SYARI’AT ISLAM DI ACEH

blogger templates


SYARI’AT ISLAM DI ACEH
Oleh: Siti hajar
Syari’ah adalah “ajaran dan “tuntunan” mengenai tata peraturan kehidupan praktis, bagaimana cara seseorang muslim menyembah Allah (beribadah). Selain itu, Syari’ah mengajarkan seseorang muslim bagaimana berinteraksi dengan keluarga dan kerabat (hukum perkawinan dan kekeluargaan). Oleh karena itu juga, bagaimana cara ingin hidup bertetangga dengan banyak orang, hidup dalam masyarakat yang berbudaya dan bagaimana setiap orang harus menahan diri serta tidak berbuat semau-maunya, sehingga masyarakat tetap aman dan tenteram. Hal-hal demikian termasuk aturan tentang pemerintahan, mengenai pemilihan kepala pemerintahan, pembagian kekuasaan (kewenangan) dan pendelagasiannya.
Begitu juga bagaimana memperlakukan dan memanfaatkan alam sehingga bermanfaat untuk manusia dan tidak mendatangkan bencana. Aspek ajaran ini dikembangkan para ulama menjadi sebuah disiplin yang sistematis yang diberi nama fiqh atau ilmu fiqh (buku yang menjelaskan hukum-hukum dalam kedudukan seseorang sebagai diri pribadi). Dengan kata lain fiqh adalah aturan dan tuntutan mengenai perilaku lahir seseorang, baik dalam kedudukan sebagai individu, sebagai anggota masyarakat atau dalam kedudukan sebagai pejabat (petugas) Negara.[1] Maka syari’ah merupakan bagian dari ajaran Islam (aqidah, syari’ah dan akhlak), tidak identik dengan Islam itu sendiri. Tetapi dalam penggunaan sebagian masyarakat di Aceh bahkan di dalam banyak buku, syari’at Islam sering diidentikan dengan Islam itu sendiri. Jadi untuk memudahkan, syari’ah bisa dugunakan dalam dua arti, pertama dalam arti sempit yaitu salah satu aspek ajaran Islam yakni aspek yang berhubungan dengan hukum. Sedangkan dalam arti luas mencakup semua aspek ajaran Islam jadi identik atau sinonim dengan istilah Islam itu sendiri.
Ajaran Islam tidak hanya terbatas hanya pada tiga aspek, tetapi mencakup bidang lainnya yang jauh lebih luas, seluas kehidupan itu sendiri. Jadi istilah syari’ah hendaknya tidak digunakan hanya dalam arti “tradisional”, tetapi digunakan secara lebih luas sebagaimana dipahami dan diuraikan oleh ulama kontemporer yang mencakup aspek pendidikan, kebudayaan, ekonomi, politik dan aspek-aspek lainya.[2]
DASAR HUKUM PELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
Seperti telah disinggung, dengan UU Nomor 44 Tahun 1999 ini, keistemewaan yang selalu disebut-sebut sebagai ciri utama dan telah menjadi “identitas” Aceh sejak tahun 1959 itu diharap akan menjadi lebih nyata dan betul-betul dapat diimplementasikan di tengah masyarakat. Dalam penjelasan resmi Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 ini antara lain dinyatakan:
Isi Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi?1959 tentang keistemewaan Provinsi Aceh yang meliputi agama, peradatan dan pendidikan, yang selanjutnya diperkuat dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah, bahkan disertai dengan penambahan peran ulama dalam menentukan kebijakan Daerah. Untuk menindak lanjuti ketentuan-ketentuan mengenai keistemewaan Aceh tersebut dipandang perlu untuk menyusun penyelenggaraan keistemewaan Aceh tersebut dalam suatu undang-undang. Undang-undang ini dimaksudkan untuk memberikan landasan bagi provinsi Daerah Istemewa Aceh dalam mengatur urusan-urusan yang telah menjadi keistemewaan melalui kebijakan Daerah. Bertujuan mengatur hal-hal pokok untuk selanjutnya memberi kebebasan kepada daerah dalam mengatur pelaksanaannya sehingga kebijakan Daerah lebih “akomodatif” terhadap aspirasi masyarakat Aceh.
Penjelasan ini menyatakan bahwa undang-undang tersebut dibuat adalah untuk menjalankan keistemewaan yang diberikan pada tahun 1959 dahulu bahkan ditambah dengan satu keistimewaan lagi, yaitu peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Mengenai pelaksanaan Syari’at Islam, pasal 4 menyatakan:
1.      Penyelenggaraan kehidupan beragama di Daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syari’at Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat.
2.      Daerah mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan beragama, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragamana.[3]
Cakupan Syari’at Islam yang akan dilaksanakan dan beberapa istilah lain yang berkaitan dengannya dijelaskan dalam pasal 1 tentang ketentuan Umum berikut:
1.      Keistimewaan adalah kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.
2.      Kebijakan Daerah adalah Peraturan Daerah atau Keputusan Gubernur yang bersifat mengatur dan mengikat dalam penyelenggaraan keistimewaan.
3.      Syari’at Islam adalah tuntutan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.
4.      Adat adalah aturan atau perbuatan yang bersendikan Syari’at Islam yang lazim dituruti, dihormati, dan dimuliakan sejak dahulu yang dijadikan sebagai landasan hidup.[4]

PARADIGMA PELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
Tujuan Yang Ingin Dicapai Dengan Pelaksaan Syari’at Islam Secara Kaffah Di Provinsi Nanggroe Aceh Darusslam
Sekurang-kurangnya ada “empat” jawaban untuk pertanyaan ini: Pertama tujuan yang ingin dicapai dengan alasan agama (alasan teologis) bahwa pelaksanaan Syari’at merupakan perintah agama, untuk dapat menjadi muslim yang lebih sempurna, yang lebih baik dan lebih dekat dengan Allah. Kedua tujuan dengan alasan psikologis, bahwa masyarakat akan merasa aman dan tenteram karena apa yang berlaku di sekitar mereka, kegiatan yang mereka jalani dalam pendidikan dan dalam kehidupan sehari-hari serta seterusnya sesuai sejalan dengan kesadaran kata hati mereka sendiri. Ketiga tujuan dengan alasan hukum, masyarakat akan hidup dalam tata aturan yang lebih sesuai dengan kesadaran hukum, disamping rasa keadilan dan nilai-nilai yang tumbuh serta berkembang di tengah-tengah masyarakat. Keempat tujuan dengan alasan ekonomi dan kesejahteraan sosial bahwa nilai-nilai akan bertambah pada kegiatan ekonomi. Selain itu, kesetiakawanan sosial dalam bentuk tolong-menolong baik untuk kegiatan ekonomi atau kegiatan sosial akan lebih mudah terbentuk dan lebih solid. Bagi umat Islam melaksanakan Syari’at Islam secara kaffah dalam hidup keseharian, baik kehidupan pribadi ataupun kehidupan bermasyarakat adalah perintah Allah dan kewajiban suci yang harus selalu diupayakan dan diperjuangkan. Tujaan utama pelaksanaan ini pada tingkat individual adalah untuk menyempurnakan iman, agar setiap muslim dianggap sebagai

muslim yang sempurna, yang menyerah dan tunduk kepada keinginan Allah secara mutlak tanpa pamrih apapun.[5]
PERBUATAN PIDANA DAN HUKUMANNYA DALAM QANUN PROVINSI NAD
Qanun No. 11Tahun 2002
Perbuatan Pidana
Hukuman
Pasal 21
1.      Tidak melaksanak Shalat jum’at tiga kali bertutut-turut  tanpa uzur syar’i.


2.      Menyediakan fasilitas/peluang untuk tidak berpuasa bagi orang yang wajib berpuasa pada bulan Ramadhan.

Ta’zir
Penjara maksimal 6(enam) bulan atau cambuk maksimal 3 (tiga) kali.

Ta’zir
Penjara maksimal 1 (satu) tahun atau denda maksimal Rp 3.000.000,- atau cambuk 6 (enam) kali dan dicabut izin usahanya.

Qanun No.12 Tahun 2003
Perbuatan Pidana
Hukuman
Pasal 26
Mengkonsumsi minuman khamar dan sejenisnya.


Pasal 27
Memproduksi, menyediakan, menjual, memasukkan, mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan, menghadiahkan, mempromosikan minuman, khamar dan sejenisnya,
1.      Turut serta membantu memproduksi, menyediakan, menjual, memasukkan, mengedarkan, menyangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan, menghadiahkan, mempromosikan minuman khamar dan sejenisnya.

Hudud
Cambuk 40 (empat puluh) kali.



Ta’zir
Kurungan maks 1 tahun, mini 3 bulan atau denda maks Rp. 75. 000.000,- mini Rp. 25.000.000,- Sekiranya kejahatan berhubungan dengan kegiatan usaha, dapat ditambah dengan ‘uqubat administrative berupa pencabutan atau perbbbuatan izin usaha.

Qanun No.13 Tahun 2003
Perbuatan Pidana
Hukuman
Pasal 23
1.      Melakukan perbuatan Maisir (perjudian)


Ta’zir
Cambuk maksimal 12 (dua belas) kali, minimal 6 (enam) kali
2.      Menyelenggarakan dan atau memberikan fasilitas kepada orang yang akan melakukan perjudian, menjadi pelindung perbuatan perjudian
Ta’zir
Denda maksimal Rp.35.000.000,- minimal Rp.15.000.000,-

Qanun No.14 Tahun 2003
Perbuatan Pidana
Hukuman
Pasal 22
1.      Melakukan perbuatan khalwat (mesum)

Ta’zir
Cambuk maksimal 9 kali, minimal 3 kaliatau denda maksimal Rp. 1.000.000,- minimal Rp. 2.500.000,-
2.      Memberikan fasilitas atau melindungi orang melakukan perbuatan khalwat

Ta’zir
Kurungan maksimal 6 bulan, atau denda maksimal Rp.15.000.000,- minimal 5.000.000,-

Qanun No.7 Tahun 2004
Pidana Hukuman
Hukuman
Pasal 38
Tidak membayar zakat atau tidak membayar zakat menurut sebenarnya
Ta’zir
Denda maksimal 2 kali nilai zakat yang wajib dibayarkan, minimal 1 kali nilai zakat yang wajib dibayarkan.
Pasal 39
1.      Membuat surat palsu atau memalsukan surat Badan Baitul Mal  menerbitkan hak, kewajiban atau pembebasan hutang, atau sebagai keterangan atas sesuatu perbuatan. 

Ta’zir karena memalsukan surat;
Cambuk maksimal 3 kali, minimal 1 kali atau denda maksimal Rp.1.500.000,- minimal Rp.500,000,- atau kurungan maksimal 6 bulan, dan minimal 2 tahun.
Pasal 40
Melakukan, turut melakukan atau membantu melakukan penggelapan zakat atau harta agama lain yang seharusnya diserahkan kepada Badan Baitul Mal.

Ta’zir karena penggelapan;
Cambuk maksimal tiga kali, minimal 1 kali dan denda maksimal dua kali nilai zakat atau harta agama yang digelapkan, minimal satu kali nilai zakat atau, harta agama yang digelapkan.





[1] Al-yasa’ Abu Bakar, Syari’at Islam di NAD, Pradigma, Kebijakan dan Kegiatan, Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam  NAD, 2008, Hal.13-14.
[2] Ibid 19-20.
[3] Ibid… 42.
[4] Ibid….44
[5] Al-yasa’ Abu Bakar, Sekilas Syari’at  Islam di Aceh, Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam NAD, 2007, Hal.1-9.

1 Response to "SYARI’AT ISLAM DI ACEH"

Dunia Dakwah mengatakan...

SEMOGA BERMANFAAT