5.
Istihsan
Istihsan meurut
bahasa adalah menganggap sesuatu itu baik. Sedangkan menurut istilah
ulama ushulfiqih istihsan ialah : Berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan
qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan qiyas yang khafy (samar),
atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum Istitsnaiy (pengecualian)
karena ada dalil yang menyebabkan dia memilih dan memenangkan perpalingan ini.
Selanjutnya pada diri
mujtahid terdapat dalil yang mengunggulkan segi analisis yang tersembunyi, lalu
ia berpaling aspek analisis yang nyata, maka ini disebut dengan Istihsan.
Demikian pula apabila ada hukum yang pengecualian kasuistis dari hukum yang
bersifat kulli (umum)dan menurut hukum lainya, maka ini juga menurut syara’
disebut dengan Istihsan.
Dari penjelasan
istihsan menurut syara’ – sebagaimana pemaparan – jelaslah bahwasanya
istihsan ada dua macam, yaitu:
Pertarjihan qiyas khafy (yang tersembunyi) dan
qiyas jali (nyata) karena ada suatu dalil. Diantara contoh dari
macam yang pertama Istihsan ialah seorang pewakaf apabila mewakapkan sebidang
tanah pertanian, maka masuk pula secara otomatis hak pengairan (irigasi), hak
air minum, hak lewat ke dalam wakaf, tanpa harus menyebutkanya, berdasarkan
istihsan.
Menurut qiyas semuanya itu tidak termasuk kecuali
bila terdapat nash yang mana menyebutkanya sebagaimana jual beli. Segi istihsan
ialah, bahwasanya yang menjadi tujuan dari pada wakaf adalah pemanfaatan
sesuatu yang diwakafkan kepada mereka. Padahal pemanfaatan tanah pertanian
tidak akan ada kecuali dengan meminum airnya, saluran airnya, dan jalanya. Oleh
karena itu, hal- hal tersebut juga termasuk dalam wakaf meskipun tanpa
menyebutkannya. Karena tujuan tersebut tidak akan terealisasi kecuali dengan
hal-hal itu, sebagaimana sewa-menyewa.[19]
Dalam contoh yang diatas tersebut terdapat
pertentangan pada suatu kasus antara dua qiyas, yang pertama qiyas nyata yang mudah
dipahami, dan kedua qiyas yang tersembunyi yang agak rumit untuk dipahami,
namun seorang mujtahid mempunyai dalil yang memenangkan qiyas yang
tersembunyi, kemudian ia berpaling dari qiyas yang nyata. Perpalingan ini
adalah “istihsan”. Sedangkan dalil yang menjadi dasarnya adalah segi
istihsanya.
6.
`Uruf (adat)
Imam Abu Hanifah
menggunakan `Urf usebagai salah satu metode hukum yang dijadikan sumber dalam
ijtihadnya. `Urf adalah segala sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan
telah menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, atau perbuatan, atau
keadaan meninggalkan. Ia juga disebut adat istiadat. Sedangkan menurut istilah
para ahli syara`, tidak ada perbedaan antara `urf dan kebiasaan. Maka `urf yang
bersifat perbuatan adalah seperti saling pengertian manusia terhadap jual beli,
dengan cara saling memberikan tanpa ada shifhat lafzhiyyah (ungkapan transaksi
melalui perkataan).
`Urf tersebut
terbentuk dari saling pengertian orang banyak, sekalipun mereka berlainan
stratifikasi sosial mereka, yaitu kalangan awam dari masyarakat, dan kelompk
elite mereka. Ini berbeda dengan ijma`, karena sesungguhnya ijma` terbentuk
dari kesepakatan para mujtahid secara khusus, dan orang awam tidak ikut campur
tangan dalam membentuknya.
Uruf terbagi kepada
dua macam, yaitu:
`Urf yang shahih ialah sesuatu yang dikenal oleh
manusia, dan tidak bertentangna dengan dadlil syara`, tidak menghalalkan
sesuatu yang diharamkan, tidak mengharamkan sesuatu yang dihalalkan, dan tidak
pula membatalkan sesuatu yang wajib, sebagaimana kebiasaan mereka mengadakan
akad jasa pembuatan (produksi), kebiasaaan mereka membagi maskawin kepada
maskawin yang didahulukan (seserahan) jugaa maskawin yang diakhirkan
penyerahannya. Tradisi seperti ini dinamakan `Urf, dan ia dibenarkan dalam
Islam karena tidak ada dalil yang melarangnya, juga tidak ada dalil yang
menganjurkan.
Adapun `Urf yang fasid adalah sesuatu yang sudah
menjadi tradisi manusia, akan tetapi tradisi itu bertentangan dengan syara`.
Tradisi `urf fasid yang masyhur di zaman sekarang seperti pacaran sebelum
nikah.
Terkait `Urf yang shahih ini, Abdul Wahab Khalaf
menjelaskan bahwa ianya wajib dipelihara dalam pembentukan hukum dan dalam
pengadilan. Seorang mujtahid haruslah jeli dalam memperhatikan tradisi dalam
pembentukan hukumnya. Di dalam pengadilan, seorang hakim pun demikian. Karena
sesungguhnya sesuatu yang telah menjadi adat manusia dan sesuatu yang telah
biasa mereka jalani, maka hal itu telah menjadi bagian dari kebutuhan mereka
dan sesuai pula dengan kemaslahatan mereka. Oleh karena itu, maka sepanjang ia
tidak bertentangan dengan syara`, maka `Urf wajib diperhatikan.
Oleh karena itu, para ulama ushul mengatakan
العادة شريعة محكمة
Adat merupakan syariat yang dikukkuhkan sebagai
hukum.
Sebagai bukti legalitas `urf, Abu Hanifah dan para
pengikutnya berbeda pendapat mengani sejumlah hukum berdasarkan perbedaan `urf
mereka. Ketika tiba di Mesir, Imam as-Syafi`i merubah beberapa pendapatnya
ketika masih berada di Baghdad. Perubahan ini terjadi karena `urf. Inilah yang
kita kenal dengan istilah qoul qodiim dan qoul jadiid.
G.
Ciri Dan
Contoh Ijtihad Abu Hanifah
Di bawah ini akan
dipaparkan beberapa contoh ijtihad Abu Hanifah dalam penerapan tarikh tasyri’,
diantaranya :
a. Bahwa benda wakaf
masih tetap milik wakif. Kedudukan wakaf dipandang sama dengan ‘Ariyah
(pinjam-meminjam). Karena masih tetap milik wakif, benda wakaf dapat dijual,
diwariskan, dan dihibahkan oleh wakif kepada yang lain, kecuali wakaf untuk
masjid, wakaf yang ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat, dan
wakaf yang diikrarkan secara tegas bahwa itu terus dilanjutkan meskipun wakif
telah meninggal dunia. Adapun alasan yang digunakan adalah sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam al Baihaqi Yang artinya
“ Nabi Muhammad
SAW telah menjual benda wakaf”.(Baihaqi, VI, 1352-E: 163)
Pada awalnya, Abu
Yusuf dan Muhammad sependapat dengan Abu Hanifah.Ketika melakukan ibadah haji
bersama Harun al – Rasyid (salah seorang raja Dinasti Abbasiah) ’Abu Yusuf
mendapat wakaf Umar bin Khattab yang tidak dibolehkan untuk dijual, diwariskan,
dan dihibahkan. Perbuatan Umar ini kemudian dimuat dalam Hadits Bukhari (Lihat
Shahih al Bukhari, II, t.th: 14). Oleh karena itu, Abu Yusuf berpedapat bahwa
benda wakaf tidak boleh dijual, diwariskan, dan hibahkan. Ia berkata, “ kalau
saja hadis tersebut sampai ke Abu Hanifah ia pasti akan mengubah pendapatnya”.
(Ibnu Syuhnah al-Hanafi, 1973:294).
b. Bahwa Perempuan
menjadi hakim di pengadilan yang tugasnya khusus menangani perkara perdata,
bukan perkara pidana. Karena perempuan tidak dibolehkan menjadi saksi pidana,
ia hanya dibenarkan menjadi saksi perkara perdata. Karena itu, menurutnya
perempuan boleh menjadi hakim yang menagani perkara perdata.Dengan demikian metode
ijtihad yang digunakannya adalah Qiyas dengan menjadikan kesaksian sebagai
al-Ashl dan menjadikan hakim perempuan sebagai far’i.
c. Abu Hanifah dan
Ulama Hufadh berpendapat bahwa sholat gerhana matahari dan bulan dilakukan dua
rakaat sebagaimana sholat id, tidak dilakukan dua kali rukuk dalam satu rakaat.
Imam Abu Hanifah dikenal
sebagai ulama yang luas ilmunya dan sempat pula menambah pengalaman dalam
masalah politik, karena di masa hidupnya ia mengalami situasi perpindahan
kekuasaan dari khlifah Bani Umayyah kepada khalifah Bani Abbasiyah, yang
tentunya mengalami perubahan situasi yang sangat berbeda antarta kedua masa
tersebut.
Madzhab Hanafi berkembang
karena kegigihan murid-muridnya menyebarkan ke masyarakat luas, namun
kadang-kadang ada pendapat murid yang bertentangan dengan pendapat gurunya,
maka itulah salah satu ciri khas fiqih Hanafiyah yang terkadang memuat bantahan
gurunya terhadap ulama fiqih yang hidup di masanya.[20]
H.
Perbedaan
Istinbath Abu Hanifah Dengan Imam Mazhab Yang Lain
a)
Manhaj/metode
Abu Hanifah dalam mengistinbathkan hukum adalah Al-Qur’an, Hadis, Pendapat
Sahabat, Qiyas, Istihshan, Ijma’ Dan Uruf, Mazhab Hanafi Mulai tersebar di
Kuffah, Bagdad, Mesir, Syam, Persia, Romawi, Yaman, India dan China.
b)
Istinbath
Mazhab Maliki adalah Al-Qur’an, Hadis, Amalan Penduduk Madinah, Fatwa Sahabat,
Mashalih Murshalah, Istihshan, Sadd Al-Zarai, Uruf, mazhab ini berkembang besar
dinegeri Hijaz, Mesir, Tunisia, Aljazair, Maroko, Tripoli, Sudan, Bashran, Dan
Bagdad.
c)
Sumber
Hukum Imam Syafi’I Nash-nash (Al-Qur’an Dan Hadis), Ijma’, Pendapat Para
Sahabat, Qiyas, penyebaran Mazhab Syafi’I di Irak, Mesir, Kawasan Khurasan,
Palestina, Yaman, Persia, Pakistan, Srilanka, India, Indonesia, Australia
d)
Dasar
mazhab hanbali adalah Nash Al-Qur’an dan Hadits, fatwa sahabat yang tidak ada
penetangnya, (dia tidak menamakannya dengan ijma’ tapi wara’), jika sahabat
berbeda pendapat maka beliau memilih salah satunya jika sesuai dengan al-qur’an
dan hadits, kemudian menggunakan hadits mursal, dan hadits dha’if jika tidak
ada dalil lainyang menguatkannya, dan didahulukan dari pada Qiyas (hadits
Dha’if yang diterima adalah jika orang/rawi yang belum mencapai derajat tsiqah
tapi tidak sampai dituduh berdusta), sumber lain dalah qiyas. Penyebaran mazhab
Hanbali di Irak, Mesir, Semenanjung Arab dan Syam, dan menjadi mazhab resmi
Kerajaan Saudi Arabia.[21]
Berikut adalah perbedaan
mazhab Abu Hanafi dengan mazhab yang lain dalam istilah-istilah Fiqh, yaitu:
a.
Fardu Dan
wajib mempunyai makna yang sama menurut jumhur ulama selain kalangan Hanafiah,
menurut mazhab Hanafi, pengertian Fardu adalah kewajiban yang dituntut dengan
dalil yang Qhat’I (pasti), semisal Shalat, Haji, zakat, sedangkan wajib adalah
kewajiban yang dituntut dengan dalil Zhanni (ada kesamaran), seperti Khitan,
Akikah dan Lain-lain.
b.
Jumhur
ulama selain kalangan malikiyah menyamakan istilah Sunnah dengan Mandub,
Nafilah, Mustahab, Tathawu’, murghab fih, Ihsan dan husn. Sedangkan menurut
Hanafiah adalah suatu yang terus dilakukan oleh Rasulullah SAW. Namun
kadang-kadang beliau meninggalkannya tanpa uzur, mandub dan mustahab adalah
suatu yang rasulullah tidak terus menerus melakukannya meskipun beliau tidak
mengerjakan sesudah menggemarkannya pada orang lain.
c.
Menurut
mazhab Hanafi, makruh terbagi dua yaitu makruh tahrim dan makruh tanzih, makruh
tahrim adalah makruh yang dilarang dengan dalil yang tidak pasti, contoh,
bertunangan dengan tunangan orang lain, sedangkan makruh tanzih adalah larangan
melalui larangan yang tidak pasti dan tidak mengisyaratkan adanya hukuman
seperti memakan daging kuda dan berwudhu dari bejana, sedangkan jumhur ulama
memandang makruh hanya satu jenis saja.
d.
Rukun
menurut ulama Hanafi adalah suatu yang kewujudan suatu yang lain adalah bergantung
pada kewujudannya, dan ia merupakan bagian dari hakikat itu, menurut jumhur,
Rukun adalah perkara yang menjadi asas bagi kewujudan suatu meskipun ia berada
diluar hakikat sesuatu itu.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Nama
Lengkapnnya adalah Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit bin Zauthi At-Taimi
Al-Kufi, Kepala suku dari bani Tamim bin Tsa’labah
2.
Abu Hanifah mengutamakan ra`yi ketimbang
khabar ahad. Abu Hanifah dalam berijtihad menetapkan suatu hukum
berpegang kepada beberapa dalil syara' yaitu Al-Qur'an, Sunnah, Ijma' Sahabat,
Qiyas, Istihsan, dan 'Urf
3.
Perbedaan
Istinbath Abu Hanifah Dengan Imam Mazhab Yang Lain
·
Manhaj/metode
Abu Hanifah dalam mengistinbathkan hukum adalah Al-Qur’an, Hadis, Pendapat
Sahabat, Qiyas, Istihshan, Ijma’ Dan Uruf, Mazhab Hanafi Mulai tersebar di
Kuffah, Bagdad, Mesir, Syam, Persia, Romawi, Yaman, India dan China.
·
Istinbath
Mazhab Maliki adalah Al-Qur’an, Hadis, Amalan Penduduk Madinah, Fatwa Sahabat, Mashalih
Murshalah, Istihshan, Sadd Al-Zarai, Uruf, mazhab ini berkembang besar dinegeri
Hijaz, Mesir, Tunisia, Aljazair, Maroko, Tripoli, Sudan, Bashran, Dan Bagdad.
·
Sumber
Hukum Imam Syafi’I Nash-nash (Al-Qur’an Dan Hadis), Ijma’, Pendapat Para
Sahabat, Qiyas, penyebaran Mazhab Syafi’I di Irak, Mesir, Kawasan Khurasan,
Palestina, Yaman, Persia, Pakistan, Srilanka, India, Indonesia, Australia
·
Dasar
mazhab hanbali adalah Nash Al-Qur’an dan Hadits, fatwa sahabat yang tidak ada
penetangnya, (dia tidak menamakannya dengan ijma’ tapi wara’), jika sahabat
berbeda pendapat maka beliau memilih salah satunya jika sesuai dengan al-qur’an
dan hadits, kemudian menggunakan hadits mursal, dan hadits dha’if jika tidak
ada dalil lain yang menguatkannya, dan didahulukan dari pada Qiyas (hadits
Dha’if yang diterima adalah jika orang/rawi yang belum mencapai derajat tsiqah
tapi tidak sampai dituduh berdusta), sumber lain dalah qiyas. Penyebaran mazhab
Hanbali di Irak, Mesir, Semenanjung Arab dan Syam, dan menjadi mazhab resmi
Kerajaan Saudi Arabia
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Asy-Syurbasi, Sejarah Dan Boigrafi Empat Imam Mazhab,(Amzah, 2004
Jamil Ahmad, Seratus
Muslim Terkemuka, cet ke-9 (Jakarta: Pustaka Firdaus, , 2009)
Syeikh Ahmad
Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Cet II (Jakarta: Pustaka Kautsar,
2007)
Muhammad Sa’id
Mursi, Tokoh-Tokaoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2008)
Mahmud Syalthut, Fiqh
Tujuh Mazhab, Cet I (Bandung: Pustaka Setia, 2000,)
Diambil dari www.sckript.com pada
tanggal10 mei 2012
Khuzaimah Tahido
Yanggo, MA, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Tanggerang Selatan, Logos
Wacana Ilmu, 2003)
Abdul
Wahab Khallaf, Ilmu Ushuul Fiqh, (Mesir: Maktabah Ad-Da`wah
Al-Islamiyyah, tanpa tahun)
Sapiudin
Shidiq, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Prenada Media Group, 2011
M. Hasan Ali, Perbandingan
Mazhab Fiqih, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000), cetakan kedua
Mujiyono
Nurkholis, kehidupan, pemikiran, dan perjuangan 5 Imam Madzhab
Terkemuka;terjemah A’immatul Fiqh At-Tis’ah, Bandung,1994
[1]Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah Dan
Boigrafi Empat Imam Mazhab,(Amzah, 2004, Cet ke 4 ) Hal 12
[2]Ahmad Asy-syurbasi, Hal 13
[3]Jamil Ahmad, Seratus Muslim
Terkemuka, cet ke-9 (Jakarta: Pustaka Firdaus, , 2009) Hal 95
[4]Syeikh Ahmad Farid, 60 Biografi
Ulama Salaf, Cet II (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2007), Hal 169
[5]Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokaoh
Besar Islam Sepanjang Sejarah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), Hal 337
[6] Mahmud Syalthut, Fiqh
Tujuh Mazhab, Cet I (Bandung: Pustaka Setia, 2000,) Hal 13
[7] Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah
Dan Biografi Empat Imam Mazhab, Hal 17
[8] Mahmud Syalthut, Fiqh
Tujuh Mazhab. Hal 16
[9] Ibid
[10] Diambil dari www.sckript.com pada
tanggal10 mei 2012
[11] Khuzaimah Tahido Yanggo, MA, Pengantar
Perbandingan Mazhab, (Tanggerang Selatan, Logos Wacana Ilmu, 2003) Cet ke.
3 hal. 96
[12] Ibid
[13] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushuul Fiqh, (Mesir: Maktabah Ad-Da`wah
Al-Islamiyyah, tanpa tahun) hlm. 22
[14] Ibid
[15] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushuul Fiqh. Hal 23
[17] Sapiudin Shidiq 67
[19] M. Hasan Ali, Perbandingan Mazhab Fiqih, (Jakarta,
Raja Grafindo Persada, 2000), cetakan kedua, hlm. 12
[20]Mujiyono
Nurkholis, kehidupan, pemikiran, dan perjuangan 5 Imam Madzhab
Terkemuka;terjemah A’immatul Fiqh At-Tis’ah(Bandung,1994), hal.46
0 Response to "abu hanifah"
Posting Komentar