Menurut bahasa, qira’at adalah bentuk jamak dari qira’at yang
merupakan isim masdar dari qaraa’, yang artinya bacaan. Sedangkan menurut
istilah bagi al-Zarkasyi merupakan perbedaan lafal-lafal Alquran, baik
menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, sepeti
takhfif, tasydid dan lain-lain.
Sejarah
Pendapat
pertama, mengatakan bahwa Qira’at mulai
diturunkan di Makkah bersamaan dengan turunnya Alquran. Alasannya adalah bahwa
sebagian besar surat-surat Alquran adalah Makkiyah di mana terdapat juga di
dalamnya qira’at sebagaimana yang terdapat pada surat-surat Madaniyah
Pendapat yang kedua, Qira’at mulai diturunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana orang-orang yang masuk Islam sudah banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Pendapat ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya, demikian juga Ibn Jarir al-Tabari dalam kitab tafsirnya. Hadis yang panjang tersebut menunjukkan tentang waktu dibolehkannya membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah sesudah Hijrah, sebab sumber air Bani Gaffar – yang disebutkan dalam hadis tersebut- terletak di dekat kota Madinah
Perkembangan selanjutnya ditandai dengan munculnya masa pembukuan qira’at. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’at adalah Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam yang wafat pada tahun 224 H. Ia menulis kitab yang diberi nama al-Qira’at yang menghimpun qira’at dari 25 orang perawi. Pendapat lain menyatakan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’at adalah Husain bin Usman bin Tsabit al-Baghdadi al-Dharir yang wafat pada tahun 378 H. Dengan demikian mulai saat itu qira’at menjadi ilmu tersendiri dalam ‘Ulum al-Qur’an[1]
Pendapat yang kedua, Qira’at mulai diturunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana orang-orang yang masuk Islam sudah banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Pendapat ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya, demikian juga Ibn Jarir al-Tabari dalam kitab tafsirnya. Hadis yang panjang tersebut menunjukkan tentang waktu dibolehkannya membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah sesudah Hijrah, sebab sumber air Bani Gaffar – yang disebutkan dalam hadis tersebut- terletak di dekat kota Madinah
Perkembangan selanjutnya ditandai dengan munculnya masa pembukuan qira’at. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’at adalah Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam yang wafat pada tahun 224 H. Ia menulis kitab yang diberi nama al-Qira’at yang menghimpun qira’at dari 25 orang perawi. Pendapat lain menyatakan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’at adalah Husain bin Usman bin Tsabit al-Baghdadi al-Dharir yang wafat pada tahun 378 H. Dengan demikian mulai saat itu qira’at menjadi ilmu tersendiri dalam ‘Ulum al-Qur’an[1]
A.
Syarat-syarat
diterimanya qira’ah
Ada beberapa pendapat mengenai syarat diterimanya qiraah,
yaitu :
·
Ibnu khalawayh (w.
370 H) menetapkan persyaratan sebagai berikut:
a. Qira’at
tersebut harus sesuai dengan rasm al-mushaf.
b. Qira’at
tersebut harus sesuai dengan kaidah bahasa arab.
c. Qira’at
tersebut bersambung periwayatannya.
·
Makki ibn Abi
Thalib (w. 347 H) menetapkan persyaratan sebagai berikut:
a. Qira’at
tersebut sesuai dengan kaidah bahasa arab yang baku.
b. Qira’at
tersebut harus sesuai dengan rasm al-mushaf.
c. Qira’at
tersebut disepakati oleh ahli qira’at pada umumnya.
·
al-Kawasyi (w. 680
H) menetapkan persyaratan sebagai berikut:
a. Qira’at
tersebut memiliki sanad yang sahih.
b. Qira’at
tersebut sesuai kaidah bahasa arab.
c. Qira’at
tersebut sesuai rasm al-Mushaf
·
ibn al-Jaziri (w.
833 H) menetapkan persyaratan sebagai berikut:
a. Qira’at
tersebut memiliki sanad yang sahih.
b. Qira’at
tersebut sesuai dengan kaidah bahasa arab secara mutlak.
c. Qira’at
tersebut sesuai dengan rasm al-Mushaf meskipun tidak persis betul.[2]
B.
Macam-macam
qiraatil qur’an
Adapun macam-macam dari Qira’at menurut
Nabil ibn Muhammad Ibrahim al-Isma’il diantaranya adalah:
1. Qira’at
Mutawatir, Qira’at Mutawatir adalah qira’at yang diriwayatkan oleh
banyak orang yang didapatkan dari banyak orang pula menurut adat dan kebiasaan
tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta dari awal hingga akhir sanad,
tanpa ada batasan jumlah banyak sedikitnya orang tersebut
2. Qira’at
Masyhur, Merupakan qira’at yang sanadnya shahih, namun tidak sampai derajat mutawatir, sesuai dengan
salah satu mushaf usmani dan sesuai dengan salah satu dialek Arab.
3. Qira’at
Ahad,adalah qira’at yang sah sanadnya, tidak syadz tidak janggal tetapi berbeda
rasm (rasm Utsmani), ada juga yang menambahkan bahwa qira’at tersebut
menyimpang dari kaidah bahasa Arab.
4. Qira’at Syadzah, Qira’at Syadzah
ialah qira’at yang tidak sah sanadnya, menyalahi rasm Utsmani, serta tidak
termasuk dalam bagian dialek bahasa Arab.
5. Qira’at Mudrajah, Qira’at
Mudrajah merupakan qira’at yang terdapat unsur penyisipan dan penambahan antara
kalimat al-Qur’an dengan tafsir. Pada intinya terdapat penambahan tafsir dalam
bacaan.
6. Qira’at Maudhuat, Merupakan qira’at yang dinisbahkan
kepada orang yang mengatakannya tanpa mempunyai dasar periwayatan sama sekali.
qira’at yang dibuat-buat, seperti qira’at yang disusun Abu al-Fadl Muhammad bin
Ja’far al-Khuza’i, dan menisbatkannya kepada Abu Hanifah. [3]
D. Pendapat Ulama tentang qiraah
Menurut
Ibnu Bathal dalam Syarh Sahih Bukhari, yang dimaksud dengan Ahruf dapat
diartikan menjadi dua macam:, pertama adalah dialek yang beragam seperti dialek
Quraish, Thaif, Tamim dan lain lain. Kedua adalah Qiraat sebagaimana ilmu
Qiraat yang berkembang seperti sekarang.
Adapun
Ibnu Hajar al-Asqalani berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf
adalah tujuh wajah (sab’atu awjuh). Penjelasan dari tujuh wajah ini
pun dapat bermacam-macam. Menurut pandangan Ibnu Hajar, tujuh wajah ini bisa
berupa perbedaan antara mad, imalah, isymam dalam hukum ilmu tajwid, dan lain
sebagainya. Namun demikian, Ibnu Hajar menegaskan bahwa pada intinya tujuan
dari adanya perbedaan qiraah ini adalah agar memudahkan umat Muslim untuk
membaca, menghafal kemudian mengamalkan al-Quran[4]
E.
Manfaat
Berpedoman pada Qira’ah Shahihah
1. Memudahkan
untuk membaca Al-qur’an.
2. Mengetahui
bacaan-bacaan yang mutawatir.
3. Tejauhi
dari qira’at yang menyimpang.
4. Mengetahui
bukti kemukjizatan Al-Qur’an dan kepadatan makna.
[2] Hasanuddin, Anatomi
Al-Qur’an : Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbat Hukum dalam
Al-Qur’an, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995)
[4]
Wildan Imaduddin, asal usul qiraah di akses pada 29 juni.
0 Response to "Ilmu Qira'at"
Posting Komentar