perbedaan Fiqh Syiah Dan Sunni

blogger templates
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah Islam mencatat bahwa hingga saat ini terdapat dua macam aliran besar dalam Islam. Keduanya adalah Ahlussunnah (Sunni) dan Syi’ah. Tak dapat dipungkiri pula, bahwa dua aliran besar teologi ini kerap kali terlibat konflik kekerasan satu sama lain, sebagaimana yang kini bisa kita saksikan di negara-negara seperti Irak dan Lebanon.
Terlepas dari hubungan antara keduanya yang kerap kali tidak harmonis, Syi’ah sebagai sebuah mazhab teologi menarik untuk dibahas. Diskursus mengenai Syi’ah telah banyak dituangkan dalam berbagai kesempatan dan sarana. Tak terkecuali dalam makalah kali ini.

B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang :
1.       Menjelaskan pengertian, sejarah, prinsip dan mazhab-mazhabnya
2.      Menjelaskan beberapa masalah yang relatif besar perbedaannya dengan fiqh Sunni
3.      Perbedaan sistematika fiqh Syi’ah dengan Sunni



Maklah Tentang  Konsep Kepemimpinan Bisa Klik Di Sini

















BAB II
PEMBAHASAN
Sebuah. Pengertian Syi'ah
Syi’ah adalah satu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad saw. Dari segi bahasa, kata Syi’ah berarti pengikut, atau kelompok atau golongan, seperti yang terdapat dalam surah al-Shaffat ayat 83 yang artinya: “Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh)[1]
Syi’ah secara harfiah berarti kelompok atau pengikut. Kata tersebut dimaksudkan untuk menunjuk para pengikut ‘Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin pertama ahlul bait. Ketokohan ‘Ali bin Abi Thalib dalam pandangan Syi’ah sejalan dengan isyarat-isyarat yang telah diberikan Nabi Muhammad sendiri, ketika dia (Nabi Muhammad) masih hidup.[2]
Syi'ah adalah salah satu aliran dalam Islam yang berkeyakinan bahwa yang paling berhak menjadi imam umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad saw adalah keluarga Nabi saw sendiri (Ahlulbait). Dalam hal ini, 'Abbas bin' Abdul Muththalib (paman Nabi saw) dan 'Ali bin Abi Thalib (saudara sepupu sekaligus menantu Nabi saw) beserta keturunannya. [3]
Perkataan Syi’ah secara harfiah berarti pengikut, partai, kelompok, atau dalam arti yang lebih umum “pendukung”. Sedangkan secara khusus, perkataan “Syi’ah” mengandung pengertian syî’atu ‘Aliyyîn, pengikut atau pendukung ‘Ali bin Abi Thalib.[4]
Kata Syi'ah menurut pengertian bahasa secara umum berarti kekasih, penolong, pengikut, dan lain-lainnya, yang memiliki makna membela suatu ide atau membela seseorang, seperti kata h izb (partai) dalam pengertian yang modern. Kata Syi'ah digunakan untuk menjuluki sekelompok umat Islam yang mencintai 'Ali bin Abi Thalib Karramallahu wajhah secara khusus, dan sangat fanatik. [5]
Secara lingusitik, Syi’ah adalah pengikut. Seiring dengan bergulirnya masa, secara terminologis Syi’ah hanya dikhususkan untuk orang-orang yang meyakini bahwa hanya Rasulullah saw yang berhak menentukan penerus risalah Islam sepeninggalnya.[6]

B. Sejarah Syi'ah
Syiah merupakan salah satu paham politik islam yang tertua. Kelompok ini mulai muncul pada masa akhir-akhir kekhalifahan islam yang ke tiga yaitu Usman Bin Affan ra, dan tumbuh berkembanga pada masa khalifah Ali Bin Abi Thalib ra.
Para penulis sejarah Islam berbeda pendapat mengenai awal mula lahirnya Syi’ah. Sebagian menganggap Syi’ah lahir langsung setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshar di Balai Pertemuan Saqifah Bani Sa’idah. Pada saat itu muncul suara dari Bani Hasyim dan sejumlah kecil Muhajirin yang menuntut kekhalifahan bagi ‘Ali bin Abi Thalib.
Sebagian yang lain menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan atau pada masa awal kepemimpinan ‘Ali bin Abi Thalib.[7]
Pendapat yang paling populer adalah bahwa Syi'ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Khalifah 'Ali dengan pihak pemberontak Mu'awiyah bin Abu Sufyan di Shiffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa ta h kim atau arbitrasi. [8] Akibat kegagalan itu, sejumlah tim 'Ali memberontak terhadap kepemimpinannya dan keluar dari tim' Ali. Mereka ini disebut golongan Khawarij. Sebagian besar orang yang tetap setia terhadap khalifah disebut Syî'atu 'Ali (pengikut Ali).
Pendirian kalangan Syi'ah bahwa 'Ali bin Abi Thalib adalah imam atau khalifah yang seharusnya berkuasa setelah wafatnya Nabi Muhammad telah tumbuh sejak Nabi Muhammad masih hidup, dalam arti bahwa Nabi Muhammad sendirilah yang mengaturnya. Dengan demikian, menurut Syi'ah, inti dari ajaran Syi'ah itu sendiri telah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw. [9]
Namun demikian, terlepas dari semua pendapat tersebut, yang jelas adalah bahwa Syi’ah baru muncul ke permukaan setelah dalam kemelut antara pasukan Mu’awiyah terjadi pula kemelut antara sesama pasukan ‘Ali. Di antara pasukan ‘Ali pun terjadi pertentangan antara yang tetap setia dan yang membangkang.[10]
Mazhab fiqh Syiah yang populer adalah Syiah Zaidiyah dan Syiah Imamiyah.
a.        Mazhab Syiah Zaidiyah
Mazhab ini dikaitkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin, seorang mufasir, muhaddits, dan faqih di jamannya. Ia banyak menyusun buku dalam berbagai bidang ilmu. Dalam bidang fiqih ia menyusun kitab al-Majmu 'yang menjadi referensi utama fiqih Zaidiyah. Namun ada di antara ulama fiqih yang menyatakan bahwa buku tersebut bukan tulisan langsung dari Imam Zaid. Namun Muhammad Yusuf Musa (ahli fiqih Mesir) menyatakan bahwa pernyataan tersebut tidak didukung oleh alasan yang kuat. Menurutnya, Imam Zaid di jamannya dikenal sebagai seorang faqih yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah, sehingga tidak mengherankan apabila Imam Zaid menulis sebuah kitab fiqih. Kitab al-Majmu 'ini kemudian disyarah oleh Syarifuddin al-Husein bin Haimi al-Yamani as-San'ani dengan judul ar-Raud an-Nadir Syarh Majmu, al-Fiqh al-Kabir.
Para pengembang Mazhab Zaidiyah yang populer diantaranya adalah Imam al-Hadi Yahya bin Husein bin Qasim, yang kemudian dikenal sebagai pendiri Mazhab Hadawiyah. Dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Mazhab Zaidiyah, Imam al-Hadi menulis beberapa kitab fiqih. di antaranya Kitab al-Jami 'fi al-Fiqh, ar-Risalah fi al-Qiyas, dan al-Ahkam fi al-Halal wa al-Haram. Setelah itu ada imam Ahmad bin Yahya bin Murtada yang menyusun buku al-Bahr az-Zakhkhar al-Jami 'li Mazahib' Ulama 'al-Amsar.
Pada dasarnya fiqh Mazhab Zaidiyah tidak banyak berbeda dengan fiqh ahlusunnah. Perbedaan yang bisa dilacak antara lain: ketika berwudhu tidak perlu menyapu telinga, haram memakan makanan yang disembelih non-muslim, dan haram mengawini wanita ahlulkitab. Disamping itu, mereka tidak sependapat dengan Syiah Imamiyah yang menghalalkan nikah mut'ah. Menurut Muhammad Yusuf Musa, pemikiran fiqih Mazhab Zaidiyah lebih dekat dengan pemikiran fiqh ahlurra'yi.
b.       Mazhab Syiah Imamiyah
Menurut Muhammad Yusuf Musa, fiqih Syiah Imamiyah lebih dekat dengan fiqih Mazhab Syafi'i dengan beberapa perbedaan yang mendasar. Dalam berijtihad, ketika mereka tidak menemukan hukum suatu kasus dalam Al-Qur'an, mereka merujuk pada sunnah yang diriwayatkan para imam mereka sendiri. Menurut mereka, yang juga dianut oleh Mazhab Syiah Zaidiyah, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Berbeda dengan Syiah Zaidiyah, Mazhab Syiah Imamiyah tidak menerima qiyas sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara '. Alasannya, qiyas merupakan ijtihad dengan menggunakan rasio semata. Hal ini dapat dipahami, karena penentu hukum di kalangan mereka adalah imam, yang menurut keyakinan mereka terhindar dari kesalahan (maksum). Atas dasar keyakinan tersebut, mereka juga menolak ijma 'sebagai salah satu cara dalam menetapkan hukum syara', kecuali ijma 'bersama imam mereka.
Kitab fiqh pertama yang disusun oleh imam mereka, Musa al-Kazim, diberi judul al-Halal wa al-Haram. Kemudian disusul oleh Fiqh ar-Righa yang disusun oleh Ali ar-ridla.
Menurut Muhammad Yusuf Musa, pendiri sebenarnya fiqih Syiah adalah Abu Ja’far Muhammad bin Hasan bin Farwaij as-Saffar al-A’raj al-Qummi. Dasar pemikiran fiqih Syiah Imamiyah dapat dilihat dalam buku karangannya yang berjudul Basya’ir ad-Darajat fi ’Ulum ’Ali Muhammad wa ma Khassahum Allah bihi. Setelah itu Mazhab Syiah Imamiyah disebarluaskan dan dikembangkan oleh Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq al-Kulaini melalui kitabnya, al-Kafi fi ’ilm ad-Din.
Perbedaan mendasar fiqih Syiah Imamiyah dengan jumhur Ahlussunnah antara lain:
1.     Syiah Imamiyah menghalalkan nikah mut'ah yang dilarang ahlussunnah
2.     Syiah Imamiyah mewajibkan kehadiran saksi dalam talak, yang menurut pandangan ahlussunnah tidak perlu
3.     Syiah Imamiyah, termasuk syiah Zaidiyah, melarang pria muslim menikah dengan wanita Ahlulkitab.

C. Tokoh-Tokoh Syi’ah
            Dalam pertimbangan Syi’ah, selain terdapat tokoh-tokoh populer seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan bin ‘Ali, Husain bin ‘Ali, terdapat pula dua tokoh Ahlulbait yang mempunyai pengaruh dan andil yang besar dalam pengembangan paham Syi’ah, yaitu Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin dan Ja’far al-Shadiq. Kedua tokoh ini dikenal sebagai orang-orang besar pada zamannya. Pemikiran Ja’far al-Shadiq bahkan dianggap sebagai cikal bakal ilmu fiqh dan ushul fiqh, karena keempat tokoh utama fiqh Islam, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, secara langsung atau tidak langsung pernah menimba ilmu darinya. Oleh karena itu, tidak heran bila kemudian Syaikh Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas al-Azhar, Mesir, mengeluarkan fatwa yang kontroversial di kalangan pengikut Sunnah (Ahlussunnah.).
Mahmud Syaltut memfatwakan mungkin setiap orang menganut fiqh Zaidi atau fiqh Ja'fari Itsna 'Asyariyah. [11]
Adapun Zaid bin 'Ali bin Husain Zainal' Abidin terkenal ahli di bidang tafsir dan fiqh. Pada usia yang relatif muda, Zaid bin 'Ali telah dikenal sebagai salah seorang tokoh Ahlulbait yang menonjol. Salah satu karya yang ia hasilkan adalah kitab al-Majmu '(Himpunan / kelompok) dalam bidang fiqh. Juga karya lainnya tentang tafsir, fiqh, imamah, dan haji [12]
Selain dua tokoh di atas, terdapat pula beberapa tokoh Syi’ah, di antaranya:
·          Diterbitkan bin Muhazim
·          Ahmad bin Muhammad bin 'Isa al-Asy'ari
·          Ahmad bin Abi 'Abdillah al-Barqi
·          Ibrahim bin Hilal al-Tsaqafi
·          Muhammad bin Hasan bin Furukh al-Shaffar
·          Muhammad bin Mas'ud al-'Ayasyi al-Samarqandi
·          Ali bin al-Qomi Babawaeh
·          Syaikhul Masyayikh, Muhammad al-Kulaini
·          Ibnu Aqil al-'Ummani
·          Muhammad bin Hamam al-Iskafi
·          Muhammad bin 'Umar al-Kasyi
·          Ibn al-Qomi Qawlawaeh
·          Ayatollah Ruhullah Khomeini
·          Al-'Allamah Sayyid Muhammad Husain al-Thabathaba'i
·          Sayyid Husseyn Fadhlullah
·          Murtadha Muthahhari
·          'Ali Syari'ati
·         Jalaluddin Rakhmat[13]
·          Hasan Abu Ammar [14]

D. Ajaran-ajaran Syi'ah
1. Ahlulbait. Secara harfiah ahlulbait berarti keluarga atau kerabat dekat. Dalam sejarah Islam, istilah itu secara khusus ditujukan kepada keluarga atau kerabat Nabi Muhammad saw. Ada tiga bentuk pengertian Ahlulbait. Pertama, mencakup istri-istri Nabi Muhammad saw dan seluruh Bani Hasyim. Kedua, hanya Bani Hasyim. Ketiga, terbatas hanya pada Nabi sendiri, 'Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan imam-imam dari keturunan' Ali bin Abi Thalib. Dalam Syi'ah bentuk terakhirlah yang lebih populer. [15]
2. Al-Badâ’. Dari segi bahasa, badâ’ berarti tampak. Doktrin al-badâ’ adalah keyakinan bahwa Allah swt mampu mengubah suatu peraturan atau keputusan yang telah ditetapkan-Nya dengan peraturan atau keputusan baru. Menurut Syi’ah, perubahan keputusan Allah itu bukan karena Allah baru mengetahui suatu maslahat, yang sebelumnya tidak diketahui oleh-Nya (seperti yang sering dianggap oleh berbagai pihak). Dalam Syi’ah keyakinan semacam ini termasuk kufur. Imam Ja’far al-Shadiq menyatakan, “Barangsiapa yang mengatakan Allah swt baru mengetahui sesuatu yang tidak diketahui-Nya, dan karenanya Ia menyesal, maka orang itu bagi kami telah kafir kepada Allah swt.” Menurut Syi’ah, perubahan itu karena adanya maslahat tertentu yang menyebabkan Allah swt memutuskan suatu perkara sesuai dengan situasi dan kondisi pada zamannya. Misalnya, keputusan Allah mengganti Isma’il as dengan domba, padahal sebelumnya Ia memerintahkan Nabi Ibrahim as untuk menyembelih Isma’il as
3. Asyura. Asyura berasal dari kata 'asyarah, yang berarti sepuluh. Maksudnya adalah hari kesepuluh dalam bulan Muharram yang diperingati kaum Syi'ah sebagai hari berkabung umum untuk memperingati wafatnya Imam Husain bin 'Ali dan keluarganya di tangan pasukan Yazid bin Mu'awiyah bin Abu Sufyan pada tahun 61 H di Karbala, Irak. Pada upacara peringatan asyura tersebut, selain mengenang perjuangan Husain bin 'Ali dalam menegakkan kebenaran, orang-orang Syi'ah juga membaca salawat untuk Nabi saw dan keluarganya, mengutuk pelaku pembunuhan terhadap Husain dan keluarganya, serta memperagakan berbagai aksi (seperti memukul-mukul dada dan mengusung-usung peti mayat) sebagai lambang kesedihan terhadap wafatnya Husain bin 'Ali. Di Indonesia, upacara asyura juga dilakukan di berbagai daerah seperti di Bengkulu dan Padang Pariaman, Sumatera Barat, dalam bentuk arak-arakan tabut.
4. Imamah (kepemimpinan). Imamah adalah keyakinan bahwa setelah Nabi saw wafat harus ada pemimpin-pemimpin Islam yang melanjutkan misi atau risalah Nabi atau, dalam pengertian Ali Syari'ati, adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia serta membangun masyarakat di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil keputusan. Dalam Syi'ah, kepemimpinan itu mencakup persoalan-persoalan keagamaan dan kemasyarakatan. Imam bagi mereka adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat. Pada umumnya, dalam Syi'ah, kecuali Syi'ah Zaidiyah, penentuan imam bukan berdasarkan kesepakatan atau pilihan umat, tetapi berdasarkan wasiat atau penunjukan oleh imam sebelumnya atau oleh Rasulullah langsung, yang lazim disebut nash. [16]
5. ‘Ishmah. Dari segi bahasa, ‘ishmah adalah bentuk mashdar dari kata ‘ashama yang berarti memelihara atau menjaga. ‘Ishmah ialah kepercayaan bahwa para imam itu, termasuk Nabi Muhammad, telah dijamin oleh Allah dari segala bentuk perbuatan salah atau lupa. Ali Syari’ati mendefinisikan ‘ishmah sebagai prinsip yang menyatakan bahwa pemimpin suatu komunitas atau masyarakat—yakni, orang yang memegang kendali nasib di tangannya, orang yang diberi amanat kepemimpinan oleh orang banyak—mestilah bebas dari kejahatan dan kelemahan.
6. Mahdawiyah. Berasal dari kata mahdi, yang berarti keyakinan akan datangnya seorang juru selamat pada akhir zaman yang akan menyelamatkan kehidupan manusia di muka bumi ini. Juru selamat itu disebut Imam Mahdi. Dalam Syi'ah, figur Imam Mahdi jelas sekali. Ia adalah salah seorang dari imam-imam yang mereka yakini. Syi'ah Itsna 'Asyariyah, misalnya, memiliki keyakinan bahwa Muhammad bin Hasan al-Askari (Muhammad al-Muntazhar) adalah Imam Mahdi. Selain itu, Imam Mahdi ini diyakini masih hidup sampai sekarang, hanya saja manusia biasa tidak dapat menjangkaunya, dan nanti di akhir zaman ia akan muncul kembali dengan membawa keadilan bagi seluruh masyarakat dunia.
7. Marja’iyyah atau Wilâyah al-Faqîh. Kata marja’iyyah berasal dari kata marja’ yang artinya tempat kembalinya sesuatu. Sedangkan kata wilâyah al-faqîh terdiri dari dua kata: wilâyah berarti kekuasaan atau kepemimpinan; dan faqîh berarti ahli fiqh atau ahli hukum Islam. Wilâyah al-faqîh mempunyai arti kekuasaan atau kepemimpinan para fuqaha.               
8. Kata raj’ah berasal dari kata raja’a yang artinya pulang atau kembali. Raj’ah adalah keyakinan akan dihidupkannya kembali sejumlah hamba Allah swt yang paling saleh dan sejumlah hamba Allah yang paling durhaka untuk membuktikan kebesaran dan kekuasaan Allah swt di muka bumi, bersamaan dengan munculnya Imam Mahdi. Sementara Syaikh Abdul Mun’eim al-Nemr mendefinisikan raj’ah sebagai suatu prinsip atau akidah Syi’ah, yang maksudnya ialah bahwa sebagian manusiaakan dihidupkan kembali setelah mati karena itulah kehendak dan hikmat Allah, setelah itu dimatikan kembali. Kemudian di hari kebangkitan kembali bersama makhluk lain seluruhnya. Tujuan dari prinsip Syi’ah seperti ini adalah untuk memenuhi selera dan keinginan memerintah. Lalu kemudian untuk membalas dendam kepada orang-orang yang merebut kepemimpinan ‘Ali.
9. Taqiyah. Dari segi bahasa, taqiyah berasal dari kata taqiya atau ittaqâ yang artinya takut. Taqiyah adalah sikap berhati-hati demi menjaga keselamatan jiwa karena khawatir akan bahaya yang dapat menimpa dirinya. Dalam kehati-hatian ini terkandung sikap penyembunyian identitas dan ketidakterusterangan. Perilaku taqiyah ini dapat dilakukan, bahkan hukumnya wajib dan merupakan salah satu dasar mazhab Syi'ah.
10 Tawassul. Adalah memohon sesuatu kepada Allah dengan menyebut pribadi atau kedudukan seorang Nabi, imam atau bahkan seorang wali suaya doanya tersebut cepat dikabulkan Allah swt. Dalam Syi'ah, tawassul adalah salah satu tradisi keagamaan yang sulit dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa hampir setiap doa mereka selalu terselip unsur tawassul, tetapi biasanya tawassul dalam Syi'ah terbatas pada pribadi Nabi saw atau imam-imam dari Ahlulbait. Dalam doa-doa mereka selalu ditemukan ungkapan-ungkapan seperti "Ya Fathimah isyfa'î 'indallâh" (wahai Fathimah, mohonkanlah syafaat bagiku kepada Allah), dsb.
11.    Tawallî dan tabarrî. Kata tawallî berasal dari kata tawallâ fulânan yang artinya mengangkat seseorang sebagai pemimpinnya. Adapun tabarrî berasal dari kata tabarra'a 'an fulan yang artinya melepaskan diri atau menjauhkan diri dari seseorang. Kedua sikap ini dianut pemeluk-pemeluk Syi'ah berdasarkan beberapa ayat dan hadis yang mereka pahami sebagai perintah untuk tawallî kepada Ahlulbait dan tabarrî dari musuh-musuhnya. Misalnya, hadis Nabi tentang 'Ali bin Abi Thalib yang berbunyi: "Barangsiapa yang menganggap aku ini adalah pemimpinnya maka hendaklah ia membuat' Ali sebagai pemimpinnya. Ya Allah tolonglah orang yang membela Ali, binasakanlah orang yang menghina 'Ali dan lindungilah orang yang melindungi' Ali. "(HR A h mad bin H anbal).
Sikap dan Mazhab Syi'ah
1.       Sikap terhadap al-Qur'an
Menurut Ulama Syi’ah Al-Qur`an tidak lengkap. Karena ada beberapa surat dan ayat yang dihilangkan dan akan dibawa oleh Al-Mahdi pada saat dia muncul dari persembunyiannya.”
2.      Sikap Syi'ah terhadap As-Sunnah   Definisi As-Sunnah menurut Ahlu
adalah sunnah Rasulullah SAW yang telah dimaksum oleh Allah SWT dan Dia perintahkan umat Islam untuk menaati beliau di samping taat kepada-Nya. Akan tetapi batasan As-Sunnah menurut Syi'ah adalah sunnah Rasulullah SAW dan para imam mereka yang maksum. Maksudnya, sunnah mencakup bukan hanya sunnah Rasulullah SAW melainkan juga sunnah kedua belas imam mereka. Imam mereka yang 12 orang tersebut wajib ditaati sebagaimana taat kepada Allah SWT dan rasul-Nya yang dikuatkan dengan wahyu. Oleh karena itu, kitab-kitab referensi Ahlu Sunnah tidak diterima oleh mereka. Mereka tidak mau menerima kitab Shahih Bukhari, Muslim dan kutub sittah lainnya, tidak mau menerima kitab Al-Muwatha, Musnad Ahmad dan kitab-kitab yang lainnya.
3.      Sikap Syi'ah terhadap Para Sahabat
Pandangan negatif mereka terhadap para sahabat merupakan pokok dan dasar ajaran Syi'ah. Sikap mereka itu adalah turunan dari pokok ajaran mereka yang meyakini bahwa, Rasulullah SAW telah berwasiat jika ia wafat, maka Ali bin Abi Thalib adalah pengganti beliau. Akan tetapi para sahabat menyembunyikan wasiat ini dan mereka merampas hak Ali ini secara zalim dan terang-terangan       
4.       Imamah Ali dan keturunannya yang berjumlah 12 imam merupakan pokok ajaran mereka. Barangsiapa yang menolak, maka dia dicap kafir.
5.       Mazhab Syi'ah
Para ahli umumnya membagi mazhab Syi'ah ke dalam empat golongan besar, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan Kaum Ghulat. Golongan Imamiyah pecah menjadi beberapa golongan. Yang terbesar adalah golongan Itsna 'Asyariyah atau Syi'ah Duabelas

E. Masalah Masalah Fiqh antara Syi'ah dan Sunni
Sebelum menguraikan beberapa contoh tentang perbedaan Syi’ah dengan Sunni dalam bidang Furu’ (Rincian Agama) terlebih dahulu dapat digaris bawahi, bahwa kedua kelompok ini menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai rujukan utama dalam menetapkan hukum, hanya saja kalau sunnah dalam pandangan sunni terbatas pada ucapan, perbuatan dan pembenaran Nabi atas apa yang dilakukan/diucapkan sahabat-sahabat beliau. Dalam pandangan syiah sunnah mencakup juga ucapan dan tradisi para imam yang dua belas itu.
Kedua kelompok ini mengaku ijma’ sebagai salah satu sumber hukum, walau terdapat perbedaan dalam pengertian dan rinciannya. Kaum syiah memahami ijma’ dalam arti consensus para pakar agama tentang pandangan imam menyangkut satu masalah. Dalam pandangan sunni, ijma adalah consensus para ulama dalam masalah apapun. Walaupun qiyas tidak dijadikan sumber penetapan hukum oleh kelompok Syiah, namun mereka menempatkan akal dalam kedudukan yang cukup tinggi sehingga apapun yang dibenarkan akal sehat, maka hal tersebut dapat diterima.
Dalam membandingkan pendapat Ahli sunnah dan Syiah isna 'Asyariyah dalam bidang furu' ditemukan bahwa pendapat tersebut mirip dengan perbedaan antara mazhab Sunni yang dikenal selama ini. Berikut dikemukakan beberapa contoh:
1. SHALAT
Pada dasarnya dalam hal shalat, baik rukun, syaratvdan sunahnya dapat dikatakan sama dengan Ahlusunnah Kecuali beberapa hal antara lain:
a.       Wudhu
Mencuci tangan dalam berwudhu oleh mazhab Isna 'Asyariyah dinyatakan harus memulainya dari siku ke bawah, berbeda keempat mazhab sunni yang menyatakan bahwa bagaimanapun cara yang dilakukan selama kedua tangan sampai siku telah tercuci.
b.       Membasuh Kepala
Harga kepala yang harus dicuci diperselisihkan oleh keempat mazhab Sunni. Syiah Isna   'Asyariyah sependapat dengan mazhab Syafi'i dari segi harga kepala yang harus dicuci.
c.        Mencuci / membasuh kaki
Dalam mazhab Sunni, kaki termasuk telapaknya bersama mata kaki harus dicuci / cuci, sedang dalam pandangan Syiah Isna 'Asyariyah kaki cukup dicuci dengan sisa air wudhu dan yang dicuci cukup jari-jari kaki dan atasnya, bukan telapak kaki. [17]
d.       Adzan
Dalam mengumandangkan adzan dan iqamah. Syiah Isna 'Asyariyah menambahkan dengan mengulang dua kali hayya' ala Khairil 'Amal (marilah menuju aktivitas terbaik), karena menurut mereka ini telah dilakukan sejak masa Rasulullah SAW dan hanya diubah oleh Sayyidina Umar ra dalam rangka mendorong aktivitas yang terbaik masyarakat untuk berjihad. Karena jika shalat dinilai sebagai aktivitas yang terbai, bisa jadi meng hambat kegiatan jihad. Di sisi lain mereka tidak mengumandangkan kalimat ash Shalatu khairum minan naum dengan alasan bahwa nabi tidak mempraktekkan hal itu.
2. Puasa
            Dalam hal puasa, meskipun umat Islam meyakini wajibnya puasa Ramadhan, namun ada perbedaan dalam pelaksanaannya antara lain:
a.        Waktu berbuka kelompok Syiah Isna 'Asyariyah lebih lambat sekitar sepuluh menit dari Ahlu Sunna, karena berpendapat bahwa magrib dimulai dengan terbenamnya matahari. Menurut Syiah Isna 'Asyariyah tenyang terbenamnya itu, baru diyakini dengan hilangnya awan merah.
b.       Siapa yang sengaja berada dalam keadaan junub sampai terbut fajar, maka puasanya tidak sah.
c.        Untuk bepergian tidak hanya diizinkan untuk tidak berpuasa sebagaimana pandangan Ahlu Sunnah, tetapi menurut Syiah Isna 'Asyariyah seorang musafir itu tidak sah puasanya, walau ada sebagian ulama yang memungkinkan tetapi menilainya makruh.
3. Pernikahan
Salah satu perbedaan yang paling populer antara ahlusunnah dan syi'ah Isna Asy'ariyah adalah dalam hal perkawinan, syi'ah Al-asy'ariyah mengenal dua macam perkawinan, yaitu: 1) perkawinan mutlak tanpa batas waktu yang ditetapkan, ini sama dengan ahlus sunnah. 2) perkawinan mut'ah yaitu perkawinan batas waktu yang ditentukan,
Perkawinan macam kedua ini tidak diperbolehkan dalam ahlu sunnah, meskipun mereka mengakui bahwa Rasulullah SAW pernah mengizinkannya dan sahabat-sahabat Nabi pun banyak melakukannya. Tetapi menurut Ahlu sunnah izin tersebut telah dibatalkan kendati mereka berbeda pendapat kapan dan siapa yang membatalkannya. [18]
Syi'ah isna Asyariyah tidak mengetahui adanya pembatalan dari Nabi, sehingga mereka masih memungkinkan sampai sekarang, meskipun dalam peraktiknya sudah berkurang. Dalam hal ini mereka berkata: Ihma 'kaum muslimin menyatakan bahwa kawin mut'ah itu pernah disyari'atkan dan telah dilakukan, hanya saja mereka yang menghalangi pelaksanaannya mengatakan bahwa perkawinan semacam itu telah dibatalkan dan dilarang setelah pernah dibolehkan. [19]
Alasan yang dikemukakan ulama Syi'ah adalah bahwa menetapkan mungkin perkawinan tersebut membantu kaum muslimin yang dalam perjalanan panjang, baik siswa maupun tentara yang masih muda belia, apalagi yang dapat terjerumus ke perzinahan. Sementara orang menduga bahwa perkawinan mut'ah sama dengan perzinahan. Namun ulama Syi'ah tidak bisa menerima persamaan tersebut, karena dalam perkawinan tersebut ada persyaratan yang harus dipenuhi dalam perkawinan biasa (ala sunnah) juga harus dipenuhi. Seperti keharusan ada iddah, ijab dan qabul, keharusan mahar dan wali. [20]
Perbedaannya dengan perkawinan biasa hanyalah dalam pembatasan waktu, walaupun pembatasab waktu yang ditetapkan bersama itu diperpanjang. Karena itu semua orang berkata:
Saya tidak melihat dari segi praktek adanya perbedaan besar antara kawin mut’ah dan perkawinan menurut ahlu sunnah. Karena perkawinan mut’ah terbatas waktunya tetapi yang bersangkutan dapat  melanjutkan sampai akhir umurnya. Sedangkan perkawinan menurut ahlu sunnah yang tidak dibatasi oleh waktu yang bersangkutan juga sesuai dengan penjelasan al-Qur’an dapat memutuskan dengan Thalaq. Dengan demikian perkawinan yang dibolehkan ahlu sunnah adalah berkesinambungan tapi dapat diputuskan sedangkan perkawinan mut’ah adalah terbatas waktunya tapi dapat diabadikan/berkesinambungan.[21]
4. Thalaq / Cerai
Dalam pandang Syi'ah Isna 'asyariya, thalaq tidak jatuh kecuali dengan disaksikan oleh 2 orang saksi. Ini berbeda dengan pandangan ulama keempat mazhab sunni yang menilainya jatuh thalaq meskipun tanpa saksi. Pandangan istna 'Asyariyah ini membantu mengurangi jatuhnya thalaq.
F.  Perbedaan Sistematika Fiqh Syi’ah dengan Fiqh Sunni
Perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni adalah dalam penafsiran al-Qur'an dan hadis, megenai sahabat dan lain-lain.sebagai contoh perawi hadis dari muslim Syi'ah berpusat pada perawi Ahlul bait (Ali bin Abi Thalib), sementara sumber yang lainnya seperti Abu Hurairah yang mendukung mu'awiyah tidak dipergunakan. Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah keturunan Ali bin Abi Thalib sebagai pemegang otoritas agama bahkan sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam menetapkan siapa pengganti para imam tersebut dan menetapkan imam mereka saat ini.
Dalil-dalil Tasyri 'dalam mazhab Syi'ah adalah al-Qur'an, hadis dan Ijma'. Tentang hadis mereka hanya menerima hadis-hadis yang kembali sanadnya kepada ahlul bait.
Adapun landasan sistematika fiqh Syi’ah adalah sebagai berikut:
1.       Dalam masalah dalil mereka memilih hadis shahih yang diriwayatkan ahlul bait
2.       Adapun kitab-kitab hadis Syi'ah yang terpokok yaitu:
·          Al-Kafi karangan Muhammad bin Yakub al-Kulami (328 H)
·          Man la Yahdhuruhul Faqihu karangan Ibnu Bawaih (381 H)
·          Al-istibar fi Makhtulifa minal Akkhbar
·          Tahzibul Ahkam, karangan Ja'far Muhammad at-Thusi (459 H)
3.       Referensi dalam semua masalah Fiqh hanya terbatas kepada ulama dari imam mereka saja.






BAB III
PENUTUP
Dari Makalah ini dapat diambil kesimpulan :
Syi’ah adalah salah satu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad saw. Doktrin-doktrin yang diyakini para pengikut Syi’ah secara garis besar ada 11 macam, yaitu konsepsi tentang Ahlulbait, al-badâ’, asyura, imamah, ‘ishmah, mahdawiyah, marjâ’iyah atau wilâyah al-faqîh, raj’ah, taqiyah, tawassul, dan tawallî dan tabarrî yang dalam banyak hal memiliki perbedaan (pemahaman) dengan kalangan Sunni. Dalam Syi’ah terdapat berbagai macam sekte/kelompok yang memiliki perbedaan satu sama lain dalam memandang ajaran-ajaran seperti tertulis di atas.



















DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mun’eim al-Nemr, Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi’ah (T.tp.: Yayasan Alumni Timur Tengah, 1988)

Ali Syari'ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj. MS Nasrulloh dan Afif Muhammad (Bandung: Mizan Pustaka, 1995

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992)

Muhammad Amin Suma, dalam Taufik Abdullah, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 3 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003),

Soekama Karya, dkk., Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996)


M. Quraish Shihab, ,Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan Mungkinkan? Kajian atas konsep Ajaran dan Pemikiran, (Jakarta: Lentera Hati, 2007)

Murtada ar-Ridhawi. Ma'a Rijal al-Fikri fi al-Qhirah (Kairo, Maktabah An-Najah: 1974)















[1] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet. ke-4, h. 5
[2] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 904.
[3] Muhammad Amin Suma, dalam Taufik Abdullah, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 3 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), cet. ke-3, h. 343.
[4] Soekama Karya, dkk., Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996), cet. ke-1, h. 125
[5] Abdul Mun’eim al-Nemr, Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi’ah (T.tp.: Yayasan Alumni Timur Tengah, 1988), h. 34-35
[7] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h.5
[8] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 5. Lihat juga Joesoef Sou’yb, Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran Sekta Syi’ah (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1982), cet. ke-1, h. 11. Penjelasan lebih lengkap tentang perang Shiffin dan tahkîm, lihat Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History: Akar-akar Krisis Politik dalam Sejarah Muslim, terj. Munir A. Mu’in (Bandung: Mizan Pustaka, 2004), cet. ke-1, h. 155-185.
[9] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 5. Lihat juga Abubakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi’ah: Rasionalisme dalam Islam (Solo: Ramadhani, t.t.), h. 17-21; http://al-shia.com/html/id/shia/moarrefi2.htm
[10] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 5.
[11] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 13-15
[12] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 15.
[13] Dia adalah salah seorang tokoh Ahlulbait / Syi'ah Indonesia. Karya tulisnya dalam bidang keislaman antara lain Islam Alternatif (1988), Membuka Tirai Kegaiban: Renungan-renungan Sufistik (1995), Rintihan Suci Ahli Bait Nabi (1997), Catatan Kang Jalal (1998), Islam Aktual (1998), dan Islam dan Pluralisme (2006). Pakar komunikasi yang juga pengasuh SMA Plus Muthahhari, Bandung, ini adalah Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (ijabi). Periode 2004-2008. Ijabi sendiri adalah organisasi kemasyarakatan yang berbasiskan pada kaum Ahlulbait / Syi'ah Indonesia.
[14] Dia adalah Doktor lulusan CIIS, Qum, Iran, yang lahir di Bondowoso, Jawa Timur. ia berkesempatan menyampaikan materi pada acara Seminar Lintas Mazhab "Rasionalisme Islam Perspektif Syi'ah dan Sunni" di Ruang Teater Lt. 4 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dia hadir sebagai representasi Syi'ah. Hadir pula pembicara Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara (Guru Besar Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) sebagai perwakilan Sunni. 
[15] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 10.
[16] Ali Syari'ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj. MS Nasrulloh dan Afif Muhammad (Bandung: Mizan Pustaka, 1995), cet. ke-2, h. 65
[17]M. Quraish Shihab, ,Sunnah-SyiahBergandengan Tangan Mungkinkan? Kajian atas konsep Ajaran dan Pemikiran, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hal. 238-244.
[18] Quraisy Shihab, perempuan, (Jakarta: lentera hati, cet ke II, 2005), Hal 187
[19] Quraisy Shihab, Sunnah Syi'ah Bergandengan. Hal 252
[20] Muhammad Kazim, al-Urwatul al-Wustqa, (Darul Kutub Islamiyah: 1388) hal 632-654
[21] Murtadha ar-Ridhawi. Ma'a Rijal al-Fikri fi al-Qhirah (Kairo, Maktabah An-Najah: 1974) HAL 219

0 Response to "perbedaan Fiqh Syiah Dan Sunni"