BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan agama samawi terakhir dan juga syari'at terakhir yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para Nabi. Karena Islam adalah agama samawi terakhir, maka Allah SWT menjadikan al-Qur'an sebagai kitab suci yang menjadi pedoman dan sumber hukum Islam yang menjadi panutan manusia untuk hidup di dunia ini.
Karena al-Qur’an merupakan kitab suci yang di persiapkan Allah SWT untuk
kehidupan pada setiap kondisi hingga akhir zaman, maka didalamnya lebih banyak
memuat penjelasan ayat-ayat yang bersifat umum (kulli) dan sangat sedikit ayat-ayat yang
penjelasannya bersifat rinci (juz’i). hal ini diharapkan agar al-Qur’an bisa
dijadikan acuan dalam penyelesaian permasalahan umat dan dapat diaplikasikan
setiap saat.
Al-Qur'an yang menjadi pedoman bagi umat islam, didalamnya selain memuat ayat-ayat tentang Aqidah (I'tiqadiyah) juga memuat ayat-ayat yang mengandung penjelasan tentang hukum, meskipun jika dilihat lebih jauh ayat-ayat yang berisikan penjelasan tentang hukum tidak sebanyak tentang penjelasan tentang akhlak dan sosial. Oleh sebab itu maka peran ijtihad para ulama sangat besar pengaruhnya dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi di tengah-tengan umat Islam pada saat ini.
Ijtihad para ulama dapat mengistinbathkan hukum dari al-Qur’an sangat
wajar karena al-Qur’an dari segi dilalahnya tidak semuanya bersifat qath’i,
namun ada juga ayat al-Qur’an yang zanni dilalah.
Maka selain memahami al-Qur'an dari segi lafadznya, asbab an-nuzul dan Nasikh Mansukh juga memiliki fungsi dalam rangka memahami ayat al-Qur'an secara menyeluruh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian al-Qur'an
Al-Qur’an menurut bahasa berasal dari kata Qara’a memiliki arti
mengumpulkan dan menghimpun. Qira’ah berarti menghimpun huruf-huruf dan
kata-kata satu dengan lainnya dalam suatu ucapan yang tersusun rapi. Qur’an
merupakan masdar dari kata Qara’a, qira’atan, qur’anan.[1]
Sedangkan secara terminologi al-Qur'an adalah kalam atau firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril yang membacanya dianggap ibadah. [2]
Bahkan sebagian menambahkan defenisi al-Qur'an yang dimulai dengan surat al-Fatihah dan di akhiri dengan surat an-Nas.
Para ahli Ushul telah memperhatikan defenisi al-Qur'an dan pembatasannya agar jelas apa yang menjadi hujjah dalam pengistinbathan hukum dan apa yang tidak membangkitkannya kerena hujjah itu. Menurut ahli Ushul, al-Qur'an adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan kata bahasa Arab, yang diriwayatkan secara mutawatir yang dimulai dengan surat al-Fatihah dan di akhiri dengan surat an-Nas. [3]
B. Perbedaan Dalil dan Sumber
Kata sumber hukum fiqih adalah terjemahan arti lafadz mashdar jamaknya mashaadar dapat diartikan suatu wadah, yang dari wadah itu dapat ditemukan atau ditimba norma hukum. Kata sumber dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk al-Qur'an dan sunnah, karena keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba hukum syara '. Tapi kata mashdar tidak mungkin digunakan untuk ijma 'dan qiyas karena keduanya bukanlah wadah yang dapat ditimba norma hukum. Ijma 'dan qiyas merupakan cara dalam menemukan hukum. [4]
Adapun yang dimaksud dengan istilah mashadir al-ahkam as-syar'iyyah adalah dalil-dalil syar'i yang darinya di istinbath kan hukum-hukum syar'i. Dalam Ushul Fiqh kata mashadir
al-ahkam as-syar'iyyah bearti referensi utama dalam menetapkan hukum Islam, yaitu al-Qur'an dan Sunnah. [5]
Sedangkan kata dalil berasal dari bahasa Arab dalil yang secara etimologi berarti petunjuk kepada sesuatu, baik yang bersifat material (hissiy) maupun non material (maknawi). [6]
Kata dalil dan yang seakar dengannya disebut delapan kali di dalam al-Qur'an dengan arti petunjuk. Seperti dalam firman Allah QS al-Furqan: 45
Pulau N s 9 s & t ?? s? 4 ?? n <Î)
y 7 Q n / u ??
dan # ø ?? x. £ ?? t B ¨ @ Ï j à 9 $ # ö q s 9 u r
u ä! $ x © ¼ ç m n = y d y f s 9 $ Y Y Ï. $ Dan ?? ¢ O adalah O $ U Z ù = y d y _
} § ô J ¤ ± 9 $ # Ï m ø ?? n = t ã W x ?? Ï 9 dan ?? Ç Í Î È
Artinya: Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang dan kalau Dia menghendaki niscaya Dia menjadikan tetap bayang-bayang itu, kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu.
Sedangkan menurut terminologi dalil mengandung arti suatu indikator yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara 'yang bersifat praktis. [7]
Dalil hukum berarti sesuatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita dalam menemukan hukum Allah. Dikalangan fuqaha dalil itu diartikan sesuatu yang padanya terdapat penunjukan pengajaran, baik yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang meyakinkan (qath'i) atau pada dugaan kuat (zhanni)
yang tidak meyakinkan. Dikalangan ulama Ushul Fiqh kata dalil diartikan sesuatu yang menyampaikan kepada tuntutan khabari dengan pemikiran yang shahih. Dari rumusan defenisi Ushul Fiqh, maka sesuatu yang tidak menyampaikan kepada tuntutan yang bukan khabari atau yang menyampaikan kepada pemikiran yang salah, bukan disebut dalil dalam artian ini. [8]
Sebagian kecil dari golongan ahli Ushul Fiqh membedakan pengertian dalil dengan amarah. Golongan ini mengkhususkan pengertian dalil kepada sesuatu yang dimanfaatkan untuk menetapkan hukum syar'i amali secara qath'i,
sedangkan amarah dikhususkan kepada sesuatu yang dimanfaatkan untuk menetapkan hukum syar'i amali secara zhanni. Biarpun demikian para ahli Ushul yang masyhur mengatur bahwa pengertian dalil itu sudah mencakup kedua pengertian tersebut secara mutlak, baik secara qathi'i maupun zhanni. Atas dasar inilah jumhur ahli Ushul membagi dalil itu kepada dalil qathi'i yaitu al-Qur'an dan hadits mutawatir dan dalil zhanni yakni hadits ahad dan yang sejenisnya. Bukan membaginya kepada dalil dan amarah. [9]
Ada sebagian para ulama yang menyamakan pengertian dalil hukum dengan
sumber hukum. Padahal kalau dikaji secara mendalam kedua istilah tersebut
berbeda. Mashdar al-Ahkam merupakan sumber utama dalam menetapkan hukum
syar’i dan ini hanya khusus kepada al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan dalil
merupakan petunjuk yang bisa digunakan dalam memperoleh hukum syara’ dan ini
juga meliputi al-Qur’an, sunnah, ijma, qiyas, istihsan dan yang lainnya. Bahkan
bisa dikatakan qiyas, ijma’, istihsan, istishab, maslahah mursalah, uruf dan
saddzara’i adalah sebagai metode dalam memahami dan menetapkan hukum
syar’i. Berdasarkan hal tersebut, maka kata dalil dapat digunakan untuk
al-Qur’an dan sunnah, juga dapat digunakan untuk ijma’ dan qiyas karena
kesemuanya menunjukkan kepada penemuan hukum Allah.
Dalil dari segi kesepakatan para ulama dalam menggunakannya, dibagi menjadi dua macam yaitu dalil yang disepakati jumhur ulama yaitu al-Qur'an, sunnah, ijma 'dan qiyas dan dalil yang diperselisihkan para jumhur ulama dalam penggunaannya yaitu istihsan, maslahah mursalah, uruf, mazhab shahabi, syar'u man qablana dan saddzara'i. [10]
As-Syatibi mengemukakan prinsip dalil syara 'sebagai berikut:
1.
Dalil syara 'tidak bertentangan dengan tuntutan akal. Prinsip ini didasarkan pada:
a.
Kalau menyalahi akal, maka dia bukanlah dalil syara 'untuk hamba yang berakal
b.
Kalau menyalahi akal bearti
membebani manusia dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukan manusia.
c.
Sumber taklif atau pembebanan hukum
adalah akal,
d.
Hasil penelitian mununjukkan bahwa dalil syara 'terjadi menurut akal
2.
Tujuan pembentukan dalil adalah menempatkan perbuatan manusia dalam perhitungannya.
3.
Setiap dalil bersifat kulli
(global). Seandainya ia bersifat juz'i (rinci) adalah karena yang datang kemudian dan tidak menurut asal penetapannya.
4.
Dalil syara 'terbagi ke qath'i
dan zhanni.
5.
Dalil syara 'terdiri dari naqli dan aqli.
C.
Al-Qur'an SEBAGAI Dalil
Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi kehidupan manusia, petunjuk al-Qur’an
ini dapat diklasifikasikan kepada dua bentuk yaitu:
Pertama: Petunjuk langsung, maksudnya dalam
al-Qur’an itu terdapat aturan, ketentuan, dan petunjuk dalam bentuk tuntutan,
larangan atau membiarkan. Di sini terdapat batasan mengenai apa saja yang boleh
dan tidak boleh dilakukan, baik dalam hubungan dengan Allah, maupun hubungan
dengan manusia dan alam sekitarnya.
Kedua: Indikator tidak langsung, maksudnya dalam al-Qur'an ada pohon dasar ilmu pengetahuan yang meliputi segala bidang. Pokok dasar ilmu pengetahuan dalam al-Qur'an itu memerlukan pengembangan melalui nalar manusia sehingga menjadi satu ilmu yang sistematis. Melalui penerapan ilmu hasil nalar itu manusia akan mendapat rahmat dan petunjuk untuk menjalani kehidupan di dunia dan akhirat. [11]
Dari segi penjelasan al-Qur’an terbagi kepada beberapa cara yaitu:
1.
Secara juz’i (terperinci) yaitu al-Qur’an menjelaskan suatu permasalahan secara jelas
sehingga dapat dilaksanakan apa adanya, meskipun tidak dijelaskan Nabi dengan
sunnahnya. Seperti ayat-ayat tentang kewarisan, sanksi hukum terhadap penzina.
Dari segi kejelasan ayat tersebut termasuk ayat muhkamat.
2.
Secara kulli (global) yaitu penjelasan al-Qur’an terhadap suatu hukum secara garis
besar, sehingga masih memerlukan penjelasan dalam pelaksanaannya. Seperti dalam
masalah shalat tidak disebutkan berapa kali dalam sehari semalam dikerjakan,
berapa rakaat dalam satu kali shalat. Demikian juga dalam masalah zakat, tidak
disebutkan apa saja yang wajib dizakatkan. Untuk hukum-hukum yang penjelasannya
bersifat global Rasulullah bertugas memberikan penjelasan, membatasi dan
mengkhususkannya.
Hikmah
yang terkandung dalam hal terbatasnya hukum-hukum rinci yang dijelaskan oleh
Allah dalam al-Qur’an, menurut para ahli Ushul Fiqh adalah agar hukum-hukum
yang global dan umum tersebut dapat mengakomodir perkembangan dan kemajuan umat
manusia di tempat dan zaman yang berbeda, sehingga kemaslahatan umat manusia
selalu terayomi oleh al-Qur’an.[12]
Mengenai keterbatasan penjelasan tersebut, ulama Ushul Fiqh menyatakan
bahwa hukum-hukum global dan umumnya dikandung al-Qur’an tersebut telah
memberikan kaidah-kaidah umum dan dasar-dasar penting dalam pengembangan hukum
Islam itu sendiri, karena suatu undang-undang itu harus bersifat singkat,
padat, tetapi juga fleksibel. Apabila al-Qur’an menjelaskan suatu secara rinci,
maka menurut ahli Ushul Fiqh justru akan membuat al-Qur’an itu terbatas dan
tidak bisa mengakomodir perkembangan zaman dan kebutuhan umat manusia disegala
zaman dan tempat.[13]
Terkait dengan hal ini, maka para ahli Ushul Fiqh menyatakan bahwa kesempurnaan isi al-Qur'an itu dapat dirangkumkan dalam tiga hal:
a.
Teks-teks rinci yang dikandung
al-Qur’an
b.
Teks-teks al-Qur’an yang mengandung
berbagai kaidah dan kriteria umum ajaran-ajaran al-Qur’an. Dalam hal ini
al-Qur’an membuka peluang luas bagi para ulama untuk memahaminya sesuai dengan
tujuan-tujuan yang dikehendari syara’ serta sejalan dengan kemaslahatan umat
manusia disegala tempat dan zaman.
c.
Memberi kesempatan kepada sumber-sumber hukum Islam lainnya untuk menjawab persoalan kekinian melalui berbagai metode seperti ijma, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, istishab, uruf. saddzara'i.
Dari ayat-ayat yang mengatur hukum dalam al-Qur'an, maka jelaslah hukum tentang ibadah lebih rinci dibandingkan dengan yang lainnya. Adapun selain dari hukum-hukum ibadah seperti hukum keluarga, tata Negara, harta kekayaan dan lainnya hanya dijelaskan secara umum dengan disebutkan prinsip-prinsipnya. Hampir tidak ada penjelasannya secara panjang lembar. Bidang-bidang ini terus berkembang pesat seiring perkembangan zaman, maka diperlukan ijtihad yang maksimal dengan menggunakan prinsip-prinsip umum yang dijelaskan dalam al-Qur'an juga dengan memperhatikan kemaslahatan dan sosio-kultural masyarakat sehingga persoalan umat dapat terjawab dan hukum Islam diharapkan bisa diaplikasikan dalam segala zaman dan kondisi. [14]
3.
Secara isyarah. Al-Qur’an memberikan penjelasan terhadap sesuatu yang secara lahir
disebutkan di dalamnya dalam bentuk penjelasan secara isyarat, di samping itu
juga memberikan kepada pengertian secara isyarat kepada maksud yang lain.
Dengan demikian satu ayat al-Qur’an bisa memberikan beberapa maksud. Seperti
firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 233 “dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”. Ayat tersebut
mengandung arti adanya kewajiban suami untuk memberikan makan dan pakaian
kepada istrinya. Tetapi dibalik pengertian itu mujtahid menangkap isyarat
adanya kemungkinan maksud lain yang terkandung yaitu nasab seorang anak
dihubungkan kepada ayahnya.[15]
Diharapkan dengan ketiga unsur ini bisa menjawab permasalahan umat dalam
segala tempat dan zaman serta hukum Islam bisa diterapkan sepanjang zaman.
Jika al-Qur’an merupakan syari’at yang bersifat menyeluruh, maka mayoritas
penjelasannya adalah bersifat global dan sedikit sekali yang terperinci.
Apabila al-Qur’an menerangkan masalah-masalah hukum fiqh secara global bukan terperinci. Sehingga perlu penjelasan
kepada sunnah, maka para ulama telah menetapkan bahwa dialah ayat al-Qur’an
tersebut hukum-hukum terkadang bersifat Zhanni dan terkadang qath’i.[16]
Adapun al-Qur’an jika ditinjau dari segi menunjukkan apa yang
dikandungnya itu berupa hukum, maka dapat dibagi atas dua bagian yaitu:
Pertama: Nash qath’i yaitu dalil yang
menunjukkan arti yang dapat dipahami dengan jelas. Contohnya firman Allah yang
berbunyi “dan untuk kamu adalah separoh dari apa yang ditinggalkan
perkawinan itu, jika perempuan itu tidak mempunyai anak”. Qath’i yang
dimaksud dalam ayat ini adalah kewajiban suami dalam hal ini adalah separuh,
bukan yang lainnya. Contoh lainnya dalam hal laki-laki dan wanita yang berzina.
Maka qath’i ini menunjukkan bahwa hukuman bagi orang yang melakukan
perzinaan adalah seratus kali cambuk, tidak lebih dan tidak kurang.
Kedua: Dalil zhanni yaitu nash yang menunjukkan kepada banyak arti, ada kemungkinan bisa ditakwilkan dan keluar dari arti yang satu ke arti yang lain. Seperti Firman Allah yang berbunyi "Perempuan-perempuan yang diceraikan oleh suaminya harus menunggu tiga kali quru '.
Lafadz quru 'dalam bahasa Arab adalah musytarak. Di sini quru'
memiliki dua arti yaitu masa suci dan haid. Jadi ayat ini dari segi dalilnya tidak qath'i, karena itu maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat para mujtahid tentang iddah perempuan yang diceraikan oleh suaminya, ada yang mengatakan tiga kali haid dan ada pula yang mengatakan tiga kali suci. [17]
Lafadz-lafadz musytarak, 'am, muthlak dan yang semacam dengannya mengandung dalalah yang zhanni karena meskipun menunjukkan suatu arti tetapi ada kemungkinan kepada pemahaman yang lain. Di dalam hukum Islam suatu dalil yang bernilai qath'i wurud dan dalalah yang tertinggi nilainya dan merupakan suatu pegangan yang mutlak di dalam suatu hukum serta bukan lapangan ijtihad, sedangkan yang zhanni merupakan lapangan ijtihad dan hasil ijtihad pun bernilai zhanni juga. [18]
Islam diturunkan secara mutawatir, sehingga dari sisi ini al-Qur'an disebut qath'i al-tsubut. Namun dari sisi dalalah al-Qur'an tentang hukum tidak semuanya bersifat qath'i tetapi ada juga yang bersifat zhanni.
Diantara ayat-ayat al-Qur'an yang termasuk dalam katagori qath'i dalalah adalah ayat-ayat tentang ushul al-syari'ah yang merupakan ajaran-ajaran pokok agama Islam seperti shalat, zakat, dan haji. Sementara itu termasuk golongan qath'i adalah yang berbicara tentang akidah, akhlak, dan sebagai masalah muamalat. [19]
Meskipun dari sisi lafadznya suatu ayat qath'i, akan tetapi dari segi makna mungkin saja zhanni sehingga bisa dikembangkan maknanya, tetapi bukan dimaksudkan menggeser pengertian ayat tersebut. [20]
Manfaat mengetahui qath'i dan zhanni adalah supaya dapat mengatur nilai hujjah
yang diperlukan dan sehingga dalil-dalil itu dapat ditempatkan dalam fungsinya yang sebenarnya. [21]
Pengambilan hukum fiqh dalam al-Qur'an juga tidak terlepas dari Asbabun an-Nuzul serta nasikh mansukh memiliki fungsi dalam memahami al-Qur'an secara menyeluruh. Namun, bukan bearti dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an hanya terkonsentrasi dan terhenti pada hal tersebut karena al-Qur'an diperuntukkan bagi umat Islam sampai akhir zaman.
D. Ayat-ayat Hukum
a. Pengertian Ayat Hukum
Istilah ayat hukum terdiri dari dua kata yaitu ayat dan hukum. Ayat ايات adalah jamak dari kata اية yang secara harfiah
bearti tanda. Terkadang juga digunakan untuk arti pengajaran, mukjizat dan sekumpulan
manusia. Tetapi yang dimaksud ayat di sini adalah ayat al-Qur’an. Adapun kata ahkam
adalah jamak dari kata hukmu, secara harfiah bearti menempatkan sesuatu
di atas sesuatu atau juga bisa diartikan menempatkan sesuatu pada tempatnya.[22]
Adapun yang dimaksud dengan hukum dalam terminologi para ahli Ushul Fiqh adalah kitab Allah yang berkenan dengan perbuatan mukallaf, dalam bentuk tuntutan, kemampuan memilih, atau berupa ketetapan.
Jadi yang dimaksud dengan ayat hukum adalah ayat-ayat al-Qur'an yang berisikan tentang kitab Allah yang berkenaan dengan thalab (tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu), takhyir (kebebasan memilih antara mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu). [23]
Dalam pada itu ada perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha tentang kepastian berapa banyak jumlah ayat hukum dalam al-Qur'an. Ada yang menyebut 150 menurut Thanthawi Jauhari. Ada pula menyatakan 200 ayat ayat seperti yang dikemukakan Ahmad Amin, dan 400 ayat dalah ahkam al-Qur'an Ibnu al-Arabi. Sedangkan menurut perhitungan Abdul Wahab Khallaf jumlahnya sekitar 228 ayat, atau sekitar 500 ayat menurut sebagaian para fuqaha lainnya seperti al-Ghazali, al-Razi, Ibnu Jazzai al-Kalbidan bin Qudamah. Sedangkan menurut perhitungan ibn al-Mubarak dan Abu Yusuf masing-masing menyebutnya 900 dan 1.110 ayat. [24]
Ada beberapa faktor yang menyebabkan para ulama berbeda pendapat dalam
memperkirakan jumlah ayat hukum. Selain karena perbedaan pendapat mengenai
kepastian jumlah ayat al-Qur’an secara keseluruhan, juga terutama disebabkan
perbedaan persepsi mereka tentang kriteria ayat-ayat hukum itu sendiri.[25]
b. Kriteria Ayat-ayat Hukum
Adapun karakteristik atau ciri-ciri dari ayat hukum adalah:
1.
Hanya memuat norma dasar yang bersifat
global
2.
Jumlahnya relative sedikit
3.
Mementingkan hubungan hukum dengan akhlak termasuk wa'ad (janji kebaikan) dan wa'id (ancaman buruk)
4.
Menggunakan bahasa hukum yang luas
dan luwes, tetapi juga lugas dan akurat.[26]
c. pembidangan Ayat-ayat Hukum
Hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an terbagi kepada tiga yaitu:
Pertama: Hukum-hukum yang berkaitan dengan
i’tiqadiyyah yaitu yang berkaitan dengan apa yang wajib diyakini oleh
mukallaf yang berkaitan dengan Allah, malaikat, kitab-kitab Allah, para rasul
dan hari kiamat.
Kedua: Hukum-hukum akhlak yang berkaitan dengan apa yang dibebankan kepada mukallaf untuk bersikap dengannya dari fadhilah-fadhilah (kebaikan) dan menjauhinya (kejelekan).
Ketiga: Hukum-hukum amaliah yaitu sesuatu yang berhubungan dengan apa yang disandarkan kepada mukallaf dari segi perkataan, perbuatan, akad dan transaksi. Ini terbagi lagi kedalam beberapa bagian yaitu:
1.
Hukum-hukum ibadah seperti shalat,
puasa, zakat, haji, nazar, sumpah dan yang lainnya yang berkaitan dengan aturan
hubungan manusia dengan Tuhan.
2.
Hukum-hukum muamalat seperti akad,
transaksi, hukuman, jinayah dan lainnya yang berhubungan dengan aturan mengenai
hubungan manusia baik secara individual maupun kelompok. Ini terbagi kepada
beberapa bagian
a.
Hukum keluarga (ahwal as-Syakhsiyah) yaitu hukum yang berkaitan dengan keluarga semenjak mulai dibangun dan yang dimaksudkan di sini hubungan antara suami-istri dan antara kerabat.
b.
Hukum harta benda (madiyah) yaitu hukum yang berkaitan dengan intraksi pribadi, tukar menukar, jual beli, pinjam peminjam, upah mengupah, jaminan, kemitraan dan lainnya yang bertujuan mengatur pribadi yang berhubungan dengan harta dan menjaga hak dari orang yang berhak.
c.
Hukum pidana (jinayah) yaitu hukum yang berkaitan dengan mukallaf tentang kejahatan dan sanksi hukumnya. Tujuannya untuk menjaga kehidupan manusia, hartanya, nama baiknya dan hak-haknya dan membatasi hubungan harta
yang diambil dengan orang yang melakukan kejahatan dan masyarakat luas.
d.
Hukum acara (murafa’at)
yaitu hukum yang berkaitan dengan peradilan, kesaksian dan sumpah. Tujuannya
adalah untuk mengatur keberanian dalam hal mewujudkan keadilan diantara
manusia.
e.
Hukum perundang-undangan (dusturiyah)
yaitu hukum yang berkaitan dengan peraturan hukum dan asal usulnya. Tujuannya
adalah untuk membatasi hubungan pemerintah dengan warga Negara dan menetapkan
hak-hak pribadi masyarakat.
f.
Hukum tata Negara (dauliyah)
yaitu hukum yang mengatur hubungan antar Negara Islam dengan yang bukan Islam
dan hubungan non muslim dalam Negara Islam. Tujuannya adalah untuk membatasi
hubungan Negara Islam dengan Negara-negara lain dalam kondisi damai dan perang.
Serta membatasi hubungan muslim dengan selainnya dalam wilayah Negara Islam.
g.
Hukum perekonomian dan keuangan (iqtishadiyah
wa maaliyah) yaitu hukum yang mengtur hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak
pribadi (orang yang meminta) dan yang diharamkan dalam harta kekayaan. Mengatur
pemasukan dan pengeluaran. Tujuannya adalah untuk mengatur yang menyangkut
harta antara orang kaya dan orang miskin dan antara Negara dan perorangan. Dan
ini meliputi rampasan perang, pajak, zakat, sedekah, nafkah, warisan, wasiat,
keuntungan perdagangan dan yang lainnya.[27]
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.
Sumber (masdar) merupakan referensi utama dalam menetapkan hukum Islam, dan ini hanya meliputi al-Qur'an dan hadits. Sedangkan dalil merupakan suatu indikator yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara 'yang bersifat praktis, ini selain al-Qur'an dan hadits juga ijma', qiyas, istihsan, maslahah mursalah dan lainnya.
2.
Asbab an-Nuzul serta nasikh mansukh memiliki fungsi dalam memahami al-Qur'an secara menyeluruh. Namun, bukan bearti dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an hanya terkonsentrasi dan terhenti pada hal tersebut karena al-Qur'an diperuntukkan bagi umat Islam sampai akhir zaman.
3.
Ciri dari ayat hukum adalah hanya
memuat norma dasar yang bersifat global, jumlahnya relatif sedikit,
mementingkan hubungan hukum dengan akhlak termasuk wa’ad (janji
kebaikan) dan wa’id (keburukan), menggunakan bahasa hukum yang luas dan
luwes, tetapi juga lugas dan akurat. Sedangkan pembidangan ayat hukum secara
garis besar meliputi ayat tentang ibadah dan muamalat (hukum keluarga, perdata,
acara, pidana, tata Negara dan lain-lain).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh,
Qahirah: Daar al-Hadits, 2003.
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1989.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana
2008.
Djazuli dan Nurul Aen, Ushul Fiqh, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2000.
Firdaus, Ushul Fiqh: Metode Meninjau dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, Jakarta: Zikrul Hakim, 2004.
Manna’ Khalil
Al-Qattan, Pengantar Study Ilmu Al-Qur’an, Terjemahan: Aunur Rafiq, Jakarta: Al-Kautsar,
2009.
Manna 'Khalil Al-Qattan, Mabahis fi Ulum Al-Qur'an, Beirut: Daar al-Kalam, 1988.
Muhammad Ali As-Sayis, Tarikh Fiqh Al-Islami, Qahirah: Maktabah Muhammad Ali Shabih wa Aulad, t.th.
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, Beirut: Daar al-Fikr, 1958.
Mukhtar Yahya dan
Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembina Fiqh Islam, Bandung: Al-Ma’arif,
1986.
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum
Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.
Muhammad Amin Suma, Pengantar Tafsir
Ahkam, Jakarta: Raja Grafindo, 2001.
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos, 1997.
Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh Al-Islami, Damaskus: Daar al-Fikr, t.th.
[1]Manna’ Khalil Al-Qattan, Pengantar
Study Ilmu Al-Qur’an, Terjemahan:
Aunur Rafiq, (Jakarta: Al-Kautsar, 2009), hal. 16
[2] Manna 'Khalil Al-Qattan, Mabahis fi Ulum Al-Qur'an, (Beirut: Daar al-Kalam, 1988), hal. 20.
[3] Muhammad Ali As-Sayis, Tarikh Fiqh Al-Islami, (Qahirah: Maktabah Muhammad Ali Shabih wa Aulad, t.th), hal. 15.
[4]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana 2008), hal.
47.
[5] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos, 1997), hal. 15.
[6] Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh Al-Islami, (Damaskus: Daar al-Fikr, t.th), hal. 417.
[7] Ibid
[8]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh…hal. 48
[9]Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar Pembina Fiqh Islam,
(Bandung: Al-Ma’arif, 1986), hal. 27
[10] Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh Al-Islami ... hal. 417.
[11]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh…hal. 63.
[12]Nasrul Haroen, Ushul Fiqh…hal. 31
[13]Nasrul Haroen, Ushul Fiqh…hal. 13.
[14] Ibid.
[15]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh…hal. 76.
[16] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Beirut: Daar al-Fikr, 1958), hal. 92.
[17] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, (Qahirah: Daar al-Hadits, 2003), hal. 39.
[18]A. Djazuli dan Nurul Aen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000), hal. 86.
[19] Firdaus, Ushul Fiqh: Metode Meninjau dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), hal. 29.
[20] Firdaus, Ushul Fiqh: Metode Meninjau dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif ... hal.30.
[21]M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2001), hal. 162.
[22]Muhammad Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, (Jakarta: Raja
Grafindo, 2001), hal. 26-27.
[23]Muhammad Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam…hal. 30.
[24]Muhammad Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam…hal. 32.
[25]Muhammad Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam…hal. 33.
[26]Muhammad Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam…hal. 100-106.
[27] Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh Al-Islami ... hal. 438-440.
0 Response to "Al-Qur’an Sebagai Dalil"
Posting Komentar