kedudukan Perempuan DiAceh dari masa kemasa

blogger templates
PENDAHULUAN
           
          
  Masyarakat mengenal kaum hawa atau perempuan adalah sosok makhluk yang lemah. Perinsip ini sangat berkembang pada masa jahiliyah yang berlangsung lama. Namun setelah Agama Islam lahir, perinsip-perinsip itu diuabah dengan mengangkat kaum wanita, sehingga mereka tidak di pandang hina dan membawa sial. Setelah Islam berkembang keseluruh pelosok dunia yang termasuk Indonesia, perinsip-perinsip zaman jahiliyah muncul lagi, yaitu dengan memandang wanita sebagai kaum yang lemah tidak berpendirian teguh. Perinsip ini tidak berlaku terhadap perempuan di Aceh. Karena dalam catatan sejarah, perempuan Aceh termasuk perempuan yang sangat pemberani dan bersikap pantang menyerah sehingga sebagian mereka pantas disebut dengan pahlawan wanita, seperti cut nyak dhien, putro Pahang, dan lainnya.
            Kemerdekaan Bangsa Indonesi juga merupakan campur tangan rakyat Aceh yang sebagian besar dipelopori oleh perempuan Aceh. Mengapa demikian? Karena besarnya perjuangan perempuan masyarakat Aceh dalam hal proklamasi Indonesia.
            Berdasarkan sejarah yang menyatakan bawha perempuan Aceh sangat pemberani dan berpendirian teguh, penulis ingin melihat dengan realita sekarang. Artinya, apakah perempuan Aceh dahulu sama dengan perempuan Aceh sekarang. Dalam hal ini, penulis akan merujuk buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan ini.
            Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan, baik yang berhubungan dengan pengetikan maupun yang lainnya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran para pembaca sekalian untuk kesempurnaan pembahasan selanjutnya.




BAB I
PEMBAHASAN
A.    Perempuan Aceh Sebelum Merdeka
Perlu diketahui bahwa perempuan Aceh merupakan perempuan yang sangat berprinsip kuat dalam mempertahankan Agama dan negaranya, sehingga perempuan-perempuan Aceh termasuk pejuang dan pahlawan bagi kemerdekaan negerinya yaitu Indonesia. Sesuai dengan catatan sejarah Aceh, sejak lama telah berdiri kerajaan-kerajaan Islam, seperti kerajaan Peurlak, kerajaan Samudera Pase hingga berlanjut dengan penyatuan kerajaan Islam di Aceh dengan nama Kerajaan Islam Aceh Darussalam dengan ibukotanya di Banda Aceh, dengan ditangkapnya Sulthan Alaiddin Muhammad Daud Syah (10 Januari, 1904 M), masyarakat Aceh tetap berjuang dan tidak mau menyerah walaupun sulthan telah ditangkap yang berarti Aceh kalah dengan Belanda, tetapi Aceh tidak dapat dikuasai secara yuridis/ hokum, karena tidak ada penyerahan kekuasaan sulthan kepada Belanda.
            Selama kerajaan-kerajaan Aceh silih berganti, nama dan pusat pemerintahannya, terdapat banyak wanita Aceh menjadi pemimpin, pejuang, dan politikus, yaitu sebagai Ratu (Sulthanah) sebagai politikus/ anggota mahkamah rakyat dan sebagai pejuang panglima perang (pahlawan/ srikandi) yang syahid di medan tempur.
            Jika ditelusuri dari catatan sejarah tersebut, dapat diketahui bahwa sejak dari dulu di Aceh, perempuan sangat tinggi derajatnya, yaitu mempunyai hak-hak yang sama dengan laki-laki dalam hal memperjuangkan negaranya. Dalam hal keagamaan perempuan Aceh sangat menjaga dan mengamalkan ilmu keislaman, di samping orang tua, mereka juga belajar kepada ulama-ulama Aceh setempat.[1] Sehingga mereka perempuan Aceh dapat menerapkan suatu kebijakan, seperti kebijakan ratu Pahang yang merupakan permaisuri dari sulthan Iskandar Muda, nama asli beliau adalah putrid Kamaliyah. Kebijakan tersebut antara lain adalah:
1.      Pada saat itu belum ada mahkamah rakyat yang sekarang disebut dengan DPR. Dengan saran beliau maka dibentuk mahkamah rakyat dengan tujuan permusyawarahan dalam rangka membuat undang-undang(kanun).
2.      Penentuan adat bagi penerima hak adat tanah kampong/ rumah, yaitu dengan usulan beliau kepada sulthan Iskandar Muda agar keputusan hokum Faraidh, sehubungan ada # perempuan tidak mempunyai tempat tinggal (rumah) sebab rumah peniggalan orang tuanya menjadi hak milik saudara laki-lakinya, karena telah diputuskan oleh hokum faraidh.
Dengan alasan, apabila perempuan tidak mempunyai rumah atau tidak boleh hidup menumpang dengan orang. Maka sulthan membuka kembali sidang pusaka rumah tersebut. Dari hasil sidang dibuat aturan adat, yaitu setiap tanah atau kampong/ rumah akan dipusakai/ diberikan hak adat untuk anak perempuan, jika tidak ada rumah, tanah kosong tersebut akan di berikan kepada anak perempuan. Demikian, masih berlaku sampai sekarang apabila orang tuanya mempunyai harta.
Wanita Aceh tak pernah merasa gusar dalam mempertaruhkan seluruh pribadinya untuk mempertahankan sesuatu yang dipandangnya merupakan kepentingan nasional dan agama. Perlu diingat bahwa sifat wanita Aceh belum lagi berobah, mereka sanggup besok memperlihatkan kegagahan-kegahan serupa yang menjadi kenang-kenangan para pemimpin pasukan kita pada masa-masa yang silam.
Karena banyaknya pengorbanan yang telah mereka berika maka tidak syak lagi, bahwa hal-hal itu membuktikan hak istimewa kepada para wanita Aceh. Mereka sangat berbahaya bagi saingan-saingan mereka yang mencoba merenggut kebahagiaan mereka dari. Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang banyak melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi melawan kaum imperialis.
Beberapa tahun yang lalu yaitu tahun 1933, seorang dari tiga belas orang pria yang menentang didaerah Lhong (Aceh Besar) datang melapor pada kepala kampungnya. Karena istrinya tidak sudi melihatnya lagi karena disingkirkan dari pergaulan masyarakat kampungnya, terpaksalah pria itu hidup menyendiri dalam sebuah gubuk diladang. Ketika ditanyakan oleh seorang kolonel dan seorang pegawai pemerintah Belanda kepada istrinya, sang istri meludah ditanah dan denngan perasaan geram ia berkata: “suamiku? Aku tak punya suami”, dan sewaktu disebutkan nama suaminya itu ia berkata: “itu bukan laki-laki”, ia telah membuang jauh-jauh dari hati dan jiwanya nama laki-laki yang dalam pandangannya seorang pengecut yang lebih suka  melapor dari pada mati syahid, sedang yang lainnya telah gugur dalam perlawanan itu dan anak-anaknya tidak  berayah lagi. Kisah yang lain lagi, bahwa pada suatu kali, Geldorp bersama tiga orang brigadenya pernah menyergap tempat persembunyian lawan yang terdiri dari empat orang pria bersama istri-istri mereka. Laki-laki itu segera dapat ditewaskan dan pada waktu itu penyergap menyangka, bahwa persoalannya sudah selesai. Tidak seperti dugaan, karena seketika itu juga para istri korban pembunuhan itu, tiba-tiba mengambil senjata suami mereka lalu menyerbu pasukan; mereka bertempur selama nyawa dikandung badan.[2]

B.     Perempuan Aceh Sesudah Merdeka
Sejarah banyak menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari percampuran tangan Masyarakat Aceh  termasuk juga perempuan-perempuan mereka yang sangat gigih dalam perlawanan terhadap musuh. Dengan perjuangan merekalah kita dapat menghirup udara segar di negeri ini. Adapun mengenai perempuan Aceh setelah Indonesia merdeka, telah banyak perubahan mulai dari segi martabat melalui kebijakan sulthanah maupun dari segi penyetaraan hak dalam pendidikan sehingga perempuan Aceh mengalami perkembangan dalam hal pendidikan, termasuk dalam hal Agama yang sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Baik dari segi pakaian maupun pergaulan.

C.     Perempuan Pada Masa Sekarang
Setelah bangsa Indonesia merdeka, maka orang luarpun bebas memasuki Negara ini termasuk Aceh. Sebagian orang luar tersebut bermukim di Aceh dengan alas an berdagang atau yang lainnya, sehingga menyebabkan asimilasi budaya mayoritasnya budaya barat. Dengan demikian perempuan-perempuan Aceh mulai tergiur dengan budaya Barat baik dari segi pakaian maupun pergaulan, sehingga pada mulanya perempuan Aceh berpakaian ala Islam dengan menutup aurat menjadi membungkus bahkan membuka aurat layaknya pakaian Barat. Mengenai pergaulan, perempuan Aceh juga mulai ikut-ikutan dengan gaya Barat, sehingga mereka mampu mengucapkan kata-kata kasar yang tak pantas diucapka kepada yang lebih tua maupun muda. Dan ini dapat kita lihat bersama mengenai perempuan dalam masyarakat Aceh. Namun tidak semua perempuan Aceh yang demikian, artinya mengikut-ikuti gaya Barat, tetapi diantaranya ada juga yang masih kukuh dengan prinsip dasarnya.


D.    Perempuan-Perempuan Yang Pernah Menjadi Sulthanah
Diantara perempuan Aceh yang pernah memerintahkan di Aceh antara lain;

1.      Sulthanah (Ratu) Rahi Malikah Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu, yang memerintah di Kerajaan Samudera/Pase pada tahun 801-831 H(1400-1427 M) yaitu selama 27 tahun.
2.      Sulthanah (Ratu) Tajul Alam Syafiatuddin Syah, memerintah di Kerajaan Aceh Darussalam tahun1050-1086 H (1641-1676 M) selama 35 tahun.
3.      Sulthanah (Ratu) Nurul Alam Zakiyatuddin Syah, memerintah pada Kerajaan Aceh Darussalam tahun 1086-1088 H (1676-1678 M) selama 2 tahun.
4.      Sulthanah (Ratu) Zakiyatuddin Inayat Syah, memerintah di Kerajaan Aceh Darussalam tahun 1088-1099 H (1678-1688 M) selama sepuluh tahun.
5.      Sulthanah (Ratu) Kamalat Diatuddin Syah, memerintah di masa Kerajaan Aceh Darussalam tahun 1099-1111 H (1688-1699 M) selama 11 tahun.[3]
E.     Salah Satu Kisah Pahlawan Perempuan Aceh Yang Sangat Masyhur
Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang banyak melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi melawan kaum imperialis. Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap.
Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1848, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
TJOET NJAK DIEN lahir pada 1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang sangat taat beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV. Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah keturunan Sultan Aceh yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatra Barat. Ibunda Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang bangsawan Lampagar. Beliau besar ketika masyarakat Aceh sedang sibuk dalam berperang membela tanah air. Beliau memiliki sifat tabah, tawakkal dan pantang menyerah.
Tjoet Njak Dien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan dimeriahkan oleh kehadiran penyair terkenal Abdul Karim yang membawakan syair-syair bernafaskan agama dan mengagungkan perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat menggugah semangat bagi yang mendengarkannya, khususnya dalam rangka melawan kafir (Snouck Hourgronje, 1985: 107). Setelah dianggap mampu mengurus rumah tangga sendiri, pasangan tersebut pindah dari rumah orang tuanya. Selanjutnya kehidupan rumah tangganya berjalan baik dan harmonis. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.
Ketika perang Aceh meletus tahun 1873, suami Tjoet Njak Dien turut aktif di garis depan sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Karena itu Teuku Ibrahim jarang berkumpul dengan istri dan anaknya. Tjoet Njak Dien mengikhlaskan keterlibatan suaminya dalam peperangan, bahkan menjadi pendorong dan pembakar semangat juang suaminya. Untuk mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan perang, sambil membuai sang buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan semangat perjuangan. Ketika sesekali suaminya pulang ke rumah, maka yang dibicarakan dan dilakukan Tjoet Njak Dien tak lain adalah hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan terhadap kaum kafir Belanda.
Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal banyak mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda.
Namun beberapa tahun kemudia Teuku Umar gugur dalam pertempuran, sehingga cut nyiak dien selama 6 tahun mengordinasikan serangan besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang berharga yang masih dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas peperangan. Cut Nyak Dien kembali sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan istilah berdamai sekalipun. Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya tapi sekalipun tidak pernah berhasil. Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dien sehingga ketika sudah terkepung dan hendak ditangkap pun dia masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda. Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya.
Perjuangan Tjoet Njak Dien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu. Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor.[4]







DAFTAR PUSTAKA

     Muhammad Umar, Peradaban Aceh kilasan sejarah Aceh dan Adat, Banda Aceh: Yayasan Busafat, 2006, hlm 41.
zentgrap. Aceh (terjemahan Abu Bakar) Jakarta, 1683
http://www.kapanlagi.com/clubbing/showthread.php?t=22593




[1] . Muhammad Umar, Peradaban Aceh kilasan sejarah Aceh dan Adat, Banda Aceh: Yayasan Busafat, 2006, hlm 41.
[2] . zentgrap. Aceh (terjemahan Abu Bakar) Jakarta, 1683.
[3]. Muhammad Umar, Peradaban Aceh,,,,, 43.
[4] . http://www.kapanlagi.com/clubbing/showthread.php?t=22593

0 Response to "kedudukan Perempuan DiAceh dari masa kemasa"