INTERPRETASI JIHAD DALAM ISLAM

blogger templates
BAB II
INTERPRETASI JIHAD DALAM ISLAM

A.    Pengertian Jihad
Salah satu pesan pokok yang terkandung di dalam Alquran dan Hadis Nabi adalah perintah untuk ber-jihad, istilah jihad sendiri muncul seiring berkembangnya Islam di Jazirah Arab pada waktu itu. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Zafir al-Qasyimi, bahwa istilah jihad baru muncul setelah kedatangan Islam dan sebelumnya tidak dikenal dalam syair-syair Arab pada masa jahiliyyah. Dengan demikian istilah ini merupakan istilah syar’iyyah yang terkait erat dengan masalah keagamaan (al-din) seperti istilah-istilah lainnya seperti shalat dan zakat.[1]
Sedangkan menurut Abu A’la al-Maududi, jihad termasuk kata yang diistilahkan oleh Islam untuk menunaikan tugas dan menjelaskan rincian-rincian dakwahnya. Dapat dilihat bahwa Islam menjauhi kata perang dan sejenisnya yang dapat mengarah kepada peperangan (qital dalam bahasa Arab) dan mengganti dengan kata jihad yang mengarah pada pengerahan kesungguhan dan usaha (struggle dalam bahasa Inggris). Menurut al-Maududi, Islam memilih kata baru ini dan meninggalkan ungkapan lama yang telah tersebat karena ungkapan perang (harb) telah ada dan selalu identik hanya untuk kebutuhan individu atau kelompok.[2]
Dalam memberikan definisi jihad, para ahli berbeda batasan dan pendapat. Ahli fikih mengatakan bahwa jihad adalah “berperang melawan kafir”, ahli tasawuf mengatakan bahwa jihad adalah “melepaskan diri dari belenggu nafsu dan setan”, bahkan dewasa ini timbul lagi terminologi baru tentang jihad yakni segala bentuk teror dan perongrongan kekuasaan dari penguasa yang sah (subversi) oleh orang-orang yang mengatasnamakan Islam.[3]
Namun apabila ditinjau secara etimologi (bahasa), kata jihad berasal dari kata al-juhd yaitu upaya, kesungguhan dan kesulitan.[4] Di samping itu, kata jihad juga merupakan mashdar dari kata jahada yang artinya “(dia) mengerahkan upaya” atau “(dia) berusaha”. Ibn Faris menyebutkan bahwa setiap kata yang terdiri dari huruf j-h-d, awalnya menunjukkan makna kesulitan atau kesukaran yang kemudian makna tersebut dibawa kepada makna lain yang serupa dengannya.[5] Dengan demikian, makna dari jihad apabila ditinjau segi bahasa adalah berusaha dalam menghadapi kesulitan dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada.
Adapun secara terminologi (istilah), para ulama memberikan definisi yang beragam, di antaranya menurut Raghib al-Asfahani, jihad adalah mengerahkan segala kemampuan untuk menangkis serangan dan menghadapi musuh yang tidak tampak yaitu hawa nafsu dan syaitan, serta musuh yang tampak yaitu orang kafir.[6] Definisi tersebut menunjukkan bahwa jihad menurut al-Asfahani mencakup tiga hal, yaitu memerangi musuh, memerangi setan dan memerangi hawa nafsu.
Sedangkan menurut Ibn Taimiyah dalam Mathalib Ula al-Nahyi, sebagaimana yang dikutip oleh Yusuf Qardhawi, menyatakan jihād adalah sebagai berikut:
(والأمر بالجهاد : -يعني الجهاد المأمور به- منه مايكون بالقلب : كالعزم عليه، والدعوة إلى الإسلام وشرائعه، والحجة : أي إقامتها على المبطل، والبيان : أي بيان الحق و إزالة الشبه، والرأي والتدبير فيما فيه نفع للمسلمين. والبدن : أي  القتال بنفسه، فيجب الجهاد بغاية ما يمكنه من هذه الأمور)[7] 
Dan jihad merupakan perintah yang harus dilakukan baik secara hati, seperti bertekad untuk berdakwah serta menerapkan syari’at-Nya, dan secara hujjah artinya tegas terhadap yang bathil, dan secara bayan berupa penjelasan mengenai kebenaran dan menghilangkan syubhat-syubhat, atau melalui pemikiran yang bermanfaat bagi kaum Muslimin dan juga secara fisik yaitu berperang melawan kafir. Oleh karena itu, maka wajib untuk selalu ber-jihad sesuai dengan yang mungkin dari perkara-perkara tersebut.
Menurut penulis, pengertian jihad yang di utarakan oleh Ibnu Taimiyah lebih jami’dan mani’ karena mencakup berbagai unsur-unsur yang ada di dalam kehidupan manusia dan tidak terpaku dengan makna melawan tiga musuh di atas, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Raghib al-Asfahani.
Namun demikian ada juga beberapa ulama lain yang mencoba mengutarakan definisi jihad menurut mereka, di antaranya adalah Sayid Sabiq yang menerangkan pengertian jihad menurutnya sebagai berikut: “Allah telah mengutus Rasul-Nya (Muhammad saw.) kepada semua manusia, dan memerintahkannya untuk menyeru manusia kepada petunjuk dan agama yang hak; dan selama di Makkah, ia telah berdakwah kepada kaumnya dengan bijaksana dan dengan pendidikan  yang baik. Ternyata beliau menghadapi tantangan dari kaumnya, tantangan ini dihadapi dengan sabar, maaf dan berdamai di samping mengharapkan pertolongan Allah. Pada waktu ini semuanya diperintahkan dengan melakukan jihad yang biasa yaitu dengan bersungguh-sungguh berpegang kepada Alquran dengan mengajukan argumentasi dan memberikan penjelasan yang nyata. Hingga akhirnya kekejian yang diikuti dengan penyiksaan telah mencapai puncaknya dengan cara yang berulang-ulang sehingga mengancam Rasulullah saw. dan ini yang memaksa Rasul dan para sahabat berhijrah dari Makkah ke Madinah.[8]
Pengertian jihad yang dikemukakan oleh Sayid Sabiq di atas, ia ambil dari sirah kehidupan Rasulullah saw. Di sini Sayid Sabiq ingin menjelaskan bahwa jihad pada mulanya dilakukan dengan cara yang bijaksana, cara ini ditempuh ketika umat Islam belum memiliki kekuatan untuk melawan. Namun ketika umat Islam sudah kuat, baru dibolehkan untuk berperang demi menjaga agama dan umatnya ketika dihina.
Seorang tokoh pembaharu Islam yang terkenal, yaitu Hassan al-Banna, juga mendefinisikan jihad sebagai berikut: Yang saya maksud jihad adalah sebuah kewajiban yang hukumnya tetap hingga hari kiamat. Ini merupakan kandungan dari Sabda Rasulullah saw. :
عن أبى هريرة قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من مات ولم يغزو ولم ينوا لغزو، مات على شعبة نفاق (رواه أبو داود) [9]
Dari Abi Hurairah, Bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda: Barang siapa mati sedang ia belum pernah berperang atau belum berniat untuk berperang, maka ia mati dalam keadaan munafik. (H.R. Abu Daud)
Menurut al-Banna, peringkat pertama jihad adalah niat dengan hati dan peringkat terakhir adalah berperang di jalan Allah. Di antara keduanya terdapat jihad dengan pena, tangan dan lisan berupa kata-kata yang benar di hadapan penguasa yang zalim.[10]
Sedangkan definisi jihad menurut Wahbah al-Zuhaily, (yang mana menurut penulis dapat mewakili dari kalangan ulama fikih kontemporer), adalah mengeluarkan segenap kemampuan dan kekuatan dalam memerangi orang kafir dan menolaknya dengan jiwa, harta dan lisan. Maka jihad menurutnya dapat ditempuh dengan metode pengajaran hukum-hukum Islam dan menyebarluaskannya di kalangan manusia, atau dengan cara mengeluarkan harta, serta juga dengan cara bekerja sama dalam hal memerangi musuh apabila pemimpin/ penguasa sudah mengumumkan jihad (perang).[11] Definisi jihad yang dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaily tersebut, didasarkan dari Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud, dari Anas ibn Malik bahwasanya Nabi saw. bersabda:
جاهدوا المشركين بأموالكم و أنفسكم و ألسنتكم (رواه أبو داود)[12]
Berjihadlah terhadap orang-orang Musyrik dengan harta kalian, jiwa kalian dan lisan kalian. (H.R. Abu Daud)
Beberapa tokoh dan ulama di Indonesia juga turut mengutarakan pengertian jihad menurut mereka, antara lain seperti H.M.K. Bakry yang menulis tentang jihad dengan mengatakan bahwa jihad menurut bahasa diartikan susah payah, kesulitan, menghabiskan tenaga. Sementara menurut istilah yaitu perjuangan yang memerlukan tenaga untuk memerangi orang-orang kafir dan murtad sampai kembali menganut agama Islam, selain itu jihad diartikan juga berjuang melawan hawa nafsu, iblis dan orang fasik.[13]
Selanjutnya menurut Quraish Shihab, jihad adalah cara untuk mencapai tujuan. Jihad tidak mengenal putus asa, menyerah, kelesuan, tidak pula pamrih. Tetapi jihad tidak dapat dilaksanakan tanpa modal, karena itu jihad mesti disesuaikan dengan modal yang dimiliki dan tujuan yang ingin dicapai. Sebelum tujuan tercapai dan selama masih ada modal, selama itu pula jihad dituntut.[14]
Kemudian Moenawir Syadzali mengatakan “Di Indonesia orang tidak mesti mati demi Islam, yang kita butuhkan sekarang adalah orang-orang yang mau hidup demi Islam. Di Indonesia, jihad konflik bersenjata telah usai dan tidak membutuhkan lagi perjuangan bersenjata, jihad harus dilakukan secara damai dan bentuk-bentuk lainnya tidak dapat ditoleransi.”[15]
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama di atas, menunjukkan bahwa jihad mempunyai arti yang luas serta tujuan yang ingin dicapainya. Secara umum tujuan jihad adalah menegakkan agama Allah di permukaan bumi.[16] Dengan berorientasi kepada tujuan tersebut, maka jihad dapat dinilai sebagai ibadah kepada Allah swt. yang didasarkan kepada kesungguhan dengan cara mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki baik dengan nyawa, harta, pikiran, lisan dan lainnya.
B.     Jihad dalam Al-Qur’an dan Hadis
a)      Jihad dalam Al-Qur’an
Kata jihad dengan berbagai bentuknya terulang sebanyak empat puluh satu kali di dalam Alquran. Kata jihad yang mengandung pengertian ‘berjuang di jalan Allah’ ditemukan pada 33 ayat: 13 kali dalam bentuk fi’il madhi ( فعل ماض/ kata kerja bentuk lampau), lima kali dalam bentuk fi’il mudhari’ فعل مضارع)/ kata kerja bentuk sekarang dan yang akan datang), tujuh kali dalam bentuk fi’il amr ( فعل أمر/ kata kerja bentuk perintah), empat kali dalam bentuk mashdar dan empat kali dalam bentuk isim fa’il ( إسم فاعل/ kata benda yang menunjukkan pelaku).[17]
Kata jihad di dalam Alquran sering disanding dengan lafaz fi sabilillah (pada jalan Allah), misalnya dalam Q.S. al-Maidah: 54, al-Anfal: 72, al-Taubah: 41 dan 81. Hal ini menunjukkan bahwa semestinya seluruh aktivitas jihad, baik yang dikorbankan adalah jiwa, harta, pikiran, lisan dan sebagainuya, semata-mata harus diniatkan karena Allah serta mengharap keridhaannya, sehingga jihad yang telah dilakukan tersebut akan bernilai di sisi Allah. Hal ini juga ditegaskan dalam hadis Nabi saw. yang artinya sebagai berikut:
Seseorang berperang untuk memperoleh rampasan, yang lain berperang untuk memperoleh sebutan dan seseorang berperang supaya dilihat kedudukannya. Siapakah di antara mereka yang fi sabilillah? Nabi saw. menjawab, siapa berperang agar kalimat Allah unggul, maka ia fi sabilillah.[18]
Dengan demikian, jihad harus dilakukan semata-mata hanya demi Allah, tanpa mengharapkan keuntungan, pujian, kedudukan, maupun motivasi-motivasi lain yang bersifat keduniawian. Dan jihad fi sabilillah ini adalah jihad yang sebenarnya yang harus dilakukan, sesuai dengan firman Allah pa surat al-Hajj ayat 78:
وجاهدوا فى الله حقَ جهاده
Berjihadlah di (jalan) Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.
Di antara ayat-ayat yang berkenaan dengan jihad di dalam Alquran, para mufassir telah bersepakat bahwa ayat yang pertama kali turun dengan menggunakan kata jihad, sebagaimana yang telah penulis singgung pada bab sebelumnya, terdapat dalam surat al-Furqan ayat 52:
فلا تطع الكافرين وجهدهم به جهادا كبيرا
Maka jangan kamu taati orang-orang kafir dan berjihadlah melawan mereka menggunakan Alquran dengan jihad yang besar.
Ayat tersebut menerangkan tentang jihad dengan Alquran terhadap tuduhan orang-orang kafir dan musyrik yang menganggap Alquran sebagai dongeng orang-orang terdahulu yang dibacakan setiap pagi dan petang. Menanggapi tuduhan ini, Alquran pun menjawab pada surat al-Furqan ayat 6:
قل أنزله الَذى يعلم السرَ فى السَموات والأرض إنَه كان غفورا رحيما
Katakanlah Alquran ini diturunkan oleh (Allah) yang mengetahui rahasia di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dalam situasi seperti itu, Rasulullah saw. harus berjuang sekuat tenaga untuk bisa menginsafkan dan meyakinkan orang-orang kafir yang tidak mau beriman kepada Allah swt. dan meragukan kitab suci Alquran. Adapun senjata yang dipakai oleh Rasulullah untuk berjihad pada waktu itu adalah Alquran.[19]
Ibn Qayyim di dalam mengomentari surat al-Furqan ayat 52 di atas, juga menyebutkan bahwa pada surat tersebut adalah surat Makkiyah yang mana Allah memerintahkan Rasul untuk berjihad terhadap orang-orang kafir dengan hujjah, yaitu berupa penjelasan, serta penyampaian dari isi kandungan Alquran. Demikian juga dengan jihad terhadap orang-orang munafik ketika itu, jihad harus dilakukan dengan penyampaian hujjah sampai mereka yakin dengan kebenaran Islam.[20] Dari sini dapat dipahami bahwa pada ayat tersebut jihad semakna dengan usaha dakwah yang disampaikan terhadap orang-orang yang masih ragu terhadap kebenaran Islam.
Selain ayat jihad yang terdapat dalam surat al-Furqan di atas, ayat-ayat Alquran yang membicarakan tentang jihad sangat banyak, namun di sini penulis memilih beberapa ayat saja. Di antaranya adalah perintah jihad dalam surat al-Maidah ayat 35:
يأيُها الَذين ءامنوا اتَقوا الله وابتغوا إليه الوسيلة وجهدوا فى سبيله لعلَكم تفلحون 
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.
Sehubungan dengan ayat di atas, Ibn Katsir menjelaskan bahwa sesudah Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk bertakwa, yaitu menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya, kemudian Allah memerintahkan orang-orang mu’min tersebut untuk berjihad membasmi musuh yang berusaha merintangi tersebarnya agama Allah dan ajarannya. Allah swt. telah menjamin bagi orang yang benar-benar berjuang untuk menegakkan agama Allah dan mencari ridha-Nya akan bahagia dalam surga abadi, hidup kekal dalam nikmat yang tidak kunjung habis selamanya.[21]
Selain perintah untuk berjihad, Allah juga menjanjikan bagi orang yang berjihad akan mendapat tempat yang tertinggi di sisi Allah, sebagaimana dalam surat al-Taubah ayat 19-20:
أجعلتم سقاية الحاجِ وعمارة المسجد الحرام كمن أمن بالله و اليوم الآخر وجاهد في سبيل الله لا يستوون عند الله لا يهدي القوم الظَالمين (19) الَذين أمنوا وهاجروا وجاهدوا في سبيل الله بأموالهم و أنفسهم أعظم درجة عند الله وأولئك هم الفائزون (20)
(19) Apakah kamu jadikan pemberian minuman kepada yang mengerjakan haji dan pemakmuran Masjid al-Haram, sama dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim.
(20) Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda mereka dan diri mereka adalah lebih agung derajatnya di sisi Allah; dan itulah mereka orang-orang yang beruntung.
Ahmad Mustafa al-Maraghi menjelaskan maksud ayat di atas bahwa tidak patut untuk menyamakan keutamaan orang-orang yang memberi minum kepada orang-orang yang menunaikan ibadah haji dan memakmurkan masjid dengan keutamaan orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta orang yang berjihad di jalan Allah. Sebab meskipun memberi minum dan memakmurkan masjid itu termasuk kebajikan, namun para pelakunya tidak sama dengan orang yang beriman dan berjihad dalam ketinggian martabat dan kemuliaannya.[22]
Lebih lanjut al-Maraghi menjelaskan bahwa dalam hukum Allah, orang-orang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan diri mereka, lebih agung derajatnya, lebih tinggi kedudukan dalam martabat keutamaan dan kesempurnaan, serta lebih besar pahalanya dari pada orang yang memberi minum kepada orang-orang yang menunaikan ibadah haji dan memakmurkan masjid, yang oleh sebagian Muslimin dipandang bahwa perbuatan tersebut adalah jalan mendekatkan diri kepada Allah yang paling utama sesudah Islam.[23]
Menurut Quraish Shihab, maksud kata ‘lebih agung’ pada ayat di atas, menunjukkan bahwa selain orang-orang yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Allah boleh jadi memiliki keagungan walaupun tidak sampai pada peringkat yang tinggi. Redaksi ini mengisyaratkan bahwa perselisihan pendapat menyangkut siapa yang lebih utama terjadi antar Kaum Muslimin sendiri, bukan antar Kaum Muslimin dan Musyrikin yang ditawan pada Perang Badar.[24]
Selanjutnya perintah untuk pergi berjihad juga terdapat pada surat al-Taubah ayat 41:
آنفروا خفا فا وثقالا وجهدوا بأموالكم وأنفسكم فى سبيل الله ذلكم خير لَكم إن كنتم تعلمون
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Al-Maraghi menjelaskan pada ayat terdahulu Allah mengancam orang-orang yang tidak turut berperang bersama Rasul dan merasa berat ketika beliau mengajaknya berperang. Dalam ayat ini Allah menyampaikan perintah yang tidak bisa ditawar lagi; Dia mewajibkan perang umum kepada setiap individu, maka tidak ada uzur bagi seseorang pun untuk berhalangan atau tidak taat.[25]
Perintah untuk pergi berjihad diwajibkan dalam keadaan bagaimanapun, baik dalam keadaan mudah maupun susah, sehat maupun sakit, kaya maupun miskin, sedikit perbekalan maupun banyak, atau lain sebagainya yang dapat atau tidak dapat menunjang sebab kemenangan, setelah kesempatan dan kemampuan secara umum ada. Jika perintah untuk melaksanakan perang atau jihad telah diumumkan, maka perintah tersebut wajib ditaati, kecuali dalam keadaan benar-benar tidak mampu.[26]
Berkenaan dengan jihad melawan orang kafir dan munafik, terdapat dalam surat al-Taubah ayat 73:
يأيُها النَبيُ جاهد الكفَار والمنفقين واغلظ عليهم ومأواهم جهنَم وبئس المصير
Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka ialah Jahannam. dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya.
Al-Maraghi menjelaskan bahwa dalam ayat di atas Allah memerintahkan Nabi untuk mengerahkan segenap upaya untuk melawan golongan kafir dan munafik yang hidup di tengah-tengah Nabi, seperti mereka juga telah mengerahkan upayanya untuk menyerang Nabi, dan memperlakukan mereka dengan kekerasan yang sesuai dengan keburukan keadaan mereka. Al-Maraghi juga mengutip riwayat dari Ibn Abbas r.a. bahwa berjihad melawan kaum kafir adalah dengan pedang, sedang berjihad melawan kaum munafik adalah dengan lisan, yakni dengan mengemukakan hujjah dan keterangan kepada mereka.[27]
Adapun keutamaan bagi orang yang berjihad di jalan Allah juga dijelaskan dalam surat al-Ankabut ayat 6:
و من جهد فإنَما يجهد لنفسه إنَ الله لغنيٌ عن العالمين
Dan Barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
Di dalam tafsir al-Azhar, HAMKA menjelaskan bahwa arti pokok dari pada jihad dalam ayat di atas adalah bekerja keras, bersungguh-sungguh dan tidak mengenal kelalaian. Jika seseorang bekerja keras membanting tulang, membuktikan bahwa hidupnya adalah untuk memperjuangkan agama Allah, maka yang beruntung bukan orang lain melainkan pejuang itu sendiri. Keuntungan pertama yang akan didapatinya dalam dunia ini adalah bertambah tinggi derajat jiwanya, bertambah banyak pengalaman dan ilmunya dalam menghadapi dunia ini. Sedangkan keuntungan kedua di akhirat kelak, ia akan mendapat tempat istimewa di sisi Allah dalam surga, menerima pahala dan ganjaran atas amalnya tersebut.[28]
Apabila ayat-ayat jihad tersebut ditinjau dari segi tempat turunnya ayat (al-asbab al-nuzul), maka sebagian ayat ada yang turun pada saat Nabi saw. berada di Makkah, yang kemudian disebut sebagai ayat makkiyah. Dan sebagian yang lain turun pada saat Nabi telah hijrah ke Madinah, atau biasa disebut sebagai ayat madaniyah. Berikut ini adalah susunan ayat-ayat jihad berdasarkan periode turunnya ayat tersebut:
1.      Al-Furqan (25) : 52.
2.      Al-Nahl (16) : 110.
3.      Al-Ankabut (29) : 6, 69.
4.      Al-Baqarah (2) : 218.
5.      Al-Anfal (8) : 72, 74, 75.
6.      Ali Imran (3) : 142.
7.      Al-Mumtahanah (60) : 1.
8.      Al-Nisa’ (4) : 95.
9.      Muhammad (47) : 31.
10.  Al-Hajj (22) : 78.
11.  Al-Hujurat (49) : 15.
12.  Al-Tahrim (66) : 9.
13.  Al-Saff (61) : 11.
14.  Al-Maidah (5) : 35, 54.
15.  Al-Taubah (9) : 16, 19, 20, 24, 41, 44, 73, 81, 86, 88.[29]
Ayat-ayat jihad tersebut di atas, sebagian turun pada periode Makkah, yakni ayat-ayat yang terdapat pada surat nomor pertama, kedua dan ketiga. Sedangkan sebagian besar lainnya, yakni yang termuat pada surat nomor empat sampai kelima belas diturunkan pada periode Madinah.[30] Terdapat perbedaan antara ayat-ayat jihad yang turun pada periode Makkah dengan ayat-ayat jihad yang turun pada periode Madinah. Ayat-ayat jihad pada periode Makkah dapat dikatakan lebih humanis dengan menyeru untuk bersabar dalam menghadapi tindakan musuh dengan terus menyampaikan dakwah kepada mereka. Sedangkan ayat-ayat jihad pada periode Madinah lebih agresif dengan membolehkan umat Islam membalas serangan musuh yang dilancarkan terhadap mereka.
b)     Jihad dalam Hadis
Islam mengatur setiap tatanan yang menyangkut dengan kehidupan umat manusia, baik dalam bidang agama maupun sosial, semuanya diatur dalam Alquran dan Hadis. Begitu juga dengan jihad, selain terdapat di dalam Alquran, perintah untuk berjihad juga banyak terdapat di dalam Hadis Nabi Muhammad saw. disertai dengan pesan dan bentuk-bentuk jihad yang beragam. Adapun hadis-hadis pilihan yang dijadikan sebagai rujukan pentingnya jihad di dalam Islam, misalnya hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab shahih-nya, yaitu sebagai berikut:
عن أبي عمر الشَيباني قال: قال عبد الله بن مسعود رضي الله عنه: سألت رسول الله صلى الله عليه وسلَم قلت: يا رسول الله أيُ العمل أفضل؟ قال: الصَلاة على ميقاتها. قلت: ثم أي؟ قال: ثم برُ الوالدين. قلت: ثم أي؟ قال: الجهاد في سبيل الله. فسكتُ عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، ولو استزدته لزادني[31]  
Dari Abu Amr Asy-Syaibani, dia berkata: Abdullah ibn Mas’ud r.a. berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah saw. ‘Wahai Rasulullah, apakah perbuatan yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Shalat pada (awal) waktunya’. Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa?’ Beliau menjawab, ‘Berbakti kepada kedua orang tua’. Aku berkata. ‘Kemudian apa?’ Beliau menjawab, ‘Jihad di jalan Allah’. Aku pun berhenti (untuk) bertanya kepada Rasulullah saw. sekiranya aku menambah pertanyaan niscaya beliau akan menambah jawabannya kepadaku.”
Ibn Hajar al-Asqalani mengutip komentar al-Thabari terhadap hadis di atas, bahwa Nabi saw.  menyebutkan tiga perkara tersebut secara khusus, karena ketiganya merupakan tanda dan ciri bagi ketaatan yang lain. Barang siapa melalaikan shalat fardhu hingga keluar waktunya tanpa uzur, padahal shalat itu ringan dan keutamaannya sangat besar, maka dapat dipastikan dia lebih melalaikan kewajiban yang lain. Barangsiapa yang tidak berbakti kepada kedua orang tua, padahal hak keduanya demikian besar maka tentu dia lebih tidak berbakti kepada orang lain. Barangsiapa meninggalkan jihad memerangi orang kafir, padahal permusuhan mereka sangat keras terhadap agama Islam, tentu dia akan lebih meninggalkan jihad melawan orang-orang fasik. Maka jelas barangsiapa memelihara ketiga perkara ini, dia akan memelihara pula ketaatan-ketaatan yang lain, dan demikian sebaliknya.[32]
Selanjutnya hadis lain yang berbicara tentang jihad adalah hadis dari Aisyah dan juga telah di-shahih-kan oleh al-Bukhari dengan redaksi sebagai berikut:
عن عائشة رضي الله عنها أنَها قالت: يا رسول الله نرى الجهاد أفضل العمل، أفلا نجاهد؟ قال: لكنَ أفضل الجهاد حجٌ مبرور[33]
Dari Aisyah r.a., dia berkata, “Wahai Rasulullah, kami melihat jihad merupakan perbuatan paling utama, tidakkah kami berjihad?” Beliau bersabda, “Tetapi jihad paling (bagi kamu) adalah haji yang mabrur.”
Ibn Hajar mengatakan bahwa kesesuaian hadis di atas sebagai hadis jihad, disimpulkan dari persetujuan Nabi saw. terhadap perkataan Aisyah, “Kami melihat jihad merupakan perbuatan paling utama”.[34] Hadis tersebut menunjukkan bagaimana keluasan dari cakupan makna jihad dalam Islam. Dengan kata lain, jihad tidak mesti dipahami dengan perjuangan senjata karena ia adalah hanya salah satu dari sekian banyak bentuk jihad. Sebagaimana hadis di atas, haji mabrur juga termasuk bentuk jihad walaupun konteks hadis di atas ditujukan bagi kaum perempuan, namun hal tersebut tetap menunjukkan bahwa jihad memiliki makna yang luas.
Hadis dari Habib bin Abi Tsabit dan telah disepakati oleh Bukhari dan Muslim atas ke-shahih-annya yaitu sebagai berikut:
عن حبيب بن أبي ثابت قال: سمعت أبا العبَاس الشَاعر –وكان لا يتَهم في حديثه- قال: سمعت عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما يقول: جاء رجل إلى النَبي صلى الله عليه وسلم فاستأذنه في الجهاد فقال: أحيٌ والداك؟ قال: نعم، قال: ففيهما فجاهد[35]
Dari Habib bin Abi Tsabit, dia berkata: Aku mendengar Al Abbas (sang penyair) dan dia tidak dituduh berdusta dalam hadisnya – berkata: Aku mendengar Abdullah ibn Amir r.a. berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. dan minta izin untuk berjihad. Beliau saw. bertanya: ‘Apakah kedua orang tuamu masih hidup?’ Orang itu berkata: ‘Ya’. Beliau bersabda, ‘Maka kepada keduanya lah engkau berjihad’.”
Hadis di atas juga menunjukkan tentang keluasan dari cakupan makna jihad dalam Islam, sehingga berbakti kepada kedua orang tua pun termasuk ke dalam bentuk jihad. Ibn Hajar menjelaskan maksud dari perkataan Nabi ففيهما فجاهد adalah perintah agar mengkhususkan jihad jiwa dalam mencapai keridhaan orang tua, yaitu dengan kelelahan jasmani serta mengeluarkan harta (untuk mencapai keridhaan mereka). Dari sini juga dapat diambil pelajaran bahwa segala sesuatu yang melelahkan jiwa adalah jihad dan berbakti kepada kedua orang tua terkadang lebih utama dari pada jihad (dalam arti pergi berperang).[36]
Dari beberapa kutipan hadis-hadis tentang jihad di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa jihad mempunyai kedudukan yang penting dalam Islam. Hadis-hadis tersebut juga dapat dijadikan sebagai rujukan dalam mengimplementasikan jihad, baik dalam konteks peperangan, maupun jihad dalam arti sebagai usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dalam rangka untuk menegakkan agama serta menggapai ridha Allah swt.
C.    Interpretasi Jihad Pada Masa Klasik dan Modern
a)      Interpretasi Jihad Pada Masa Klasik
Jihad merupakan bagian integral wacana Islam sejak masa-masa awal Islam hingga masa kontemporer. Banyak ulama dan pemikir Muslim terlibat dalam pembicaraan tentang jihad baik kaitannya dengan doktrin fikih maupun dengan konsep politik Islam. Konsep-konsep jihad yang mereka kemukakan sedikit mengalami pergeseran dan perubahan sesuai dengan konteks dan lingkungan masing-masing pemikir Muslim.[37]
Sebagaimana telah tersebut pada bab sebelumnya, bahwa menurut al-Qaradhawi, para ulama fikih cenderung mendefinisikan jihad sebagai perang di dalam kitab-kitab mereka.[38] Di antaranya kitab Bidayah al-Mujtahid karangan Ibn Rusyd termasuk salah satu literatur yang membahas tentang fiqh al-jihad secara rinci.[39] Demikian juga dengan kitab-kitab fikih dari mazhab lainnya, yang mana mayoritas ahli fikih menyatakan bahwa hukum jihad adalah fardhu kifayah. Adapun maksud jihad fardhu kifayah di sini, diinterpretasikan dengan bentuk adanya pasukan yang selalu berjaga-jaga di perbatasan, atau pengiriman pasukan untuk bertempur setiap tahun ke wilayah musuh.[40] Sehingga, apabila ditinjau dari sejarah masa-masa awal pembentukan fikih, istilah jihad secara alamiah diartikan sebagai perang untuk memperluas ranah kekuasaan dan pengaruh Islam.[41]
Untuk menguatkan pendapatnya bahwa jihad (berperang) telah diwajibkan bagi setiap Muslim, para ulama fikih menggunakan dalil surat al-Baqarah ayat 216:
كتب عليكم القتال وهو كره لَكم وعسى أن تكرهوا شيأ وهو شرٌلَكم والله يعلم وأنتم لا تعلمون
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Sedangkan hukum jihad (berperang) tersebut menjadi fardhu kifayah, jumhur fuqaha’ mengajukan dua dalil, yaitu surat al-Nisa’ ayat 95:
لا يستوى القعدون من المؤمنين غير أولى الضَرر والمجهدون فى سبيل الله بأموالهم وأنفسهم فضَل الله المجهدين بأموالهم وأنفسهم على القعدين درجة  
Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat.
Maksud dari ‘tidak sama’ menunjukkan bahwa mereka yang duduk tidak ikut berperang, tidak berdosa, selama selain mereka telah ada orang lain yang menunaikannya.[42]
Adapun dalil kedua adalah firman Allah pada surat al-Taubah ayat 122:
وما كان المؤمنون لينفروا كآفَة فلولا نفر من كل فرقة منهم طآئفة ليتفقَهوا في الدَين
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang), mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama
Rasulullah saw. sendiri tidak pernah keluar untuk berperang kecuali dengan meninggalkan sebagian sahabatnya di Madinah. Apabila kedua dalil di atas saling dihubungkan, maka jelas bahwa hukum jihad menjadi fardhu kifayah.[43]
Sedangkan menurut Ibn Qayyim, jihad melawan musuh dibagi ke dalam dua bentuk, yaitu melawan orang-orang kafir dan munafik. Dalam hal ini, ia menyebutkan:
Adapun jihad melawan orang-orang kafir dan munafik, dapat dilakukan dengan empat tingkatan, yaitu dengan hati, lisan, harta dan jiwa. Jihad melawan orang-orang kafir secara khusus dapat dilakukan dengan tangan, sedangkan jihad melawan orang-orang munafik secara khusus dapat dilakukan dengan lisan.[44]
Selain diinterpretasikan sebagai perlawanan terhadap musuh, interpretasi jihad di masa klasik juga terfokus kepada perlawanan terhadap syaithan dan hawa nafsu. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Raghib al-Asfahani, jihad adalah mengerahkan segala kemampuan untuk menangkis serangan dan menghadapi musuh yang tidak tampak yaitu hawa nafsu dan syaitan, serta musuh yang tampak yaitu orang kafir.[45]
Jihad melawan musuh yang tidak tampak yaitu hawa nafsu dan syaithan, dapat dilakukan dengan cara mempelajari agama, mengamalkan, berdakwah dan bersabar atas segala gangguan-gangguan yang dihadapinya, serta juga dengan menolak apa yang dihembuskan syaithan kepada manusia dari berbagai jenis syubhat dan syahwat.[46] Dalam surat al-Nas, Allah menggambarkan syaithan sebagai al-waswas al-khannas. Kata al-waswas pada mulanya berarti suara yang sangat halus, selanjutnya makna ini berkembang hingga diartikan bisikan-bisikan hati, biasanya dipergunakan untuk bisikan-bisikan negatif. Oleh sebab itu, sebagian ulama tafsir memahami kata ini sebagai syaithan. Menurut mereka, syaithan sering membisikkan rayuan dan jebakannya ke dalam hati seseorang.[47]
Sedangkan mengenai jihad melawan hawa nafsu, pada surat al-Qashash ayat 50, Alquran memperingatkan manusia agar tidak mengikuti hawa nafsu dengan sekehendak hatinya. Kemampuan seseorang berjihad melawan hawa nafsu akan memberikan kontribusi yang baik dalam berjihad melawan musuh-musuh lainnya dan tidak akan tersesat hidupnya. Sedangkan orang-orang yang menuruti hawa nafsu akan tersesat selama-lamanya dan tidak akan mendapatkan petunjuk.[48] Atas dasar ini, jihad sesungguhnya dapat berakibat kepada kemashlahatan diri sendiri.[49]
Dengan demikian, interpretasi jihad pada masa klasik secara jelas digambarkan dengan jihad paling tidak harus dilaksanakan baik dalam menghadapi musuh yang nyata, yaitu orang-orang kafir dan munafik, maupun musuh yang tidak nyata, yaitu syaithan dan hawa nafsu.
b)     Interpretasi Jihad Pada Masa Modern
Pada perkembangan selanjutnya, jihad lebih berkaitan dengan politik. Hal ini terlihat jelas dalam pemikiran Hassan al-Banna (pendiri organisasi al-Ikhwan al-Muslimin), menurutnya jihad sangat erat hubungannya dengan konsepsi politik Islam dalam hubungannya dengan supremasi syari’ah. Bagi Hassan al-Banna, kekuasaan politik merupakan kebutuhan yang tak terelakkan bagi kehidupan sosial. Tugas menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran hanya bisa ditunaikan sepenuhnya dengan kekuasaan politik. Tidak hanya itu, penunaian ibadah, shalat, puasa, haji, zakat dan jihad memerlukan kekuasaan politik yang berpijak pada syari’ah. Jihad menjadi begitu penting dalam pemikiran politik Hassan al-Banna, sehingga ia mengatakan, substansi agama adalah shalat dan jihad (perang). Ia juga menyebut jihad senafas dengan kekuasaan politik. Agama tanpa kekuasaan atau penguasa (sulthan), jihad dan harta (mal) sama jeleknya dengan sulthan, mal dan harb tanpa din (agama).[50]
Al-Banna menyerang pandangan yang menyatakan bahwa jihad lebih berarti sebagai perjuangan spiritual, yaitu perjuangan melawan hawa nafsu dalam diri sendiri. Menurut al-Banna, pandangan semacam ini bersumber dari hadis yang tidak otentik. Dalam pandangan al-Banna, pengertian jihad seperti ini sengaja disebarkan musuh-musuh Islam untuk melemahkan perjuangan bersenjata kaum Muslimin melawan penjajah Eropa.[51]
Demikian juga dalam pemikiran Sayid Quthb (dihukum mati pada tahun 1966), pemikiran Sayid Quthb tentang jihad bertitik tolak dari gagasannya untuk membangkitkan kejayaan Islam vis-a-vis hegemoni Barat, karena itulah pemikirannya tentang jihad lebih politis ketimbang legalistik. Menurut Sayid Quthb dalam Ma’alim al-Thariq, sebagaimana yang dikutip oleh Azyumardi Azra, menyatakan bahwa jihad adalah kelanjutan dari “politik” Tuhan. Jihad adalah perjuangan revolusioner yang dirancang untuk melucuti musuh-musuh Islam, sehingga memungkinkan kaum Muslim menerapkan ketentuan-ketentuan syari’ah yang selama ini diabaikan atau bahkan ditindas Barat dan rezim-rezim opresif di Dunia Muslim sendiri. Sayid Quthb menjelaskan, penegakan hegemoni Islam melalui jihad adalah membebaskan individu-individu dari dominasi politik non-Muslim. Begitu kekuasaan politik berada di tangan elit Muslim, maka hukum Islam pun dapat ditegakkan.[52]
Implikasi dari pemikiran jihadnya tersebut, Sayid Quthb memperkenalkan sekaligus menganjurkan istilah jihad ofensif. Menurutnya, jihad tidak hanya untuk bertahan melindungi keamanan kaum Muslimin, tetapi juga untuk menopang proses pengokohan sistem Allah di muka bumi. Dari sini terlihat jelas bahwa jihad menurut Sayid Quthb bersifat ofensif, tidak defensif. Ia juga menolak pandangan kaum modernis yang cenderung mendefinisikan jihad sebatas perang defensif, dalam arti hanya untuk bertahan, melindungi Islam dan negeri Islam dari serangan musuh.[53]
Pemikiran Sayid Quthb tersebut banyak dipengaruhi al-Maududi (w. 1979) dalam pandangannya tentang jihad. Namun menurut Azyumardi Azra, pemikiran al-Maududi lebih maju ketimbang Sayid Quthb ketika mensejajarkan Islam dengan jihadnya sebagai “gerakan politik revolusioner” dengan ideologi dan gerakan revolusioner lain, semacam Marxisme, Nazisme dan Fasisme. Sayid Quthb menolak membandingkan atau mengasosiasikan Islam dengan semua produk pemikiran sekuler ini.[54]
Menurut al-Maududi, jihad adalah perjuangan transformasi dari gerakan yang sungguh-sungguh, berkesinambungan, yang dimaksudkan untuk mencapai sebuah tujuan dan pengetahuan bagi orang yang mencarinya.[55] Jihad merupakan sarana transformatif untuk dapat merombak sistem masyarakat dunia seluruhnya agar sesuai dengan manhaj Islam. Dengan kata lain, jihad merupakan kalimat yang umum meliputi berbagai usaha dan pengerahan kemampuan.[56]
Selain itu di dalam menginterpretasikan jihad pada masa modern ini, ada juga sebagian kelompok yang berpendapat agak lebih ekstrim, mereka mengumandangkan perang secara global. Mengutip dari penjelasan al-Qaradhawi, kelompok ini memahami jihad hanya satu kata, yaitu perang kepada semua non-Muslim, tanpa membedakan kategorinya. Bagi kelompok ini, tidak ada perbedaan antara non-Muslim yang memerangi umat Islam, menghalangi dakwah dan mengganggu nilai-nilai Islam dengan non-Muslim yang bersikap damai, mengulurkan tangan perdamaian untuk kemashlahatan bersama dengan kaum Muslimin dan tidak menunjukkan permusuhan.[57]
Kelompok ini secara terang-terangan menyatakan bahwa Islam disebarkan dengan pedang. Sebagaimana pernyataan dari Abdullah Azzam:
Kami tidak malu untuk mengatakan bahwa agama kita (Islam) ditegakkan dengan pedang. Dan orang-orang yang tidak mau mengakuinya, mereka sebenarnya tidak mengetahui watak dari agama ini.[58]
Masih dari penjelasan al-Qaradhawi, selanjutnya kelompok ini berpendapat bahwa ayat-ayat Alquran (termasuk hadis Nabi) yang berisi ajakan untuk bersikap damai kepada non-Muslim yang memilih perdamaian sebagai jalan hidup, yang mana ayat-ayat tersebut berjumlah 114 ayat menurut sebagian pendapat, bahkan ada yang  mengatakan sampai 200 ayat, ayat-ayat tersebut seperti yang mereka sebutkan, maknanya sudah tidak ada lagi karena sudah di-nasakh (dihapus) dengan sebuah ayat, yaitu ayat pedang (Ayat As-Saif).[59]
Meskipun mereka bersepakat bahwa ayat pedang tersebut terdapat dalam surat al-Taubah, namun mereka berbeda pendapat tentang ayat mana yang dimaksud, meskipun secara mayoritas dari mereka berpendapat, bahwa ayat pedang yang dimaksud adalah ayat kelima dari surat al-Taubah.[60]
Pemikiran kelompok ini dapat mengakibatkan munculnya penilaian negatif dari masyarakat dunia pada umumnya, karena kelompok ini tidak segan-segan untuk meneror non-Muslim dengan dalih berjihad. Sehingga akibat dari aksi-aksi mereka ini, orang lain juga dengan mudah menjuluki Islam sebagai agama teror.
Di samping itu, pada masa modern ini juga muncul kelompok modernis yang diprakarsai oleh para pemikir-pemikir Muslim sejak dari Muhammad Abduh, Rasyid Ridha sampai Mahmud Syaltut. Kelompok ini menitik-beratkan jihad pada keadaan difa’i (bertahan) saja, artinya jihad hanya boleh dilakukan terhadap pihak non-Muslim hanya jika mereka terlebih dahulu menyerang wilayah kaum Muslim.
Dalam tafsirnya al-Manar, Rasyid Ridha menggarisbawahi makna jihad-mujahadah berasal dari akar kata jahd: masyaqqah; jerih payah, usaha, kesukaran dan tidak khusus berupa perang (qital).[61] Jihad mencakup segala jerih payah menanggung kesulitan dalam menghadapi kekerasan dan melawan kebatilan untuk membela kebenaran demi mengharapkan rahmat Allah dan kejayaan di dunia dan akhirat.[62]
Sedangkan mengenai ayat yang digunakan jumhur sebagai ayat yang mewajibkan qital (perang), yaitu surat al-Baqarah ayat 216, Ridha menafsirkan bahwa kewajiban perang pada ayat tersebut khusus pada masa ayat tersebut turun, yaitu pada tahun ke 2 Hijriyah. Ridha juga menukilkan riwayat dari Ibn Umar dan Atha’ bahwa maksud dari ayat tersebut adalah perang menjadi kewajiban ketika itu hanya kepada para sahabat saja.[63] Jadi menurut Ridha, ayat tersebut konteksnya hanya kepada sahabat, bukan dijadikan sebagai dalil perang offensif.
Menurut Azyumardi Azra, usaha ‘rasionalisasi’ jihad yang dilakukan oleh kaum modernis ini bertujuan untuk membantah tuduhan Barat, yang menyatakan bahwa Islam adalah agama kekerasan.[64] Karena belakangan ini, jihad sering dihubungkan orang, terutama kalangan Barat, dengan praktek terorisme.[65] Sehingga muncul inisiatif dari kelompok ini agar Islam bersih dari tuduhan tersebut.








[1] Zafir al-Qasyimi, al-Jihad wa al-Huquq al-Dawliyyah al-‘Ammah fi al-Islam, (Beirut: Dar al-‘Ilm al-Malayin, 1986), hal. 13.
[2] Abu A’la al-Maududi, Hassan al-Banna dan Sayid Qutb, Jihad Bukan Konfrontasi, terj. Oleh: Syatiri Matrais, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2001), hal. 31-32.
[3] Yunasril Ali, Jihad dan Para Mujahid Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1993), hal. 3.
[4] Lihat Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal. 217.
[5] Lihat Ahmad Ibn Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Jil. 1, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hal. 486.
[6] Raghib al-Asfahani, Mu’jam Alfazh al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hal. 208.
[7] Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh al-Jihad, Juz. I..., hal. 67.
[8] Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jil. 3, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), hal. 28-29.
[9] Abi Daud Sulaiman ibn Asy’ats al-Sajastani, Sunan Abi Daud, Juz. 3, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997), hal. 18.
[10] Sa’id Hawwa, Membina Angkatan Mujahid (Studi Analisis Atas Konsep Dakwah Hasan al-Banna Dalam Risalah Ta’lim), terj. Oleh: Abu Ridha dan Wahid Ahmadi, (Solo: Era Intermedia Karangasem, 1999), hal. 164.
[11] Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adilatuhu, Juz. 3, Cet. 6, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2008), hal. 712.
[12] Abi Daud Sulaiman ibn Asy’ats al-Sajastani, Sunan Abi Daud..., hal. 18.
[13] H.M.K. Bakry, Hukum Pidana Dalam Islam, (Solo: Siti Sjamsiah, 1958), hal. 77.
[14] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an…, hal. 505.
[15] Ihsan Ali Fauzi, Jalan Baru Islam; Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 247.
[16] Muhammad Chirzin, Jihad Dalam Al-Qur’an; Telaah Normatif, Historis dan Prospektif, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997), hal. 50.
[17] M. Quraish Shihab, et. al, Ensiklopedia Al-Qur’an; Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hal. 396.
[18] Abu Abdillah al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Shahih, jil. 2, (Kairo: al-Mathba’ah al-Salafiyah, 1400 H), hal. 395.
[19] Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Quran dan Hadis, (Jakarta: Rahmat Semesta Center, 2008), hal. 113.
[20] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zadd al-Ma’ad…, hal. 5
[21] Lihat Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim,  jil. 5, (Kairo: Maktabah Awlad al-Syaikh li Turats, tt), hal. 204.
[22] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj. Oleh Bahrun Abu Bakar, dkk, juz 10, (Semarang: Toha Putra, 1993) , hal. 131.
[23] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi..., hal. 132.
[24] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, vol. 5, (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2007), hal. 555.
[25] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi..., hal. 208.
[26] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi..., hal. 208-209.
[27] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi..., hal. 278-279.
[28] HAMKA, Tafsir al-Azhar, juz. xx, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), hal. 148-149.
[29] Muhammad Chirzin, Jihad Dalam Al-Qur’an…, hal. 18.
[30] Muhammad Chirzin, Jihad Dalam Al-Qur’an…, hal. 19.
[31] Abu Abdillah al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Shahih..., hal. 301.
[32] Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Baari Syarh Shahih al-Bukhari, jil. 16, terj. Oleh: Amiruddin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hal. 7-8.
[33] Abu Abdillah al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Shahih…, hal. 302.
[34] Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Baari…, hal. 8.
[35] Abu Abdillah al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Shahih…, hal. 359. Lihat juga Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, jil. 8, (Kairo: Dar al-Hadis, 2001), hal. 344.
[36] Ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Baari…, hal. 430.
[37] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 132.
[38] Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Jihad, Juz. I..., hal. 67.
[39] Lihat Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz. I, (Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, 1989), hal. 651-695.
[40] Lihat Ibn Qudamah, al-Mughni…, hal. 7-8. Al-Kasani, Badai’ Ash-Shanai’…, hal. 98. An-Nawawi, Raudhatu at-Thalibin, hal. 411. Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid…, hal. 651.
[41] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam…, hal. 133.
[42] Lihat Ibn Qudamah, al-Mughni…, hal. 7.
[43] Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid…, hal. 651.
[44] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zadd al-Ma’ad…, hal. 10.
[45] Raghib al-Asfahani, Mu’jam Alfazh al-Qur’an…, hal. 208.
[46] Lihat Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah al-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Kamil, terj. Oleh: Achmad Munir Badjeber, dkk, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2007), hal. 1167.
[47] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an…, hal. 510.
[48] Q.S. 28: 50.
[49] Q.S. 29: 6.
[50] Hassan al-Banna, Jihad Bukan Konfrontasi…, hal. 99-110.
[51] Hassan al-Banna, Jihad Bukan Konfrontasi…, hal. 111-112.
[52] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam…, hal. 137-138.
[53] Lihat Sayid Quthb, Fi Zilal Al-Qur’an, jil. 1, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1984), hal. 444-445.
[54] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam…, hal. 138.
[55] Abu A’la al-Maududi, Jihad Bukan Konfrontasi…, hal. 31.
[56] Abu A’la al-Maududi, Jihad Bukan Konfrontasi…, hal. 33.
[57] Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh al-Jihad…, hal. 26.
[58] Abdullah Azzam, Fi Tarbiyah Jihadiyah Wa al-Bina’…, hal. 296.
[59] Lihat Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh al-Jihad…, hal. 26.
[60] Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh al-Jihad…, hal. 287.
[61] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, jil. 2, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hal. 320.
[62] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, jil. 4…, hal. 155.
[63] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, jil. 2…, hal. 312.
[64] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam…, hal. 138.
[65] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam…, hal. 142.

0 Response to "INTERPRETASI JIHAD DALAM ISLAM"