Landasan hukum peradilan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis

blogger templates
BAB I
   Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Al-Quran adalah kitab suci agama Islam yang merupakan wahyu Allah swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang dibawa oleh Malaikat Jibril dengan lafaz dan makna yang benar agar menjadi hujjah atas kerasulannya, yang menjadi pedoman bagi manusia dalam kehidupannya untuk mewujudkan keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan hidupnya di dunia dan diakhirat.[1]
Al-Quran sebagai pedoman tentunya mengajarkan beberapa hal yang penting dalam kehidupan setiap muslim, salah satu konsep yang diajarkan dalam Alquran adalah اىعده artinya keadilan. Karena itu makalah ini menampilkan Kosep Keadilan dalam Alquran sebuah kajian tematis.
Ibnu Khaldum salah seorang sosiolog muslim mengemukakan sebuah pernyataan yang menggambarkan konsep keadilan dalam kehidupan bermasyarakat yakni: وضع اىشئ ف حٍيه artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya, maksudnya adalah memenuhi hak-hak orang yang berhak dan melaksanakan tugas-tugas atau kewajiban sesuai dengan fungsi dan peranannya dalam masyarakat.
Zainal Abidin Ahmad mengemukakan bahwa konsep keadilan menurut Ibnu Siena merupakan salah satu di antara lima prinsip politik Islam yang harus ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat.[2]
B.     Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memperdalam pengetahuan kami dalam memahami Peradilan Islam Dalam Sejarah Fiqh




BAB II
PEMBAHASAN
A.           konsep Peradilan Dan Pengadilan
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, peradilan adalah segala sesuatu mengenai pengadilan. Sedangkan pengadilan memiliki arti banyak yaitu dewan atau majelis yang mengadili perkara, mahkamah, proses mengadili, keputusan hakim ketika mengadili perkara, rumah (bangunan) tempat mengadili perkara.[3]
Peradilan dalam perkembangan khazanah hukum Islam (fiqh) menggunakan istilah al-qadā untuk peradilan dan mahkamah al-qadā’ bagi pengadilan sedangkan qādi adalah hakim. Al-qadā secara etimologis mengandung arti musytarāk (banyak arti bukan tunggal). Muhammad Salam Madkur memberi tiga arti kata al-qadā; yaitu, pertama al-Farāg berarti putus atau selesai. Kedua al-Adā’a berarti menunaikan atau membayarkan dan Ketiga, al-bukmu, berarti mencegah atau menghalang-halangi. Menurut ulama Fuqaha sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Salam Madkur, bahwa istilah peradilan atau al-Qadhā adalah al-Ikhbār ‘an hukm syar’ī ‘ala sabīl al-Izām, artinya menyampaikan hukum syar’i dengan jalan penetapan.[4]
Kata “peradilan” sebagai terjemahan dari “qadā” yang berarti memutuskan, melaksanakan dan menyelesaikan”.[5] Selanjutnya dikemukakan oleh T.M. Hasbi Ash Shiddeqy, bahwa yang dimaksud dengan al-Qadā adalah “kekuasaan mengadili perkara.[6]
Dalam Ensiklopedi Indonesia jilid 5, pengadilan adalah “badan atau organisasi yang diadakan oleh negara untuk mengurus dan mengadili perselisihan-perselisihan hukum. Semua putusan pengadilan diambil atas nama Republik Indonesia” atau “atas nama keadilan”. Sedangkan peradilan tidak ditemukan rumusannya. Begitu pula dalam kamus hukum hanya ditemukan kata pengadilan, yakni dewan atau badan yang berkewajiban untuk mengadili perkara-perkara dengan memeriksa dan memberikan keputusan mengenai persengketaan hukum, pelanggaran hukum atau Undang-undang dan sebagainya.[7]
Berdasarkan rumusan-rumusan itu, dapat disimpulkan bahwa peradilan adalah kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan. Berkenaan dengan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan pengadilan adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan
B.     Landasan hukum peradilan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis
1. Dalil Dalam Al-Qur’an
Prinsip keadilan merupakan perinsip ketiga dalam nomokrasi islam. Seperti halnya musyawarah, perkataan keadilan juga bersumber dari Al-Qur’an. Cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan tentang keadilan, minsalnya:
1)     Dalam surah an-Nisa :135 perkataan al-Qist merupakan sinonim perkataan keadilan:
 $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. tûüÏBº§qs% ÅÝó¡É)ø9$$Î/ uä!#ypkà­ ¬! öqs9ur #n?tã öNä3Å¡àÿRr& Írr& bÎ) ïÆä3tƒ $ÏYxî ÷rr& #ZŽÉ)sù ÈûøïyÏ9ºuqø9$# tûüÎ/tø%F{$#ur 4 ª!$$sù 4n<÷rr& $yJÍkÍ5 ( Ÿxsù (#qãèÎ7­Fs? #uqolù;$# br& (#qä9Ï÷ès? 4 bÎ)ur (#ÿ¼âqù=s? ÷rr& (#qàÊ̍÷èè? ¨bÎ*sù ©!$# tb%x. $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? #ZŽÎ6yz ÇÊÌÎÈ  
“ Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. an-Nisa: 135)
Dari ayat tersebut di atas sekurangnya dapat di tarik tiga garis hukum yaitu:
a.       Menegakkan keadilan adalah kewajiban orang-orang yang beriman
b.      Setiap mukmin apabila menjadi saksi ia diwajibkan menjadi saksi karena Allah dengan sejujur-jujurnya dan adil
c.      Manusia dilarang mengikuti hawa nafsu dan manusia dilarang menyelewengkan kebenaran.
2)     Dalam ayat lain Allah mengulangi lagi kewajiban manusia menegakkan keadilan dan menjadi saksi yang adil, sebagaimana yang tercantum dalam ayat berikut:
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. šúüÏBº§qs% ¬! uä!#ypkà­ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿwur öNà6¨ZtB̍ôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã žwr& (#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)­G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 žcÎ) ©!$# 7ŽÎ6yz $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ÇÑÈ  
.  “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S.al-Maidah :8)
Ayat di atas memerintahkan menunaikan amanat, ditekankannya bahwa amanat tersebut harus ditunaikan kepada ahliha yakni pemiliknya. Ketika memerintahkan menetapkan hukum dengan adil, dinyatakannya “apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia”. Ini bearti bahwa perintah berlaku adil itu ditunjukkan terhadap manusia secara keseluruhan.[8]
Dari ayat tersebut dapat dibentuk sekurangnya empat garis hukum yang berisi perintah dan larangan kepada manusia yaitu:
a)      Perintah kepada orang-orang yang beriman supaya menjadi manusia yang lurus (adil), dari perkataan alqist karena Allah. Garis hukum ini mengandung makna bahwa setiap perbuatan yang adil dilakukan oleh manusia karena keikhlasannya semata-mata kepada Allah, bukan karena hal lain.
b)      Perintah kepada orang-orang yang beriman supya menjadi saksi yang adil, artinya dalam kesaksiannya itu, ia tidak memihak kepada siapapun, kecuali kepada kebenaran.
c)      Larangan kepada orang-orang yang beriman untuk bersikap tidak adil, karena motivasi emosional atau sentimen yang negatif (benci) kepada sutu kelompok manusia atau seorang tertentu. Ayat ini dapat di tafsirkan pula, manusia dilarang bersikap tidak adil karena motivasi emosioal yang positif , misalnya sayang atau belas kasihan kepada suatu kelompok atau seseorang tertentu. Ringkasnya, setiap orang yang beriman wajib menjadi saksi yang adil tanpa dipengaruhi oleh sesuatu perasaan apapun, kecuali kebenaran.
d)     Perintah kepada orang-orang yang beriman supaya bersikap adil, karena adil lebih dekat dengan takwa.[9]
3)      Dalam al-Qur’an tema keadilan merupakan sesuatu yang sangat penting. Karena itu, sbebagaimana dicantumkan dalam ayat yang lain mengenai tema ini, yaitu dalam surah an-nahl/16:90 :
¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGƒÎ)ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍x6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcr㍩.xs? ÇÒÉÈ  
. “ Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan  keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (Q.S. an-Nahl:90)
      Sekurang-kurangnya ada enam garis hukum dapat dibentuk dari ayat tersebut diatas yaitu:
a.       Perintah menegakkan keadilan
b.      Perintah melakukan kebaikan
c.       Perintah membantu secara materil kepada sanak-famili atau kaum kerabat
d.      Manusia dilarang melakukan perbuatan keji dan buruk
e.       Manusia dilarang melakukan kemungkaran
f.       Manusia dilarang bersikap bermusuhan
Pada hakikatnya garis-garis hukum ini merupakan satu kesatuan yang berpusat pada tema keadilan. Karena itu, karena itu dalam ayat ini “perintah menegakkan keadilan ditempatkan atau di digariskan pada urutan yang pertama.[10] Dari sini dapat dipahami, bahwa perintah menegakkan keadilan berlaku bagi setiap mukmin yang diserahi amanah memegang kekuasaan negara
      Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang berani menerima amanah yang diembankan oleh Allah, yang sebelumnya tidak ada yang berani memikulnya kecuali manusia, manusia merupakan makhluk yang sempurna yang dikarunia akal dengan nafsu, manusia diberi keleluasan dengan akalnya. Manusia bebas memikirkan cara memahami dan melaksanakan amanah sebagai khalifah dimuka bumi ini.[11] Perhatikan firman Allah SWT:
¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ  
 Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S.an-Nisa’:58)
Apabila ayat tersebut dirumuskan dengan menggunakan metode pembentukan garis hukum sebagaimana diajarkan oleh Hazirin dan dikembangkan oleh Sayjuti Thalib, maka  dari ayat tersebut dapat ditarik dua garis hukum yaitu:
Garis hukum pertama manusia diwajibkan menyampaikan amanah atau amanat kepada yang berhak menerimanya, garis hukum kedua manusia diwajibkan menetapkan hukum dengan adil.
Perkataan amanah yang dalam bahasa Indonesia disebut “amanat” dapat diartikan “titipan” atau “pesan”. Dalam konteks “kekuasaan Negara” perkataan amanah itu dapat dipahami sebagai suatu pendelegasian atau pelimpahan kewenangan dan karena itu kekuasaan dapat disebut sebagai “mandat” yang bersumber dari Allah.
“kekuasaan adalah suatu karunia atau nikmat Allah yang merupakan suatu amanah kepada manusia untuk dipelihara dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan prinsif-prinsip dasar yang telah di tetapkan dalam al-qur’an dan dicontohkan oleh sunah Rasulullah. Kekuasaan itu kelak harus dipertanggung jawabkan kepada Allah.[12]
Penyampaian amanah dalam konteks kekuasaan mengandung suatu implikasi  bahwa ada larangan bagi pemegang amanah itu untuk melakukan suatu abuse atau penyalahgunaan kekuasaan yang ia pegang, menegakkan keadilan adalah suatu perintah Allah, apabila kekuasaan itu dihubungkan dengan keadilan, maka dalam nomokrasi islam implementasi kekuasaan Negara melalui suatu pemerintahah yang adil merupakan suatu kewajiban penguasa. Dalam nomokrasi islam antara kekuasaan dalam pengertian yang luas eksekutf, legeslatif, yudikatif, dan kepolisian dengan keadilan merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Kekuasaan harus selalu didasarkan kepada keadilan, karena perinsif keadilan dalam islam menempati posisi yang sangat berdekatan dengan takwa.[13]
Takwa merupakan tolak ukur manusia dalam hidupnya yang membedakannya di hadapan yang kuasa. Firman diatas diawali dengan pesan agar dalam menegakkan keadilan, kita tidak tergoda oleh rasa benci kepada suatu kelompok manusia, sehingga kita menyimpang dari keadilan.
Memang, godaan dalam menegakkan keadilan ialah ketika ketika hubungan kita dengan orang lain diliputi oleh rasa senang dan benci, jika kita terlibat hubungan dengan orang lian atau kelompok atau kelompok lain dalam suasan atidak senang, janganlah sampai menyimpangkan kita dari keadilan sehingga merugikan orang lain.[14]
Oleh karena itu dalam peradilan harus diutamakan keadilan karena, Pertama karena Allah memiliki sifat  maha adil, keadilannya penuh dengan kasih sayang kepada mahluk-mahlukNYa. Kedua, dalam islam, keadilan adalah kebenaran. Kebenaran adalah pula merupakan salah satu nama Allah. Dia adalah sumber kebenaran dalam al-Qur’an disebut al-Haq. Keadilan dan kebenaran dapat diumpamakan sebagai dua saudara kembar yang sulit untuk dipisahkan. Ketiga keadilan yang berasal dari perkataan adil dalam bahasa arab dari segi etimologi artinya sama. Ia menunjukkan suatu keseimbangan atau dalam posisi dipertengahan.[15]
2.      Dalil-Dalil dari  Hadist
Tidak hanya dalam Al-Qur’an saja tempat diwajibkannya untuk menegakkan keadilan namun dalam hadist juga nabi mengharuskan untuk menegakkan keadilan. minsalnya:
اذااجتهد الحاكم فاصاب فله اجران ؤاذااجتهد فا خطاء فله اجر
Apabila seorang hakim berijtihad dan tepat ijtihadnya, maka ia memperoleh dua pahala, dan apabila ia berijtihad tetapi ijtihadnya itu salah, maka ia memperoleh satu pahala”[16]
Dalam hadis yang lain disebutkan:
عَنْ بُرَيْدَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اَلْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ: اِثْنَانِ فِي اَلنَّارِ, وَوَاحِدٌ فِي اَلْجَنَّةِ. رَجُلٌ عَرَفَ اَلْحَقَّ, فَقَضَى بِهِ, فَهُوَ فِي اَلْجَنَّةِ. وَرَجُلٌ عَرَفَ اَلْحَقَّ, فَلَمْ يَقْضِ بِهِ, وَجَارَ فِي اَلْحُكْمِ, فَهُوَ فِي اَلنَّارِ. وَرَجُلٌ لَمْ يَعْرِفِ اَلْحَقَّ, فَقَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ, فَهُوَ فِي اَلنَّارِ )  )رَوَاهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ(
 Dari Buraidah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Hakim itu ada tiga, dua orang di neraka dan seorang lagi di surga. Seorang yang tahu kebenaran dan ia memutuskan dengannya, maka ia di surga; seorang yang tahu kebenaran, namun ia tidak memutuskan dengannya, maka ia di neraka; dan seorang yang tidak tahu kebenaran dan ia memutuskan untuk masyarakat dengan ketidaktahuan, maka ia di neraka." Riwayat Imam Empat. Hadits shahih menurut Hakim.
  وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ وَلِيَ اَلْقَضَاءَ فَقَدْ ذُبِحَ بِغَيْرِ سِكِّينٍ )  رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ حِبَّانَ
“ Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa diangkat sebagai hakim, ia telah disembelih dengan pisau." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.
  َوَعَنْ أَبِي بَكْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ( لَا يَحْكُمُ أَحَدٌ بَيْنَ اِثْنَيْنِ, وَهُوَ غَضْبَانُ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
 Abu Bakrah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah seseorang menghukum antara dua orang dalam keadaan marah." Muttafaq Alaihi.
  وَعَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِذَا تَقَاضَى إِلَيْكَ رَجُلَانِ, فَلَا تَقْضِ لِلْأَوَّلِ, حَتَّى تَسْمَعَ كَلَامَ اَلْآخَرِ, فَسَوْفَ تَدْرِي كَيْفَ تَقْضِي. قَالَ عَلِيٌّ فَمَا زِلْتُ قَاضِيًا بَعْدُ )  رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ, وَقَوَّاهُ اِبْنُ اَلْمَدِينِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ
 “Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila ada dua orang meminta keputusan hukum kepadamu, maka janganlah engkau memutuskan untuk orang yang pertama sebelum engkau mendengar keterangan orang kedua agar engkau mengetahui bagaimana harus memutuskan hukum." Ali berkata: Setelah itu aku selalu menjadi hakim yang baik. Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits hasan menurut Tirmidzi, dikuatkan oleh Ibnu al-Madiny, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban.[17]
C.      Praktik Rasulullah SAW dan sahabat dalam menyelesaikan sengketa
a.          Nabi SAW sebagai Satu-satunya Pemegang Otoritas Jurisdiksi
Prinsip kehidupan yang dibangun Nabi SAW sendiri basisnya didasarkan pada prinsip Tauhid yang meletakkan manusia berkedudukan setara di hadapan Allah dan hukum-hukumNya. Keberadaan Nabi SAW sendiri di masyarakat-negara Madinah saat itu jika dilihat dari konsep ketatanegaraan modern menggabungkan ketiga institusi trias politica yaitu kekuasaan legislatif (sulţah tashrī`iyah), kekuasaan eksekutif (sulţah tanfīdziah) dan kekuasaan judikatif (sulţah qadlāiyah) sekaligus. Sebagai seorang penerima sekaligus penyampai wahyu dari Allah, Nabi Muhamad SAW merupakan satu-satunya sumber segala hukum dan tata aturan. Bahkan segala perbuatan dan ucapannya juga diposisikan sebagai sumber legislasi yang harus ditaati. Sedangkan unsur kekuasaan eksekutif Rasulullah dapat dilihat dari pelaksanaan beliau dan pengejawantahan hukum-hukum Allah/syariat Islam serta menegakkannya dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi maupun politik.
Adapun kekuasaan judikatif Rasulullah diperlukan dalam kerangka penegakan keadilan dan pemeliharaan hak-hak masyarakat waktu itu yang terkadang mengalami perselisihan atau persengketaan antar pemiliknya. Proses yang dilakukan pun menjadi penting sebagai cara penguatan sistem sebuah masyarakat-negara yang baru lahir dan sedang dibangun dimana nantinya akan diteladani oleh umat Islam secara keseluruhan di masa-masa berikutnya. Sebagai catatan, dengan mengutip pendapat Syaikh `Abdul Wahhāb Khallāf, bahwa penyatuan tiga kekuasaan judikatif, legislatif dan eksekutif sekaligus di kedua tangan seorang Nabi SAW ini tidaklah menimbulkan kekhawatiran tejadinya penyalahgunaan kekuasaan atau tuntutan pemisahan jabatan dengan alasan-alasan kekhawatiran lainnya karena jaminan ke-ma`şum-an Rasulullah (terjaga dari dosa) dan sekaligus sebagai teladan bagi umat [18].
Sementara itu, Piagam Madinah (al-Mītsāq al-Madani) sebagai undang-undang tertulis yang disusun tidak lama setelah sampainya Rasulullah di Madinah memiliki muatan-muatan yang mengatur hubungan sosial-politik masyarakat baru di Madinah dimana di dalam salah satu pasalnya menegaskan kewajiban unsur-unsur anggota masyarakat tersebut, khususnya dari kalangan orang-orang muslim, untuk saling bertanggungjawab secara bersama-sama terhadap keamanan umum dalam negeri Madinah.[19] Dalam teks piagam tersebut disebutkan bahwa masing-masing orang mu’min bertanggungjawab atas kejahatan yang terjadi disekitarnya meskipun hal itu dilakukan oleh anaknya sendri.[20] Adapun jika terjadi terjadi perselisihan dan persengketaan maka otoritas legislasi dan jurisdiksi berada di tangan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana juga dikatakan oleh teks piagam tersebut.[21]
 b. Penunjukan Sahabat sebagai Qādli
            Sebagaimana disingggung di muka, bahwa Nabi SAW merupakan satu-satunya pemegang otoritas jurisdiksi saat itu. Namun beberapa riwayat yang ada menunjukkan bahwa Nabi SAW pernah menunjuk beberapa orang sahabatnya untuk menyelesaikan kasus-kasus persengkataan tertentu. Sebagai contoh Nabi pernah mendelegasikan Hudzaifah ibn al-Yamān al-`Absy untuk menyelesaikan perselisihan dua orang bersaudara yang memperebutkan hidhār[22] atau  jidār rumah mereka.[23] Nabi juga diriwayatkan pernah meminta `Amru ibn al-`Āş untuk memberi keputusan pada sebuah masalah yang dibawa oleh dua orang yang datang kepada Nabi mengadukan persengketaan mereka. Nabi bersabda kepada `Amru ibnu al-As: “Putuskanlah perkara yang terjadi antara keduanya wahai `Amru ibnu al-As.” Maka `Amru ibnu al-As merasa kaget dan berkata: “Akankah aku putuskan perkara keduanya sementara engkau berada bersama kami wahai Rasulullah.[24]
Selain kepada dua sahabatnya seperti di atas, Nabi juga pernah meminta hal sama kepada sahabat `Uqbah ibn `Amir al-Juhani untuk memutus satu perkara.[25] Nabi diberitakan juga pernah mengirimkan Ma`qil ibn Yasār[26] dan dalam kesempatan berbeda- `Ali ibn Abu Ţālib sebagai qadli ke Yaman.[27]
            Sebagaian sahabat lain pernah ditunjuk Nabi SAW untuk menjadi wali (wakil pemerintahan) beliau di suatu wilayah tertentu sekaligus sebagai pelaksana qadlā seperti sahabat `Utāb ibn Asīd yang ditugaskan Nabi menjadi wali Mekah setelah penaklukan (Fathu Makkah), atau Mu`adz ibn Jabal yang diutus ke Al-Janad (sebuah wilayah di Yaman) untuk mengajarkan Al-Qur’an dan syariat Islam, mengumpulkan zakat, sekaligus menjalankan peradilan, Abū Mūsa al-‘Ash`ari diutus ke bagian lainnya di Yaman (daerah Zabīd, `Adn), serta Al-`Alā’ al-Hadlrāmi ke Bahrain.[28] Dalam kasus lain, saat Nabi SAW keluar dari Madinah untuk sebuah keperluan, Nabi mewakilkan pemerintahan Madinah termasuk diantara bagiannya adalah institusi jurisdiksinya- kepada para sahabatnya seperti Sa’ad ibn `Ubādah ketika beliau keluar ke medan Perang al-Abwā’ atau Sa`īd ibn Madh`ūn ketika terjadi Perang Buwāţ.[29]
Dari uraian di atas, yang perlu dicatat adalah bahwa Nabi SAW tidak pernah mengangkat seorangpun yang secara khusus mengemban tugas “profesi” sebagai qādli maupun memberikan mandat jurisdiksi (qadlā’) secara penuh kepada sahabat-sahabat beliau untuk melakukan tugas tersebut secara multak tanpa batasan tempat dan waktu. Akan tetapi pemberian otoritas jurisdiksi oleh Nabi kepada sahabatnya tersebut paling tinggi terjadi saat beliau menujuk wakilnya untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan di daerah tertentu sebagai bagian dari wilayah `āmmah.[30].
c. Sumber Hukum Peradilan
            Sebagai seorang Qādli (pemegang otoritas jurisdiksi) Nabi SAW telah menjalankan perannya dengan baik dalam memutuskan berbagai persoalan yang terjadi pada zaman itu. Diantara putusan Nabi ada diantaranya yang merupakan implementasi langsung dari aturan-aturan wahyu yang terdapat dalam al-Quran, seperti saat Nabi SAW memerintahkan pemotongan tangan seorang perempuan Bani Makhzūm yang mencuri, sebagai pelaksanaan kandungan ayat QS. Al-Mā’idah: 38.
Namun, Nabi SAW terkadang juga memutuskan suatu perkara dengan ijtihad beliau dalam beberapa hal ketika tidak terdapat naş-nya secara eksplisit dalam al-Quran seperti ketika beliau memberikan kebebasan kepada seorang anak yang telah dewasa untuk memilih ikut ibu atau bapaknya ketika keduanya bercerai. Mengenai keberadaan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum peradilan di zaman ini secara lebih tegas diungkapkan oleh  Nabi sendiri ketika memberikan putusan kepada dua orang yang bersengketa tentang sebuah masalah waris. Nabi SAW bersabda:
إِنِّى إِنَّمَا أَقْضِى بَيْنَكُمْ بِرَأْيِى فِيمَا لَمْ يُنْزَلْ عَلَىَّ فِيهِ
“Sesungguhnnya aku memutuskan berdasarkan pandanganku, dalam perkara yang belum ada wahyu yang diturunkan kepadaku”.[31]
            Putusan Nabi berdasarkan ijtihad ini bagi umatnya dengan sendirinya tentu saja menjadi bagain dari sumber hukum itu sendiri karena posisi Nabi sebagai penyampai tashrī`` dari Allah atau sebagai musharri`.Persoalan ini bisa lebih dilihat secara lebih jelas melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Mu’ādz ibn Jabal. Salah seorang sahabat yang pernah ditugaskan oleh Nabi sebagai qādli ini meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ketika akan mengirimnya ke Yaman bertanya: “Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa orang kepadamu?”. “Saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalam Kitabullah.” Jawab Mu’ādz. Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau engkau tak menemukan hal itu dalam Kitabullah, bagaimana?”. Mu’ādz menjawab: “Saya akan memutuskannya menurut Sunah Rasul-Nya”. Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau hal itu tidak ditemukan juga dalam Sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitabullah, bagaimana?”  Lalu Mu’adz menjawab: “Jika tidak terdapat dalam keduanya saya akan berijtihad sepenuh kemampuan saya.”  Mendengar jawaban itu, Rasulullah SAW lalu menepukkan kedua tangannya ke dada Mu’ādz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan Rasulullah, kepada apa yang diridhainya.”
d. Proses Peradilan
Pada zaman Nabi SAW proses peradilan berlangsung dengan sangat sederhana. Jika ada seseorang yang menemui satu permasalahan maka ia dapat bersegera datang kepada Nabi untuk meminta putusan tanpa harus menunggu waktu tertentu maupun mencari tempat tertentu pula. Bahkan kebanyakan dari putusan-putusan (qadlā’) yang dilakukan oleh Nabi lebih bersifat sebagai “fatwa”[32] dengan model tanya-jawab, dibandingkan dengan proses sebuah “pengadilan” dalam bahasa yang sering dipahami di masa sekarang.
Namun meskipun proses peradilan ini berlangsung sangat sederhana, Rasulullah menyaratkan bahwa ketika terjadi persengketaan antara dua pihak yang saling mengklaim kebenaran sebuah keputusan tidak boleh diambil kecuali setelah sang pengambil keuputusan (qādli) mendengarkan pelaporan dari kedua belah pihak.
عن علي قال : قال لي رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا تقاضى إليك رجلان فلا تقض للأول حتى تسمع كلام الآخر فسوف تدري كيف تقضي قال علي فما زلت قاضيا بعد
Dari Ali r.a berkata: Rasulullah SAW berkata kepadaku: “Jika datang kepadamu dua orang untuk meminta putusan dari mu, maka janganlah engkau beri putusan kepada orang pertama sebelum engkau mendengarkan juga (laporan) dari orang kedua, sehingga engkau tahu bagaimana seharusnya kamu memutuskan.” [33]
            Dalam konteks ini Nabi SAW juga mengharuskan adanya bukti yang dibawa oleh pelapor dan sumpah bagi yang dilaporkan. Dalam sebuah riwayat dari Ibn `Abbās Nabi SAW bersabda:
لو يعطى الناس بدعواهم لادعى رجال اموال قوم ودماء هم ولكن البينة على المدعى واليمين على من انكر
“Seandainya setiap orang diberikan apa-apa yang mereka klaim, maka orang-orang akan mengklaim harta-harta atau jiwa-jiwa suatu kaum. Tetapi (semestinya adalah) bahwa bukti harus didatangkan oleh orang yang mengklaim (pelapor) dan sumpah harus diberikan oleh yang dilaporkan”.[34]
            Adapun mengenai masa yang dibutuhkan bagi berlangsungnya proses mulai dari putusan hingga eksekusi tidak menunggu waktu melainkan dijalankan secara langsung. Kesimpulan ini bisa dipahami dari beberapa hadits seperti saat Nabi memutuskan persengketaan Ka`ab ibn Malik dengan Ibn Abi Hadrad mengenai piutangnya. Nabi memutuskan agar Ka`ab mengambil separuh dari piutangnya dan merelakan separuhnya. Saat itu juga Nabi memerintahkan Ka`ab untuk segera melaksanakan putusan tersebut dengan mengatakan “Qum fa iqdlihi” (Lekaslah berdiri wahai Ka`ab dan tunaikanlah!).[35]

d. Perangkat-perangkat  Lain dalam Sistem Peradilan pada  Masa Nabi
            Dalam Islam sejak awal bahwa peradilan merupakan sebuah sistem[36] yang selain mencakup proses peradilan atau arbitrasi itu sendiri juga mencakup hal-hal atau lembaga lainnya yang saling mendukung satu sama lain. Dalam diskursus jurisprudensi Islam yang berkembang kemudian, selain istilah qadlā’ (yang berarti peradilan secara umum) dikenal pula istilah Hisbah dan al-Madzalim.
            Hisbah didefinisikan sebagai “memerintahkan hal-hal yang baik (ma`rūf) ketika telah mulai ditinggalkan dan mencegah atau melarang kemungkaran ketika dikerjakan”.[37] Dalam perkembangan sistem peradilan Islam yang terjadi kemudian hisbah menjadi sebuah lembaga (dan petugasnya disebut dengan muhtasib) yang bertugas menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran dengan dibekali hak istimewa untuk menginvestigasi dan mencari-cari perilaku kemungkaran yang mungkin dikerjakan.
Dan ternyata, konsep lembaga ini jika dirunut memiliki akar historis pada zaman Rasulullah. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Rasulullah senantiasa memeriksa keadaan dan kondisi berbagai sisi hidup umatnya. Suatu ketika, saat berjalan-jalan (melakukan inspeksi) di pasar Nabi menjumpai kecurangan yang dilakukan oleh seorang pedagang makanan dan kemudian menegurnya.
            Sama halnya dengan hisbah, peradilan madzālim juga telah memiliki dasar sejarah di zaman Nabi. Madzālim merupakan institusi pembelaan terhadap hak-hak rakyat kecil dari seseorang yang berpengaruh, sehingga sulit bagi pengadilan biasa untuk menyelesaikannya. Nabi pernah mencontohkan pembelaan madzālim ini untuk umatnya atas dirinya sendiri dengan mengatakan “barangsiapa yang hartanya telah terambil olehku maka inilah hartaku aku silakan dirinya mengambilnya.
Adapun lembaga sistem peradilan yang lain seperti kepolisian dan penjara, dari catatan sejarah yang ada dapat disimpulkan tampaknya kedua institusi tersebut belum pernah ada di zaman Nabi. Sedangkan konsep “lembaga pengawasan” terhadap peradilan juga bisa ditemukan dalam sejarah peradilan di zaman Nabi. Fungsi pengawasan itu dilakukan oleh wahyu Allah terhadap Nabi Saw. Rasulullah juga melakukan pengawasan serta evaluasi terhadap para sahabat yang ditunjuknya untuk menjalanakan peradilan sebagaimana diindikasikan dalam riwayat Hudzaifah ibn Al-Yaman dan Ali yang usai menyelesaikan putusannya melaporkannya kepada Nabi, dimana Nabi kemudian membenarkannya. Jika putusan kedua sahabat itu salah, tentu Nabi-pun akan segera mengoreksinya.[38]

D.       Pengangkatan dan pemberhentian hakim beserta kewenangannya
1.      Pengertian hakim
Hakim berasal dari kata حكم – يحكم - حاكم : sama artinya dengan qadhi yang berasal dari  kata قضي – يقضي - قاض artinya memutus. Sedangkan menurut bahasa adalah orang yang bijaksana atau orang yang memutuskan perkara dan menetapkannya.  Adapun pengertian menurut Syar'a Hakim yaitu orang yang diangkat oleh kepala Negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselsihan dalam bidang hukum perdata oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan[39]. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW telah mengangkat qadhi untuk bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia di tempat-tempat yang jauh, sebagaimana ia telah melimpahkan wewenang ini pada sahabatnya.  Hakim sendiri adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.
2.      Syarat Menjadi Hakim
Terkait syarat untuk menjadi seorang hakim para fuqaha  berbeda pendapat, di antara mereka ada yang mengatakan bahwa seorang Qadhi/hakim harus memenuhi 15 syarat, dan ada juga yang mengatakan cukup 7 syarat serta ada juga yang berpendapat cukup dengan 3 syarat. Meskipun mereka berselisih tentang jumlah itu, tetapi beberapa syarat terpenuhi oleh yang lain dan sejumlah syarat dapat di cakup oleh syarat yang lain.[40] Kemudian menurut Ibnu Rusyd, syarat menjadi hakim adalah, Merdeka, Islam, Aqil Balig, Laki-laki dan Bersikap Adil.[41] Selanjutnya menurut Yahya Zakaria Al-Ansari, hakim hendaklah ahli dalam masalah kesaksian, yaitu Beragama Islam, Mukalaf, Merdeka, Laki-laki, Bersifat adil dan mendengar, melihat, dapat berbicara dan menguasai masalah peradilan. Karena itu janganlah mengankat orang kafir, anak-anak, orang gila, hamba sahaya, perempuan, banci, orang fasik, orang tuli, orang buta, orang bisu walaupun isyaratnya dapat dipahami, orang yang pelupa, penipu, orang yang sakit-sakitan[42].
3.      Pengangkatan Hakim
Adapun pengangkatan seorang hakim oleh penguasa, hukumnya adalah wajib dan tidak dibedakan antara pemberian wewenang kepada hakim oleh pihak penguasa atau dengan jalan pelimpahan wewenang kepada pembantu-pembantu pemerintah untuk tugas-tugas khusus dibidang peradilan, dan atas dasar ini, maka sebenarnya seorang hakim menyandarkan putusan hukumnya atas pengangkatannya dari pihak penguasa.
Adapun seorang hakim walaupun non-Islam dan adil selama masih bisa memutuskan hukum dengan benar tidak apa-apa. Adapun poin yang sangat penting dalam pengangkatan ini ialah seorang hakim tersebut harus diangkat oleh penguasa pemerintahan atau wakilnya.
Dalam hal seorang Muwalli (pengangkat hakim) menganut madzhab yang berbeda dengan yang diangkat kemudian si penguasa mensyaratkan dalam setiap keputusan hakim tersebut harus mengikuti madzhab penguasa yang mengangkat
Dalam hal otoritas seorang hakim dalam menangani permasalahan ada dua pendapat juga:
·      Seorang hakim tidak boleh menangani hal-hal yang dilarang karena hal tersebut bukan otoritasnya.
·      Boleh seorang hakim menangani hal-hal yang dilarang (bukan otoritasnya) selama hal tersebut bukan termasuk persyaratan dalam pengangkatannya.
Dalam hal pengangkatan ini ada dua cara.
1.    Dengan sharih diantaranya, qalladtuka (aku mengangkatmu), wallaituka (aku menguasakan kepadamu), astakhlaftuka (aku menempatkanmu), dan astanbattuka (aku mewakilkan kepadamu).
2.    Dengan kinayah diantaranya, i’tamadtu ‘alaika (aku bergantung kepadamu), awwaltu ‘alaika (aku meletakkan kepercayaan kepadamu), dll.
Disamping pengangkatan seperti diatas jabatan, hakim sah dengan empat syarat:
1.    Muwalli mengetahui bahwa muwalla (pihak yang diangkat) memiliki sifat yang membuatnya layak untuk diangkat.
2.    Muwalli mengetahui hak muwalla terhadap jabatan hakim.
3.    Muwalli menyebutkan secara jelas jenis pengangkatannya apakah seorang hakim atau gubernur dll.
4.    Daerah kerja harus disebutkan dalam pengangkatan.
Akan tetapi, dalam hal ini terjadi perbedaan ada yang mengatakan boleh dan ada yang tidak.  Dan bagaimanakah jika seorang perempuan yang menjadi hakim (qadhi)? Para ulama juga berbada pendapat tentang hal ini. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa seorang wanita itu boleh menjadi qadhi. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan bahwa wanita itu boleh menjadi qadhi, jika perkara yang dihadapi berhubungan dengan harta. At-Thabari bahkan lebih ekstrim lagi dengan mengatakan wanita boleh menjadi qadhi dalam semua perkara yang diadukan kepadanya.
4. Pemberhentian (Pemecatan) Hakim
Pemerintah (penguasa) mempunyai hak untuk memecat hakim yang ia angkat apabila ada sebab yang menghendakinya, dan tidak dibenarkan tindakan pemecatan tanpa ada sebab, demikian menurut madzhab Syafi’i, karena hal itu dikaitkan dengan kemashlahatan kaum muslimin dan hak umat, maka tidak dibenarkan tindakan pemecatan terhadap hakim yang tidak bersalah, karena hal itu disamakan dengan wakalah (perwakilan) apabila ada kaitannya dengan hak orang lain. Dan menurut satu pendapat, dibolehkan tindakan pemecatan tanpa adanya kesalahan, karena ada suatu riwayat, bahwa Ali bin Abi Thalib pernah mengangkat Abdul Aswad sebagai hakim kemudian dipecatnya. Lalu Abdul Aswad bertanya: mengapa aku engkau pecat, padahal aku tidak berkhianat dan tidak melakukan tindakan kesalahan? Ali menjawab: sesungguhnya aku melihat kamu tinggi ucapanmu terhadap pihak-pihak yang berperkara. Dan karena penguasa berhak memecat pejabat-pejabat bawahannya termasuk juga para hakim.
Dan berlakulah pemecatan itu sejak ia (yang dipecat itu) mengetahui tentang pemecatan dirinya.
Abu Yusuf berkata: berlakunya pemecatan itu sejak pengganti telah diangkat demi menjaga hak-hak manusia. Demikian juga, qadhi boleh mengundurkan diri, dan berlakulah pengunduran diri itu sejak ia meninggalkan tugasnya. Menurut pendapat Jumhur bahwa qadhi yang mengundurkan diri itu tidak terhenti kelangsungan tugasnya sampai diangkatnya pejabat baru, karena dalam hal ini tidak seorang pun dapat membatalkan suatu hak, dan menurut suatu pendapat dikatakan, bahwa qadhi yang demikian itu belum terlepas selama hal pengunduran dirinya itu belum diketahui oleh pihak yang mengangkatnya, dan kalau diqiyaskan dengan pendapat Abu Yusuf, maka sebenarnya ia belum terlepas sampai ia menerima surat pemberhentian, dan inilah yang sesuai dengan apa yang berjalan di masa sekarang. 
Dan atas dasar itu, maka selama surat pemecatan itu belum disampaikan, maka segala putusannya masih tetap sah demikian juga segala putusan itu tetap dapat dilaksanakan selama secara resmi pengunduran dirinya itu belum diterima.
Dan kalau seorang qadhi meninggal dunia atau dipecat oleh orang yang tidak berhak memecatnya, maka tidak terpecat dan tidak diperlukan pengangkatan baru, sebab pada dasarnya ia melaksanakan kekuasaan umum di bidang peradilan dari umat dan mengadili atas namanya.
5.         Wewenag hakim
Kekuasaan kehakiman mempunyai tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya guna menegakkan hukum dan keadilan
Hakim peradilan agama mempunyai tugas untuk menegakkan hukum perdata islam yang menjadi kewenangannya dengan cara-cara yang diatur dalamhu kum acara peradilan agama.
Adapun tugas-tugas pokok hakim di pengadilan adalah sebagai berikut:
1.      Membantu mencari keadilan
2.      Mengatasi segala hambatan dan rintangan
3.      Mendamaikan para pihak yang bersengketa
4.      Memimpin persidangan
5.      Memeriksa dan mengadili perkara
6.      Meminitur berkas perkara
7.      Mengawasi pelaksanaan putusan
8.      Memberikan pengayoman kepada pencari keadilanMenggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat
9.      Mengawasi penasehat hukum.[43]
Selain tugas pokok sebagai tugas justisial tersebut, hakim juga mempunyai tugas non justisial, yaitu :
·           Tugas pengawasan sebagai hakim pengawas bidang;
·           Turut melaksanakan hisab, rukyat dan mengadakan kesaksian hilal;
·           Sebagai rokhaniawan sumpah jabatan;
·           Memberikan penyuluhan hukum;
·           Melayani riset untuk kepentingan ilmiah;
·           Tugas-tugas lain yang diberikan kepadanya.
6.         Fungsi Hakim
Fungsi hakim adalah menegakkan kebenaran sesungguuhnya dari apa yang dikemukakan dan dituntut oleh para pihak tanpa melebihi atau menguranginya terutama yang berkaitan dengan perkara perdata, sedangkan dalam perkara pidana mencari kebenaran sesungguhnya secara mutlak tidak terbatas pada apa yang telah dilakukan oleh terdakwa,  melainkan dari itu harus diselidiki dari latar belakang perbuatan terdakwa. Artinya hakim pengejar kebenaran materil secara mutlak dan tuntas. Di sini terlihat intelektualitas hakim yang akan teruji dengan dikerahkannya segenap kemampuan dan bekal ilmu pengetahuan yang mereka miliki, yang semua itu akan terlihat pada proses pemeriksaan perkara apakah masih derdapat pelanggaran-pelanggaran dalam teknis yustisial atau tidak.

E.     Praktik peradilan pada khulafa’ ar-Rasyidun
a.      Khalifah Abu Bakar
             Dalam masalah peradilan, Abu Bakar mengikuti jejak Nabi Muhammad Saw., yakni ia sendirilah yang memutuskan hukum di antara umat Islam di Madinah. Sedangkan para gubernurnya memutuskan hukum di antara manusia di daerah masing-masing di luar Madinah. Adapun cumber hukum pada Abu Bakar adalah Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijtihad setelah pengkajian dan musyawarah dengan para sahabat.s Dapat dikatakan bahwa pada masa pemerintahan Abu Bakar ada tiga kekuatan, pertama, quwwat al-syari’ah (legislatif). Kedua, quwwat al-qadhaiyyah (yudikatif di dalamnya masuk peradilan) dan ketiga, quwwat al-tanfiziyyah (eksekutif).
             Diriwayatkan, bahwa pada masa Abu Bakar, urusan peradilan diserahkan kepada Umar bin Khattab selama dua tahun lamanya, namun selama itu tidak pernah terjadi adanya sengketa yang perlu dihadapkan ke muka pengadilan, karena dikenalnya Umar sebagai orang yang sangat keras dan juga karena faktor pribadi-pribadi kaum Muslim pada masa itu yang dikenal sebagai sangat saleh dan toleran terhadap sesama Muslim, sehingga faktor inilah yang sangat membantu tidak terwujudnya selisih sengketa di antara mereka.’ Selama dua tahun, hanya terdapat dua orang yang berselisih dan mengadukan permasalahannya kepada Umar karena beliau terkenal dengan ketegasan yang dimilikinya. Selain itu, Abu Bakar juga mengutus Anas sebagai hakim ke Bahrain.’ Maka tercatatlah dalam sejarah orang yang pertama kali menjadi qadhi dalam Islam pada awal masa khalifah al-Rasyidin adalah Umar bin Khattab.[44]
Pada saat Abu Bakar menggantikan Rasulullah SAW, beliau tidak merubah sistem peradilan yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW. Ini dikarenakan beliau sibuk menegakkan hukum Islam dengan memerangi kemurtadan, orang-orang muslim yang enggan membayar zakat, dan lain-lain perkara yang berhubungan dengan politik dan hukum.
            Malahan, pada periode ini peradilan dikuasai oleh khalifah sendiri, dan kadang-kadang khalifah memberi kuasa kepada orang lain untuk menjadi hakim seperti yang dilakukan Rasulullah SAW. Perkara ini berlaku sampai pada awal kekhalifahan Umar bin al-Khattab. Jadi, pada periode ini, belum ada pemisahan antara tiga jenis kekuasaan; yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif, sebaliknya khalifah memegang kekuasaan yudikatif.
            Doktor ‘Athiyyah Mushthofâ Musyrafah menukil dari Syaikh Muhammad Bakhît al-Muthî’î di dalam kitabnya yang berjudul; Hakîkat al-`Islâmi wa `Ushûl al-Hukm:
“… وفي خلافة أبي بكر تولى عمر بن الخطاب القضاء فكان أول قاض في الإسلام للخليفة
(… dan pada kekhalifahan Abu Bakar, beliau (Abu Bakar) menganggkat Umar bin al-Khatthâb sebagai hakim, maka adanya Umar adalah awal-awalnya hakim di dalam Islam bagi khalifah.[45]
                Menurut ‘Athiyyah, pendapat al-Muthî’î ini tidak dapat dibenarkan. Ini dikarenakan Umar adalah khalifah yang paling awal menentukan para hakim yang dikhususkan untuk menjadi hakim bagi pertikaian yang terjadi di antara manusia. Sedangkan Abu Bakar hanya mewakilkannya kepada Umar bin al-Khattab kadang-kadang untuk melihat kasus-kasus agar dicarikan inti pertikaiannya. Hanya saja, kekuasaan yudisial ini tidak dimiliki Umar secara khusus, Umar juga tidak disebut hakim pada zaman Khalifah Abu Bakar.[46] Umar juga tidak hanya bertugas sebagai hakim kadang-kadang, malahan Umar mendapatkan tugas menjadi imam dan lainnya.[47]
Langkah-langkah Abu Bakar dalam Istinbath Hukum, sebagai berikut :
1.    Mencari ketentuan hukum dalam Al-Qur’an. Apabila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada dalam Al-Qur’an.
2.    Apabila tidak menemukannya dalam A1-Qu’ran, ia mencari ketentuan hukum dalam Sunnah; bila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada dalam Sunnah.
3.    Apabila tidak menemukannya dalam Sunnah, ia bertanya kepada sahabat lain apakah Rasulullah Saw. Telah memutuskan persoalan yang sama pada zamannya. Jika ada yang tahu, ia menyelesaikan persoalan tersebut berdasarkan keterangan dari yang menjawab setelah memenuhi beberapa syarat.
4.    Jika tidak ada sahabat yang memberikan keterangan, ia mengumpulkan para pembesar sahabat dan bermusyawarah untuk meyelesaikan persoalan yang dihadapi. Jika ada kesepakatan di antara mereka, ia menjadikan kesepakatan itu sebagai keputusan.
b.      Umar Bin Khatab
Tindakan Umar dalam  bidang hukum,  ada beberapa contoh ijtihad Umar antara lain sebagai berikut :
o  Talak tiga, yang diucapkan sekaligus di suatu tempat pada suatu ketika dianggap sebagai talak yang tidak mungkin rujuk (kembali) sebagai suami istri. Kecuali salah satu pihak (dalam hal ini bekas istri) kawin lebih dahulu dengan orang lain. Garis hukum ini ditentukan oleh Umar berdasarkan kepentingan wanita, karena di zamannya banyak pria yang dengan mudah mnegucapkan talak tiga sekaligus kepada istrinya, untuk dapat bercerai dan kawin lagi dengan wanita lain. Tujuannya dalah untuk  melindungi kaum wanita dari penyalahgunaan hak talak yang berada di tangan pria. Tindakan ini dilakukan oleh Umar agar pria berhati-hati mempergunakan hak talak itu dan tidak mudah mengucapkan talak tiga sekaligus yang di zaman nabi dan Khalifah Abu Bakar dianggap (jatuh sebagai) talak satu.[48] Umar menetapkan garis hukum yang demikian untuk mendidik suami supaya tidak menyalahgunakan wewenang yang berada dalam tangannya.
·      Pemberian hak zakat kepada mualaf (orang yang baru masuk islam) seperti yang ditetapkan dalam Alquran. Dikarenakan ia perlu dilindungi karena masih lemah imannya dan (mungkin) terputus hubungan    dengan keluarganya. Pada zaman rasulullah, golongan ini memperoleh golongan zakat, tapi Umar menghentikan pemberian zakat kepada muallat berdasarkan pertimbangan, islam lebih kuat sehingga tidak perlu diberi keistimewaan.
o  Menurut al-Qur’an surat Al-Maidah (5) ayat 38, disebutkan tentang hukuman potong tangan bagi pencuri. Pada masa pemerintahan Umar terjadi kelaparan dalam masyarakat di semenanjung Arabia. Dlam keadaan masyarakat ditimpa oleh bahaya kelaparan itu, ancaman hukuman pencuri yang disebut dalam alquran tidak dilaksanakan karena pertimbanagn keadaan darurat dari kemaksiatan (jiwa) masyarakat.
o  Di dalam alquran suratAl Maidah Ayat 5 terdapat ketentuan yang memperbolehkan pria muslim menikahi wanita ahlulkitab (wanita yahudi dan Nasrani). Akan tetapi khalifah Umar melarang kawin campur antara lelaki islam dengan wanita yahudi atau nasrani demi melindungi kedudukan wanita islam dan keamanan Negara.
Umar itu seakan-akan bertentangan dengan ketentuan Alquran. Namun, kalau dikaji sifat hakikat ayat-ayat tersebut dalam kerangka tujuan hukum Islam keseluruhannya, ijtihad yang dilakukan Umar bin Khattab itu tidak bertentangan dengan maksud ayat-ayat hukum tersebut.Pokok-pokok pikiran mengenai peradilan; yang tercantum dalam suratnya kepada Abu Musa Al-Asyari. Isinya antara lain ;
1.      Kewajiban seorang hakim adalah memutuskan suatu perkara;
2.      Hakim mempelajari dahulu  berkas perkara itu sebaik-baiknya.  Setelah jelas duduk perkaranya, keputusan hakim harus seadil-adilnya.
3.      keadilan harus diwujudkan dalam praktik, sebab kalau ia tidak diwujudkan, keadilan tidak ada artinya. Hakim harus menyamakan kedudukan kedua pihak yang bersengketa haruslah disamakan kedudukannya. Dengan demikian, orang yang kuat tidak akan dapat mengharapkan sesuatu dan yang lemah tidak akan sampai putus asa karena mendambakan keadilan hakim;
4.      Hakim harus berperan mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa
5.      Hakim tidak boleh menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
6.      Tidak ragu dalam mengambil keputusan dan tidak ragu mengubah keputusan tersebut jika ternyata keputusan tersebut salah;
7.      Bila hakim tidak mendapat ketentuan hukum suatu perkara dari Alquran dan sunnah, hekim menggunakan hukum qiyash.
8.      Memilih penyelesaian perkara yang lebih diridlai Allah dan lebih sesuai serta mendekati kebenaran.[49]
c.       Usman Bin Affan
Setelah Khalifah Umar bin al-Khattab RA meninggal dengan dibunuh, maka kursi kekhalifahan dipegang oleh Saidina Utsman bin Affan RA dengan dilantik oleh rakyat. Khalifah Utsman adalah orang yang mengkodifikasi Alquran setelah pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar RA atas usulan Umar RA.
Sistem pengadilan pada zaman beliau adalah sama seperti yang telah diatur Umar RA, karena beliau tinggal meneruskan saja sistem Umar RA yang sudah tertata rapi.
Salah satu perubahan penting bagi pengadilan Islam pada zaman Khalifah Utsman bin Affan adalah dibangunnya bangunan khusus yang digunakan untuk peradilan negara Islam. Sebelum Khalifah Utsman, masjid adalah tempat untuk berperkara.Utsman juga mengirim pesan-pesan kepada para pemimpin di daerah lain, petugas menarik pajak, dan masyarakat muslim secara umum untuk menegakkan kelakuan baik dan mencegah dari kemungkaran. Beliau memesan kepada petugas menarik pajak untuk menarik pajak dengan adil dan jujur. Beliau memberi nasihat khusus kepada petugas pajak dengan kata-kata nasehat.
Dalam memberi hukum, Utsman memakai Alquran, sunnah, lalu pendapat khalifah sebelumnya. Kalau tidak ditemukan, beliau akan bermusyawarah dengan para sahabat.
4. Ali bin Abi Thalib
Setelah meninggalnya Utsman RA, Saidina Ali bin Abi Thalib RA menjabat sebagai khalifah. Beliau tidak melakukan perubahan di dalam peradilan. Beliau juga berpegang pada Alquran, sunnah, lalu merujuk pada khalifah sebelumnya. Seumpama tidak ditemui, baru beliau bermusyawarah dengan sahabat yang lain berdasarkan pada ayat: {وشاورهم في الأمر}.
Sesuai dengan khalifah sebelumnya, Khalifah Ali bin Abi Thalib RA juga membayar gaji para hakim dengan memakai uang yang ada di Bait al-Mâl.
Selain dari itu, dalam usaha Khalifah Ali RA meningkatkan kualitas peradilan Islam, beliau memberi insruksi kepada Gubenur Mesir dalam penentuan orang-orang yang akan diangkat menjadi hakim. Di dalam instruksi itu, ditekankan agar penguasa memilih orang-orang yang akan menjadi hakim dari orang-orang yang dipandang utama oleh penguasa sendiri, jangan dari orang-orang yang berpenghidupan sempit, jangan dari orang-orang yang tidak mempunyai wibawa dan jangan pula dari orang-orang yang loba kepada harta dunia, di samping mempunyai ilmu yang luas, otak yang cerdas, daya kerja yang sempurna.
Khalifah Ali bin Abi Thalib telah banyak memberi hukum atau fatwa yang dijadikan hukum oleh orang-orang setelahnya. Salah satu kemusykilan hukum yang diselesaikan Ali adalah apabila ada seorang istri yang mana suaminya meninggal dunia sebelum suami tersebut menjimak istrinya. Sedangkan suami tersebut belum menyerahkan mas kawin kepada istri tersebut. Maka Ali RA menghukumi bahwa tidak ada hak bagi istri tersebut mas kawin yang sepadan (مهر المثل), karena diqiyaskan pada wanita yang tertalak.
Kekuasaan lembaga peradilan pada periode pertama dibagi menjadi tiga bagian ;
·         Jawatan pengadilan yang dikendalikan oleh kepalanya yang dinamakan “Qadli’’, para Qadli menyelesaikan perkara-perkara yag bersangkutan dengan hutang piutang atau hukum-hukum perdata.
·         Jawatan pengadilanyang dikendalikan oleh kepalanya yang dinamakan “Muhtasib”, para Muhtaasib menyelesaikan urusan urusan yang berpautan dengan umum dan urusan-urusan pidana atau jinayah, uqubat, dsb.
·         Jawatan pengadilan yang dikendalikan oleh kepala negara atau seseorang yang diserahi tugasnya kepadanya, yang dinamakan Qadli (wali) madhalim, wali madhalim menyelesaikan persengketaan yang tak dapat diselesaikan oleh jawatan perrama dan kedua.
Dewan madzalim ini dipimpin oleh kepala negara sendiri, atau wali (kepala daerah), atau oleh seseorang yang ditunjuk untuk itu. Dan biasanya sidang-sidang itu dilakukan didalam masjid.
Majlis pengadilan iini dihadiri oleh :
1.      Beberapa petugas, beberapa pengawal Qadli (hakim) untuk dimintakan pertolongannya dan untuk menasehati orang-orang yang bersangkutan.
2.      Beberapa para fuqoha untuk dimintakan pendapat-pendapatnya mengenai hukum yang harus diberikan.
3.      Para pencatat (panitera) dan beberapa orang yang sesewaktu diminta menjadi saksi.[50]
F.     Surat Umar Ibn Khatab Sebagai Dasar Acara Peradilan
Umar bin Kattab mengangkat Abu Darda’ sebagai Qadli di kota Madinah, Syuraih di Basrah, Abu Musa al Asy’ary di Kuffah, dan Syuraih bin Qais bin Abil Ash di daerah Mesir. Para Hakim ditetapkan daerah Yurisdiksinya dan diangkat oleh Khalifah atau diwakilkan kepada para gubernur di daerah. Kepada hakim yang diangkat secara langsung, Khalifah memberikan ketentuan-ketentuan untuk dijadikan pedoman. Hal ini terjadi dari surat yang dikirim oleh Umar kepada Abu Musa al-‘Asyari, (Qadli di Kufah) yang isinya mengandung pokok-pokok penyelesaian perkara dimuka sidang, yang ternyata disambut dan diterima dikalangan Ulama’ serta menghimpun pokok-pokok hukum.
 Qadhi Kaufah yang berisi petunjuk tentang peradilan yang kemudian dikenal dengan Risalah al-Qadha dari Umar. Risalah al-Qadha ini berisi sepuluh butir pedoman para hakim dalam melaksanakan peradilan. Dengan demikian, pada masa ini lembaga peradilan telah merupakan badan khusus dibawah pengawasan penguasa. Meskipun telah terjadi pemisahan antara lembaga ” Eksekutif dan Yudikatif “, pada masa Khalifah Umar belum terdapat Panitera pengadilan dan regestrasi keputusan hakim. Akan tetapi, pada masa ini sudah dikenal praktek Yurisprudensi.
Berikut surat umar Bin Khatab
أما بعد فإن القضاء فريضة محكمة وسنة متبعة فافهم إذا أدلى إليك وانفذ اذا تبيّن لك فإنه لا ينفع تكلم بحق لا نفاذ له. وآس بين الناس فى وجهك ومجلسك وقضائك حتى لا يطمع شريف فى حيفك ولا ييأس ضعيف من عدلك. البيّنة على من ادعى واليمين على من أنكر ،والصلح جائز بين المسلمين إلاصلحا أحلّ حراما أو حرّم حلالا ، ومن ادعى حقا غائبا أو بيّنة فاضرب له أمدا ينتهى إليه ، فإن جاء ببيّنة أعطيته بحقه ، فإن أعجزه ذلك استحللت عليه القضيّة فإن ذلك هو ابلغ فى العذر وأجلى للعمى ولا يمنعك  قضاء قضيته اليوم فراجعت فيه لرأيك وهديت فيه لرشدك أن تراجع الحق لأن الحق قديم لا يبطل الحق شىء ومراجعة الحق خير من التمادى فى الباطل ، والمسلمون عدول بعضهم على بعض فى الشهادة إلا مجلودا فى حد أو مجربا عليه شهادة الزور أو ظنينا فى ولاء أو قرابة فإن الله تولى من العباد السرائر وستر عليهم الحدود إلا بالبينات والأيمان ، ثم الفهم الفهم فيما أدلى إليك مما ليس فى قرآن ولا سنة ، ثم قايس الأمور عند ذلك واعرف الأمثال والأشباه ، ثم اعمد إلى أحبها إلى الله فيما ترى وأشبهها بالحق ، وإياك والغضب والقلق والضجر والتأذى بالناس والتنكر عند الخصومة أو الخصوم, فإن القضاء فى مواطن الحق يوجب الله له الأجر ويحسن له الذكر فمن خلصت نيّته فى الحق ولو كان على نفسه كفاه الله ما بينه وبين الناس ، ومن تزين بما ليس فى قلبه شانه الله فإن الله لا يقبل من العباد إلا ما كان له خالصا والسلام عليكم و رحمة الله
·       Selanjutnya. Sesungguhnya peradilan itu adalah suatu kewajiban yang ditetapkan oleh Allah SWT dan Sunnah Rasulullah yang wajib diikuti. Maka pahamilah benar-benar jika ada sesuatu perkara yang dikemukakan kepadanya dengan suatu alasan dan laksanakanlah jika jelas kebenarannya, karena tidaklah berguna pembicaraan tentang kebenaran yang tidak ada pengaruhnya/dilaksanakan.
·       Persamakanlah kedudukan manuia itu dalam pandanganmu, majlismu dan keputusanmu, sehingga orang yang lemah tidak berputus asa dari keadilanmu, sebaliknya orang memiliki kedudukan tinggi tidak dapat menarikmu kepada kecurangan.
·       Keterangan berupa bukti atau saksi hendaklah dikemukakan oleh orang yang mengakui dan sumpah hendaklah dilakukan oleh orang yang menolak.
·       Perdamaian dibolehkan antara orang-orang yang bersengketa dari kalangan muslim, kecuali perdamaian yang menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal.
·       Kamu diperbolehkan untuk meninjau kembali suatu keputusan yang ditetapkan kemarin, lalu engkau mendapat petunjuk untuk kembali kepada kebenaran. Karena kebenaran itu abadi dan kembali kepada kebenaran itu adalah lebih baik daripada terus-menerus dalam kesesatan.
·       Kemudian pahamilah secara sungguh-sungguh dan mendalam terhadap persoalan yang diajukan kepadamu tentang perkara-perkara yang belum diketahui ketetapannya yang terdapat dalam al-Qur’an atau Sunnah. Telitilah keserupaan dan kesamaannya, kemudian analogikan perkara-perkara itu.
·       Berikanlah tempo bagi orang yang mengaku berhak atas sesuatu untuk mengajukan bukti selengkap-lengkapnya, jika ia mampu mengajukan bukti-buktinya maka berikanlah haknya. Tetapi jika ia tidak mampu membuktikannya maka selesaikanlah persoalannya. Maka yang demikian itu dapat lebih memperjelas yang samar dan lebih mantapnya alasan-alasannya.
·       Kaum muslimin itu adalah orang-orang yang berlaku adil terhadap sesamanya, kecuali orang yang pernah dikenai hukuman dera, pernah bersaksi palsu atau mereka yang memiliki hubungan janji setia atau hubungan nasab yang dekat. Sesungguhnya Allah SWT yang menguasai rahasia hati hamba-hamba-Nya dan menjauhkanmu dari saksi-saksi hukum berdasarkan bukti.
·       Jauhilah sifat mengacau, membosankan, menyakiti hati manusia dan jauhilah berbuat curang saat persengketaan yang berada di tempat hak yang sudah pasti akan mendapat pahala dari Allah SWT dan juga merupakan waktu yang baik. Barangsiapa yang ikhlas niatnya untuk menegakkan yang hak sekalipun terhadap dirinya sendiri, Allah SWT akan mencukupkan antara dirinya dan antara manusia. Dan barangsiapa yang berhias (menutup-nutupi) diri padahal Allah tahu yang sebenarnya, maka Allah SWT akan memberikan aib kepadanya. Maka tidak ada lagi yang bisa diharapkan memberikan pahala, selain Allah SWT, dengan keluasan rizqi dan pembendaharaan kasih-sayang-Nya. Semoga keselamatan menyertainya.
Dari surat Umar Bin Khatab tersebut, paling tidak terdapat beberapa prinsip/asas-asas hukum dan peradilan. Prinsip-prinsip/asas-asas itu antara lain:
a.    Eksistensi dan kedudukan lembaga peradilan
b.    Eksekusi keputusan
c.    Asas objektivitas
d.   Pembuktian
e.    Perdamaian
f.     Peninjauan kembali putusan
g.    Sumber hukum dan interpretasi
h.    Kredibilitas saksi
i.      Sikap dan sifat seorang hakim.[51]












BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Proses peradilan zaman Nabi SAW berlangsung sangat sederhana dan tidak berbelit-belit, namun justru lebih mementingkan substansi dari pada prosesi.
2.      Sistem peradilan saat itu juga memberikan pijakan dan prinsip dasar bagi perkembangan sistem peradilan yang berkembang kemudian dalam peradaban Islam yang mencakup penguatan lembaga-lembaga baru seperti hisbah dan peradilan madzālim.
3.      Ketika para khalifah dihadapkan suatu perkara kepada mereka dan disuruh memberikan fatwa hukum, maka para khalifah mencari ketentuan hukumnya dalam Kitaballah, bila tidak menemukan ketentuan hukum dalam al-Qur'an maka mereka mencarinya dalam sunnah Nabi dan Ijma'.

















Abd. Wahab Khallaf, ilmu Ushul al-Fiqih, diterjemahkan oleh Noer Iskandar al-Barsany dan Moh. Thalchah Mansoer, dengan judul “Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqhi), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996
Al-Hafidh Imam Ibnu Hajar al-Asqalany, bulughul maram min adillatil ahkaam (tasikmalaya:pustaka al-hidayah, 2008),
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir (Kamus Arab- Indonesia), (Cet.I: Jakarta: 1996),
Ahmad Shalabi, Al-Tashrī` wa Al-Qadlā’ fi al-Fikr al-Islāmi, Kairo, Maktabah al-Naldlah al-Mişriyah, Cet. 4, 1989
Al-Māwardi, Al-Ahkām al-Sulţāniyah, dalam Software Al-Maktabah al-Shāmilah, vol. I,
Abu Yahya Zakaria Al-Ansari, Fathul Wahab bi Syarh Manhaj at-Thulab, (Singapura: Syirkah Nur As-Saqafah al-Ilamiyah, tt. )
Abu Yahya Zakaria Al-Ansari, Fathul Wahab bi Syarh Manhaj at-Thulab, (Singapura: Syirkah Nur As-Saqafah al-Ilamiyah, tt. )
Bismar Siregar,hukum hakim dan keadilan tuhan(Jakarta: gema insani press, 1995)
Hasbi Ash-Shiddeqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Yogyakarta: PT.Ma’arif, 1994
Muhammad Tahir Azhary, negara hukum (jakarta :kencana 2004)
Muhammad Salam Madkur, Al-Qadhā Fil al-Islām (Kairo: Dār an-Nadhā al-‘arabiyyah, t.th)
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,peradilan dan hukum acara islam (semarang: PT. pustaka rizki putra, 2001)

Mahmūd `Ukāshah, Tārīkh al-Hukm fī al-Islām, Kairo, Mu’assasah al-Mukhtār, Cet. 1, 2002
Nurcholish madjid, pesan-peasan takwa( jakarta:paramadina,2000), h.17

Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu 1993).
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Mesir: Mustafa al-Babi al- Halabi, 1960)
Muktiarto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008)
Alaiddin Koto (et.al)., Sejarah Peradilan Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 2011,
Ramulya, Idris. 2004. Asas-asas Hukum Islam. Cet.I, Jakarta: Sinar Grafika
Hasbi Amiruddin, Umar Bin Khatab dan pemberantasan korupsi, (polydor:Yogyakarta, 2009).
M Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agam dan Mahkamah Syar’iyah Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.
Zainal Abidin Ahmad, Negara Adil Makmur Menurut Ibnu Siena, Jakarta: Bulan Bintang, 1974



[1] Abd. Wahab Khallaf, ilmu Ushul al-Fiqih, diterjemahkan oleh Noer Iskandar al-Barsany dan Moh. Thalchah Mansoer, dengan judul “Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqhi), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, h. 22
[2] Zainal Abidin Ahmad, Negara Adil Makmur Menurut Ibnu Siena, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, h. 88
[3] Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi IV (Cet.I; Jakarta: Depdiknas, Balai Pustaka, 2008), h. 10
[4] Muhammad Salam Madkur, Al-Qadhā Fil al-Islām (Kairo: Dār an-Nadhā al-‘arabiyyah, t.th), h. 11.
[5]Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir (Kamus Arab- Indonesia), (Cet.I: Jakarta: 1996), h. 1215.
[6] Hasbi Ash-Shiddeqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Yogyakarta: PT.Ma’arif, 1994), h. 29.

[7] Simorangkir, et.al, Kamus Hukum (Cet.IX: Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 124.

[8]M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan keserasian al-Qur’an, Volume 2, Cet 1, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), hal. 458.
[9] Muhammad Tahir Azhary, negara hukum (jakarta :kencana 2004), h.117-119
[10] Ibid, h.121
[11] Bismar Siregar,hukum hakim dan keadilan tuhan(Jakarta: gema insani press, 1995), h.14
[12] Muhammad Tahir Azhary,Negara hukum, h. 106
[13] Ibid, h.108
[14] Nurcholish madjid, pesan-peasan takwa, (Jakarta: Paramadina,2000), h.17
[15] Muhammad Tahir Azhary,Negara hukum, h.122
[16]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,peradilan dan hukum acara islam (semarang: PT. pustaka rizki putra, 2001), h.36-37

[17] Al-Hafidh Imam Ibnu Hajar al-Asqalany, bulughul maram min adillatil ahkaam (tasikmalaya:pustaka al-hidayah, 2008), h….
[18] Abdul Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt al-Tsalāts fī al-Islām: Al-Tashrī`, al-Qadlā’, al-Tanfīdz, Kuwait, Dār al-Qalam, Cet. 2, 1405H/1985M, hlm. 27
[19] Dr. Mahmūd `Ukāshah, Tārīkh al-Hukm fī al-Islām, Kairo, Mu’assasah al-Mukhtār, Cet. 1, 2002, hlm. 152
[20] Ibn Hishām, Al-Sīrah al-Nabawiyyah,, vol. III, hlm. 33. Teksnya berbunyi:
وإن المؤمنين المتقين على من بغى منهم أو ابتغى دسيعة ظلم أو إثم أو عدوان أو فساد بين المؤمنين وإن أيديهم عليه جميعا ولو كان ولد أحدهم
[21]Ibn Hishām, Al-Sīrah al-Nabawiyyah,, vol. III, hlm. 34-35. Teksnya berbunyi:
 “وإنه ما كان بين أهل هذه الصحيفة من حدث او اشتجار يخاف فساده فإن مرده إلى الله عز وجل وإلى محمد رسول الله”  
[22] Hidhār (حظار ) adalah segala sesatu yang digunakan untuk sebagai pembatas. Lihat: Ibrāhīm Musthafā, dkk (Majma’ Al-Lughah Al-Arabiyah Mesir), Al-Mu’jam Al-Wasīth, Istanbul, Dār al-Da’wah, 1989,  hlm.183
[23]Abdul Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt al-Tsalāts fī al-Islām, hlm. 22; Diriwayatkan juga oleh Al-Dāraquţni. Lihat: `Ali ibn `Umar Abu al-Hasan al-Dāraquţni al-Baghdādi, Sunan al-Dāraquţni, Tahqiq: Al-Sayyid `Abdullah Hāshim Yamāni al-Madani, Beirut, Dar al-Ma`rifah, 1386H/1966, vol. 4, hlm. 229
[24]Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Tahqiq: Shu`aib al-Arna’ūţ .et.al, Beirut, Mu’assasah al-Risalah, cet. 2, 1420H/1999M, vol. 29, hlm. 357. Hadits. No. 17824
[25] Al-Dāraquţni, Sunan al-Dāraquţni, vol. 4, hlm. 203
[26] Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad no. 20305. Lihat: Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, vol. 33, hlm. 420; Muhamad al-Zuhayli, Tārikh al-Qadlā’, hlm. 44
[27] Lihat: Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, vol. II, hlm. 421. Hadits. No. 1280
[28] Abdul Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt al-Tsalāts fī al-Islām, hlm. 23; Muhamad al-Zuhayli, Tārikh al-Qadlā’, hlm. 46-47
[29] Abdul Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt al-Tsalāts fī al-Islām, hlm. 22
[30] Hasan Ibrāhīm Hasan, Tārikh al-Islām, vol. I, hlm. 394; `Ali Husni al-Kharbuţli, Al-Hadlarah al-`Arabiyah al-Islāmiyah,  hlm. 45; `Abdul Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt al-Tsalāts fī al-Islām, hlm. 21-22
[31] Abū Dāwud, Sunan Abī Dāwud,  vol. III, hlm. 329. Hadits No. 3587
[32] Abdul Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt al-Tsalāts fī al-Islām, hlm. 24
[33] HR. Al-Tirmidzi dan dikatakan hasan oleh Al-Albāni. Lihat: Muhammad ibn `Īsā Abū Īsā al-Tirmidzi, Al-Jāmi` al-Şahīh Sunan Al-Tirmidzi, Tahqiq: Ahmad Muhamad Shākir et.all, Beirut, Dār Ihyā al-Turāts al-`Arabi, tt, vol. III, hlm. 618. Hadits no. 1331
[34] Al-Bayhaqi, Al-Sunan al-Kubro, vol. X, hlm. 252 dalam Software al-Maktabah al-Shāmilah. Hadits senada juga diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi dalam Al-Jāmi` al-Şahīh Sunan Al-Tirmidzi, vol. III, hlm. 626. Hadits no. 1341. Bunyi teksnya: أن النبي صلى الله عليه و سلم قال في خطبته البينة على المدعي واليمين على المدعى عليه
[35]Abū Dāwud, Sunan Abī Dāwud,  vol. III, hlm. 333. Hadits No. 3597. Bunyi hadits selengkapnya
[36] Ahmad Shalabi, Al-Tashrī` wa Al-Qadlā’ fi al-Fikr al-Islāmi, Kairo, Maktabah al-Naldlah al-Mişriyah, Cet. 4, 1989, hlm. 229
[37] Al-Māwardi, Al-Ahkām al-Sulţāniyah, dalam Software Al-Maktabah al-Shāmilah, vol. I, hlm. 486
[38] Muhamad al-Zuhayli, Tārikh al-Qadlā’, hlm. 56
[39] .Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu 1993). Hal 29
[40] Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu 1993).hlm.53
[41] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Mesir: Mustafa al-Babi al- Halabi, 1960), II: 460
[42]Abu Yahya Zakaria Al-Ansari, Fathul Wahab bi Syarh Manhaj at-Thulab, (Singapura: Syirkah Nur As-Saqafah al-Ilamiyah, tt. ), hlm. 207.
[43] Ibid, hlm. 30
[44] Alaiddin Koto (et.al)., Sejarah Peradilan Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 2011, hal 62-69
[45] Athiyyah Mushthofâ Musyrafah menukil dari Syaikh Muhammad Bakhît al-Muthî’î di dalam kitabnya yang berjudul; Hakîkat al-`Islâmi wa `Ushûl al-Hukm.
[46] Athiyah Mustafa musyarrafah, al-Qadha fi Al-Islam
[48] Ramulya, Idris. 2004. Asas-asas Hukum Islam. Cet.I, Jakarta: Sinar Grafika. Hal 126
[49]Hasbi Amiruddin, Umar Bin Khatab dan pemberantasan korupsi, (polydor:Yogyakarta, 2009). Hal 33

[50] M Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agam dan Mahkamah Syar’iyah Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005. halm., 92-94
[51] Hasbi Amiruddin, Umar Bin Khatab dan pemberantasan korupsi, (polydor:Yogyakarta, 2009). Hal 33

0 Response to "Landasan hukum peradilan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis"