ISLAM DAN DEMOKRASI

blogger templates


Samsul Munir
Penulis adalah Dekan dan Lektor Kepala pada Program Studi Komunikasi
dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Komunikasi dan Sosial Politik,
Universitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ) Jawa Tengah di Wonosobo. Saat ini
sedang menyelesaikan Program Doktor (S3) di Islamic Studies IAIN
Walisongo Semarang.

Dilihat basis empiriknya, agama dan demokrasi memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya sendiri. Namun begitu tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi. Dalam perspektif Islam elemen-elemen demokrasi meliputi: syura, musawah, ‘adalah, amanah, masuliyyah dan hurriyyah. Islam menaruh perhatian yang serius terhadap aplikasi kristalisasi nilai-nilai demokrasi. Sebagai rahmatan lil’alamin, Islam memiliki tujuan yang terakumulasi dalam lima prinsip universal (kulliatul khams); yakni menjamin kebebasan beragama (hifdz al-din), memelihara nyawa (hifdz al-nafs), menjaga keturunan dan profesi (hifdz al-nasl wa al-irdl), menjamin kebebasan berekspresi dan berpikir (hifdz al-aql), dan memelihara harta benda (hifdz al-mal). Kelima prinsip tersebut, dewasa ini sangat relevan dengan prinsip-prinsip HAM yang menjadi pilar demokrasi.
            Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat “cratein” atau “cratus” yang berarti kekuasaan dan kedudukan, jadi secara istilah demokrasi adalah keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada ditangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat. Demokrasi secara sederhana dapat diartikan sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Sistem ini menuntut partisipasi langsung warga suatu bangsa untuk menentukan roda pemerintahan.. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan, selain memiliki kewajiban, juga mempunyai hak. Hal ini bertolak belakang dengan sistem monarchi absolut yang menjadi trend sistem pemerintahan pra-abad ke-18. Diskursus demokrasi mulai berkembang pada apad ke-17 dan 18 Masehi. Kehadirannya sebagai respon atas absolutism raja-raja dan kaum feodal kala itu. Gap antara kelas atas (penguasa) dengan kelas bawah (rakyat) menghendaki adanya gagasan persamaan derajat (almusawah), suatu perlakuan yang sama di hadapan hukum, penegakan keadilan dengan tanpa pandang bulu (al’adalah) kebebasan berekspresi (al-huriyyah).
            Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiomidiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dan seterusnya. Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadi “pemerintah” bagi dirinya sendiri, dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yang bertanggung jawab atas tugasnya. Karena alasan inilah maka lembaga legislatif di dunia Barat menganggap sebagai pioner dan garda depan demokrasi.
            Secara normatif, Islam menekankan pentingnya ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar bagi semua orang, baik sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin negara. Doktrin tersebut merupakan prinsip Islam yang harus ditegakkan dimana pun dan kapan saja, supaya terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera. Antara agama dan demokrasi memang terdapat hal-hal yang membedakannya. Demokrasi menyamakan derajat dan kedudukan semua warga Negara di muka undang-undang, dengan tidak memandang asal-usul etnis, agama, jenis kelamin dan bahasa ibu. Sedangkan tiap agama tentu lebih dahulu cenderung untuk mencari perbedaan atas dasar hal tersebut di atas, minimal perbedaan agama dan keyakinan.

0 Response to "ISLAM DAN DEMOKRASI"