UPAYA MEMBUMIKAN DIMENSI TRANSENDENTAL DITENGAH KERAGAMAN SUKU, BUDAYA DAN AGAMA

blogger templates


Nurul Mubin, M.S.I
(Dosen dan Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
(P2M) UNSIQ Wonosobo. Kini sedang mengikuti Program Doktor UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta)

Jika dirunut dari akar teologisnya, multikulturalisme dapat ditemukan dalam beberapa penjelasan yang tertuang di dalam beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya adalah terdapat dalam Q.S. al-Hujurat ayat 13. Di sana dikatakan, Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan tanpa membeda-bedakan derajatnya. Tuhan juga menjadikan umat manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa, dan berkelompok-kelompok. Semua dipandang sama oleh Tuhan. Tujuannya cuma satu: “li ta’arafu” (untuk saling mengenal satu sama lain secara baik).
Ayat di atas, tidak hanya mengisyaratkan bagaimana al-Qur’an memotret realitas perbedaan suku, agama, bahasa, dan lain sebagainya. Tapi juga bagaimana sikap al-Qur’an terhadap pluralitas atau keragaman itu sendiri, yakni bahwa manusia tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin, suku, bangsa, dan seterusnya. “Yang membedakan mereka adalah kadar ketakwaannya kepada Tuhan.”
“Hai Manusia, Sesungguhnya telah Ku-ciptakan kalian sebagai laki-laki
dan perempuan, dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu
di depan Allah adalah mereka yang paling bertakwa
Ayat di atas bagi penulis sangat jelas, bukan hanya cara al-Qur’an mengungkapkan realitas plural dan multikultural umat manusia di dunia ini, tetapi lebih-lebih pada sikap al-Qur’an terhadap realitas plural dan multikultural itu sendiri. Perhatikanlah mukhottob atau lawan bicara Tuhan di situ. Bukan hanya umat Islam tetapi umat manusia, Hai manusia! Dan perhatikan pula akhir ayat tersebut, bahwa mereka atau individu yang paling mulia bukanlah suku Arab, Aria, Eropa, Kulit Putih atau kulit Hitam, melainkan mereka yang paling bertaqwa kepada Tuhannya.
Kalau kita melihat dan merenungi ayat ini sebenarnya kita sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Sudah terlalu jelas apa yang dimaui al-Qur’an yang sudah seharusnya menjadi pedoman bagi kehidupan umat Islam di mana pun, dan tentu saja umat-umat beragama lainnya. Teologi multikultural hadir dalam rangka mengoptimalkan peran agama sebagai faktor integrasi dan pemersatu. Al-Qur’an, misalnya, memuat banyak sekali ayat yang bisa dijadikan asas untuk menghormati dan melakukan rekonsiliasi di antara sesama manusia. Dalam tulisan ini dapat dikemukkan contoh sebagai berikut;. Pertama, al-Qur’an menyatakan bahwa; dulu manusia adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus para Nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberikan keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.\
“Tidak berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan- keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendakNya. Dan Allah selalu member petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki kepada jalan yang lurus

Dengan ayat ini, al-Qur’an menegaskan konsep kemanusiaaan universal Islam yang mengajarkan bahwa umat manusia pada mulanya adalah satu. Perselisihan terjadi disebabkan oleh timbulnya berbagai vested interest masing-masing kelompok manusia. Yang masing-masing mereka mengadakan penafsiran yang berbeda tentang suatu hakikat kebenaran menurut vested interest-nya.
Kedua, meskipun asal mereka adalah satu, pola hidupnya menganut hukum tentang kemajemukan, antara lain karena Allah menetapkan jalan dan pedoman hidup yang berbeda-beda untuk berbagai golongan manusia. Perbedaan itu seharusnya tidak menjadi sebab perselisihan dan permusuhan, melainkan pangkal tolak bagi perlombaan untuk melakukan berbagai kebaikan. Al-Qur’an menyebutkan;
“….. Untuk tiap-tiap manusia diantara kamu, Kami berikan jalan dan pedoman hidup. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat saja.
Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah- lah kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. Sehingga dari kedua ayat diatas dapat saya tarik kesimpulan bahwa; betapapun perbuatan yang terjadi pada manusia di bumi ini, namun hakikat kemanusiaan akan tetap dan tidak akan berubah. Yaitu fitrahnya yang hanif, sebagai wujud perjanjian primordial (azali) antara Tuhan dan Manusia sendiri. Responsi atau timbal balik manusia kepada ajaran tentang kemanusiaan universal adalah kelanjutan dan eksistensialisme dari perjanjian primordial itu dalam hidup di dunia ini.
Dari penjelasan beberapa ayat tersebut, jelaslah bahwa dalam pandangan Islam, multikultural adalah sunatullah yang tidak bisa dipungkiri. Justru dalam dalam multikulural itulah terdapat nilai-nilai penting dalam membangunan kesadaran Iman. Sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an yang artinya sebagai berikut:
“Da diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, adalah menciptakan langit dan bumi yang berlainan bahasa dan kulitmu. Sesungguhnya pada demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui.”
Selain itu, kita juga harus membutuhkan sebuah artikulasi atau penjabaran suatu visi dari dalam yang baru tentang manusia. Sekarang menjadi suatu keharusan bahwa semua agama harus mengambil bagian. Sekurang-kurangnya untuk sebagian dari sebuah visi dari dalam, sebuah konsep manusia mengenai dirinya sendiri, sesama, bahkan dengan orang yang menyatakan dirinya tidak beragama sekalipun. Selain itu, kajian secara teologis juga ditunjukkan dalam ayatayat al-Qur’an tersebut yang berkenaan dengan multikulturalisme, Islam juga memberikan beberapa prinsip yang berhubungan dengan multikulturalisme ini. Diantaranya adalah; 1) Prinsip egalitarianism (al-musawat) yang memandang manusia memiliki derajat yang sama. Pada ayat ini secara teologis menjelaskan bahwa harkat dan martabat manusia ditentukan oleh kualitas ketaatannya kepada sang pencipta. Penyetaraan derajat sesama manusia ini akan menghilangkan jurang pemisah diantara manusia. 2). Prinsip keadilan (al-‘adalah). Prinsip ini akan semakin meneguhkan keberadaan manusia dalam kehidupan ini untuk senantiasa bertindak adil kepada sesama manusia meskipun berbeda kultur, agama, ras dan latar belajar sosialnya. (3) Prinsip toleransi (tasamuh). Sikap ini adalah sikap untuk menghargai atas perbedaan pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. (4) Prinsip saling menghormati, kerjasama dan pertemanan. (5) Prinsip ko-eksistensi damai (al ta’ayusy al-silmi). Prinsip ini merupakan dasar hubungan antar manusiasesuai dengan arti generik Islam itu sendiri, yaitu damai. (6) Dialog yang aktif dan konstruktif –transformatif (mujadalat bil –al-hasan).

0 Response to "UPAYA MEMBUMIKAN DIMENSI TRANSENDENTAL DITENGAH KERAGAMAN SUKU, BUDAYA DAN AGAMA"