jidal

blogger templates


BAB I
PENDAHULUAN

Kebenaran-kebenaran yang ada dalam alam raya begitu nyata dan telah dapat dirasakan manusia. Alam ini telah mengungkapkan sendiri tanpa perlu kepada argumentasi lain untuk menyatakan kebenaran dan eksitensinya tersebut. Namun demikian, kesombongan seringkali mendorong seseorang untuk membangkitkan keraguan terhadap hakikat-hakikat tersebut dengan bersembunyinya di balik akal. Usaha demikian ini perlu dihadapi dengan hujjah agar hakikat-hakikat tersebut dapat diakui sebagaimana mestinya, dipercayainya atau malah diingkari. Al-Qur’anul Karim, seruan Allah kepada seluruh umat manusia, berdiri tegak di hadapan berbagai macam arus kebatilan yang mengingkari hakikat-hakikatnya dan memperdebatkan pokok-pokoknya. Karenanya ia perlu membungkam usaha-usaha mereka secara konkrit dan realistis serta menghadapi mereka dengan uslub bahasa yang memuaskan, argumentasi yang canggih, pasti dan bantahan yang tegas.[1]
Pada pembahasan ini akan dijelaskan pokok-pokok tentang jidal meliputi defenisi jidal, metode jidal dalam al-Qur’an, jenis-jenis jidal dalam al-Qur’an, dan macam-macam jidal dalam al-Qur’an. Semoga makalah yang singkat ini bermanfaat dan dapat menambah khazanah keilmuan bagi para pembacanya.



BAB II
PEMBAHASAN
JIDAL DALAM AL-QUR’AN

A.    Defenisi Jidal

Secara Etimologi jidal berasal dari kata جدل – يجدل – جدلأ yang artinya mengemaskan, mengetatkan, dan menguatkan.[2]
Sedangkan secara Terminologi jidal berarti bertukar pikiran dengan cara bersaing dan berlomba untuk mengalahkan kawan dalam mempertahankan argumen.[3] Untuk memenangkan pendapat dalam suatu perdebatan yang sengit. Pengertian ini lebih menunjukkan kepada perdebatan atau diskusi, yaitu untuk mencari kebenaran.
Dengan demikian jidal al-Qur’an adalah pembuktian-pembuktian serta pengungkapan dalil-dalil yang terkandung di dalamnya, untuk dihadapkan kepada orang kafir dan mematahkan argumentasi para penentang dengan seluruh tujuan dan maksud mereka, sehingga kebenaran ajaran-Nya dapat diterima.[4]
Di dalam al-Qur’an Allah menyatakan bahwa jidal merepukan salah satu tabiat manusia dengan firman-Nya dalam surah Al-Kahfi: 54
ôs)s9ur $oYøù§Ž|À Îû #x»yd Èb#uäöà)ø9$# Ĩ$¨Z=Ï9 `ÏB Èe@à2 9@sWtB 4 tb%x.ur ß`»|¡RM}$# uŽsYò2r& &äóÓx« Zwyy` ÇÎÍÈ    
“Dan Sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam al-Quran ini bermacam-macam perumpamaan, dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah".


B.      Metode Jidal Dalam Al-Qur’an
1.      Bermunazharah (bertukar pikiran) dengan ahli kitab melalui cara yang baik. Allah berfirman dalam Surah Al-Ankabut: 46
* Ÿwur (#þqä9Ï»pgéB Ÿ@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# žwÎ) ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qßJn=sß óOßg÷YÏB ( (#þqä9qè%ur $¨ZtB#uä üÏ%©!$$Î/ tAÌRé& $uZøŠs9Î) tAÌRé&ur öNà6ös9Î) $oYßg»s9Î)ur öNä3ßg»s9Î)ur ÓÏnºur ß`øtwUur ¼çms9 tbqßJÎ=ó¡ãB ÇÍÏÈ     
“Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan Katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu; dan Kami hanya kepada-Nya berserah diri".
Bermunazharah seperti itu bertujuan untuk menampakkan hak kebenaran sejati dan menegakkan hujjah kepada mereka. Metode jidal al-Qur’an dalam memberi petunjuk kepada orang kafir dan mengalahkan para penentang al-Qur’an.
2.      Metode yang terdapat di dalam al-Qur’an dalam berdebat dengan para penentang, banyak menggunakan dalil-dalil dan bukti yang kuat serta jelas yang dapat dipahami oleh kalangan awam dan akademisi. Ia membatalkan setiap kerancuan dan mematahkannya dengan redaksi yang konkrit, indah susunannya dan tidak memerlukan pemerasan akal atau banyak penyelidikan. 
3.      Rasulullah juga diperintahkan agar berdebat dengan kaum musyrik menggunakan cara yang baik yang dapat meredakan keberingasan mereka.[5] Firman Allah Q.s An-Nahl: 125
äí÷Š$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7­/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ  
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
4.      Tidak menggunakan metode-metode berpikir ilmu kalam yang rumit, karena dua hal:
a.       Mengingat Firman-Nya, “Dan kami tidak mengutus seorang Rasul melainkan dengan bahasa kaumnya.”[6] (Q.s Ibrahim: 4).
b.      Orang yang cenderung pada penggunaan pendapat yang mendalam adalah orang yang tidak mampu mengungkapkan hujjah secara jelas. Sebab, orang dapat berbicara dengan sangat jelas sehingga dapat dipahami oleh banyak orang, tidak akan menggunakan teori-teori rumit, yang hanya akan dipahami segelintir orang sehingga perkataan mereka pun kurang jelas.[7]

C.    Jenis-jenis Jidal Dalam Al-Qur’an
1.      Dalam al-Qur’an banyak mengungkapkan ayat-ayat kauniyah yang disertai perintah melakukan perenungan dan pemikiran untuk dijadikan dalil bagi penetapan dasar-dasar akidah, seperti ketauhidan Allah dalam uluhiyah-Nya dan keimanan kepada malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian (Lihat Q.s Al-Baqarah: 21-22).[8]
2.      Membantah pendapat para penentang dan lawan, serta mematahkan argumentasi mereka.[9] Perdebatan macam ini mempunyai beberapa bentuk:
a.       Mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang telah diakui dan diterima baik oleh akal, agar ia mengakui apa yang tadinya diingkari, seperti penggunaan dalil dengan makhluk untuk menetapkan adanya Khaliq (Lihat Q.s Ath-Thur: 35-43).[10]
b.      Menggunakan argumentasi yang berkaitan dengan asal mula kejadian dan hari kebangkitan (Lihat Q.s Al-Qiyamah: 36-40).
Termasuk di antaranya beristidlal dengan kehidupan bumi yang tandus kering, untuk menetapkan kehidupan sesudah mati untuk dihisab. (Lihat Q.s Fushshilat: 39).
c.       Membatalkan pendapat lawan dengan membuktikan kebalikannya, (Lihat Q.s Al-An’am: 91) ayat ini merupakan respon terhadap pendirian orang Yahudi, sebagaimana diceritakan Allah dalam firman-Nya: “Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya dikala mereka mengatakan: Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia.” (Q.s Al-An’am).
d.      Menggunakan teori (as-sabr wa taqsim), yakni mengoleksi beberapa sifat sesuatu, kemudian menjelaskan bahwa sifat-sifat tersebut bukanlah ‘illat, alasan hukum, (Lihat Q.s Al-An’am: 143-144).
e.       Mematahkan hujjah lawannya dengan menjelaskan bahwa asumsinya itu tidak diakui oleh seorang pun, (Lihat Q.s Al-An’am: 101).[11]

D.    Betuk-bentuk Jidal Dalam Al-Qur’an
1.      As-Sibru dan Taqsim
Membatasi sesuai dengan sifat dan menolak untuk membagi salah satunya sebagai dasar hukum, seperti dalam surah al-An’am: 143
spuŠÏZ»yJrO 8lºurør& ( šÆÏiB Èbù'žÒ9$# Èû÷üuZøO$# …..
(Yaitu) delapan binatang yang berpasangan, sepasang domba, sepasang dari kambing….
Ini adalah penjelasan tentang kebodohan bangsa Arab sebelum masuk Islam berkenaan tentang binatang ternak yang mereka haramkan dan membagikan kedalam beberapa bagian. Semua yang diciptakan ini milik Allah. Maka Allah Swt mengcounter atas pernyataan mereka itu dengan cara as-sabri wa at-taqsim, seakan Allah berfirman: “sesungguhnya semua yang diciptakan ini milik Allah, Allah telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasang ada yang jantan dan ada yang betina, tetapi mengapa kalian mengharamkan apa yang kalian sebutkan? Padahal masalah mengharamkan itu masalah ibadah (hanya Allah yang berhak menentukan), yang harus diambil dari Allah Swt dan diutusnya seorang rasul.[12]
2.      Al-Qaulu bi Mujab
Ibnu Abi al-Ishbi’ berkata,”Hakikat dari istilah ini adalah membantah ucapan musuh dengan kandungan atau isi ucapan sendiri.”
Ulama lainnya mengatakan bahwa istilah tersebut dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Apabila ada sifat pada kata-kata orang lain sebagai kinayah (sindiran) dari sesuatu yang ditetapkan suatu hukum untuknya, kemudian dia tetapkan bagi sesuatu yang lain, firman Allah Q.s al-Munafiqun: 8.
tbqä9qà)tƒ ûÈõs9 !$oY÷èy_§ n<Î) ÏpoYƒÏyJø9$#  Æy_̍÷ãs9 tãF{$# $pk÷]ÏB ¤AsŒF{$# 4 ¬!ur äo¨Ïèø9$# ¾Ï&Î!qßtÏ9ur ……
Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, [13] benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya." Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi rasul-Nya….

Di dalam ayat ini kata al-a’azzu (yang mulia) adalah kata yang diucapkan oleh orang-orang munafik sebagai gambaran tentang kelompok mereka, sedangkan kata al-adzallu (yang hina) juga kata-kata mereka untuk menggambarkan tentang kelompok orang beriman. Orang-orang munafik menyatakan dirinya dengan kata tersebut untuk mengusir orang-orang beriman dari Madinah. Maka Allah membantah mereka bahwa sifat mulia itu ditujukan untuk selain  kelompok mereka, yaitu untuk Allah dan rasul-Nya serta orang-orang yang beriman. Seakan-akan dikatakan kepada mereka “kelompok yang mulia akan mengusir kelompok yang hina.”
b.      Memahami lafaz yang keluar dari ucapan orang lain berbeda dengan maksudnya dan disertai penyebutan sesuatu yang berkaitan dengannya, firman Allah Q.s at-Taubah: 61.
ãNåk÷]ÏBur šúïÏ%©!$# tbrèŒ÷sム¢ÓÉ<¨Z9$# šcqä9qà)tƒur uqèd ×bèŒé& 4 ö@è% ãbèŒé& 9Žöyz öNà6©9 ….
Di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan: "Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya." Katakanlah: "Ia mempercayai semua yang baik bagi kamu.

Di antara kaum munafik itu ada orang-orang yang suka menyakiti Nabi dengan perkataan, Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya. Maksudnya, siapa pun yang berkata, bercerita, dan bersumpah kepadanya, maka ia akan mempercayainya. Allah berfirman “Katakanlah ia mempercayai semua yang baik bagi kamu.” Artinya, ia selalu mendengarkan yang baik, dan bisa membedakan mana yang berkata benar dan mana yang berkata berdusta.[14]
3.      At-Taslim
Yaitu memastikan sesuatu yang tidak mungkin terjadi baik dengan cara meniadakan, karena sesuatu yang disebutkan itu tidak mungkin terjadi sebab tidak memenuhi persyaratan. Seperti firman Q.s al-Mu’minun: 91.
$tB xsƒªB$# ª!$# `ÏB 7$s!ur $tBur šc%Ÿ2 ¼çmyètB ô`ÏB >m»s9Î) 4 #]ŒÎ) |=yds%©! @ä. ¥m»s9Î) $yJÎ/ t,n=y{ Ÿxyès9ur öNßgàÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ 4 z`»ysö6ß «!$# $£Jtã šcqàÿÅÁtƒ ÇÒÊÈ  
Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada Tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada Tuhan beserta-Nya, masing-masing Tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.

Maksud dari ayat di atas adalah tidak ada Tuhan yang lain bersama Allah. Seandainya illah itu berbilang, niscaya masing-masing illah akan membawa makhluk yang diciptakannya. Jika itu terjadi, maka alam semesta ini tidak akan teratur dan kehidupan akan berantakan. Namun kenyataannya yang dapat kita saksikan menunjukkan betapa alam ini begitu teratur rapi, baik alam semesta yang berada di atas maupun yang berada di bawah, satu sama lain saling beraturan dengan sistematis.
4.      Al-Isjaal
Yaitu kata-kata yang mendorong seseorang yang diajak bicara untuk memenuhi apa yang diminta. Ini seperti firman Allah Swt Q.s Ali-Imran: 194.
$oY­/u $oYÏ?#uäur $tB $oY¨?tãur 4n?tã y7Î=ßâ
Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan Rasul-rasul Engkau.

Maksud ayat ini, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantara (lisan) Rasul-rasul Engkau, yaitu surga bagi orang yang taat.[15] Firman Allah dalam Q.s Al-Mu’minun: 8
tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÏF»oY»tBL{ öNÏdÏôgtãur tbqããºu ÇÑÈ  
Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.

5.      Al-Intiqal
Yaitu upaya seseorang yang berdalil untuk mengalihkan dalilnya dengan dalil yang lainnya, karena pihak lawan tidak memahami maksud dari dalil yang pertama. Seperti dalam perdebatan Nabi Ibrahim dengan Raja Namrudz, firman dalam Q.s al-Baqarah: 258
}În/u…… Ï%©!$# ¾ÇósムàMÏJãƒur tA$s% O$tRr& ¾ÄÓóré& àMÏBé&ur ( tA$s% ãN¿Ïdºtö/Î)  cÎ*sù ©!$# ÎAù'tƒ ħôJ¤±9$$Î/ z`ÏB É-ÎŽô³yJø9$# ÏNù'sù $pkÍ5 z`ÏB …..É>̍øóyJø9$#
Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan".[16]Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka terbitkanlah Dia dari barat.”
6.      Al-Munaqadhah
Yaitu mengaitkan sesuatu pada faktor yang mustahil sebagai isyarat (tanda) bahwa itu tidak mungkin terjadi, seperti firman Allah Swt dalam Q.s al-A’raf: 40 
Ÿwur…. tbqè=äzôtƒ sp¨Yyfø9$# 4Ó®Lym ykÎ=tƒ ã@yJpgø:$# Îû ÉdOy ÅÞ$uσø:$# 4
Dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum.

7.      Mujaaraat al-Khasmi li Ya’tsar
Yaitu dengan cara menerima sebagian permulaannya, sebagai trik untuk mematahkan lawan dan mengalahkannya, firman Allah dalam Q.s Ibrahim: 10-11
(#þqä9$s% ÷bÎ) óOçFRr& žwÎ) ׎|³o0 $uZè=÷WÏiB tbr߃̍è? br& $tRrÝÁs? $£Jtã šc%x. ßç7÷ètƒ $tRät!$t/#uä $tRqè?ù'sù 9`»sÜù=Ý¡Î0 &úüÎ7B ÇÊÉÈ   ôMs9$s% öNßgs9 öNßgè=ßâ bÎ) ß`øtªU žwÎ) ֍t±o0 öNà6è=÷VÏiB  
Mereka berkata: "Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti Kami juga. kamu menghendaki untuk menghalang-halangi (membelokkan) Kami dari apa yang selalu disembah nenek moyang Kami, karena itu datangkanlah kepada Kami, bukti yang nyata. Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: "Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu.”
Perkataan mereka, yaitu para rasul, bahwa “kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu” merupakan pengakuan bahwa mereka juga memiliki keterbatasan sebagaimana manusia. Mereka seakan-akan menafikan risalah dari diri mereka, tetapi tidaklah demikian yang dimaksud. Bahkan ini termasuk memberi kesempatan pada musuh untuk menyerah, seakan mereka berkata: ”apa yang kalian tuduhkan pada kami bahwa kami hanyalah manusia adalah benar. Kami tidak mengingkarinya, tetapi ini tidak menafikan adanya Allah Swt yang member nikmat dan karunia kepada kami dengan risalah.”[17]





















BAB III
PENUTUP

Jidal al-Qur’an adalah pembuktian-pembuktian serta pengungkapan dalil-dalil yang terkandung di dalam al-Qur’an, untuk dihadapkan kepada orang kafir dan mematahkan argumentasi para penentang dengan seluruh tujuan dan maksud mereka, sehingga kebenaran ajaran-Nya dapat diterima.
Metode jidal dalam al-Qur’an yang di tempuh salah satunya adalah dengan cara Bermunazharah (bertukar pikiran). Bermunazharah seperti itu bertujuan untuk menampakkan hak kebenaran sejati dan menegakkan hujjah. Metode yang terdapat di dalam al-Qur’an dalam berdebat dengan para penentang, banyak menggunakan dalil-dalil dan bukti yang kuat serta jelas yang dapat dipahami oleh kalangan awam dan akademisi. Ia membatalkan setiap kerancuan dan mematahkannya dengan redaksi yang konkrit, indah susunannya dan tidak memerlukan pemerasan akal atau banyak penyelidikan. Yang paling perlu diketahui bahwasanya berdebat merupakan tabiat manusia.
Mengenai jenis-jenis dan bentuk-bentuk jidal dalam al-Qur’an cukup banyak disebutkan, salah satu contoh jenis jidal adalah banyak menyebutkan ayat-ayat kauniyah yang disertai perintah melakukan perenungan dan pemikiran untuk dijadikan dalil bagi penetapan dasar-dasar akidah, seperti ketauhidan Allah dalam uluhiyah-Nya dan keimanan kepada malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian. Sedangkan salah satu contoh dari bentuk jidal adalah At-Taslim yaitu memastikan sesuatu yang tidak mungkin terjadi baik dengan cara meniadakan, karena sesuatu yang disebutkan itu tidak mungkin terjadi sebab tidak memenuhi persyaratan.



DAFTAR PUSTAKA

Lowis Al-Ma’luf, Al-munjid Fillughati Wal Al’alam, Beirut: Darus Masyruk, 1986.

Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (Terj), Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Kautsar, 2009.

Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002.

Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-itfan fi Ulumil Qur’an, (terj), Tim Editor Indiva, Studi Al-Qur’an komprehensif, cet 1, Solo: Indiva Pustaka, 2009.

Abu Anwar, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, cet 2, Pekanbaru: Amzah, 2005.

Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, cet 3, Bandung: Pustaka Setia, 2005.


[1]Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (Terj), Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2009), hal. 376

[2]Lowis Al-Ma’luf, Al-munjid Fillughati Wal Al’alam, (Beirut: Darus Masyruk, 1986), hal. 82.
[3]Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (Terj), Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2009), hal. 376
[4]Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), hal.195.

[5]Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (Terj)…hal. 377.
[6]Dikarenakan al-Qur’an itu diturunkan ditengah-tengan bangsa Arab dan menggunakan bahasa mereka, maka al-Qur’an berpendapat sebagaimana pendapat-pendapat mereka sehingga jelas atas persoalan-persoalan yang dibicarakan. 
[7]Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (Terj)…hal. 378.
[8]Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (Terj)…hal. 381
[9]Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), hal.196.
[10]Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (Terj)…hal. 382.
[11]Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (Terj)…383-384.
[12]Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-itfan fi Ulumil Qur’an, (terj), Tim Editor Indiva, Studi Al-Qur’an komprehensif, cet 1, (Solo: Indiva Pustaka, 2009), hal. 740.
[13]Maksudnya: kembali dari peperangan Bani Musthalik.
[14]Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-itfan fi Ulumil Qur’an, (terj)…hal. 741.
[15]Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-itfan fi Ulumil Qur’an, (terj)…hal. 742.
[16]Maksudnya raja Namrudz dengan menghidupkan ialah membiarkan hidup, dan yang dimaksudnya dengan mematikan ialah membunuh. Perkataan itu untuk mengejek Nabi Ibrahim a.s.

[17]Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-itfan fi Ulumil Qur’an, (terj)…hal. 743-744.

0 Response to "jidal"