penalaran Ibn Hazm

blogger templates
BAB I
PENDAHULUAN
            Sesuai dengan namanya, mazhab al-Zhahiri dikenal sangat berpegang teguh terhadap arti lahir (zahir) dari nash tanpa mempertimbangkan pada penalaran rasio (ra’yu) dalam pemikiran dan ijtihadnya. Mazhab ini didirikan oleh Dawud al-Asfahani[1], seorang pengagum berat Imam Syafi’i yang dianggapnya sangat berpegang kepada nash Alquran dan Sunnah. Namun dari metode ijtihad Imam Syafi’i, Dawud mengambil sikap untuk hanya berpedoman terhadap nash semata (baik Alquran dan Hadis) seraya meniadakan qiyas atau ra’yu.
            Dalam perkembangan selanjutnya, mazhab ini mencapai masa kegemilangannya pada masa Ibn Hazm al-Andalusi[2]. Melalui tokoh ini Mazhab al-Zhahiri tumbuh kuat di Andalusia. Namun, karena kematiannya pula, mazhab ini dalam waktu relatif singkat menjadi lemah. Ciri utama pemikiran Ibn Hazm adalah sandarannya yang kuat terhadap arti lahir nash ketika menetapkan dan menyimpulkan suatu hukum dengan tanpa berpaling kepada teori-teori ijtihad bi al-ra’yi seperti yang dilakukan oleh jumhur fuqaha (qiyas, istihsan, atau mashlahah al-mursalah).[3]
            Selain Alquran, Hadis dan Ijma’ Sahabat, sumber hukum lain yang digunakan oleh Ibn Hazm ketika meng-istinbath-kan hukum adalah teori al-Dalil. Al-Dalil tidak lain merupakan penerapan nash juga, hanya saja penggunaan teori ini sangat berkaitan erat dengan penguasaan ilmu mantiq (logika). Al-Dalil menurut Ibn Hazm tidaklah keluar dari nash atau ijma’, ia berbeda dengan qiyas karena qiyas adalah dasarnya mengeluarkan ‘illat dari nash dan memberikan hukum kepada segala yang terdapat pada ‘illat itu. Sedangkan al-Dalil merupakan bagian dari nash itu sendiri.[4]
            Oleh karena itu di dalam pembahasan makalah ini, penulis akan membahas tentang penalaran Ibn Hazm, yang meliputi berbagai sub pembahasan di antaranya adalah makna burhan menurut Ibn Hazm, tertib al dalil menurutnya, penolakannya terhadap ‘illat dan qiyas, sampai kepada cara Ibn Hazm dalam menggunakan dan memahami dalil dan juga dalam menetapkan hukum kepada permasalahan yang baru.















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Makna Burhan Menurut Ibn Hazm
Nalar burhani adalah metode penalaran Aristoteles beserta segenap pandangan-pandangan ilmiah filsafatnya. Pemikiran hukum Islam yang memiliki kecenderungan rasional-filosofis pada dasarnya hanya “meminjam” penalaran secara burhan sebagai dasar pijakan untuk menganalisis maksud teks Alquran dan Sunnah sebagai sumber hukum Islam. Dalam sejarah hukum Islam, kecenderungan burhani dalam hukum Islam ini sebenarnya telah dipraktekkan oleh para ahli hukum Islam di Andalusia seperti Ibn Hazm, Ibn Rusyd dan al-Syatibi, sesuai dengan perkembangan pemikiran rasional-filosofis ketika itu.[5]
Ibn Hazm sangat menghargai logika Aristoteles, menganjurkan penggunaannya serta mencela orang yang menolaknya. Lebih dari itu, ia merupakan ulama pertama yang menerjemahkan (mengarang) logika Aristo ke dalam bahasa Arab dengan contoh-contoh fiqh. Mungkin karena penguasaan yang mendalam atas logika, maka walaupun mengaku berkecenderungan zhahiriah, di dalam kenyataannya beliau tidaklah betul-betul zhahiriah. Ibn Hazm cenderung berpendapat bahwa setiap lafaz (konsep) dalam Alquran serta hadis bersifat unik. Artinya tidak ada lafaz yang sinonim dan karena itu tidak ada aturan (hukum) yang betul-betul sama.[6]
Ibn Hazm menyatakan bahwa tidak ada jalan untuk mencapai dan memperoleh suatu pengetahuan kecuali melalui dua cara, yaitu pertama, melalui postulat-postulat aksiomatik yang diberikan akal dan persepsi inderawi, kedua, melalui prinsip-prinsip penalaran yang berasal dari aksioma akal dan persepsi inderawi. Namun demikian, menurutnya, dalam syari’ah perlu dibedakan antara apa yang bisa dijangkau oleh akal dan yang tidak bisa dijangkau olehnya. Akal semata, misalnya, tidak bisa menetapkan bahwa “babi itu haram atau halal, shalat dzuhur ada empat rakaat dan shalat maghrib ada tiga rakaat”. Dalam konteks ini, akal tidak punya peran baik dalam mengukuhkannya maupun untuk menolaknya. Namun hal ini tidak berarti bahwa akal tidak  mempunyai peran dalam syari’ah. Hukum-hukum syari’ah mirip dengan hukum-hukum alam.[7]
Menyangkut hukum alam, harus bertolak dari pengamatan induktif atas beberapa fenomena yang terdapat di alam ini sebelum akhirnya sampai pada satu kesimpulan umum. Sementara dalam syari’ah, juga ditemukan hal yang serupa. Nash-nash yang jelas seperti fenomena-fenomena alam yang jelas, dinyatakan sebagai satu data dari sekian data-data agama yang tidak bisa diubah dan diganti, baik dengan qiyas, ijma’, maupun yang lain. Bila tidak ada nash, kewajiban seorang muslim untuk mencari dan merumuskan satu “dalil” atau pembuktian rasional, yakni dengan cara meneliti secara induktif (istiqra’) teks-teks agama, lalu dijadikan premis-premis yang kemudian digunakan untuk menarik satu keputusan hukum.[8]
Ibn Hazm memandang qiyas sebagai dasar hukum yang tidak valid. Sebagai ganti qiyas, Ibn Hazm memegang al-dalil. Al-dalil menurutnya merupakan metode penetapan hukum dengan cara meneliti secara induktif teks-teks syari’ah, lalu menarik satu kesimpulan hukum darinya untuk kemudian dipakai sebagai satu dari kedua premis tersebut. Sementara premis kedua jika bukan merupakan teks syari’ah, maka ia merupakan rumusan akal yang bersifat apriori. Dengan demikian, dalam pandangan Ibn Hazm, premis-premis penalaran atau dalil itu merupakan premis-premis burhani dalam syari’ah.[9]
B.     Tertib Dalil Menurut Ibn Hazm
Ibn Hazm menggunakan konsep al-dalil ketika tidak ada nash dalam persoalan tertentu, guna menjawab persoalan yang baru muncul akibat perubahan sosial. Al-dalil adalah sesuatu yang diambil secara langsung dari nash atau ijma’ dan dipahami secara langsung dari segi dilalah keduanya. Kendati al-dalil bukan nash atau ijma’, tetapi secara essensial memiliki kesamaan dengan keduanya; namun tidak sama dengan qiyas.
Ibn Hazm dengan tegas menolak anggapan orang-orang yang menyamakan al-dalil dengan qiyas, begitu juga anggapan orang-orang yang menganggap bahwa konsep al-dalil ini telah membuatnya keluar dari nash dan ijma’. Ibn Hazm menyatakan bahwa al-dalil diambil langsung dari nash dan dari ijma’ dengan tertib sebagai berikut:[10]
Al-dalil yang diambil dari ijma’ dibagi menjadi empat macam dan kesemuanya itu merupakan bagian dari ijma’ itu sendiri, yaitu: istishab al-hal, aqallu ma qilla, ijma’ untuk meninggalkan pendapat tertentu dan ijma’ tentang universalitas hukum.[11]
1.      Istishhab al-hal, yaitu kekalnya hukum ashl yang telah tetap berdasarkan nash, hingga adanya dalil tertentu yang menunjukkan adanya perubahan. Konsep istishhab dalam aliran Zahiri tidak didasarkan pada akal, tetapi pada nash Alquran yang bersifat umum, yaitu firman Allah swt: “…dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan” (Q.S. al-Baqarah: 36).
Ayat tersebut merupakan nash bagi hukum ibahah yang terus berlaku sehingga terdapat dalil yang mengatur adanya pergeseran hukum. Ketika hukum suatu masalah tidak diatur oleh dalil dari nash atau ijma’, maka ia ditetapkan mubah atas dasar al-dalil dalam bentuk istishhab.
2.      Aqallu ma qilla, yaitu target minimal atau terendah dari suatu ukuran yang diperselisihkan. Apabila ulama ber-ikhtilaf tentang ukuran atau kadar yang wajib ditunaikan, seperti zakat dan harta warisan, al-Zahiri berpendirian bahwa ia mengambil target minimal atau ukuran terendah dari ukuran yang di-ikhtilaf-kan.
3.      Ijma’ untuk meninggalkan pendapat tertentu. Apabila timbul berbagai pendapat di kalangan ulama mengenai suatu masalah dan mereka sepakat untuk meninggalkan salah satunya, kesepakatan mereka merupakan al-dalil bagi batalnya pendapat itu.
4.      Ijma’ tentang universalitas hukum. Apabila suatu hukum ditujukan untuk sebagian kaum muslimin, pada dasarnya hukum tersebut dipandang berlaku secara umum untuk segenap umat Islam atas dasar kesamaan kedudukan mereka di hadapan hukum, selama tidak terdapat nash tertentu yang menunjukkan kekhususan berlakunya hukum itu untuk sebagian dari mereka.[12]
Sedangkan al-dalil yang diambil dari nash terbagi menjadi tujuh, yaitu:[13]
1.      Dua proposisi (muqaddimah) yang terdiri dari nash, kemudian menghasilkan natijah yang tidak terdapat di dalam nash. Seperti sabda Rasulullah saw: “kullu muskirin khamrun wa kullu khamrun haram” dan natijah kullu muskirin haram adalah al-dalil menurut Ibn Hazm.
2.      Syarat yang tergantung dengan sifat tertentu, maka wajib untuk menetapkannya sesuai dengan syarat tersebut. Contoh dalam Alquran surat al-Anfal ayat 38: “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu…”, maka dengan ini benar bahwa setiap yang berhenti (dari kekafiran) akan diampuni oleh Allah swt.
3.      Lafaz yang dipahami dengan makna tertentu, kemudian lafaz tersebut diungkapkan dengan pernyataan lain yang semakna (al-mutala’imat). Contoh firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 114: “…sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” Maka dapat dipahami secara dharuri bahwa ia (Ibrahim) bukanlah orang yang safih (jahat, kasar). Begitu juga dengan lafaz الضيغم، الأسد، الليث، الضرغام، وعنبسة semuanya nama-nama tersebut mempunyai makna yang sama, yaitu singa.
4.      Sesuatu yang bukan wajib dan bukan haram, hukumnya adalah mubah. Menurut Abu Zahrah, al-dalil ini pada dasarnya adalah istishab, yakni hukum asal segala sesuatu adalah mubah sebelum ada dalil nash yang mengharamkannya atau mewajibkannya.[14]
5.      Qadhaya Mudarrajat yaitu pemahaman bahwa derajat tertinggi dipastikan berada di atas derajat yang lain di bawahnya. Ibn Hazm mencontohkan, apabila terdapat pernyataan bahwa Abu Bakar lebih utama dari Umar dan Umar lebih utama dari Utsman, maka makna lainnya adalah Abu Bakar lebih utama dari Utsman.
6.      ‘Aks Qadhaya, di mana bentuk proposisi kulliyat, dibalik ke dalam bentuk proposisi juz’iyyat, seperti pernyataan; “setiap yang memabukkan adalah khamr” dibalik menjadi “sebagian dari hal yang diharamkan adalah yang memabukkan”.
7.      Cakupan makna yang merupakan keharusan untuk menyertai makna yang dimaksud, atau suatu lafaz mempunyai makna hakiki, namun juga memiliki beberapa makna yang otomatis menempel padanya. Seperti ungkapan “Zaid sedang menulis” dalam kalimat ini mengandung makna bahwa Zaid itu hidup, mempunyai anggota badan yang dapat digunakan untuk menulis. Atau contoh lainnya firman Allah: “Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati” maka dengan demikian, zaid, hindun, atau ‘umar pasti akan mati, walaupun nash tidak menyebutkan namanya.

C.    Penolakan terhadap ‘Illat dan Qiyas
a.      Penolakannya terhadap ‘Illat
Ini merupakan perbedaan antara fiqih ahlu dzahir dengan jumhur fuqaha. Jumhur bersepakat bahwa hukum yang ditetapkan Syari’--secara umum--selalu memiliki alasan logis (‘illat). Setiap nash yang di-syari’at-kan mempunyai tujuan atau maqashid yang dapat mengatur semua urusan baik berkenaan dengan agama maupun dunia. Oleh sebab itu, syari’at perlu diperluas sesuai dengan perkembangan manusia. Hal ini dikarenakan nash jumlahnya terbatas, sedangkan permasalahan baru yang muncul di dalam kehidupan manusia tidaklah terbatas. Maka illat dari sebuah nash perlu dikeluarkan agar dapat meng-istinbath-kan hukum dengan qiyas.
Namun berbeda dengan pendapat jumhur, Ibn Hazm menolak keberadaan ‘illat di dalam nash, karena menurutnya setiap nash atau hukum hanya terkait dengan masalah tertentu saja tanpa ‘illat yang bisa diterapkan kepada masalah yang lain.[15] Ibn Hazm menyatakan, kami tidak menolak apa yang di-nash-kan oleh Allah dan Rasul-Nya, yang kami tolak adalah ‘illat yang dikeluarkan dari akal, lalu dinyatakan dari Allah dan Rasul-Nya.[16]
Dalam menguatkan pendapatnya bahwa nash-nash syar’i tidak perlu dicari ‘illat-nya, Ibn Hazm berpegang  pada firman Allah:
Ÿw ã@t«ó¡ç $¬Hxå ã@yèøÿtƒ öNèdur šcqè=t«ó¡ç ÇËÌÈ  
Artinya: “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” (Q.S. Al-Anbiya’: 23)
Apabila perbuatan Allah tidak bisa di-ta’lil, maka tidak ada ‘illat di dalam syari’at. Jadi tidak perlu mencari ‘illat dari sebuah nash, karena mencari ‘illat dari sebuah nash sama saja dengan mencari ‘illat dari perbuatan Allah.[17]
Dengan demikian, terdapat perbedaan pandangan antara jumhur dengan Ibn Hazm atau zhahiriah. Jumhur melihat perlunya ta’lil nushush sehingga dapat mengatur semua perkara dunia dan membangun fiqih ra’yi terhadap permasalahan yang tidak tercakup di dalam nash. Sedangkan kelompok zhahiri berpandangan tidak adanya ta’lil nushush, bahkan mereka menggunakan sebuah nash tanpa berusaha mencari ‘illat-nya dan juga tidak men-ta’diyah-kan hukum kepada selain yang ditetapkan oleh nash.
b.      Penolakannya terhadap Qiyas
Ibn Hazm adalah musuh besar bagi qiyas. Menurutnya, tidak ada peran logika di dalam ilmu-ilmu keagamaan. Ia mempunyai pemikiran yang mendalam tentang Alquran dan menemukan hanya tiga sumber hukum, yaitu: Alquran, Sunnah dan Ijma’. Sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Hasan, Ibn Hazm berpendapat bahwa kaum Muslimin tidak dituntut untuk mencari sebab-sebab perintah Tuhan. Jika seseorang mengambil sebab suatu ketetapan hukum dan menganggap bahwa itu juga yang dikehendaki Tuhan, hal itu merupakan keputusan yang sewenang-sewenang.[18]
Dalam menolak qiyas, Ibn Hazm juga menolak dalil yang dijadikan pegangan qiyas oleh jumhur ulama dan berusaha melemahkannya. Jumhur biasanya menggunakan dalil “fa’tabiru ya uli al-abshar” (al-Hasyr: 2) dengan mengartikan “i’tabiru” dengan “qisu”. Menurut Ibn Hazm “i’tabiru” tidak dapat diartikan “qisu”, makna “i’tabiru” adalah “ta’ajjabu wa ta’adzu” sebagaimana dalam surat al-Nahl: 66-67:
¨bÎ)ur ö/ä3s9 Îû ÉO»yè÷RF{$# ZouŽö9Ïès9 ( /ä3É)ó¡S $®ÿÊeE Îû ¾ÏmÏRqäÜç/ .`ÏB Èû÷üt/ 7^ösù 5QyŠur $·Yt7©9 $TÁÏ9%s{ $Zóͬ!$y tûüÎ/̍»¤±=Ïj9 ÇÏÏÈ   `ÏBur ÏNºtyJrO È@ϨZ9$# É=»uZôãF{$#ur tbräÏ­Gs? çm÷ZÏB #\x6y $»%øÍur $·Z|¡ym 3 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ZptƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbqè=É)÷ètƒ ÇÏÐÈ  
Artinya: “Dan sungguh pada hewan ternak itu benar-benar terdapat pelajaran (la’ibrah) bagi kamu, Kami memberimu minum dari apa yang ada dalam perutnya (berupa) susu murni antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang meminumnya (66) Dan dari buah kurma dan anggur, kamu membuat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sungguh pada demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang mengerti (67)”.
Ibn Hazm mengartikan kata la ’ibrah pada ayat di atas dengan makna mau’idzah (pelajaran).[19] Sedangkan di dalam Mulakhkhas Ibthal al-Qiyas, Ibn Hazm juga membantah ayat yang menjadi dalil qiyas oleh jumhur tersebut dengan menggunakan ayat “laqad ka na fi qashashihim ‘ibrah” (Yusuf: 111). Kata ‘ibrah pada ayat ini bermakna ‘ajab (takjub) bukan bermakna qiyas.[20]
Pandangan Ibn Hazm ini berbeda dengan jumhur ulama yang melihat nash sebagai sesuatu yang ma’qul al-ma’na, diturunkan bagi manusia dengan tujuan mengatur kehidupan mereka di dunia dan akhirat (maqashid syari’ah), sehingga dalam memahami nash ada yang ‘am, khas, ‘illat dan lain sebagainya. Sehingga jika Allah melarang mengkonsumsi khamar, maka harus dipelajari maksud dan tujuan diharamkannya khamar, hingga bisa dianalogikan dengan hal yang lain yang serupa, demi tercapainya tujuan dari pengharaman khamar itu sendiri.
D.    Cara Ibn Hazm dalam Menggunakan dan Memahami Dalil
            Secara umum, prinsip yang dipegang oleh Ibn Hazm adalah berdasarkan pada konsistensi nash atau mengambil penjelasan yang zhahir (zawahirun nushush) dari Alquran, Sunnah, Ijma’ Sahabat ra. dan al-Dalil. Bagi Ibn Hazm, tidak boleh ada ra’yu dalam masalah agama, barang siapa yang ber-ijtihad dengan ra’yu maka berarti ia telah membuat kebohongan terhadap Allah swt. Dengan demikian, Ibn Hazm menutup sama sekali pintu ijtihad bil ra’yi seperti qiyas, istihsan, mashalih mursalah dan sadd al-zara-i’.[21]
            Pandangannya tersebut didasarkan terhadap beberapa dalil Alquran dan Hadis, namun yang penulis kutip adalah dalil Alquran dalam surat al-Nisa’ ayat 59, Allah swt. berfirman:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
                Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
            Dari ayat tersebut, Ibn Hazm menyimpulkan bahwa sumber-sumber syari’at hanyalah Alquran, Sunnah dan Ijma’ (sahabat), ketika terjadi perselisihan maka harus kembali kepada Alquran dan Sunnah, tidak kepada selain keduanya.
            Hal yang menarik di sini adalah Ibn Hazm dengan tegas menolak ijtihad bil ra’yi, namun ia menawarkan konsep al-dalil yang termasuk di dalamnya juga ada konsep istishab, ketika ber-ijtihad untuk menggali hukum-hukum syari’at dari nash Alquran maupun Hadis. Bagi Ibn Hazm, konsep al-dalil ini tidak keluar dari jalur nash, namun penggunaan teori ini sangat berkaitan erat dengan penguasaan ilmu mantiq (logika). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penalaran ra’yu tidak bisa dilepaskan sama sekali dalam ber-ijtihad atau menetapkan hukum.
E.     Cara Ibn Hazm dalam Menetapkan Hukum pada Permasalahan Baru
            Sebagaimana yang kita ketahui sebelumnya bahwa fikih Ibn Hazm adalah fiqh al-nushush dalam artian bahwa dalam berijtihad ia selalu mengutamakan dalil dari Alquran dan Hadis tanpa berpaling kepada ijtihad bi al-ra’yi. Namun, ketika dihadapkan terhadap persoalan tertentu yang tidak tercakup di dalam nash, Ibn Hazm menggunakan konsep al-dalil dan istishab yang merupakan pengembangan dari al-dalil tersebut.
Menurut Ibn Hazm, nash menunjukkan prinsip ibahah ashliyah bagi segala sesuatu sampai ada nash lain yang memalingkannya dari prinsip itu baik berupa larangan atau kewajiban. Berbeda dengan  jumhur ulama yang menyatakan bahwa istishab berdasarkan pada penalaran akal, Ibn Hazm justru menyatakan bahwa yang menjadi sandaran istishab adalah nash. Apa yang telah ditetapkan oleh nash mengenai status hukumnya maka status hukum itu berlangsung terus hingga ada dalil lain yang mengubahnya.[22] Lebih lanjut, Ibn Hazm mendefiniskan istishab dengan:[23]
بقاء حكم الأصل الثابت بالنصوص حتى يقوم الدليل على التغيير
“Tetapnya hukum asal yang telah ditetapkan dengan nash sehingga ada dalil yang mengubahnya”.
Ibn Hazm menegaskan bahwa perubahan esensi dari sesuatu yang dihukumi oleh nash tidak diragukan lagi mengakibatkan perubahan status hukumnya, misalnya arak yang berubah menjadi cuka maka hukumnya berubah dari haram menjadi halal, atau seperti daging babi atau bangkai yang dimakan oleh ayam maka batal status keharamannya sehingga memakan daging ayam itu hukumnya tetap halal.[24]
Contoh penerapan metode istishab yang dilakukan oleh Ibn Hazm dapat dilihat pada permasalahan dan kesucian air, Ibn Hazm berpendapat bahwa air yang suci dan halal bila terkena najis atau sesuatu yang haram namun tidak mengubah warna, rasa dan baunya; maka air tersebut tetap halal untuk diminum dan digunakan, dalam artian ber-wudhu’ dan bersuci tetap boleh dengan air tersebut.[25] Ibn Hazm mengajukan kaedah pada permasalahan ini:[26]
إن ما ثبت حله لا يزول الحل إلا بدليل أو بأمر يغير ذاته
“Sesungguhnya apa yang telah tetap kehalalannya tidaklah hilang kehalalan tersebut kecuali adanya dalil atau suatu hal yang mengubah dzatnya”.
Dalam hal ini, Ibn Hazm tidak membedakan antara air yang banyak atau sedikit, air yang mengalir atau tenang, pada pokoknya selama air tersebut tidak berubah setelah terkena najis maka hukumnya tetap suci dan dapat dimanfaatkan sesuai kegunaanya.




BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa walaupun Ibn Hazm seorang yang literalis dengan menolak semua model ijtihad bi al-ra’yi, namun ketika meng-istinbath-kan hukum ia tetap tidak bisa melepaskan diri dari unsur logika di dalam ijtihad-nya. Hal ini dapat dilihat dengan penggunaan nalar burhani yang dilakukannya, yaitu metode penalaran Aristoteles beserta segenap pandangan-pandangan ilmiah filsafatnya. Di samping itu, ia juga mengembangkan konsep al dalil terhadap permasalahan tertentu yang tidak terjawab di dalam nash. Meskipun menurut Ibn Hazm konsep al dalil ini belum keluar dari jalur nash, namun penggunaan teori ini sangat berkaitan erat dengan penguasaan ilmu mantiq (logika).
Selain al dalil, Ibn Hazm juga menggunakan teori istishab guna menetapkan hukum pada permasalahan baru. Istishab yang dilakukannya merupakan pengembangan dari metode al dalil. Ibn Hazm justru menyatakan bahwa yang menjadi sandaran istishab adalah nash. Nash menunjukkan prinsip ibahah ashliyah bagi segala sesuatu sampai ada nash lain yang memalingkannya dari prinsip itu baik berupa larangan atau kewajiban. Apa yang telah ditetapkan oleh nash mengenai status hukumnya maka status hukum itu berlangsung terus hingga ada dalil lain yang mengubahnya.








DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hasan. Qiyas; Penalaran Analogis di Dalam Hukum Islam. terj. Oleh: Munir. Bandung: Penerbit Pustaka. 2001.
Al Yasa Abubakar. Metode Istishlahiyah. Banda Aceh: Bandar Publishing. 2012.
Ibn Hazm. al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. jilid 2. Beirut: Dar Kutub al-‘Ilmiyah. t.th.
------------. al-Nubadz fi Ushul Fiqh. Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah. 1981.
-----------. Mulakhkhash Ibtal al-Qiyas wa al-Ra’yu wa al-Istihsan wa al-Taqlid wa al-Ta’lil. Damaskus: Jami’ah Dimasyq. 1960.
-----------. al-Muhalla bi al Atsar. Jil. I. Kairo: Idarah li at-Thiba’ah al-Munirah. t.th.
Jaih Mubarok. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. cet. II. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2000.
Muhammad Abu Zahrah. Ibn Hazm: Hayatuhu wa ‘Ashruhu-Ara’uhu wa Fiqhuhu. Kairo: Dar al-Fikr al-Araby. 1997.
Rahman Alwi. Metode Ijtihad Mazhab al-Zahiri; Alternatif Menyongsong Modernitas. Jakarta: Gaung Persada Press. 2005.
Agus Moh. Najib. Nalar Burhani Dalam Hukum Islam; Sebuah Penulusuran Awal. Diakses di situs  http://digilib.uin-suka.ac.id/8396/1/AGUS%20MOH.%20NAJIB%20NALAR%20BURHANI%20DALAM%20HUKUM%20ISLAM%20(SEBUAH%20PENELUSURAN%20AWAL).pdf. pada tanggal 24 0ktober 2013.





[1] Nama lengkapnya adalah Abu Sulaiman Daud ibn Ali al-Asfahani yang kemudian dikenalkan dengan nama Daud al-Zahiri. Beliau dilahirkan di Kufah dalam tahun 202 H, dibesarkan di Bagdad dan wafat di sana dalam tahun 270 H. Mula-mula beliau bermadzhab Syafi’i, dan amat teguh memegang hadis. Beliau pernah belajar pada Ishaq ibn Rahawaih, salah seorang fuqaha’ Madrasah Al Hadis, pada tahun 233 H.

[2] Nama lengkap Imam Ibn Hazm adalah Ali ibn Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm ibn Ghalib ibn Shalih bin Abi Sufyan ibn Yazid, di juluki dengan Abu Muhammad. Ia lahir di Cordova pada hari terakhir di bulan Ramadhan 384 H dan wafat pada tahun 456 H. Guru pertama Ibn Hazm adalah Abu Umar ibn Muhammad ibn al-Jaswar sebelum tahun 400 H. Sedangkan di bidang logika adalah Muhammad ibn al-Hasan al-Madzhaji yang dikenal dengan sebutan “Ibn al-Kattani”. Ibn Hazm belajar hadis dan fiqih kepada al-Husain ibn Ali al-Farisy dan Ahmad ibn Yusuf.

[3] Rahman Alwi, Metode Ijtihad Mazhab al-Zahiri; Alternatif Menyongsong Modernitas, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2005), hal. 19.
[4] Rahman Alwi, Metode Ijtihad Mazhab al-Zahiri…, hal. 84.
[5] Agus Moh. Najib, Nalar Burhani Dalam Hukum Islam; Sebuah Penulusuran Awal, diakses di situs http://digilib.uin-suka.ac.id/8396/1/AGUS%20MOH.%20NAJIB%20NALAR%20BURHANI%20DALAM%20HUKUM%20ISLAM%20(SEBUAH%20PENELUSURAN%20AWAL).pdf, pada tanggal 24 0ktober 2013, hal. 3.

[6] Al Yasa Abubakar, Metode Istishlahiyah, (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2012), hal. 231.
[7] Agus Moh. Najib, Nalar Burhani Dalam Hukum Islam…, hal. 12.

[8] Agus Moh. Najib, Nalar Burhani Dalam Hukum Islam…, hal. 12-13.

[9] Agus Moh. Najib, Nalar Burhani Dalam Hukum Islam…, hal. 18.
[10] Lihat Ibn Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, jilid 2, (Beirut: Dar Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), hal. 100.

[11] Ibn Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, jilid 2…, hal. 100.
[12] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, cet. II, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 158.

[13] Ibn Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, jilid 2…, hal. 100-101.

[14] Muhammad Abu Zahrah, Ibn Hazm: Hayatuhu wa ‘Ashruhu-Ara’uhu wa Fiqhuhu, (Kairo: Dar al-Fikr al-Araby, 1997), hal. 314.
[15] Lihat Ibn Hazm, al-Nubadz fi Ushul Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, 1981), hal. 67.

[16] Ibn Hazm, Mulakhkhash Ibtal al-Qiyas wa al-Ra’yu wa al-Istihsan wa al-Taqlid wa al-Ta’lil, (Damaskus: Jami’ah Dimasyq, 1960), hal. 48.

[17] Lihat Ibn Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, jilid 2…, hal. 606. Dan lihat juga Muhammad Abu Zahrah, Ibn Hazm…, hal. 340.
[18] Ahmad Hasan, Qiyas; Penalaran Analogis di Dalam Hukum Islam, terj. Oleh: Munir, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2001), hal. 530.

[19] Ibn Hazm, al-Nubadz fi Ushul Fiqh…, hal. 62.
[20] Ibn Hazm, Mulakhkhas Ibthal al-Qiyas wa al-Ra’yi wa al-istihsan wa al-Taqlid wa al-Ta’lil…, hal. 28.

[21] Rahman Alwi, Metode Ijtihad Mazhab al-Zahiri…, hal. 64.
[22] Rahman Alwi, Metode Ijtihad Mazhab al-Zahiri…, hal. 104.

[23] Muhammad Abu Zahrah, Ibn Hazm…, hal. 320.
[24] Ibn Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, jilid 2…, hal. 6.

[25] Lihat Ibn Hazm, al-Muhalla bi al Atsar, Jil. I, masalah no: 136, (Kairo: Idarah li at-Thiba’ah al-Munirah, t.th.), hal. 135.

[26] Rahman Alwi, Metode Ijtihad Mazhab al-Zahiri…, hal. 111.

0 Response to "penalaran Ibn Hazm"