BAB II
INTERPRETASI JIHAD DALAM ISLAM
A.
Pengertian
Jihad
Salah
satu pesan pokok yang terkandung di dalam Alquran dan Hadis Nabi adalah
perintah untuk ber-jihad, istilah jihad sendiri muncul seiring
berkembangnya Islam di Jazirah Arab pada waktu itu. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan
oleh Zafir al-Qasyimi, bahwa istilah jihad baru muncul setelah
kedatangan Islam dan sebelumnya tidak dikenal dalam syair-syair Arab pada masa jahiliyyah.
Dengan demikian istilah ini merupakan istilah syar’iyyah yang terkait
erat dengan masalah keagamaan (al-din) seperti istilah-istilah lainnya
seperti shalat dan zakat.[1]
Sedangkan
menurut Abu A’la al-Maududi, jihad termasuk kata yang diistilahkan oleh
Islam untuk menunaikan tugas dan menjelaskan rincian-rincian dakwahnya. Dapat
dilihat bahwa Islam menjauhi kata perang dan sejenisnya yang dapat mengarah
kepada peperangan (qital dalam bahasa Arab) dan mengganti dengan kata
jihad yang mengarah pada pengerahan kesungguhan dan usaha (struggle
dalam bahasa Inggris). Menurut al-Maududi, Islam memilih kata baru ini dan
meninggalkan ungkapan lama yang telah tersebat karena ungkapan perang (harb)
telah ada dan selalu identik hanya untuk kebutuhan individu atau kelompok.[2]
Dalam
memberikan definisi jihad, para ahli berbeda batasan dan pendapat. Ahli
fikih mengatakan bahwa jihad adalah “berperang melawan kafir”, ahli
tasawuf mengatakan bahwa jihad adalah “melepaskan diri dari belenggu
nafsu dan setan”, bahkan dewasa ini timbul lagi terminologi baru tentang jihad
yakni segala bentuk teror dan perongrongan kekuasaan dari penguasa yang sah
(subversi) oleh orang-orang yang mengatasnamakan Islam.[3]
Namun
apabila ditinjau secara etimologi (bahasa), kata jihad berasal dari kata
al-juhd yaitu upaya, kesungguhan dan kesulitan.[4]
Di samping itu, kata jihad juga merupakan mashdar dari kata jahada
yang artinya “(dia) mengerahkan upaya” atau “(dia) berusaha”. Ibn Faris
menyebutkan bahwa setiap kata yang terdiri dari huruf j-h-d, awalnya
menunjukkan makna kesulitan atau kesukaran yang kemudian makna tersebut dibawa
kepada makna lain yang serupa dengannya.[5]
Dengan demikian, makna dari jihad apabila ditinjau segi bahasa adalah berusaha
dalam menghadapi kesulitan dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada.
Adapun
secara terminologi (istilah), para ulama memberikan definisi yang beragam, di
antaranya menurut Raghib al-Asfahani, jihad adalah mengerahkan segala
kemampuan untuk menangkis serangan dan menghadapi musuh yang tidak tampak yaitu
hawa nafsu dan syaitan, serta musuh yang tampak yaitu orang kafir.[6]
Definisi tersebut menunjukkan bahwa jihad menurut al-Asfahani mencakup tiga hal, yaitu memerangi musuh, memerangi setan dan
memerangi hawa nafsu.
Sedangkan
menurut Ibn Taimiyah dalam Mathalib Ula al-Nahyi, sebagaimana yang
dikutip oleh Yusuf Qardhawi, menyatakan jihād adalah sebagai berikut:
(والأمر بالجهاد : -يعني الجهاد
المأمور به- منه مايكون بالقلب : كالعزم عليه، والدعوة إلى الإسلام وشرائعه،
والحجة : أي إقامتها على المبطل، والبيان : أي بيان الحق و إزالة الشبه، والرأي
والتدبير فيما فيه نفع للمسلمين. والبدن : أي
القتال بنفسه، فيجب الجهاد بغاية ما يمكنه من هذه الأمور)[7]
Dan jihad merupakan perintah yang
harus dilakukan baik secara hati, seperti bertekad untuk berdakwah serta
menerapkan syari’at-Nya, dan secara hujjah artinya tegas terhadap yang bathil,
dan secara bayan berupa penjelasan mengenai kebenaran dan menghilangkan
syubhat-syubhat, atau melalui pemikiran yang bermanfaat bagi kaum Muslimin dan
juga secara fisik yaitu berperang melawan kafir. Oleh karena itu, maka wajib untuk selalu ber-jihad sesuai dengan
yang mungkin dari perkara-perkara tersebut.
Menurut penulis, pengertian jihad yang di utarakan oleh Ibnu Taimiyah lebih jami’dan mani’ karena
mencakup berbagai unsur-unsur yang ada di dalam kehidupan manusia dan tidak
terpaku dengan makna melawan tiga musuh di atas, sebagaimana yang telah diungkapkan
oleh Raghib al-Asfahani.
Namun demikian
ada juga beberapa ulama lain yang mencoba mengutarakan definisi jihad menurut
mereka, di antaranya adalah Sayid Sabiq yang menerangkan pengertian jihad
menurutnya sebagai berikut: “Allah telah mengutus Rasul-Nya (Muhammad saw.)
kepada semua manusia, dan memerintahkannya untuk menyeru manusia kepada
petunjuk dan agama yang hak; dan selama di Makkah, ia telah berdakwah kepada
kaumnya dengan bijaksana dan dengan pendidikan
yang baik. Ternyata beliau menghadapi tantangan dari kaumnya, tantangan ini
dihadapi dengan sabar, maaf dan berdamai di samping mengharapkan pertolongan
Allah. Pada waktu ini semuanya diperintahkan dengan melakukan jihad yang
biasa yaitu dengan bersungguh-sungguh berpegang kepada Alquran dengan
mengajukan argumentasi dan memberikan penjelasan yang nyata. Hingga akhirnya
kekejian yang diikuti dengan penyiksaan telah mencapai puncaknya dengan cara
yang berulang-ulang sehingga mengancam Rasulullah saw. dan ini yang memaksa
Rasul dan para sahabat berhijrah dari Makkah ke Madinah.[8]
Pengertian jihad yang dikemukakan oleh Sayid
Sabiq di atas, ia ambil dari sirah kehidupan Rasulullah saw. Di sini
Sayid Sabiq ingin menjelaskan bahwa jihad pada mulanya dilakukan dengan
cara yang bijaksana, cara ini ditempuh ketika umat Islam belum memiliki
kekuatan untuk melawan. Namun ketika umat Islam sudah kuat, baru dibolehkan
untuk berperang demi menjaga agama dan umatnya ketika dihina.
Seorang tokoh pembaharu Islam yang terkenal, yaitu
Hassan al-Banna, juga mendefinisikan jihad sebagai berikut: Yang saya
maksud jihad adalah sebuah kewajiban yang hukumnya tetap hingga hari
kiamat. Ini merupakan kandungan dari Sabda Rasulullah saw. :
عن أبى هريرة قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من مات ولم يغزو ولم ينوا
لغزو، مات على شعبة نفاق (رواه أبو داود) [9]
Dari Abi Hurairah, Bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda: Barang siapa mati sedang ia belum pernah
berperang atau belum berniat untuk berperang, maka ia mati dalam keadaan
munafik. (H.R. Abu Daud)
Menurut al-Banna, peringkat pertama jihad
adalah niat dengan hati dan peringkat terakhir adalah berperang di jalan Allah.
Di antara keduanya terdapat jihad dengan pena, tangan dan lisan berupa
kata-kata yang benar di hadapan penguasa yang zalim.[10]
Sedangkan definisi jihad menurut Wahbah al-Zuhaily, (yang mana
menurut penulis dapat mewakili dari kalangan ulama fikih kontemporer), adalah
mengeluarkan segenap kemampuan dan kekuatan dalam memerangi orang kafir dan
menolaknya dengan jiwa, harta dan lisan. Maka jihad menurutnya dapat
ditempuh dengan metode pengajaran hukum-hukum Islam dan menyebarluaskannya di
kalangan manusia, atau dengan cara mengeluarkan harta, serta juga dengan cara
bekerja sama dalam hal memerangi musuh apabila pemimpin/ penguasa sudah
mengumumkan jihad (perang).[11] Definisi jihad yang dikemukakan oleh Wahbah
al-Zuhaily tersebut, didasarkan dari Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu
Daud, dari Anas ibn Malik bahwasanya Nabi saw. bersabda:
Berjihadlah terhadap
orang-orang Musyrik dengan harta kalian, jiwa kalian dan lisan kalian. (H.R. Abu Daud)
Beberapa tokoh dan ulama di Indonesia juga turut
mengutarakan pengertian jihad menurut mereka, antara lain seperti H.M.K.
Bakry yang menulis tentang jihad dengan mengatakan bahwa jihad
menurut bahasa diartikan susah payah, kesulitan, menghabiskan tenaga. Sementara
menurut istilah yaitu perjuangan yang memerlukan tenaga untuk memerangi
orang-orang kafir dan murtad sampai kembali menganut agama Islam, selain itu jihad
diartikan juga berjuang melawan hawa nafsu, iblis dan orang fasik.[13]
Selanjutnya menurut Quraish Shihab, jihad
adalah cara untuk mencapai tujuan. Jihad tidak mengenal putus asa,
menyerah, kelesuan, tidak pula pamrih. Tetapi jihad tidak dapat
dilaksanakan tanpa modal, karena itu jihad mesti disesuaikan dengan
modal yang dimiliki dan tujuan yang ingin dicapai. Sebelum tujuan tercapai dan
selama masih ada modal, selama itu pula jihad dituntut.[14]
Kemudian Moenawir Syadzali mengatakan “Di Indonesia
orang tidak mesti mati demi Islam, yang kita butuhkan sekarang adalah
orang-orang yang mau hidup demi Islam. Di Indonesia, jihad konflik
bersenjata telah usai dan tidak membutuhkan lagi perjuangan bersenjata, jihad
harus dilakukan secara damai dan bentuk-bentuk lainnya tidak dapat
ditoleransi.”[15]
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama di atas, menunjukkan
bahwa jihad mempunyai arti yang luas
serta tujuan yang ingin dicapainya. Secara umum tujuan jihad adalah menegakkan agama Allah di
permukaan bumi.[16]
Dengan berorientasi kepada tujuan tersebut, maka jihad dapat dinilai
sebagai ibadah kepada Allah swt. yang didasarkan kepada kesungguhan dengan cara
mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki baik dengan nyawa, harta, pikiran,
lisan dan lainnya.
B.
Jihad dalam Al-Qur’an dan Hadis
a)
Jihad dalam Al-Qur’an
Kata
jihad dengan berbagai bentuknya terulang sebanyak empat puluh satu kali
di dalam Alquran. Kata jihad yang mengandung pengertian ‘berjuang di
jalan Allah’ ditemukan pada 33 ayat: 13 kali dalam bentuk fi’il madhi ( فعل ماض/
kata kerja bentuk lampau),
lima kali dalam bentuk fi’il mudhari’ فعل
مضارع)/ kata kerja bentuk sekarang
dan yang akan datang),
tujuh kali dalam bentuk fi’il amr ( فعل أمر/
kata kerja bentuk perintah),
empat kali dalam bentuk mashdar dan empat kali dalam bentuk isim fa’il ( إسم فاعل/
kata benda yang menunjukkan pelaku).[17]
Kata jihad di dalam Alquran sering disanding dengan lafaz fi sabilillah
(pada jalan Allah), misalnya dalam Q.S. al-Maidah: 54, al-Anfal: 72, al-Taubah:
41 dan 81. Hal ini menunjukkan bahwa semestinya seluruh aktivitas jihad,
baik yang dikorbankan adalah jiwa, harta, pikiran, lisan dan sebagainuya,
semata-mata harus diniatkan karena Allah serta mengharap keridhaannya, sehingga
jihad yang telah dilakukan tersebut akan bernilai di sisi Allah. Hal ini
juga ditegaskan dalam hadis Nabi saw. yang artinya sebagai berikut:
Seseorang
berperang untuk memperoleh rampasan, yang lain berperang untuk memperoleh
sebutan dan seseorang berperang supaya dilihat kedudukannya. Siapakah di antara
mereka yang fi sabilillah? Nabi saw. menjawab, siapa berperang agar kalimat
Allah unggul, maka ia fi sabilillah.[18]
Dengan
demikian, jihad harus dilakukan semata-mata hanya demi Allah, tanpa
mengharapkan keuntungan, pujian, kedudukan, maupun motivasi-motivasi lain yang
bersifat keduniawian. Dan jihad fi sabilillah ini adalah jihad
yang sebenarnya yang harus dilakukan, sesuai dengan firman Allah pa surat
al-Hajj ayat 78:
وجاهدوا فى الله حقَ جهاده
Berjihadlah
di (jalan) Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.
Di antara ayat-ayat yang berkenaan dengan jihad di dalam Alquran, para
mufassir telah bersepakat bahwa ayat yang pertama kali turun dengan
menggunakan kata jihad, sebagaimana yang telah penulis singgung pada bab
sebelumnya, terdapat dalam surat al-Furqan ayat 52:
فلا تطع الكافرين وجهدهم به جهادا كبيرا
Maka jangan
kamu taati orang-orang kafir dan berjihadlah melawan mereka menggunakan Alquran
dengan jihad yang besar.
Ayat
tersebut menerangkan tentang jihad dengan Alquran terhadap tuduhan
orang-orang kafir dan musyrik yang menganggap Alquran sebagai dongeng
orang-orang terdahulu yang dibacakan setiap pagi dan petang. Menanggapi tuduhan
ini, Alquran pun menjawab pada surat al-Furqan ayat 6:
قل أنزله الَذى يعلم السرَ فى السَموات والأرض إنَه كان
غفورا رحيما
Katakanlah Alquran ini diturunkan
oleh (Allah) yang mengetahui rahasia di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dalam situasi seperti itu, Rasulullah saw. harus berjuang sekuat tenaga
untuk bisa menginsafkan dan meyakinkan orang-orang kafir yang tidak mau beriman
kepada Allah swt. dan meragukan kitab suci Alquran. Adapun senjata yang dipakai
oleh Rasulullah untuk berjihad pada waktu itu adalah Alquran.[19]
Ibn
Qayyim di dalam mengomentari surat al-Furqan ayat 52 di atas, juga menyebutkan
bahwa pada surat tersebut adalah surat Makkiyah yang mana Allah memerintahkan
Rasul untuk berjihad terhadap orang-orang kafir dengan hujjah, yaitu berupa penjelasan, serta penyampaian dari isi kandungan Alquran.
Demikian juga dengan jihad terhadap orang-orang munafik ketika itu, jihad
harus dilakukan dengan penyampaian hujjah sampai mereka yakin dengan
kebenaran Islam.[20] Dari
sini dapat dipahami bahwa pada ayat tersebut jihad semakna dengan usaha
dakwah yang disampaikan terhadap orang-orang yang masih ragu terhadap kebenaran
Islam.
Selain ayat jihad yang terdapat dalam surat al-Furqan di atas, ayat-ayat
Alquran yang membicarakan tentang jihad sangat banyak, namun di sini
penulis memilih beberapa ayat saja. Di antaranya adalah perintah jihad dalam surat al-Maidah ayat 35:
يأيُها الَذين ءامنوا اتَقوا الله وابتغوا إليه الوسيلة
وجهدوا فى سبيله لعلَكم تفلحون
Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri
kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.
Sehubungan dengan ayat di atas, Ibn Katsir menjelaskan bahwa sesudah Allah
memerintahkan orang-orang beriman untuk bertakwa, yaitu menjalankan
perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya, kemudian Allah memerintahkan
orang-orang mu’min tersebut untuk berjihad membasmi musuh yang berusaha
merintangi tersebarnya agama Allah dan ajarannya. Allah swt. telah menjamin
bagi orang yang benar-benar berjuang untuk menegakkan agama Allah dan mencari
ridha-Nya akan bahagia dalam surga abadi, hidup kekal dalam nikmat yang tidak
kunjung habis selamanya.[21]
Selain perintah untuk berjihad, Allah
juga menjanjikan
bagi orang
yang berjihad akan mendapat tempat yang tertinggi di sisi Allah, sebagaimana dalam surat al-Taubah ayat 19-20:
أجعلتم سقاية الحاجِ وعمارة المسجد الحرام كمن أمن بالله و اليوم الآخر
وجاهد في سبيل الله لا يستوون عند الله لا يهدي القوم الظَالمين (19) الَذين أمنوا
وهاجروا وجاهدوا في سبيل الله بأموالهم و أنفسهم أعظم درجة عند الله وأولئك هم
الفائزون (20)
(19) Apakah kamu jadikan pemberian
minuman kepada yang mengerjakan haji dan pemakmuran Masjid al-Haram, sama
dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian serta berjihad
di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk
kepada kaum yang
zalim.
(20) Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda mereka dan diri mereka adalah lebih agung derajatnya di sisi Allah; dan itulah mereka orang-orang yang beruntung.
(20) Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda mereka dan diri mereka adalah lebih agung derajatnya di sisi Allah; dan itulah mereka orang-orang yang beruntung.
Ahmad Mustafa al-Maraghi menjelaskan maksud ayat di atas bahwa tidak patut
untuk menyamakan keutamaan orang-orang yang memberi minum kepada orang-orang
yang menunaikan ibadah haji dan memakmurkan masjid dengan keutamaan orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhir serta orang yang berjihad di jalan Allah.
Sebab meskipun memberi minum dan memakmurkan masjid itu termasuk kebajikan,
namun para pelakunya tidak sama dengan orang yang beriman dan berjihad dalam
ketinggian martabat dan kemuliaannya.[22]
Lebih lanjut al-Maraghi menjelaskan bahwa dalam hukum Allah, orang-orang
beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan diri mereka,
lebih agung derajatnya, lebih tinggi kedudukan dalam martabat keutamaan dan
kesempurnaan, serta lebih besar pahalanya dari pada orang yang memberi minum
kepada orang-orang yang menunaikan ibadah haji dan memakmurkan masjid, yang
oleh sebagian Muslimin dipandang bahwa perbuatan tersebut adalah jalan
mendekatkan diri kepada Allah yang paling utama sesudah Islam.[23]
Menurut Quraish Shihab, maksud kata ‘lebih agung’ pada ayat di atas,
menunjukkan bahwa selain orang-orang yang beriman, berhijrah dan berjihad di
jalan Allah boleh jadi memiliki keagungan walaupun tidak sampai pada peringkat
yang tinggi. Redaksi ini mengisyaratkan bahwa perselisihan pendapat menyangkut
siapa yang lebih utama terjadi antar Kaum Muslimin sendiri, bukan antar Kaum
Muslimin dan Musyrikin yang ditawan pada Perang Badar.[24]
Selanjutnya
perintah untuk pergi berjihad juga terdapat pada surat al-Taubah ayat 41:
آنفروا
خفا فا وثقالا وجهدوا بأموالكم وأنفسكم فى سبيل الله ذلكم خير لَكم إن كنتم تعلمون
Berangkatlah
kamu baik dalam keadaan merasa
ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan
Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Al-Maraghi menjelaskan pada ayat terdahulu Allah
mengancam orang-orang yang tidak turut berperang bersama Rasul dan merasa berat
ketika beliau mengajaknya berperang. Dalam ayat ini Allah menyampaikan perintah
yang tidak bisa ditawar lagi; Dia mewajibkan perang umum kepada setiap
individu, maka tidak ada uzur bagi seseorang pun untuk berhalangan atau tidak
taat.[25]
Perintah untuk pergi berjihad diwajibkan dalam keadaan bagaimanapun, baik
dalam keadaan mudah maupun susah, sehat maupun sakit, kaya maupun miskin,
sedikit perbekalan maupun banyak, atau lain sebagainya yang dapat atau tidak
dapat menunjang sebab kemenangan, setelah kesempatan dan kemampuan secara umum
ada. Jika perintah untuk melaksanakan perang atau jihad telah diumumkan, maka
perintah tersebut wajib ditaati, kecuali dalam keadaan benar-benar tidak mampu.[26]
Berkenaan
dengan jihad melawan orang kafir dan munafik, terdapat dalam surat
al-Taubah ayat 73:
يأيُها
النَبيُ جاهد الكفَار والمنفقين واغلظ عليهم ومأواهم جهنَم وبئس المصير
Hai Nabi,
berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap
keraslah terhadap mereka. tempat mereka ialah Jahannam. dan itu adalah tempat
kembali yang seburuk-buruknya.
Al-Maraghi menjelaskan bahwa dalam ayat di atas Allah memerintahkan Nabi
untuk mengerahkan segenap upaya untuk melawan golongan kafir dan munafik yang
hidup di tengah-tengah Nabi, seperti mereka juga telah mengerahkan upayanya
untuk menyerang Nabi, dan memperlakukan mereka dengan kekerasan yang sesuai
dengan keburukan keadaan mereka. Al-Maraghi juga mengutip riwayat dari Ibn
Abbas r.a. bahwa berjihad melawan kaum kafir adalah dengan pedang, sedang
berjihad melawan kaum munafik adalah dengan lisan, yakni dengan mengemukakan hujjah
dan keterangan kepada mereka.[27]
Adapun keutamaan bagi orang yang berjihad di jalan Allah juga dijelaskan
dalam surat al-Ankabut ayat 6:
و من جهد فإنَما يجهد لنفسه إنَ الله لغنيٌ عن العالمين
Dan Barangsiapa
yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari
semesta alam.
Di dalam tafsir al-Azhar, HAMKA menjelaskan bahwa arti pokok dari pada jihad dalam ayat di atas adalah
bekerja keras, bersungguh-sungguh dan tidak mengenal kelalaian. Jika seseorang
bekerja keras membanting tulang, membuktikan bahwa hidupnya adalah untuk
memperjuangkan agama Allah, maka yang beruntung bukan orang lain melainkan pejuang
itu sendiri. Keuntungan pertama yang akan didapatinya dalam dunia ini adalah
bertambah tinggi derajat jiwanya, bertambah banyak pengalaman dan ilmunya dalam
menghadapi dunia ini. Sedangkan keuntungan kedua di akhirat kelak, ia akan
mendapat tempat istimewa di sisi Allah dalam surga, menerima pahala dan
ganjaran atas amalnya tersebut.[28]
Apabila
ayat-ayat jihad tersebut ditinjau dari segi tempat turunnya ayat (al-asbab
al-nuzul), maka sebagian ayat ada yang turun pada saat Nabi saw. berada di
Makkah, yang kemudian disebut sebagai ayat makkiyah. Dan sebagian yang lain
turun pada saat Nabi telah hijrah ke Madinah, atau biasa disebut sebagai ayat
madaniyah. Berikut ini adalah susunan
ayat-ayat jihad berdasarkan periode turunnya ayat tersebut:
1.
Al-Furqan
(25) : 52.
2.
Al-Nahl
(16) : 110.
3.
Al-Ankabut
(29) : 6, 69.
4.
Al-Baqarah
(2) : 218.
5.
Al-Anfal
(8) : 72, 74, 75.
6.
Ali
Imran (3) : 142.
7.
Al-Mumtahanah
(60) : 1.
8.
Al-Nisa’
(4) : 95.
9.
Muhammad
(47) : 31.
10.
Al-Hajj
(22) : 78.
11.
Al-Hujurat
(49) : 15.
12.
Al-Tahrim
(66) : 9.
13.
Al-Saff
(61) : 11.
14.
Al-Maidah
(5) : 35, 54.
15.
Al-Taubah
(9) : 16, 19, 20, 24, 41, 44, 73, 81, 86, 88.[29]
Ayat-ayat
jihad tersebut di atas, sebagian turun pada periode Makkah, yakni
ayat-ayat yang terdapat pada surat nomor pertama, kedua dan ketiga. Sedangkan
sebagian besar lainnya, yakni yang termuat pada surat nomor empat sampai kelima
belas diturunkan pada periode Madinah.[30]
Terdapat perbedaan antara ayat-ayat jihad yang turun pada periode Makkah
dengan ayat-ayat jihad yang turun pada periode Madinah. Ayat-ayat jihad
pada periode Makkah dapat dikatakan lebih humanis dengan menyeru untuk bersabar
dalam menghadapi tindakan musuh dengan terus menyampaikan dakwah kepada mereka.
Sedangkan ayat-ayat jihad pada periode Madinah lebih agresif dengan
membolehkan umat Islam membalas serangan musuh yang dilancarkan terhadap
mereka.
b)
Jihad dalam Hadis
Islam
mengatur setiap tatanan yang menyangkut dengan kehidupan umat manusia, baik
dalam bidang agama maupun sosial, semuanya diatur dalam Alquran dan Hadis.
Begitu juga dengan jihad, selain terdapat di dalam Alquran, perintah
untuk berjihad
juga banyak terdapat di dalam Hadis Nabi Muhammad saw. disertai dengan pesan
dan bentuk-bentuk jihad yang beragam. Adapun hadis-hadis pilihan yang
dijadikan sebagai rujukan pentingnya jihad di dalam Islam, misalnya
hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab shahih-nya, yaitu
sebagai berikut:
عن أبي عمر الشَيباني قال: قال عبد الله بن مسعود رضي الله عنه: سألت رسول
الله صلى الله عليه وسلَم قلت: يا رسول الله أيُ العمل أفضل؟ قال: الصَلاة على
ميقاتها. قلت: ثم أي؟ قال: ثم برُ الوالدين. قلت: ثم أي؟ قال: الجهاد في سبيل
الله. فسكتُ عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، ولو استزدته لزادني[31]
Dari Abu Amr
Asy-Syaibani, dia berkata: Abdullah ibn Mas’ud r.a. berkata, “Aku bertanya
kepada Rasulullah saw. ‘Wahai Rasulullah, apakah perbuatan yang paling utama?’
Beliau menjawab, ‘Shalat pada (awal) waktunya’. Aku bertanya lagi, ‘Kemudian
apa?’ Beliau menjawab, ‘Berbakti kepada kedua orang tua’. Aku berkata.
‘Kemudian apa?’ Beliau menjawab, ‘Jihad di jalan Allah’. Aku pun berhenti
(untuk) bertanya kepada Rasulullah saw. sekiranya aku menambah pertanyaan
niscaya beliau akan menambah jawabannya kepadaku.”
Ibn
Hajar al-Asqalani mengutip komentar al-Thabari terhadap hadis di atas, bahwa
Nabi saw. menyebutkan tiga perkara
tersebut secara khusus, karena ketiganya merupakan tanda dan ciri bagi ketaatan
yang lain. Barang siapa melalaikan shalat fardhu hingga keluar waktunya tanpa
uzur, padahal shalat itu ringan dan keutamaannya sangat besar, maka dapat
dipastikan dia lebih melalaikan kewajiban yang lain. Barangsiapa yang tidak
berbakti kepada kedua orang tua, padahal hak keduanya demikian besar maka tentu
dia lebih tidak berbakti kepada orang lain. Barangsiapa meninggalkan jihad
memerangi orang kafir, padahal permusuhan mereka sangat keras terhadap agama
Islam, tentu dia akan lebih meninggalkan jihad melawan orang-orang
fasik. Maka jelas barangsiapa memelihara ketiga perkara ini, dia akan
memelihara pula ketaatan-ketaatan yang lain, dan demikian sebaliknya.[32]
Selanjutnya
hadis lain yang berbicara tentang jihad adalah hadis dari Aisyah dan
juga telah di-shahih-kan oleh al-Bukhari
dengan redaksi sebagai berikut:
عن عائشة رضي الله عنها أنَها قالت: يا رسول الله نرى الجهاد أفضل العمل،
أفلا نجاهد؟ قال: لكنَ أفضل الجهاد حجٌ مبرور[33]
Dari Aisyah
r.a., dia berkata, “Wahai Rasulullah, kami melihat jihad merupakan perbuatan
paling utama, tidakkah kami berjihad?” Beliau bersabda, “Tetapi jihad paling (bagi
kamu) adalah haji yang mabrur.”
Ibn
Hajar mengatakan bahwa kesesuaian hadis di atas sebagai hadis jihad,
disimpulkan dari persetujuan Nabi saw. terhadap perkataan Aisyah, “Kami
melihat jihad merupakan perbuatan paling utama”.[34]
Hadis tersebut menunjukkan bagaimana keluasan dari cakupan makna jihad
dalam Islam. Dengan kata lain, jihad tidak mesti dipahami dengan
perjuangan senjata karena ia adalah hanya salah satu dari sekian banyak bentuk jihad.
Sebagaimana hadis di atas, haji mabrur juga termasuk bentuk jihad
walaupun konteks hadis di atas ditujukan bagi kaum perempuan, namun hal
tersebut tetap menunjukkan bahwa jihad memiliki makna yang luas.
Hadis
dari Habib bin Abi Tsabit dan telah disepakati oleh Bukhari dan Muslim atas ke-shahih-annya yaitu sebagai berikut:
عن حبيب بن أبي ثابت قال: سمعت أبا العبَاس الشَاعر –وكان لا يتَهم في
حديثه- قال: سمعت عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما يقول: جاء رجل إلى النَبي صلى
الله عليه وسلم فاستأذنه في الجهاد فقال: أحيٌ والداك؟ قال: نعم، قال: ففيهما
فجاهد[35]
Dari Habib bin
Abi Tsabit, dia berkata: Aku mendengar Al Abbas (sang penyair) dan dia tidak
dituduh berdusta dalam hadisnya – berkata: Aku mendengar Abdullah ibn Amir r.a.
berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. dan minta izin untuk
berjihad. Beliau saw. bertanya: ‘Apakah kedua orang tuamu masih hidup?’ Orang
itu berkata: ‘Ya’. Beliau bersabda, ‘Maka kepada keduanya lah engkau
berjihad’.”
Hadis
di atas juga menunjukkan tentang keluasan dari cakupan makna jihad dalam
Islam, sehingga berbakti kepada kedua orang tua pun termasuk ke dalam bentuk jihad.
Ibn Hajar menjelaskan maksud dari perkataan Nabi ففيهما فجاهد
adalah perintah agar mengkhususkan jihad jiwa dalam mencapai keridhaan
orang tua, yaitu dengan kelelahan jasmani serta mengeluarkan harta (untuk
mencapai keridhaan mereka). Dari sini juga dapat diambil pelajaran bahwa segala
sesuatu yang melelahkan jiwa adalah jihad dan berbakti kepada kedua
orang tua terkadang lebih utama dari pada jihad (dalam arti pergi berperang).[36]
Dari beberapa kutipan hadis-hadis tentang jihad
di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa jihad mempunyai kedudukan yang
penting dalam Islam. Hadis-hadis tersebut juga dapat dijadikan sebagai rujukan
dalam mengimplementasikan jihad, baik dalam konteks peperangan, maupun jihad
dalam arti sebagai usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dalam rangka
untuk menegakkan agama serta menggapai ridha Allah swt.
C. Interpretasi Jihad Pada Masa Klasik
dan Modern
a) Interpretasi Jihad Pada Masa Klasik
Jihad merupakan bagian integral wacana Islam sejak
masa-masa awal Islam hingga masa kontemporer. Banyak ulama dan pemikir Muslim
terlibat dalam pembicaraan tentang jihad baik kaitannya dengan doktrin
fikih maupun dengan konsep politik Islam. Konsep-konsep jihad yang
mereka kemukakan sedikit mengalami pergeseran dan perubahan sesuai dengan
konteks dan lingkungan masing-masing pemikir Muslim.[37]
Sebagaimana telah tersebut pada bab sebelumnya, bahwa
menurut al-Qaradhawi, para ulama fikih cenderung mendefinisikan jihad
sebagai perang di dalam kitab-kitab mereka.[38]
Di antaranya kitab Bidayah al-Mujtahid karangan Ibn Rusyd termasuk salah satu
literatur yang membahas tentang fiqh al-jihad secara rinci.[39]
Demikian juga dengan kitab-kitab fikih dari mazhab lainnya, yang mana mayoritas
ahli fikih menyatakan bahwa hukum jihad adalah fardhu kifayah. Adapun
maksud jihad fardhu kifayah di sini, diinterpretasikan dengan bentuk
adanya pasukan yang selalu berjaga-jaga di perbatasan, atau pengiriman pasukan
untuk bertempur setiap tahun ke wilayah musuh.[40]
Sehingga, apabila ditinjau dari sejarah masa-masa awal pembentukan fikih,
istilah jihad secara alamiah diartikan sebagai perang untuk memperluas
ranah kekuasaan dan pengaruh Islam.[41]
Untuk menguatkan pendapatnya bahwa jihad
(berperang) telah diwajibkan bagi setiap Muslim, para ulama fikih menggunakan
dalil surat al-Baqarah ayat 216:
كتب عليكم القتال وهو كره لَكم وعسى أن تكرهوا شيأ وهو
شرٌلَكم والله يعلم وأنتم لا تعلمون
Diwajibkan atas
kamu berperang, padahal
berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci
sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal
ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Sedangkan hukum jihad (berperang) tersebut
menjadi fardhu kifayah, jumhur fuqaha’ mengajukan dua dalil,
yaitu surat al-Nisa’ ayat 95:
لا يستوى القعدون من المؤمنين غير أولى الضَرر والمجهدون
فى سبيل الله بأموالهم وأنفسهم فضَل الله المجهدين بأموالهم وأنفسهم على القعدين
درجة
Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang)
yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah
dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad
dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat.
Maksud dari ‘tidak sama’ menunjukkan bahwa mereka
yang duduk tidak ikut berperang, tidak berdosa, selama selain mereka telah ada orang
lain yang menunaikannya.[42]
Adapun dalil kedua adalah firman Allah pada
surat al-Taubah ayat 122:
وما كان
المؤمنون لينفروا كآفَة فلولا نفر من كل فرقة منهم طآئفة ليتفقَهوا في الدَين
Tidak
sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang), mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama
Rasulullah saw. sendiri tidak pernah keluar untuk
berperang kecuali dengan meninggalkan sebagian sahabatnya di Madinah. Apabila kedua
dalil di atas saling dihubungkan, maka jelas bahwa hukum jihad menjadi fardhu
kifayah.[43]
Sedangkan menurut Ibn Qayyim, jihad melawan
musuh dibagi ke dalam dua bentuk, yaitu melawan orang-orang kafir dan munafik.
Dalam hal ini, ia menyebutkan:
Adapun jihad melawan orang-orang kafir dan munafik, dapat dilakukan
dengan empat tingkatan, yaitu dengan hati, lisan, harta dan jiwa. Jihad melawan
orang-orang kafir secara khusus dapat dilakukan dengan tangan, sedangkan jihad
melawan orang-orang munafik secara khusus dapat dilakukan dengan lisan.[44]
Selain diinterpretasikan sebagai perlawanan terhadap
musuh, interpretasi jihad di masa klasik juga terfokus kepada perlawanan
terhadap syaithan dan hawa nafsu. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Raghib
al-Asfahani, jihad adalah mengerahkan segala kemampuan untuk menangkis serangan dan
menghadapi musuh yang tidak tampak yaitu hawa nafsu dan syaitan, serta musuh
yang tampak yaitu orang kafir.[45]
Jihad melawan musuh yang tidak tampak yaitu hawa nafsu dan syaithan, dapat
dilakukan dengan cara mempelajari agama, mengamalkan, berdakwah dan bersabar
atas segala gangguan-gangguan yang dihadapinya, serta juga dengan menolak apa
yang dihembuskan syaithan kepada manusia dari berbagai jenis syubhat dan
syahwat.[46] Dalam
surat al-Nas, Allah menggambarkan syaithan sebagai al-waswas al-khannas.
Kata al-waswas pada mulanya berarti suara yang sangat halus, selanjutnya
makna ini berkembang hingga diartikan bisikan-bisikan hati, biasanya
dipergunakan untuk bisikan-bisikan negatif. Oleh sebab itu, sebagian ulama
tafsir memahami kata ini sebagai syaithan. Menurut mereka, syaithan sering
membisikkan rayuan dan jebakannya ke dalam hati seseorang.[47]
Sedangkan
mengenai jihad melawan hawa nafsu, pada surat al-Qashash ayat 50,
Alquran memperingatkan manusia agar tidak mengikuti hawa nafsu dengan
sekehendak hatinya. Kemampuan seseorang berjihad melawan hawa nafsu akan
memberikan kontribusi yang baik dalam berjihad melawan musuh-musuh lainnya dan
tidak akan tersesat hidupnya. Sedangkan orang-orang yang menuruti hawa nafsu
akan tersesat selama-lamanya dan tidak akan mendapatkan petunjuk.[48]
Atas dasar ini, jihad sesungguhnya dapat berakibat kepada kemashlahatan
diri sendiri.[49]
Dengan
demikian, interpretasi jihad pada masa klasik secara jelas digambarkan
dengan jihad paling tidak harus dilaksanakan baik dalam menghadapi musuh
yang nyata, yaitu orang-orang kafir dan munafik, maupun musuh yang tidak nyata,
yaitu syaithan dan hawa nafsu.
b)
Interpretasi
Jihad Pada Masa Modern
Pada
perkembangan selanjutnya, jihad lebih berkaitan dengan politik. Hal ini
terlihat jelas dalam pemikiran Hassan al-Banna (pendiri organisasi al-Ikhwan
al-Muslimin), menurutnya jihad sangat erat hubungannya dengan
konsepsi politik Islam dalam hubungannya dengan supremasi syari’ah. Bagi
Hassan al-Banna, kekuasaan politik merupakan kebutuhan yang tak terelakkan bagi
kehidupan sosial. Tugas menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran hanya bisa
ditunaikan sepenuhnya dengan kekuasaan politik. Tidak hanya itu, penunaian
ibadah, shalat, puasa, haji, zakat dan jihad memerlukan kekuasaan
politik yang berpijak pada syari’ah. Jihad menjadi begitu penting
dalam pemikiran politik Hassan al-Banna, sehingga ia mengatakan, substansi
agama adalah shalat dan jihad (perang). Ia juga menyebut jihad
senafas dengan kekuasaan politik. Agama tanpa kekuasaan atau penguasa (sulthan),
jihad dan harta (mal) sama jeleknya dengan sulthan, mal
dan harb tanpa din (agama).[50]
Al-Banna
menyerang pandangan yang menyatakan bahwa jihad lebih berarti sebagai
perjuangan spiritual, yaitu perjuangan melawan hawa nafsu dalam diri sendiri.
Menurut al-Banna, pandangan semacam ini bersumber dari hadis yang tidak
otentik. Dalam pandangan al-Banna, pengertian jihad seperti ini sengaja
disebarkan musuh-musuh Islam untuk melemahkan perjuangan bersenjata kaum
Muslimin melawan penjajah Eropa.[51]
Demikian
juga dalam pemikiran Sayid Quthb (dihukum mati pada tahun 1966), pemikiran
Sayid Quthb tentang jihad bertitik tolak dari gagasannya untuk
membangkitkan kejayaan Islam vis-a-vis hegemoni Barat, karena itulah
pemikirannya tentang jihad lebih politis ketimbang legalistik. Menurut
Sayid Quthb dalam Ma’alim al-Thariq, sebagaimana yang dikutip oleh
Azyumardi Azra, menyatakan bahwa jihad adalah kelanjutan dari “politik”
Tuhan. Jihad adalah perjuangan revolusioner yang dirancang untuk
melucuti musuh-musuh Islam, sehingga memungkinkan kaum Muslim menerapkan
ketentuan-ketentuan syari’ah yang selama ini diabaikan atau bahkan
ditindas Barat dan rezim-rezim opresif di Dunia Muslim sendiri. Sayid Quthb
menjelaskan, penegakan hegemoni Islam melalui jihad adalah membebaskan
individu-individu dari dominasi politik non-Muslim. Begitu kekuasaan politik
berada di tangan elit Muslim, maka hukum Islam pun dapat ditegakkan.[52]
Implikasi
dari pemikiran jihadnya tersebut, Sayid Quthb memperkenalkan sekaligus
menganjurkan istilah jihad ofensif. Menurutnya, jihad tidak hanya
untuk bertahan melindungi keamanan kaum Muslimin, tetapi juga untuk menopang
proses pengokohan sistem Allah di muka bumi. Dari sini terlihat jelas bahwa jihad
menurut Sayid Quthb bersifat ofensif, tidak defensif. Ia juga menolak pandangan
kaum modernis yang cenderung mendefinisikan jihad sebatas perang
defensif, dalam arti hanya untuk bertahan, melindungi Islam dan negeri Islam
dari serangan musuh.[53]
Pemikiran Sayid Quthb tersebut banyak dipengaruhi
al-Maududi (w. 1979) dalam pandangannya tentang jihad. Namun menurut
Azyumardi Azra, pemikiran al-Maududi lebih maju ketimbang Sayid Quthb ketika
mensejajarkan Islam dengan jihadnya sebagai “gerakan politik revolusioner”
dengan ideologi dan gerakan revolusioner lain, semacam Marxisme, Nazisme dan
Fasisme. Sayid Quthb menolak membandingkan atau mengasosiasikan Islam dengan
semua produk pemikiran sekuler ini.[54]
Menurut al-Maududi, jihad adalah perjuangan
transformasi dari gerakan yang sungguh-sungguh, berkesinambungan, yang
dimaksudkan untuk mencapai sebuah tujuan dan pengetahuan bagi orang yang
mencarinya.[55] Jihad
merupakan sarana transformatif untuk dapat merombak sistem masyarakat dunia
seluruhnya agar sesuai dengan manhaj Islam. Dengan kata lain, jihad merupakan
kalimat yang umum meliputi berbagai usaha dan pengerahan kemampuan.[56]
Selain itu di dalam menginterpretasikan jihad
pada masa modern ini, ada juga sebagian kelompok yang berpendapat agak lebih
ekstrim, mereka mengumandangkan perang secara global. Mengutip dari penjelasan
al-Qaradhawi, kelompok ini memahami jihad hanya satu kata, yaitu perang
kepada semua non-Muslim, tanpa membedakan kategorinya. Bagi kelompok ini, tidak
ada perbedaan antara non-Muslim yang memerangi umat Islam, menghalangi dakwah
dan mengganggu nilai-nilai Islam dengan non-Muslim yang bersikap damai,
mengulurkan tangan perdamaian untuk kemashlahatan bersama dengan kaum Muslimin
dan tidak menunjukkan permusuhan.[57]
Kelompok ini secara terang-terangan menyatakan bahwa
Islam disebarkan dengan pedang. Sebagaimana pernyataan dari Abdullah Azzam:
Kami tidak malu untuk mengatakan bahwa agama kita (Islam) ditegakkan
dengan pedang. Dan orang-orang yang tidak mau mengakuinya, mereka sebenarnya
tidak mengetahui watak dari agama ini.[58]
Masih dari penjelasan al-Qaradhawi, selanjutnya
kelompok ini berpendapat bahwa ayat-ayat Alquran (termasuk hadis Nabi) yang
berisi ajakan untuk bersikap damai kepada non-Muslim yang memilih perdamaian
sebagai jalan hidup, yang mana ayat-ayat tersebut berjumlah 114 ayat menurut
sebagian pendapat, bahkan ada yang
mengatakan sampai 200 ayat, ayat-ayat tersebut seperti yang mereka
sebutkan, maknanya sudah tidak ada lagi karena sudah di-nasakh (dihapus)
dengan sebuah ayat, yaitu ayat pedang (Ayat As-Saif).[59]
Meskipun mereka bersepakat bahwa ayat pedang tersebut
terdapat dalam surat al-Taubah, namun mereka berbeda pendapat tentang ayat mana
yang dimaksud, meskipun secara mayoritas dari mereka berpendapat, bahwa ayat
pedang yang dimaksud adalah ayat kelima dari surat al-Taubah.[60]
Pemikiran kelompok ini dapat mengakibatkan munculnya
penilaian negatif dari masyarakat dunia pada umumnya, karena kelompok ini tidak
segan-segan untuk meneror non-Muslim dengan dalih berjihad. Sehingga akibat
dari aksi-aksi mereka ini, orang lain juga dengan mudah menjuluki Islam sebagai
agama teror.
Di samping itu, pada masa modern ini juga muncul kelompok
modernis yang diprakarsai oleh para pemikir-pemikir Muslim sejak dari Muhammad
Abduh, Rasyid Ridha sampai Mahmud Syaltut. Kelompok ini menitik-beratkan jihad
pada keadaan difa’i (bertahan) saja, artinya jihad hanya boleh
dilakukan terhadap pihak non-Muslim hanya jika mereka terlebih dahulu menyerang
wilayah kaum Muslim.
Dalam tafsirnya al-Manar, Rasyid Ridha menggarisbawahi
makna jihad-mujahadah berasal dari akar kata jahd: masyaqqah;
jerih payah, usaha, kesukaran dan tidak khusus berupa perang (qital).[61]
Jihad mencakup segala jerih payah menanggung kesulitan dalam menghadapi
kekerasan dan melawan kebatilan untuk membela kebenaran demi mengharapkan
rahmat Allah dan kejayaan di dunia dan akhirat.[62]
Sedangkan mengenai ayat yang digunakan jumhur sebagai
ayat yang mewajibkan qital (perang), yaitu surat al-Baqarah ayat 216, Ridha
menafsirkan bahwa kewajiban perang pada ayat tersebut khusus pada masa ayat
tersebut turun, yaitu pada tahun ke 2 Hijriyah. Ridha juga menukilkan riwayat
dari Ibn Umar dan Atha’ bahwa maksud dari ayat tersebut adalah perang menjadi
kewajiban ketika itu hanya kepada para sahabat saja.[63]
Jadi menurut Ridha, ayat tersebut konteksnya hanya kepada sahabat, bukan
dijadikan sebagai dalil perang offensif.
Menurut Azyumardi Azra, usaha ‘rasionalisasi’ jihad
yang dilakukan oleh kaum modernis ini bertujuan untuk membantah tuduhan Barat,
yang menyatakan bahwa Islam adalah agama kekerasan.[64]
Karena belakangan ini, jihad sering dihubungkan orang, terutama kalangan
Barat, dengan praktek terorisme.[65]
Sehingga muncul inisiatif dari kelompok ini agar Islam bersih dari tuduhan
tersebut.
[1]
Zafir al-Qasyimi, al-Jihad wa al-Huquq al-Dawliyyah al-‘Ammah fi al-Islam,
(Beirut: Dar al-‘Ilm al-Malayin, 1986), hal. 13.
[2] Abu
A’la al-Maududi, Hassan al-Banna dan Sayid Qutb, Jihad Bukan Konfrontasi,
terj. Oleh: Syatiri Matrais, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2001), hal.
31-32.
[3]
Yunasril Ali, Jihad dan Para Mujahid Islam, (Jakarta: Kalam Mulia,
1993), hal. 3.
[4]
Lihat Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap,
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal. 217.
[5]
Lihat Ahmad Ibn Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Jil. 1, (Beirut: Dar
al-Fikr, t.th), hal. 486.
[6]
Raghib al-Asfahani, Mu’jam Alfazh al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr,
t.th), hal. 208.
[8]
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jil. 3, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), hal.
28-29.
[9] Abi Daud Sulaiman ibn Asy’ats al-Sajastani, Sunan Abi Daud, Juz. 3,
(Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997), hal. 18.
[10] Sa’id Hawwa, Membina Angkatan Mujahid (Studi Analisis Atas Konsep Dakwah
Hasan al-Banna Dalam Risalah Ta’lim), terj. Oleh: Abu Ridha dan Wahid
Ahmadi, (Solo: Era Intermedia Karangasem, 1999), hal. 164.
[11]
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adilatuhu, Juz. 3, Cet. 6,
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2008), hal. 712.
[15] Ihsan Ali Fauzi, Jalan Baru Islam; Memetakan Paradigma Mutakhir Islam
Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 247.
[16]
Muhammad Chirzin, Jihad Dalam Al-Qur’an; Telaah Normatif, Historis dan
Prospektif, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997), hal. 50.
[17] M. Quraish Shihab, et. al, Ensiklopedia Al-Qur’an; Kajian Kosakata,
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), hal. 396.
[18] Abu
Abdillah al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Shahih, jil. 2, (Kairo: al-Mathba’ah
al-Salafiyah, 1400 H), hal. 395.
[19] Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Quran dan Hadis,
(Jakarta: Rahmat Semesta Center, 2008), hal. 113.
[21] Lihat Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, jil. 5, (Kairo:
Maktabah Awlad al-Syaikh li Turats, tt), hal. 204.
[22]
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj. Oleh Bahrun Abu
Bakar, dkk, juz 10, (Semarang: Toha Putra, 1993) ,
hal. 131.
[24]
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran,
vol. 5, (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2007), hal. 555.
[30] Muhammad
Chirzin, Jihad Dalam Al-Qur’an…, hal. 19.
[32] Ibn
Hajar al-Asqalani, Fathul Baari Syarh Shahih al-Bukhari, jil. 16, terj.
Oleh: Amiruddin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hal. 7-8.
[34] Ibn
Hajar al-Asqalani, Fathul Baari…, hal. 8.
[35] Abu
Abdillah al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Shahih…, hal. 359. Lihat juga
Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, jil. 8, (Kairo: Dar al-Hadis, 2001),
hal. 344.
[37]
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1996),
hal. 132.
[39]
Lihat Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz. I, (Kairo: Maktabah
al-Kulliyat al-Azhariyah, 1989), hal. 651-695.
[40]
Lihat Ibn Qudamah, al-Mughni…, hal. 7-8. Al-Kasani, Badai’ Ash-Shanai’…,
hal. 98. An-Nawawi, Raudhatu
at-Thalibin…, hal. 411. Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid…, hal. 651.
[41] Azyumardi
Azra, Pergolakan Politik Islam…, hal. 133.
[42] Lihat
Ibn Qudamah, al-Mughni…, hal. 7.
[43] Ibn
Rusyd, Bidayat al-Mujtahid…, hal. 651.
[44] Ibn
Qayyim al-Jauziyyah, Zadd al-Ma’ad…, hal. 10.
[46]
Lihat Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah al-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam
Kamil, terj. Oleh: Achmad Munir Badjeber, dkk, (Jakarta: Darus Sunnah
Press, 2007), hal. 1167.
[48]
Q.S. 28: 50.
[49]
Q.S. 29: 6.
[50]
Hassan al-Banna, Jihad Bukan Konfrontasi…, hal. 99-110.
[51]
Hassan al-Banna, Jihad Bukan Konfrontasi…, hal. 111-112.
[53] Lihat
Sayid Quthb, Fi Zilal Al-Qur’an, jil. 1, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1984),
hal. 444-445.
[56] Abu
A’la al-Maududi, Jihad Bukan Konfrontasi…, hal. 33.
[58] Abdullah
Azzam, Fi Tarbiyah Jihadiyah Wa al-Bina’…, hal. 296.
[61]
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, jil. 2, (Beirut: Dar al-Fikr,
t.th), hal. 320.
[62]
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, jil. 4…, hal. 155.
[63]
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, jil. 2…, hal. 312.
[64]
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam…, hal. 138.
[65] Azyumardi
Azra, Pergolakan Politik Islam…, hal. 142.
0 Response to "INTERPRETASI JIHAD DALAM ISLAM"
Posting Komentar