BAB I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Al-Quran adalah kitab suci agama Islam yang merupakan wahyu Allah swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang dibawa oleh Malaikat Jibril dengan lafaz dan makna yang benar agar menjadi hujjah atas kerasulannya, yang menjadi pedoman bagi manusia dalam kehidupannya untuk menciptakan keamanan, kedamaian dan kesejahteraan hidupnya di dunia dan diakhirat. [1]
Al-Quran sebagai pedoman tentunya mengajarkan
beberapa hal yang penting dalam kehidupan setiap muslim, salah satu konsep yang
diajarkan dalam Alquran adalah اىعده artinya keadilan. Karena itu makalah ini
menampilkan Kosep Keadilan dalam Alquran sebuah kajian tematis.
Ibnu Khaldum salah seorang sosiolog muslim mengemukakan sebuah pernyataan yang menggambarkan konsep keadilan dalam kehidupan bermasyarakat yakni: وضع Ayhi P Lingkungan
artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya, maksudnya adalah memenuhi hak-hak orang yang berhak dan melaksanakan tugas-tugas atau kewajiban sesuai dengan fungsi dan perannya dalam masyarakat.
Zainal Abidin Ahmad mengemukakan bahwa konsep keadilan menurut Ibnu Siena merupakan salah satu di antara lima prinsip politik Islam yang harus ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat. [2]
B.
Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk memperdalam pengetahuan kami dalam memahami Peradilan
Islam Dalam Sejarah Fiqh
BAB II
PEMBAHASAN
A.
konsep Peradilan Dan
Pengadilan
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, peradilan
adalah segala sesuatu mengenai pengadilan. Sedangkan pengadilan memiliki arti
banyak yaitu dewan atau majelis yang mengadili perkara, mahkamah, proses
mengadili, keputusan hakim ketika mengadili perkara, rumah (bangunan) tempat
mengadili perkara.[3]
Peradilan dalam perkembangan khazanah hukum Islam (fiqh) menggunakan istilah al-Qada untuk peradilan dan pengadilan al-Qada 'bagi pengadilan sedangkan Qadi adalah hakim. Al-Qada secara etimologis mengandung arti musytarak (banyak arti bukan tunggal). Muhammad Salam Madkur memberikan tiga arti kata al-Qada; yaitu, pertama al-Farag berarti putus atau selesai. Kedua al-Adā'a berarti menunaikan atau membayarkan dan Ketiga, al-bukmu, berarti mencegah atau menghalang-halangi. Menurut ulama Fuqaha sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Salam Madkur, bahwa istilah peradilan atau al-qadha adalah al-Ikhbār 'an hukm syar'i' ala Sabil al-Izam, artinya menyampaikan hukum syar'i dengan jalan penetapan. [4]
Dalam Ensiklopedi Indonesia jilid 5, pengadilan
adalah “badan atau organisasi yang diadakan oleh negara untuk mengurus dan
mengadili perselisihan-perselisihan hukum. Semua putusan pengadilan diambil
atas nama Republik Indonesia” atau “atas nama keadilan”. Sedangkan peradilan
tidak ditemukan rumusannya. Begitu pula dalam kamus hukum hanya ditemukan kata
pengadilan, yakni dewan atau badan yang berkewajiban untuk mengadili
perkara-perkara dengan memeriksa dan memberikan keputusan mengenai
persengketaan hukum, pelanggaran hukum atau Undang-undang dan sebagainya.[7]
Berdasarkan rumusan-rumusan itu, dapat disimpulkan
bahwa peradilan adalah kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili,
memutus, dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Berkenaan dengan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan pengadilan
adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan
hukum dan keadilan
B. Landasan hukum peradilan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis
1. Dalil Dalam Al-Qur'an
Prinsip keadilan merupakan perinsip ketiga dalam nomokrasi islam. Seperti halnya musyawarah, kata keadilan juga bersumber dari Al-Qur'an. Cukup banyak ayat-ayat al-Qur'an yang menggambarkan tentang keadilan, minsalnya:
1) Dalam surah an-Nisa: 135 kata al-qist merupakan sinonim kata keadilan:
$ P k ?? ?? r '¯ »t ?? t û ï ï% ©! $ # (# Q ã Y t B # untuk Z
(# G d r q ä. t û ü i B ° § g s%
Å Ý ó ¡É) ø 9 $ $ Î / atau ä! # dan ?? p k à
¬! ö q s 9 u r
# ?? N? T ã ö N ä 3 Å ¡à ÿ R r & Í r r &
b IR)
ï Æ ä 3 t ?? $ ?? !! I y x i ÷ r r &
# Z ?? ?? Ini) s ù È û ø ï y ?? Ï 9 º u q ø 9 $ # t û ü Î / t ?? ø% F {$ # u r 4 ª! $ $ S ù
4 ?? n <÷ r r & $ Y J S ke S 5 ( ?? X s ù
(# Q ã è Î 7 F s?
# ?? U g o l ù; $ # b r & (# Q ä 9 i ?? ÷ è s? 4 b IR) u r (# Ÿ ¼ â q ù = s?
÷ r r & (# Q à Ê Ì ?? ÷ è è? ¨ b Î * s berdengung
©! $ # t b% x. $ Y J Î / t b q è = y J ÷ è s? # Z ?? ?? Î 6 y z
Ç Ê Ì Î Anda
"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. "(QS an-Nisa: 135)
Dari ayat tersebut di atas sekurangnya dapat di tarik tiga garis hukum yaitu:
a. Menegakkan keadilan adalah kewajiban orang-orang yang beriman
b. Setiap mukmin ketika menjadi saksi itu diwajibkan menjadi saksi karena Allah dengan sejujur-jujurnya dan adil
c. Manusia dilarang mengikuti hawa nafsu dan manusia dilarang menyelewengkan kebenaran.
2) Dalam ayat lain Allah mengulangi lagi kewajiban manusia menegakkan keadilan dan menjadi saksi yang adil, sebagaimana yang tercantum dalam ayat berikut:
$ P k ?? ?? r '¯ »t ??
?? Ú ï ï% ©! $ #
(# Q ã Y t B # untuk Z (# G d r q ä.
?? Ú mana yang B ° § g s% ¬!
atau ä! # dan ?? p k à Å Ý ó ¡É) ø 9 $ $ Î /
(
?? W u r ö N à 6 ¨ Z t B Ì ?? ô f t ??
ã b $ t «o Y x ©
B Q ö q s% # ?? N? T ã
?? W r & (# Q ä 9 i ?? ÷ è s? 4 (# Q ä 9 i ?? ô ã $ # dan q è d
Ü> t ?? ø% r & 3 ?? u q ø) G = Ï 9 ( (# Q à) ¨? $ # U r ©! $ #
4
?? C Î) ©! $ #
7 ?? ?? Î 6 y z
$ Y J Î /
?? C q è = y J ÷ è s?
O Ñ È
. "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. "(Qs Al-Maidah: 8)
Ayat di atas memerintahkan menunaikan amanat, ditekankannya bahwa amanat tersebut harus ditunaikan kepada ahliha yakni pemiliknya. Ketika memerintahkan menetapkan hukum dengan adil, dinyatakannya "ketika kamu menetapkan hukum di antara manusia". Ini bearti bahwa perintah berlaku adil itu ditunjukkan terhadap manusia secara keseluruhan. [8]
Dari ayat tersebut dapat dibentuk sekurangnya empat garis hukum yang berisi perintah dan larangan kepada manusia yaitu:
a)
Perintah kepada orang-orang yang beriman agar menjadi manusia yang lurus (adil), dari kata alqist karena Allah. Garis hukum ini mengandung makna bahwa setiap perbuatan yang adil dilakukan oleh manusia karena keikhlasannya semata-mata kepada Allah, bukan karena hal lain.
b)
Perintah kepada orang-orang yang beriman supya menjadi saksi yang adil, artinya dalam kesaksiannya itu, ia tidak memihak kepada siapapun, kecuali kepada kebenaran.
c)
Larangan kepada orang-orang yang beriman untuk bersikap tidak adil, karena motivasi emosional atau sentimen yang negatif (benci) kepada sutu kelompok manusia atau seorang tertentu. Ayat ini dapat di tafsirkan pula, manusia dilarang bersikap tidak adil karena motivasi emosioal yang positif, misalnya sayang atau belas kasihan kepada suatu kelompok atau seseorang tertentu. Singkatnya, setiap orang yang beriman wajib menjadi saksi yang adil tanpa dipengaruhi oleh sesuatu perasaan apapun, kecuali kebenaran.
d)
Perintah kepada orang-orang yang beriman agar bersikap adil, karena adil lebih dekat dengan takwa. [9]
3) Dalam al-Qur’an tema keadilan merupakan sesuatu yang sangat
penting. Karena itu, sbebagaimana
dicantumkan dalam ayat
yang lain mengenai tema ini, yaitu dalam surah an-nahl/16:90 :
¨ b Q) ©! $ #
ã ?? ã B ù 't ?? É A ô ?? y è ø 9 $ $ Î /
Ç `» | ¡ô m M} $ # u r
Ç ??! $ T G ?? Î) u r
?? Ï ??
4 ?? n 1 ö ?? à) ø 9 $ # 4 ?? s S ÷ Z t ?? u r
O `t ã Ï ä! $ T ± ó s x ÿ ø 9 $ #
Ì ?? x 6 Y ß J ø 9 $ # u r
Ä Ó ø ö t 7 ø 9 $ # u r 4 Pulau N o 3 Ý à Ï è t ??
ö n rol 6 ¯ = y d s 9 ?? C r ã ?? ©. X ?? s? Ç Ò É È
. "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran "(QS an-Nahl: 90)
Setidaknya ada enam garis hukum dapat dibentuk dari ayat tersebut diatas yaitu:
a.
Perintah menegakkan keadilan
b.
Perintah melakukan kebaikan
c.
Perintah membantu secara materil kepada sanak-famili atau kerabat
d.
Manusia dilarang melakukan perbuatan keji dan buruk
e.
Manusia dilarang melakukan kemungkaran
f.
Manusia dilarang bersikap bermusuhan
Pada hakikatnya
garis-garis hukum ini merupakan satu kesatuan yang berpusat pada tema keadilan.
Karena itu, karena itu dalam ayat ini “perintah menegakkan keadilan ditempatkan
atau di digariskan pada urutan yang pertama.[10] Dari sini dapat dipahami, bahwa perintah menegakkan
keadilan berlaku bagi setiap mukmin yang diserahi amanah memegang kekuasaan
negara
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang berani menerima amanah yang diembankan oleh Allah, yang sebelumnya tidak ada yang berani memikulnya kecuali manusia, manusia adalah makhluk yang sempurna yang dikarunia akal dengan nafsu, manusia diberi keleluasan dengan akalnya. Manusia bebas memikirkan cara memahami dan melaksanakan amanah sebagai khalifah dimuka bumi ini. [11] Perhatikan firman Allah SWT:
¨ b Q) ©! $ #
ö N ä. ã ?? ã B ù 't ?? b r & (# R ?? ?? x s è? Ï M »u Z» t B F {$ #
# ?? N <Î) $ Y g Î = ÷ d r & # S ?? Î) u r O ç F ô J p 3 y m t û ÷ ü t /
Ä ¨ $ ¨ Z 9 $ # b r & (# Q ß J ä 3 ø t r B É A ô ?? y è ø 9 $ $ Î /
4
¨ b Q) ©! $ #
$ K Ï è Ï R
/ Ä 3 Dua à Ï è t ??
ÿ ¾ Ï m Q / 3 ¨ b Q)
©! $ # t b% x. $ J pukul ?? ì ÿ x ??
# Dengan ?? ?? Å Á t / O Î Ñ È
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.
"(QSan-Nisa ': 58)
Apabila ayat tersebut dirumuskan dengan
menggunakan metode pembentukan garis hukum sebagaimana diajarkan oleh Hazirin
dan dikembangkan oleh Sayjuti Thalib, maka
dari ayat tersebut dapat ditarik dua garis hukum yaitu:
Garis hukum pertama manusia diwajibkan menyampaikan amanah atau amanat kepada yang berhak menerimanya, garis hukum kedua manusia diwajibkan menetapkan hukum dengan adil.
Kata amanah yang dalam bahasa Indonesia disebut "amanat" dapat diartikan "titipan" atau "pesan". Dalam konteks "kekuasaan Negara" kata amanah itu dapat dipahami sebagai suatu pendelegasian atau pelimpahan kewenangan dan karena itu kekuasaan dapat disebut sebagai "mandat" yang bersumber dari Allah.
"Kekuasaan adalah suatu karunia atau nikmat Allah yang merupakan suatu amanah kepada manusia untuk dipelihara dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan prinsif-prinsip dasar yang telah di tetapkan dalam al-qur'an dan dicontohkan oleh sunah Rasulullah. Kekuasaan itu kelak harus dipertanggungjawabkan kepada Allah. [12]
Penyampaian amanah dalam konteks kekuasaan mengandung suatu implikasi bahwa ada larangan bagi pemegang amanah itu untuk melakukan suatu penyalahgunaan atau penyalahgunaan kekuasaan yang ia pegang, menegakkan keadilan adalah perintah Allah, ketika kekuasaan itu dihubungkan dengan keadilan, maka dalam nomokrasi islam implementasi kekuasaan Negara melalui suatu pemerintahah yang adil merupakan suatu kewajiban penguasa. Dalam nomokrasi islam antara kekuasaan dalam pengertian yang luas eksekutf, legeslatif, yudikatif, dan kepolisian dengan keadilan merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Kekuasaan harus selalu didasarkan kepada keadilan, karena perinsif keadilan dalam islam menempati posisi yang sangat dekat dengan takwa. [13]
Takwa merupakan tolak ukur manusia dalam hidupnya yang membedakannya di hadapan yang kuasa. Firman diatas diawali dengan pesan agar dalam menegakkan keadilan, kita tidak tergoda oleh rasa benci kepada suatu kelompok manusia, sehingga kita menyimpang dari keadilan.
Memang, godaan dalam menegakkan keadilan adalah ketika ketika hubungan kita dengan orang lain diliputi oleh rasa senang dan benci, jika kita terlibat hubungan dengan orang lian atau kelompok atau kelompok lain dalam suasan atidak senang, janganlah sampai menyimpangkan kita dari keadilan sehingga merugikan orang lain. [ 14]
Oleh karena itu dalam
peradilan harus diutamakan keadilan karena, Pertama karena Allah memiliki
sifat maha adil, keadilannya penuh
dengan kasih sayang kepada mahluk-mahlukNYa. Kedua, dalam islam, keadilan adalah kebenaran.
Kebenaran adalah pula merupakan salah satu nama Allah. Dia adalah sumber
kebenaran dalam al-Qur’an disebut al-Haq. Keadilan dan kebenaran dapat
diumpamakan sebagai dua saudara kembar yang sulit untuk dipisahkan. Ketiga
keadilan yang berasal dari perkataan adil dalam bahasa arab dari segi etimologi
artinya sama. Ia menunjukkan suatu keseimbangan atau dalam posisi
dipertengahan.[15]
2.
Dalil-Dalil dari Hadist
Tidak hanya dalam Al-Qur'an saja tempat diwajibkannya untuk menegakkan keadilan namun dalam hadist juga nabi mengharuskan untuk menegakkan keadilan. minsalnya:
Maajtahed putusan memukul reward ganda Amaajtahed memiliki pahala mis-Fa
Apabila seorang hakim berijtihad dan tepat ijtihadnya, maka ia memperoleh dua pahala, dan ketika ia berijtihad tetapi ijtihadnya itu salah, maka ia memperoleh satu pahala "[16]
Dalam hadis yang lain disebutkan:
Buraydah semoga Allah akan senang dengan dia ia berkata: Rasulullah, saw (Hakim tiga:.. Dua dalam api, dan satu di surga Man tahu yang sebenarnya, ia menilai, dia berada di surga Pria itu tahu yang sebenarnya, tidak menghantuinya, dan tetangga yang berkuasa, dia dalam api. Orang itu tidak tahu yang sebenarnya, dan ia menilai orang pada ketidaktahuan, itu adalah dalam api) ) Diriwayatkan oleh empat, yang berkuasa dan dikoreksi(
"Dari Buraidah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu' alaihi wa Sallam bersabda:" Hakim itu ada tiga, dua orang di neraka dan seorang lagi di surga. Seorang yang tahu kebenaran dan ia memutuskan dengannya, maka ia di surga; seorang yang tahu kebenaran, namun ia tidak memutuskan dengannya, maka ia di neraka; dan seorang yang tidak tahu kebenaran dan ia memutuskan untuk masyarakat dengan ketidaktahuan, maka ia di neraka. " Riwayat Imam Empat. Hadits shahih menurut Hakim.
Abu Hurairah ra dengan dia ia berkata: Rasulullah, saw (penghapusan Crown telah disembelih tanpa pisau)
Diriwayatkan oleh lima dan digolongkan anak Khuzaimah, dan anak dari Habban
"Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu' alaihi wa Sallam bersabda:" Barangsiapa diangkat sebagai hakim, ia telah disembelih dengan pisau. " Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban. "
Dan Abu pening ra dengan dia, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah, saw mengatakan: (tidak menghakimi satu di antara dua, sebuah tersinggung)
Setuju
"Abu Bakrah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu' alaihi wa Sallam bersabda:" Janganlah seseorang menghukum antara dua orang dalam keadaan marah. " Muttafaq Alaihi. "
Dan Ali ra dengan dia mengatakan: Rasulullah, saw (jika menggugat Berikut adalah dua laki-laki, tidak merampok mereka dari yang pertama, sampai Anda mendengar kata lain, Anda akan tahu bagaimana untuk menghabiskan Ali saya masih seorang hakim setelah.) HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan digolongkan, Kekuatan anak perkotaan, dan anak dikoreksi Hibban
"Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu' alaihi wa Sallam bersabda:" Apabila ada dua orang meminta keputusan hukum kepadamu, maka janganlah engkau memutuskan untuk orang yang pertama sebelum engkau mendengar keterangan orang kedua agar engkau mengetahui bagaimana harus memutuskan hukum. " Ali berkata: Setelah itu aku selalu menjadi hakim yang baik. Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits hasan menurut Tirmidzi, dikuatkan oleh Ibnu al-Madiny, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban. [17]
C. Praktik Rasulullah SAW dan sahabat dalam menyelesaikan sengketa
a.
Nabi SAW sebagai
Satu-satunya Pemegang Otoritas Jurisdiksi
Prinsip kehidupan yang dibangun Nabi SAW sendiri basisnya didasarkan pada prinsip Tauhid yang menempatkan manusia berkedudukan setara di hadapan Allah dan hukum-Nya. Keberadaan Nabi SAW sendiri di masyarakat-negara Madinah saat itu jika dilihat dari konsep ketatanegaraan modern menggabungkan ketiga lembaga trias politica
yaitu kekuasaan legislatif (sulţah tashrī`iyah), kekuasaan eksekutif (sulţah tanfīdziah) dan kekuasaan judikatif (sulţah qadlāiyah) sekaligus. Sebagai seorang penerima sekaligus penyampai wahyu dari Allah, Nabi Muhamad SAW merupakan satu-satunya sumber segala hukum dan tata aturan. Bahkan segala perbuatan dan ucapannya juga diposisikan sebagai sumber legislasi yang harus ditaati. Sedangkan unsur kekuasaan eksekutif Rasulullah dapat dilihat dari pelaksanaan beliau dan pengejawantahan hukum-hukum Allah / syariat Islam serta menegakkannya dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi maupun politik.
Adapun kekuasaan judikatif Rasulullah
diperlukan dalam kerangka penegakan keadilan dan pemeliharaan hak-hak
masyarakat waktu itu yang terkadang mengalami perselisihan atau persengketaan
antar pemiliknya. Proses yang dilakukan pun menjadi penting sebagai cara
penguatan sistem sebuah masyarakat-negara yang baru lahir dan sedang dibangun
dimana nantinya akan diteladani oleh umat Islam secara keseluruhan di masa-masa
berikutnya. Sebagai catatan, dengan mengutip pendapat Syaikh `Abdul Wahhāb
Khallāf, bahwa penyatuan tiga kekuasaan judikatif, legislatif dan eksekutif
sekaligus di kedua tangan seorang Nabi SAW ini tidaklah menimbulkan
kekhawatiran tejadinya penyalahgunaan kekuasaan atau tuntutan pemisahan jabatan
dengan alasan-alasan kekhawatiran lainnya karena jaminan ke-ma`şum-an
Rasulullah (terjaga dari dosa) dan sekaligus sebagai teladan bagi umat [18].
Sementara itu, Piagam Madinah (al-mitsaq al-Madani) sebagai hukum tertulis yang disusun tidak lama setelah sampainya Rasulullah di Madinah memiliki muatan-muatan yang mengatur hubungan sosial-politik masyarakat baru di Madinah dimana di dalam salah satu pasalnya menegaskan kewajiban unsur -unsur anggota masyarakat tersebut, khususnya dari kalangan orang-orang muslim, untuk saling bertanggung jawab secara bersama-sama terhadap keamanan umum dalam negeri Madinah. [19] Dalam teks piagam tersebut disebutkan bahwa masing-masing orang mu'min bertanggung jawab atas kejahatan yang terjadi disekitarnya meskipun hal itu dilakukan oleh anaknya sendri. [20] Adapun jika terjadi terjadi perselisihan dan persengketaan maka otoritas legislasi dan jurisdiksi berada di tangan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana juga dikatakan oleh teks piagam tersebut. [21]
b. Penunjukan Sahabat sebagai Qādli
Sebagaimana disingggung di muka, bahwa Nabi SAW merupakan satu-satunya pemegang
otoritas jurisdiksi saat itu. Namun beberapa riwayat yang ada menunjukkan bahwa
Nabi SAW pernah menunjuk beberapa orang sahabatnya untuk menyelesaikan
kasus-kasus persengkataan tertentu. Sebagai contoh Nabi pernah mendelegasikan Hudzaifah
ibn al-Yamān al-`Absy untuk menyelesaikan perselisihan dua orang bersaudara
yang memperebutkan hidhār[22]
atau jidār rumah mereka.[23] Nabi
juga diriwayatkan pernah meminta `Amru ibn al-`Āş untuk memberi keputusan pada
sebuah masalah yang dibawa oleh dua orang yang datang kepada Nabi mengadukan
persengketaan mereka. Nabi bersabda kepada `Amru ibnu al-As: “Putuskanlah
perkara yang terjadi antara keduanya wahai `Amru ibnu al-As.” Maka `Amru ibnu
al-As merasa kaget dan berkata: “Akankah aku putuskan perkara keduanya
sementara engkau berada bersama kami wahai Rasulullah.[24]
Sebagaian sahabat lain pernah ditunjuk Nabi SAW untuk menjadi wali (wakil pemerintahan) beliau di suatu wilayah tertentu sekaligus sebagai pelaksana qadla
seperti sahabat `Utāb ibn asam yang ditugaskan Nabi menjadi wali Mekah setelah penaklukan (Fat h u Makkah), atau Mu`adz ibn Jabal yang diutus ke Al-Janad (sebuah wilayah di Yaman) untuk mengajarkan Al-Qur'an dan syariat Islam, mengumpulkan zakat, sekaligus menjalankan peradilan, Abu Musa al-'Ash`ari diutus ke bagian lainnya di Yaman (daerah Zabid, `Adn ), serta Al-`Alā 'al-Hadlrāmi ke Bahrain. [28] Dalam kasus lain, saat Nabi SAW keluar dari Madinah untuk sebuah kebutuhan, Nabi mewakilkan pemerintahan Madinah termasuk diantara bagiannya adalah lembaga jurisdiksinya- kepada para sahabatnya seperti Sa'ad ibn `Ubadah ketika dia keluar ke medan Perang al-Abwa 'atau Sa`id ibn Madh`ūn ketika terjadi Perang buwat. [29]
Dari uraian di atas, yang perlu dicatat
adalah bahwa Nabi SAW tidak pernah mengangkat seorangpun yang secara khusus
mengemban tugas “profesi” sebagai qādli maupun memberikan mandat
jurisdiksi (qadlā’) secara penuh kepada sahabat-sahabat beliau untuk
melakukan tugas tersebut secara multak tanpa batasan tempat dan waktu. Akan
tetapi pemberian otoritas jurisdiksi oleh Nabi kepada sahabatnya tersebut
paling tinggi terjadi saat beliau menujuk wakilnya untuk melaksanakan
tugas-tugas pemerintahan di daerah tertentu sebagai bagian dari wilayah
`āmmah.[30].
c. Sumber Hukum Peradilan
Sebagai seorang Qādli (pemegang otoritas jurisdiksi) Nabi SAW telah
menjalankan perannya dengan baik dalam memutuskan berbagai persoalan yang
terjadi pada zaman itu. Diantara putusan Nabi ada diantaranya yang merupakan
implementasi langsung dari aturan-aturan wahyu yang terdapat dalam al-Quran,
seperti saat Nabi SAW memerintahkan pemotongan tangan seorang perempuan Bani
Makhzūm yang mencuri, sebagai pelaksanaan kandungan ayat QS. Al-Mā’idah: 38.
Namun, Nabi SAW terkadang juga memutuskan suatu hal dengan ijtihad beliau dalam beberapa hal ketika tidak ada nas -nya secara eksplisit dalam al-Quran seperti ketika ia memberikan kebebasan kepada seorang anak yang telah dewasa untuk memilih ikut ibu atau bapaknya ketika keduanya bercerai. Tentang keberadaan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum peradilan di zaman ini secara lebih tegas diungkapkan oleh Nabi sendiri ketika memberikan putusan kepada dua orang yang bersengketa tentang sebuah masalah waris. Nabi SAW bersabda:
Saya di antara kamu, tapi aku menghabiskan menurut saya tidak turun ke atasnya
"Sesungguhnnya aku memutuskan berdasarkan pandanganku, dalam hal yang belum ada wahyu yang diturunkan kepadaku". [31]
Putusan Nabi berdasarkan ijtihad ini bagi umatnya dengan sendirinya tentu saja
menjadi bagain dari sumber hukum itu sendiri karena posisi Nabi sebagai
penyampai tashrī`` dari Allah atau sebagai musharri`.Persoalan
ini bisa lebih dilihat secara lebih jelas melalui sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Mu’ādz ibn Jabal. Salah seorang sahabat yang pernah
ditugaskan oleh Nabi sebagai qādli ini meriwayatkan bahwa Rasulullah
SAW ketika akan mengirimnya ke Yaman bertanya: “Bagaimana caranya engkau
memutuskan perkara yang dibawa orang kepadamu?”. “Saya akan memutuskannya
menurut yang tersebut dalam Kitabullah.” Jawab Mu’ādz. Rasulullah SAW bertanya
lagi: “Kalau engkau tak menemukan hal itu dalam Kitabullah, bagaimana?”. Mu’ādz
menjawab: “Saya akan memutuskannya menurut Sunah Rasul-Nya”. Lalu Rasulullah
SAW bertanya lagi: “Kalau hal itu tidak ditemukan juga dalam Sunnah Rasulullah
dan tidak pula dalam Kitabullah, bagaimana?” Lalu Mu’adz menjawab: “Jika
tidak terdapat dalam keduanya saya akan berijtihad sepenuh kemampuan
saya.” Mendengar jawaban itu, Rasulullah SAW lalu menepukkan kedua
tangannya ke dada Mu’ādz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah
memberi taufiq utusan Rasulullah, kepada apa yang diridhainya.”
d. Proses Peradilan
Pada zaman Nabi SAW proses peradilan
berlangsung dengan sangat sederhana. Jika ada seseorang yang menemui satu
permasalahan maka ia dapat bersegera datang kepada Nabi untuk meminta putusan
tanpa harus menunggu waktu tertentu maupun mencari tempat tertentu pula. Bahkan
kebanyakan dari putusan-putusan (qadlā’) yang dilakukan oleh Nabi
lebih bersifat sebagai “fatwa”[32] dengan
model tanya-jawab, dibandingkan dengan proses sebuah “pengadilan” dalam bahasa
yang sering dipahami di masa sekarang.
Namun meskipun proses peradilan ini
berlangsung sangat sederhana, Rasulullah menyaratkan bahwa ketika terjadi
persengketaan antara dua pihak yang saling mengklaim kebenaran sebuah keputusan
tidak boleh diambil kecuali setelah sang pengambil keuputusan (qādli)
mendengarkan pelaporan dari kedua belah pihak.
Ali mengatakan: Dia bilang Rasulullah Allah memberkatinya dan menggugat dia jika Anda tidak merampok dua orang pertama sampai Anda mendengar kata lain Anda akan tahu bagaimana untuk menghabiskan Ali mengatakan saya masih seorang hakim setelah
Dari Ali ra berkata: Rasulullah SAW berkata kepadaku: "Jika datang kepadamu dua orang untuk meminta putusan dari mu, maka janganlah engkau beri putusan kepada orang pertama sebelum engkau mendengarkan juga (laporan) dari orang kedua, sehingga engkau tahu bagaimana seharusnya kamu memutuskan." [33]
Dalam konteks ini Nabi SAW juga mengharuskan adanya bukti yang dibawa oleh pelapor dan sumpah bagi yang dilaporkan. Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas Nabi SAW bersabda:
Jika orang diberi Bdawahm diklaim uang laki-laki dan darah orang-orang mereka, tetapi bukti terdakwa dan di sebelah kanan Langerhans
“Seandainya setiap orang diberikan
apa-apa yang mereka klaim, maka orang-orang akan mengklaim harta-harta atau
jiwa-jiwa suatu kaum. Tetapi (semestinya adalah) bahwa bukti harus didatangkan
oleh orang yang mengklaim (pelapor) dan sumpah harus diberikan oleh yang
dilaporkan”.[34]
Adapun mengenai masa yang dibutuhkan bagi berlangsungnya proses mulai dari
putusan hingga eksekusi tidak menunggu waktu melainkan dijalankan secara
langsung. Kesimpulan ini bisa dipahami dari beberapa hadits seperti saat Nabi
memutuskan persengketaan Ka`ab ibn Malik dengan Ibn Abi Hadrad mengenai
piutangnya. Nabi memutuskan agar Ka`ab mengambil separuh dari piutangnya dan
merelakan separuhnya. Saat itu juga Nabi memerintahkan Ka`ab untuk segera
melaksanakan putusan tersebut dengan mengatakan “Qum fa iqdlihi”
(Lekaslah berdiri wahai Ka`ab dan tunaikanlah!).[35]
d. Perangkat-perangkat Lain dalam Sistem Peradilan pada
Masa Nabi
Dalam Islam sejak awal bahwa peradilan merupakan sebuah sistem[36] yang
selain mencakup proses peradilan atau arbitrasi itu sendiri juga mencakup
hal-hal atau lembaga lainnya yang saling mendukung satu sama lain. Dalam
diskursus jurisprudensi Islam yang berkembang kemudian, selain istilah qadlā’
(yang berarti peradilan secara umum) dikenal pula istilah Hisbah
dan al-Madzalim.
Hisbah
didefinisikan sebagai “memerintahkan hal-hal yang baik (ma`rūf) ketika
telah mulai ditinggalkan dan mencegah atau melarang kemungkaran ketika dikerjakan”.[37] Dalam
perkembangan sistem peradilan Islam yang terjadi kemudian hisbah
menjadi sebuah lembaga (dan petugasnya disebut dengan muhtasib)
yang bertugas menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran dengan dibekali hak
istimewa untuk menginvestigasi dan mencari-cari perilaku kemungkaran yang
mungkin dikerjakan.
Dan ternyata, konsep lembaga ini jika
dirunut memiliki akar historis pada zaman Rasulullah. Sebagaimana diriwayatkan,
bahwa Rasulullah senantiasa memeriksa keadaan dan kondisi berbagai sisi hidup
umatnya. Suatu ketika, saat berjalan-jalan (melakukan inspeksi) di pasar Nabi
menjumpai kecurangan yang dilakukan oleh seorang pedagang makanan dan kemudian
menegurnya.
Sama halnya dengan hisbah, peradilan madzālim juga
telah memiliki dasar sejarah di zaman Nabi. Madzālim merupakan
institusi pembelaan terhadap hak-hak rakyat kecil dari seseorang yang
berpengaruh, sehingga sulit bagi pengadilan biasa untuk menyelesaikannya. Nabi
pernah mencontohkan pembelaan madzālim ini untuk umatnya atas dirinya
sendiri dengan mengatakan “barangsiapa yang hartanya telah terambil olehku maka
inilah hartaku aku silakan dirinya mengambilnya.
Adapun lembaga sistem peradilan yang lain
seperti kepolisian dan penjara, dari catatan sejarah yang ada dapat disimpulkan
tampaknya kedua institusi tersebut belum pernah ada di zaman Nabi. Sedangkan
konsep “lembaga pengawasan” terhadap peradilan juga bisa ditemukan dalam
sejarah peradilan di zaman Nabi. Fungsi pengawasan itu dilakukan oleh wahyu
Allah terhadap Nabi Saw. Rasulullah juga melakukan pengawasan serta evaluasi
terhadap para sahabat yang ditunjuknya untuk menjalanakan peradilan sebagaimana
diindikasikan dalam riwayat Hudzaifah ibn Al-Yaman dan Ali yang usai
menyelesaikan putusannya melaporkannya kepada Nabi, dimana Nabi kemudian
membenarkannya. Jika putusan kedua sahabat itu salah, tentu Nabi-pun akan
segera mengoreksinya.[38]
D. Pengangkatan dan pemberhentian hakim beserta
kewenangannya
1.
Pengertian
hakim
Hakim berasal Dari kata aturan - memerintah - Gubernur : Sama artinya dengan qadhi yang berasal dari kata قضي - يقضي - قاض artinya memutus. Sedangkan menurut bahasa adalah orang yang bijaksana atau orang yang memutuskan hal dan mengaturnya. Adapun pengertian menurut Syar'a Hakim yaitu orang yang diangkat oleh kepala Negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselsihan dalam bidang hukum perdata oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan [39]. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW telah mengangkat qadhi untuk bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia di tempat-tempat yang jauh, sebagaimana ia telah melimpahkan wewenang ini pada sahabatnya. Hakim sendiri adalah kantor peradilan Negara yang diberi wewenang oleh hukum untuk mengadili.
2.
Syarat Menjadi Hakim
Terkait syarat untuk menjadi seorang hakim para fuqaha berbeda pendapat, di antara mereka ada yang mengatakan bahwa seorang Qadhi / hakim harus memenuhi 15 syarat, dan ada juga yang mengatakan cukup 7 syarat serta ada juga yang berpendapat cukup dengan 3 syarat. Meskipun mereka berselisih tentang jumlah itu, tetapi beberapa syarat terpenuhi oleh yang lain dan sejumlah syarat dapat di cakup oleh syarat yang lain. [40] Kemudian menurut Ibnu Rusyd, syarat menjadi hakim adalah, Merdeka, Islam, Aqil Balig, Laki-laki dan Bersikap adil. [41] Selanjutnya menurut Yahya Zakaria Al-Ansari, hakim harus ahli dalam masalah kesaksian, yaitu Beragama Islam, mukalaf, Merdeka, Laki-laki, Bersifat adil dan mendengar, melihat, dapat berbicara dan menguasai masalah peradilan. Karena itu janganlah mengankat orang kafir, anak-anak, orang gila, hamba sahaya, perempuan, banci, orang fasik, orang tuli, orang buta, orang bisu meskipun sinyalnya dapat dipahami, orang yang pelupa, penipu, orang yang sakit-sakitan [42].
3.
Pengangkatan Hakim
Adapun pengangkatan hakim oleh penguasa, hukumnya adalah wajib dan tidak dibedakan antara pemberian wewenang kepada hakim oleh pihak penguasa atau dengan jalan pelimpahan wewenang kepada pembantu-pembantu pemerintah untuk tugas-tugas khusus dibidang peradilan, dan atas dasar ini, maka sebenarnya seorang hakim menyandarkan putusan hukumnya atas pengangkatannya dari pihak penguasa.
Adapun seorang hakim
walaupun non-Islam dan adil selama masih bisa memutuskan hukum dengan benar
tidak apa-apa. Adapun poin yang sangat penting dalam pengangkatan ini ialah
seorang hakim tersebut harus diangkat oleh penguasa pemerintahan atau wakilnya.
Dalam hal seorang
Muwalli (pengangkat hakim) menganut madzhab yang berbeda dengan yang diangkat
kemudian si penguasa mensyaratkan dalam setiap keputusan hakim tersebut harus
mengikuti madzhab penguasa yang mengangkat
Dalam hal otoritas
seorang hakim dalam menangani permasalahan ada dua pendapat juga:
·
Seorang hakim tidak boleh
menangani hal-hal yang dilarang karena hal tersebut bukan otoritasnya.
·
Boleh seorang hakim menangani
hal-hal yang dilarang (bukan otoritasnya) selama hal tersebut bukan termasuk
persyaratan dalam pengangkatannya.
Dalam hal pengangkatan
ini ada dua cara.
1.
Dengan sharih diantaranya, qalladtuka (aku mengangkatmu), wallaituka (aku menguasakan kepadamu), astakhlaftuka (aku menempatkanmu), dan astanbattuka (aku mewakilkan kepadamu).
2.
Dengan kinayah diantaranya, i'tamadtu 'alaika (aku tergantung kepadamu), awwaltu' alaika (aku meletakkan kepercayaan kepadamu), dll.
Disamping pengangkatan seperti diatas jabatan, hakim sah dengan empat syarat:
1.
Muwalli mengetahui bahwa
muwalla (pihak yang diangkat) memiliki sifat yang membuatnya layak untuk
diangkat.
2.
Muwalli mengetahui hak muwalla terhadap jabatan hakim.
3.
Muwalli menyebutkan secara
jelas jenis pengangkatannya apakah seorang hakim atau gubernur dll.
4.
Daerah kerja harus disebutkan
dalam pengangkatan.
Akan tetapi, dalam hal ini terjadi perbedaan ada yang mengatakan bisa dan ada yang tidak. Dan bagaimanakah jika seorang perempuan yang menjadi hakim (qadhi)? Para ulama juga berbada pendapat tentang hal ini. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa seorang wanita itu bisa menjadi qadhi. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan bahwa wanita itu bisa menjadi qadhi, jika hal yang dihadapi berhubungan dengan harta. At-Thabari bahkan lebih ekstrim lagi dengan mengatakan wanita dapat menjadi qadhi dalam semua hal yang diadukan kepadanya.
4. Pemberhentian (Pemecatan) Hakim
Pemerintah (penguasa) memiliki hak untuk memecat hakim yang ia angkat ketika ada alasan yang menghendakinya, dan tidak dibenarkan tindakan pemecatan tanpa ada sebab, demikian menurut madzhab Syafi'i, karena hal itu terkait dengan kemashlahatan kaum muslimin dan hak umat, maka tidak dibenarkan tindakan pemecatan terhadap hakim yang tidak bersalah, karena hal itu disamakan dengan wakalah (perwakilan) ketika ada kaitannya dengan hak orang lain. Dan menurut satu pendapat, dibolehkan tindakan pemecatan tanpa adanya kesalahan, karena ada suatu riwayat, bahwa Ali bin Abi Thalib pernah mengangkat Abdul Aswad sebagai hakim kemudian dipecatnya. Lalu Abdul Aswad bertanya: mengapa aku engkau pecat, padahal aku tidak berkhianat dan tidak melakukan tindakan kesalahan? Ali menjawab: sesungguhnya aku melihat kamu tinggi ucapanmu terhadap pihak-pihak yang berperkara. Dan karena penguasa berhak memecat kantor bawahannya termasuk juga para hakim.
Dan terjadilah pemecatan itu sejak itu (yang dipecat itu) mengetahui tentang pemecatan dirinya.
Abu Yusuf mengatakan: terjadinya pemecatan itu sejak pengganti telah diangkat demi menjaga hak-hak manusia. Demikian juga, qadhi dapat mengundurkan diri, dan terjadilah pengunduran diri itu sejak ia meninggalkan tugasnya. Menurut pendapat Jumhur bahwa qadhi yang mengundurkan diri itu tidak terhenti kelangsungan tugasnya sampai diangkatnya kantor baru, karena dalam hal ini tidak seorang pun dapat membatalkan suatu hak, dan menurut suatu pendapat dikatakan, bahwa qadhi yang demikian itu belum terjawab selama hal pengunduran dirinya itu belum diketahui oleh pihak yang mengangkatnya, dan kalau diqiyaskan dengan pendapat Abu Yusuf, maka sebenarnya ia belum terjawab sampai ia menerima surat pemberhentian, dan inilah yang sesuai dengan apa yang berjalan di masa sekarang.
Dan atas dasar itu, maka
selama surat pemecatan itu belum disampaikan, maka segala putusannya masih
tetap sah demikian juga segala putusan itu tetap dapat dilaksanakan selama
secara resmi pengunduran dirinya itu belum diterima.
Dan kalau seorang qadhi meninggal dunia atau dipecat oleh orang yang tidak
berhak memecatnya, maka tidak terpecat dan tidak diperlukan pengangkatan baru,
sebab pada dasarnya ia melaksanakan kekuasaan umum di bidang peradilan dari
umat dan mengadili atas namanya.
5.
Wewenag hakim
Kekuasaan kehakiman memiliki tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya guna menegakkan hukum dan keadilan
Hakim peradilan agama mempunyai tugas untuk
menegakkan hukum perdata islam yang menjadi kewenangannya dengan cara-cara yang
diatur dalamhu kum acara peradilan agama.
Adapun tugas-tugas pokok hakim di pengadilan
adalah sebagai berikut:
1. Membantu mencari keadilan
2. Mengatasi segala hambatan dan rintangan
3. Mendamaikan para pihak yang bersengketa
4. Memimpin konferensi
5. Memeriksa dan mengadili perkara
6. Meminitur berkas perkara
7. Mengawasi pelaksanaan putusan
8. Memberikan pengayoman kepada pencari
keadilanMenggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat
Selain tugas pokok sebagai tugas justisial
tersebut, hakim juga mempunyai tugas non justisial, yaitu :
·
Tugas
pengawasan sebagai hakim pengawas bidang;
·
Turut melaksanakan hisab, rukyat dan mengadakan kesaksian hilal;
·
Sebagai rokhaniawan sumpah jabatan;
·
Memberikan
penyuluhan hukum;
·
Melayani
riset untuk kepentingan ilmiah;
·
Tugas-tugas lain yang diberikan kepadanya.
6.
Fungsi Hakim
Fungsi hakim adalah menegakkan kebenaran sesungguuhnya dari apa yang dikemukakan dan dituntut oleh para pihak tanpa melebihi atau menguranginya terutama yang terkait dengan perkara perdata, sedangkan dalam hal pidana mencari kebenaran sesungguhnya secara mutlak tidak terbatas pada apa yang telah dilakukan oleh terdakwa, melainkan dari itu harus diselidiki dari latar belakang perbuatan terdakwa. Artinya hakim pengejar kebenaran materil secara mutlak dan tuntas. Di sini terlihat intelektualitas hakim yang akan teruji dengan dikerahkannya segenap kemampuan dan bekal ilmu pengetahuan yang mereka miliki, yang semua itu akan terlihat pada proses pemeriksaan perkara apakah masih derdapat pelanggaran-pelanggaran dalam teknis yustisial atau tidak .
E. Praktik peradilan pada khulafa 'ar-Rasyidin
a. Khalifah Abu Bakar
Dalam masalah peradilan, Abu Bakar mengikuti jejak Nabi Muhammad Saw., Yakni ia sendirilah yang memutuskan hukum di antara umat Islam di Madinah. Sedangkan para gubernurnya memutuskan hukum di antara manusia di daerah masing-masing di luar Madinah. Adapun cumber hukum pada Abu Bakar adalah Al-Qur'an, Sunnah, dan Ijtihad setelah pengkajian dan musyawarah dengan para sahabat.s Dapat dikatakan bahwa pada masa pemerintahan Abu Bakar ada tiga kekuatan, pertama, quwwat al-syari'ah (legislatif). Kedua, quwwat al-qadhaiyyah (yudikatif di dalamnya masuk peradilan) dan ketiga, quwwat al-tanfiziyyah (eksekutif).
Diriwayatkan, bahwa pada masa Abu Bakar, urusan peradilan diserahkan kepada Umar bin Khattab selama dua tahun lamanya, namun selama itu tidak pernah terjadi adanya sengketa yang harus dihadapkan ke pengadilan, karena dikenalnya Umar sebagai orang yang sangat keras dan juga karena faktor pribadi-pribadi kaum Muslim pada masa itu yang dikenal sebagai sangat saleh dan toleran terhadap sesama Muslim, sehingga faktor inilah yang sangat membantu tidak terwujudnya selisih sengketa di antara mereka. ' Selama dua tahun, hanya ada dua orang yang berselisih dan mengadukan permasalahannya kepada Umar karena ia terkenal dengan ketegasan yang dimilikinya. Selain itu, Abu Bakar juga mengutus Anas sebagai hakim ke Bahrain. ' Maka tercatatlah dalam sejarah orang yang pertama kali menjadi qadhi dalam Islam pada awal masa khalifah al-Rasyidin adalah Umar bin Khattab. [44]
Pada saat Abu Bakar menggantikan Rasulullah SAW, beliau tidak merubah sistem peradilan yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Ini dikarenakan ia sibuk menegakkan hukum Islam dengan memerangi kemurtadan, orang-orang muslim yang enggan membayar zakat, dan lain-lain hal yang berhubungan dengan politik dan hukum.
Malahan, pada periode ini peradilan dikuasai oleh khalifah sendiri, dan kadang-kadang khalifah memberi kuasa kepada orang lain untuk menjadi hakim seperti yang dilakukan Rasulullah SAW. Hal ini terjadi sampai pada awal kekhalifahan Umar bin al-Khattab. Jadi, pada periode ini, belum ada pemisahan antara tiga jenis kekuasaan; yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif, sebaliknya khalifah memegang kekuasaan yudikatif.
Dokter 'Athiyyah Mushthofa Musyrafah menukil dari Syaikh Muhammad Bakhit al-Muthî'î di dalam kitabnya yang berjudul; hakikat al-`Islâmi wa `Ushûl al-Hukm:
"... Dalam kekhalifahan Abu Bakar mengambil alih penghapusan Omar Ibn al Khattab adalah hakim pertama Khalifah dalam Islam"
(... Dan pada kekhalifahan Abu Bakar, beliau (Abu Bakar) menganggkat Umar bin al-Khatthab sebagai hakim, maka adanya Umar adalah awal-awalnya hakim di dalam Islam bagi khalifah. [45]
Menurut 'Athiyyah, pendapat al-Muthî'î ini tidak dapat dibenarkan. Ini dikarenakan Umar adalah khalifah yang paling awal menentukan para hakim yang dikhususkan untuk menjadi hakim bagi sengketa yang terjadi di antara manusia. Sedangkan Abu Bakar hanya mewakilkannya kepada Umar bin al-Khattab kadang-kadang untuk melihat kasus-kasus agar dicarikan inti pertikaiannya. Hanya saja, kekuasaan yudisial ini tidak dimiliki Umar secara khusus, Umar juga tidak disebut hakim pada zaman Khalifah Abu Bakar. [46] Umar juga tidak hanya bertugas sebagai hakim kadang-kadang, bahkan Umar mendapatkan tugas menjadi imam dan lainnya. [47]
Langkah-langkah Abu Bakar dalam Istinbath Hukum, sebagai berikut:
1. Mencari ketentuan hukum dalam Al-Qur'an. Bila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada dalam Al-Qur'an.
2. Bila tidak menemukannya dalam A1-Qur'an, ia menemukan ketentuan hukum dalam Sunnah; bila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada dalam Sunnah.
3. Bila tidak menemukannya dalam Sunnah, ia bertanya kepada sahabat lain apakah Rasulullah Saw. Telah memutuskan persoalan yang sama pada zamannya. Jika ada yang tahu, ia menyelesaikan persoalan tersebut berdasarkan keterangan dari yang menjawab setelah memenuhi beberapa syarat.
4. Jika tidak ada sahabat yang memberikan keterangan, ia mengumpulkan para pembesar sahabat dan bermusyawarah untuk meyelesaikan persoalan yang dihadapi. Jika ada kesepakatan di antara mereka, ia membuat kesepakatan itu sebagai keputusan.
b.
Umar Bin Khatab
Aksi Umar dalam bidang hukum, ada beberapa contoh ijtihad Umar antara lain sebagai berikut:
o Talak tiga, yang diucapkan sekaligus di suatu tempat pada suatu ketika dianggap sebagai talak yang tidak mungkin rujuk (kembali) sebagai suami istri. Kecuali salah satu pihak (dalam hal ini mantan istri) kawin lebih dahulu dengan orang lain. Garis hukum ini ditentukan oleh Umar berdasarkan kepentingan wanita, karena di zamannya banyak pria yang dengan mudah mnegucapkan talak tiga sekaligus kepada istrinya, untuk dapat bercerai dan kawin lagi dengan wanita lain. Tujuannya dalah untuk melindungi kaum wanita dari penyalahgunaan hak talak yang berada di tangan pria. Tindakan ini dilakukan oleh Umar agar pria berhati-hati mempergunakan hak talak itu dan tidak mudah mengucapkan talak tiga sekaligus yang di zaman nabi dan Khalifah Abu Bakar dianggap (jatuh sebagai) talak satu. [48] Umar menetapkan garis hukum yang demikian untuk mendidik suami supaya tidak menyalahgunakan wewenang yang berada dalam tangannya.
·
Pemberian hak zakat kepada mualaf (orang yang baru masuk Islam) seperti yang ditetapkan dalam Alquran. Dikarenakan ia harus dilindungi karena masih lemah imannya dan (mungkin) kehilangan kontak dengan keluarganya. Pada zaman rasulullah, golongan ini memperoleh golongan zakat, tapi Umar menghentikan pemberian zakat kepada muallat berdasarkan pertimbangan, islam lebih kuat sehingga tidak perlu diberi keistimewaan.
o Menurut al-Qur'an surat Al-Maidah (5) ayat 38, disebutkan tentang hukuman potong tangan bagi pencuri. Pada masa pemerintahan Umar terjadi kelaparan dalam masyarakat di semenanjung Arabia. Dlam kondisi masyarakat ditimpa oleh bahaya kelaparan itu, ancaman hukuman pencuri yang disebut dalam alquran tidak dilaksanakan karena pertimbanagn keadaan darurat dari kemaksiatan (jiwa) masyarakat.
o Di dalam alquran suratAl Maidah Ayat 5 ada ketentuan yang memperbolehkan pria muslim menikahi wanita ahlulkitab (wanita yahudi dan Nasrani). Akan tetapi khalifah Umar melarang kawin campur antara pria islam dengan wanita yahudi atau nasrani demi melindungi posisi wanita islam dan keamanan Negara.
Umar itu seakan-akan bertentangan dengan ketentuan Alquran. Namun, kalau dikaji sifat hakikat ayat-ayat tersebut dalam kerangka tujuan hukum Islam seluruhnya, ijtihad yang dilakukan Umar bin Khattab itu tidak bertentangan dengan maksud ayat-ayat hukum tersebut.Pokok-pokok pikiran tentang peradilan; yang tercantum dalam suratnya kepada Abu Musa Al-Asy'ari. Isinya antara lain;
1.
Kewajiban seorang hakim adalah memutuskan suatu hal;
2.
Hakim mempelajari dahulu berkas perkara itu sebaik-baiknya. Setelah jelas duduk perkaranya, keputusan hakim harus seadil-adilnya.
3.
keadilan harus diwujudkan dalam praktik, sebab kalau tidak diwujudkan, keadilan tidak ada artinya. Hakim harus menyamakan kedudukan kedua pihak yang bersengketa harus disamakan kedudukannya. Dengan demikian, orang yang kuat tidak akan dapat mengharapkan sesuatu dan yang lemah tidak akan sampai putus asa karena mendambakan keadilan hakim;
4.
Hakim harus berperan mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa
5.
Hakim tidak bisa menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
6.
Tidak ragu dalam mengambil keputusan dan tidak ragu mengubah keputusan tersebut jika ternyata keputusan tersebut salah;
7.
Bila hakim tidak mendapatkan ketentuan hukum suatu perkara dari Alquran dan sunnah, hekim menggunakan hukum qiyash.
8.
Memilih solusi hal yang lebih diridlai Allah dan lebih sesuai serta mendekati kebenaran. [49]
Salah satu perubahan penting bagi pengadilan
Islam pada zaman Khalifah Utsman bin Affan adalah dibangunnya bangunan khusus
yang digunakan untuk peradilan negara Islam. Sebelum Khalifah Utsman, masjid
adalah tempat untuk berperkara.Utsman juga mengirim pesan-pesan kepada para
pemimpin di daerah lain, petugas menarik pajak, dan masyarakat muslim secara
umum untuk menegakkan kelakuan baik dan mencegah dari kemungkaran. Beliau
memesan kepada petugas menarik pajak untuk menarik pajak dengan adil dan jujur.
Beliau memberi nasihat khusus kepada petugas pajak dengan kata-kata nasehat.
Dalam memberi hukum, Utsman memakai Alquran, sunnah, lalu pendapat khalifah sebelumnya. Kalau tidak ditemukan, ia akan bermusyawarah dengan para sahabat.
4. Ali bin Abi Thalib
Setelah meninggalnya Utsman RA, Ali bin Abi Thalib RA menjabat sebagai khalifah. Dia tidak melakukan perubahan di dalam peradilan. Dia juga berpegang pada Alquran, sunnah, lalu merujuk pada khalifah sebelumnya. Seumpama tidak ditemukan, baru beliau bermusyawarah dengan sahabat yang lain berdasarkan pada ayat: {وشاورهم في الأمر}.
Sesuai dengan khalifah sebelumnya, Khalifah Ali
bin Abi Thalib RA juga membayar gaji para hakim dengan memakai uang yang ada di
Bait al-Mâl.
Selain dari itu, dalam usaha Khalifah Ali RA
meningkatkan kualitas peradilan Islam, beliau memberi insruksi kepada Gubenur
Mesir dalam penentuan orang-orang yang akan diangkat menjadi hakim. Di dalam
instruksi itu, ditekankan agar penguasa memilih orang-orang yang akan menjadi
hakim dari orang-orang yang dipandang utama oleh penguasa sendiri, jangan dari
orang-orang yang berpenghidupan sempit, jangan dari orang-orang yang tidak
mempunyai wibawa dan jangan pula dari orang-orang yang loba kepada harta dunia,
di samping mempunyai ilmu yang luas, otak yang cerdas, daya kerja yang
sempurna.
Khalifah Ali bin Abi Thalib telah banyak memberi hukum atau fatwa yang dijadikan hukum oleh orang-orang setelahnya. Salah satu keprihatinan hukum yang diselesaikan Ali adalah ketika ada seorang istri yang mana suaminya meninggal dunia sebelum suami tersebut menjimak istrinya. Sedangkan suami tersebut belum menyerahkan mas kawin kepada istri tersebut. Maka Ali RA menghukumi bahwa tidak ada hak bagi istri tersebut mas kawin yang sesuai (مهر المثل), Karena diqiyaskan pada wanita yang tertalak.
Kekuasaan lembaga peradilan pada periode
pertama dibagi menjadi tiga bagian ;
·
Posisi pengadilan yang dikendalikan oleh kepalanya yang dinamakan "Qadli '', para Qadli menyelesaikan hal-hal yag bersangkutan dengan utang piutang atau hukum-hukum perdata.
·
Posisi pengadilanyang dikendalikan oleh kepalanya yang dinamakan "Muhtasib", para Muhtaasib menyelesaikan urusan urusan yang berpautan dengan umum dan urusan-urusan pidana atau jinayah, uqubat, dsb.
·
Posisi pengadilan yang dikendalikan oleh kepala negara atau seseorang yang diserahi tugasnya kepadanya, yang dinamakan Qadli (wali) madhalim, wali madhalim menyelesaikan perselisihan yang tak terpecahkan oleh posisi perrama dan kedua.
Dewan madzalim ini dipimpin oleh kepala negara
sendiri, atau wali (kepala daerah), atau oleh seseorang yang ditunjuk untuk
itu. Dan biasanya sidang-sidang itu dilakukan didalam masjid.
Dewan pengadilan iini dihadiri oleh:
1.
Beberapa petugas, beberapa penjaga Qadli (hakim) untuk dimintakan pertolongannya dan untuk menasehati orang-orang yang bersangkutan.
2.
Beberapa para fuqoha untuk dimintakan pendapat-pendapatnya tentang hukum yang harus diberikan.
F. Surat Umar Ibn Khatab Sebagai Dasar Acara Peradilan
Umar bin Kattab mengangkat Abu Darda 'sebagai Qadli di kota Madinah, Syuraih di Basrah, Abu Musa al Asy'ary di Kuffah, dan Syuraih bin Qais bin Abil Ash di daerah Mesir. Para Hakim ditetapkan daerah yurisdiksinya dan diangkat oleh Khalifah atau diwakilkan kepada para gubernur di daerah. Kepada hakim yang diangkat langsung, Khalifah memberikan ketentuan-ketentuan untuk dijadikan pedoman. Hal ini terjadi dari surat yang dikirim oleh Umar kepada Abu Musa al-'Asyari, (Qadli di Kufah) yang isinya mengandung pohon solusi hal dimuka sidang, yang ternyata disambut dan diterima dikalangan Ulama 'serta menghimpun pokok-pokok hukum.
Qadhi Kaufah yang berisi petunjuk tentang peradilan yang kemudian dikenal dengan Risalah al-Qadha dari Umar. Risalah al-Qadha ini berisi sepuluh butir pedoman para hakim dalam melaksanakan peradilan. Dengan demikian, saat ini lembaga peradilan telah merupakan badan khusus dibawah pengawasan penguasa. Meskipun telah terjadi pemisahan antara lembaga "Eksekutif dan Yudikatif", pada masa Khalifah Umar belum ada Panitera pengadilan dan regestrasi keputusan hakim. Akan tetapi, pada saat ini sudah dikenal praktek yurisprudensi.
Berikut surat umar Bin Khatab
Setelah tugas dari pengadilan dan peradilan diikuti tahun jika Vavhm Membawa dibuat untuk Anda dan menunjukkan jika tidak bekerja benar berbicara tidak memaksanya. Dan Sebagai antara orang-orang di wajah Anda dan dewan Anda Dan mengambil Anda agar tidak menipu Sharif di Hivk putus asa kebenaran Anda lemah. Bukti yang diklaim Dan hak membantah, dan Hakim diperbolehkan antara Muslim Alasaleha diizinkan Haram atau halal kampus, dan benar-benar ada atau bukti diklaim berakhir masa jabatannya dan memukulnya , Itu datang dengan bukti saya memberinya hak, yang Oadzh bahwa Asthllt huruf itu adalah
Diceritakan dalam dan dievakuasi alasan kebutaan tidak mencegah Anda menghabiskan terjadi hari ini Fradjat Untuk pendapat Anda dan dipandu ke Rushdk yang jatuh tepat karena Old tepat tidak membatalkan hal yang benar Dan review dari kanan adalah lebih baik daripada bertahan dalam kepalsuan, dan Muslim membalikkan satu sama lain dalam Ciloda sertifikat hanya dalam batas atau tergoda oleh sumpah palsu atau Znina loyalitas atau Hampir Allah mengambil dari mata pelajaran yang mereka menutupi tempat tidur dan perbatasan namun berdasarkan Dan iman, pemahaman dan pemahaman tentang apa yang Anda buat tidak dalam Quran atau Sunnah, maka Hal Qaas dan saya tahu bahwa ketika perumpamaan dan sejenisnya, dan kemudian membaptis untuk mencintai Allah Dalam pandangan hak dan sejenisnya, dan berhati-hatilah kemarahan, kecemasan, kebosanan dan orang-orang terluka dan ketika Disguise Litigasi atau kewajiban, warga memiliki hak untuk menghilangkan Allah membutuhkan gajinya dan meningkatkan nya Di atas dapat disimpulkan bahwa niatnya benar, bahkan jika yang sama akan cukup apa yang Allah antara dirinya dan Orang, dan menghiasi termasuk dalam hatinya, tidak akan Allah, Allah tidak menerima Namun, pelajaran yang ia murni, damai dan rahmat Allah
·
Selanjutnya. Sesungguhnya peradilan itu adalah suatu kewajiban yang ditetapkan oleh Allah SWT dan Sunnah Rasulullah yang wajib diikuti. Maka pahamilah benar-benar jika ada sesuatu hal yang disampaikan kepadanya dengan suatu alasan dan laksanakanlah jika jelas kebenarannya, karena tidaklah berguna pembicaraan tentang kebenaran yang tidak ada pengaruhnya / dilaksanakan.
·
Persamakanlah posisi manuia itu dalam pandanganmu, majlismu dan keputusanmu, sehingga orang yang lemah tidak menyerah dari keadilanmu, sebaliknya orang memiliki posisi tinggi tidak dapat menarikmu kepada kecurangan.
·
Keterangan berupa bukti atau saksi disampaikan oleh orang yang mengakui dan sumpah harus dilakukan oleh orang yang menolak.
·
Perdamaian dibolehkan antara orang-orang yang bersengketa dari kalangan muslim, kecuali perdamaian yang menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal.
·
Kamu diperbolehkan untuk meninjau kembali suatu keputusan yang ditetapkan kemarin, lalu engkau mendapat petunjuk untuk kembali kepada kebenaran. Karena kebenaran itu abadi dan kembali kepada kebenaran itu adalah lebih baik daripada terus-menerus dalam kesesatan.
·
Kemudian pahamilah secara sungguh-sungguh dan mendalam terhadap persoalan yang diajukan kepadamu tentang hal-hal yang belum diketahui ketetapannya yang terdapat dalam al-Qur'an atau Sunnah. Telitilah keserupaan dan kesamaannya, kemudian analogikan hal itu.
·
Berikanlah tempo bagi orang yang mengaku berhak atas sesuatu
untuk mengajukan bukti selengkap-lengkapnya, jika ia mampu mengajukan
bukti-buktinya maka berikanlah haknya. Tetapi jika ia tidak mampu
membuktikannya maka selesaikanlah persoalannya. Maka yang demikian itu dapat
lebih memperjelas yang samar dan lebih mantapnya alasan-alasannya.
·
Kaum muslimin itu adalah orang-orang yang berlaku adil terhadap sesamanya, kecuali orang yang pernah dikenai hukuman dera, pernah bersaksi palsu atau mereka yang memiliki hubungan janji setia atau hubungan nasab yang dekat. Sesungguhnya Allah SWT yang menguasai rahasia hati hamba-hamba-Nya dan menjauhkanmu dari saksi-saksi hukum berdasarkan bukti.
·
Jauhilah sifat mengacau, membosankan, menyakiti hati manusia dan jauhilah berbuat curang saat persengketaan yang berada di tempat hak yang sudah pasti akan mendapat pahala dari Allah SWT dan juga merupakan waktu yang baik. Barangsiapa yang ikhlas niatnya untuk menegakkan yang hak apapun terhadap dirinya sendiri, Allah SWT akan mencukupkan antara dirinya dan antara manusia. Dan barangsiapa yang berhias (menutup-nutupi) diri padahal Allah tahu yang sebenarnya, maka Allah SWT akan memberikan aib kepadanya. Maka tidak ada lagi yang bisa diharapkan memberikan pahala, selain Allah SWT, dengan luas rizqi dan pembendaharaan kasih-sayang-Nya. Semoga keamanan menyertainya.
Dari surat Umar Bin Khatab tersebut, paling tidak ada beberapa prinsip / dasar-dasar hukum dan peradilan. Prinsip-prinsip / dasar-dasar itu antara lain:
a.
Eksistensi dan kedudukan lembaga peradilan
b.
Eksekusi keputusan
c.
Dasar objektivitas
d.
Pembuktian
e.
Perdamaian
f.
Peninjauan kembali putusan
g.
Sumber hukum dan interpretasi
h.
Kredibilitas saksi
i.
Sikap dan sifat seorang hakim. [51]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Proses peradilan zaman Nabi SAW berlangsung
sangat sederhana dan tidak berbelit-belit, namun justru lebih mementingkan
substansi dari pada prosesi.
2.
Sistem peradilan saat itu juga
memberikan pijakan dan prinsip dasar bagi perkembangan sistem peradilan yang
berkembang kemudian dalam peradaban Islam yang mencakup penguatan
lembaga-lembaga baru seperti hisbah dan peradilan madzālim.
3.
Ketika para khalifah dihadapkan suatu hal kepada mereka dan disuruh memberikan fatwa hukum, maka para khalifah menemukan ketentuan hukumnya dalam Kitaballah, bila tidak menemukan ketentuan hukum dalam al-Qur'an maka mereka mencarinya dalam sunnah Nabi dan Ijma '.
Abd. Wahab Khallaf, ilmu Ushul al-Fiqih, diterjemahkan
oleh Noer Iskandar al-Barsany dan Moh. Thalchah Mansoer, dengan judul “Kaidah-Kaidah
Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqhi), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996
Al-Hafidh Imam Ibnu Hajar al-Asqalany,
Bulughul Maram min adillatil Ahkaam (tasikmalaya: pu staka al-hidayah, 2008),
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir (kamus berbahasa Arab Indonesia), (Cet.I: Jakarta: 1996),
Sebuah h gila Shalabi, Al-Tashrī` wa Al-Qadlā 'fi al-Fikr al-Islami, Kairo, Maktabah al-Naldlah al-Mişriyah, Cet. 4, 1989
Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulţāniyah, hearts Software al-Maktabah al-Shāmilah, vol. Aku,
Abu Yahya Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahab bi Syarh Manhaj at-Thulab, (Singapura: syirkah Nur As-Saqafah al-Ilamiyah, tt.)
Abu Yahya Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahab bi Syarh Manhaj at-Thulab, (Singapura: syirkah Nur As-Saqafah al-Ilamiyah, tt.)
Bismar Siregar,hukum hakim dan keadilan
tuhan(Jakarta: gema insani press, 1995)
Hasbi
Ash-Shiddeqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Yogyakarta:
PT.Ma’arif, 1994
Muhammad Tahir Azhary, negara hukum (jakarta
:kencana 2004)
Muhammad Salam Madkur, Al-qadha Fil al-Islām (Kairo: Dār an-Nadha al-'arabiyyah, t.th)
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,peradilan dan
hukum acara islam (semarang: PT. pustaka rizki putra, 2001)
Mahmud `Ukashah, Tarikh al-H ukm Fi al-Islam, Kairo, Mu'assasah al-Mukhtar, Cet. 1, 2002
Nurcholish madjid, pesan-peasan takwa(
jakarta:paramadina,2000), h.17
Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam
islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu 1993).
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Mesir: Mustafa al-Babi al Halabi, 1960)
Muktiarto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
Alaiddin Koto (et.al)., Sejarah Peradilan
Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 2011,
Ramulya, Idris. 2004. Dasar-dasar Hukum Islam. Cet.I, Jakarta: Sinar Grafika
Hasbi Amiruddin, Umar Bin Khatab dan
pemberantasan korupsi, (polydor:Yogyakarta, 2009).
M Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara
Perdata Peradilan Agam dan Mahkamah Syar’iyah Indonesia, Jakarta: Kencana,
2005.
Zainal Abidin Ahmad, Negara Adil Makmur Menurut Ibnu Siena, Jakarta: Bulan Bintang, 1974
[1] Abd. Wahab Khallaf, ilmu Ushul al-Fiqih, diterjemahkan
oleh Noer Iskandar al-Barsany dan Moh. Thalchah Mansoer, dengan judul
“Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqhi), Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996, h. 22
[3]
Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
IV (Cet.I; Jakarta: Depdiknas, Balai Pustaka, 2008), h. 10
[4] Muhammad Salam Madkur, Al-qadha Fil al-Islām (Kairo: Dar an-Nadha al-'arabiyyah, t.th), h. 11.
[5] Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir (kamus berbahasa Arab Indonesia), (Cet.I: Jakarta: 1996), p. 1215.
[6] Hasbi
Ash-Shiddeqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Yogyakarta:
PT.Ma’arif, 1994), h. 29.
[7] Simorangkir,
et.al, Kamus Hukum (Cet.IX: Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.
124.
[8] M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan kompatibilitas al-Qur'an, Volume 2, Cet 1, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), hal. 458.
[9] Muhammad Tahir Azhary, negara hukum (jakarta
:kencana 2004), h.117-119
[10] Ibid, h.121
[11] Bismar
Siregar,hukum hakim dan keadilan tuhan(Jakarta: gema insani press,
1995), h.14
[12]
Muhammad Tahir Azhary,Negara hukum, h. 106
[13] Ibid, h.108
[14] Nurcholish madjid, pesan-peasan takwa, (Jakarta: Paramadina,2000),
h.17
[15]
Muhammad Tahir Azhary,Negara hukum, h.122
[16]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,peradilan
dan hukum acara islam (semarang: PT. pustaka rizki putra, 2001), h.36-37
[17] Al-Hafidh Imam Ibnu Hajar al-Asqalany,
Bulughul Maram min adillatil Ahkaam (tasikmalaya: pu staka al-hidayah, 2008), h ....
[18] Abdul Wahhab Khallaf, Al-Sultāt Tsalāts al-fi al-Islam Al-Tashrī`, al-Qadlā 'al-Tanfīdz, Kuwait, Dar al-Qalam, Cet. 2 1405H / 1985M, hlm. 27
[19] Dr. Mahmud `Ukashah, Tarikh al-H ukm Fi al-Islam, Kairo, Mu'assasah al-Mukhtar, Cet. 1, 2002, hlm. 152
[20] Ibn Hisham, Al-Sirah al-Nabawiyyah ,, vol. III, hlm. 33. Teks berbunyi:
Jika orang-orang percaya yang saleh dari mereka pelacur atau craveth Dsaah dosa atau ketidakadilan atau agresi atau korupsi di kalangan orang-orang beriman tangan mereka jika semua itu, bahkan jika salah satu dari mereka lahir
[21] Ibn Hisham, Al-Sirah al-Nabawiyyah ,, vol. III, hlm. 34-35. Teksnya berbunyi:
"Itu antara orang koran ini dari peristiwa atau Achtjar takut korupsi adalah karena Allah SWT dan Muhammad adalah utusan Allah."
[22] H Idhar (حظار
) Adalah segala sesatu yang digunakan untuk sebagai pembatas. Lihat: Ibrahim Musthafa, dkk (Majma 'Al-Lughah Al-Arabiyah Mesir), Al-Mu'jam Al-Wasith, Istanbul, Dar al-Da'wah, 1989, hlm.183
[23] Abdul Wahhab Khallaf,
Al-Sultāt al-tsalâts fī al-Islām, hlm. 22; Diriwayatkan juga oleh Al-Daraqutni. Lihat: `Ali ibn` Umar Abu al- H asan al-Daraqutni al-Baghdadi, Sunan al-Daraqutni, Tahqiq: Al-Sayyid `Abdullah Hashim Yamani al-Madani, Beirut, Dar al-ma`rifah, 1386H / 1966, vol. 4, hlm. 229
[24] A h mad ibn H anbal, Musnad Ahmad ibn H anbal, Tahqiq: Shu`aib al-Arna'ūţ .et.al, Beirut, Mu'assasah al-Risalah, cet. 2, 1420H / 1999M,
vol. 29, hlm. 357. Hadits. No. 17824
[25] Ad-Daruquthni,
Sunan Ad-Daruquthni, vol. 4, hlm. 203
[26] Hadits diriwayatkan oleh Imam A h mad no. 20305. Lihat: A h mad ibn H anbal, Musnad Ahmad ibn H anbal, vol. 33, hlm. 420; Mu h amad al-Zu h ayli, tanggal al-qadla ', hlm. 44
[27] Lihat: A h mad ibn H anbal, Musnad Ahmad ibn H anbal, vol. II, hlm. 421. Hadits. No. 1280
[28] Abdul Wahhab Khallaf, Al-Sultāt al-Tsalāts fi al-Islām, hlm. 23; Mu h Amad al-Zu h ayli, Tarikh al-Qadlā ', hlm. 46-47
[29] Abdul Wahhab Khallaf, Al-Sultāt al-Tsalāts fi al-Islām, hlm. 22
[30] H asan Ibrahim H asan, Tarikh al-Islām, vol. Saya, hlm. 394; `Ali H USNI al-Kharbuţli, Al H adlarah al-`Arabiyah al-Islamiyah, hlm. 45; `Abdul Wahhab Khallaf, Al-Sultāt al-Tsalāts fi al-Islām, hlm. 21-22
[31] Abu Dawud, Sunan Ibnu Majah, vol. III, hlm. 329. Hadits No. 3587
[32] Abdul Wahhab Khallaf, Al-Sultāt al-Tsalāts fi al-Islām, hlm. 24
[33] HR. Al-Tirmidzi dan dikatakan hasan oleh al-Albani. Lihat: Muhammad ibn `Isa Abu Isa al-Tirmidzi, Al-Jami` al-Shahih Sunan Al-Tirmidzi, Tahqiq: Ahmad Muhamad Shakir et.all, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-`Arabi, tt, vol. III, hlm. 618. Hadits no. 1331
[34] Al-Bayhaqi, Al-Sunan al-Kubro, vol. X, hlm. 252 dalam Software al-Maktabah al-Shāmilah. Hadits senada juga diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi dalam Al-Jami` al-Shahih Sunan Al-Tirmidzi, vol. III, hlm. 626. Hadits no. 1341. Suara teksnya: أن النبي صلى الله عليه و سلم قال في خطبته البينة على المدعي واليمين على المدعى عليه
[35] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, vol. III, hlm. 333. Hadits No. 3597. Suara hadits selengkapnya
[36] Sebuah h gila Shalabi, Al-Tashrī` wa Al-Qadlā 'fi al-Fikr al-Islami, Kairo, Maktabah al-Naldlah al-Mişriyah, Cet. 4, 1989, hlm. 229
[37] Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulţāniyah, hearts Software Al-Maktabah al-Shāmilah, vol. Saya, hlm. 486
[38] Mu h Amad al-Zu h ayli, Tarikh al-Qadlā ', hlm. 56
[39]
.Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam islam, (Surabaya: PT. Bina
Ilmu 1993). Hal 29
[40] Muhammad
Salam Madkur, Peradilan Dalam islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu
1993).hlm.53
[41] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Mesir: Mustafa al-Babi al Halabi, 1960), II: 460
[42] Abu Yahya Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahab bi Syarh Manhaj at-Thulab, (Singapura: syirkah Nur As-Saqafah al-Ilamiyah, tt.), Hlm. 207.
[43] Ibid, hlm. 30
[45] Athiyyah Mushthofa Musyrafah menukil dari Syaikh Muhammad Bakhit al-Muthî'î di dalam kitabnya yang berjudul; hakikat al-`Islâmi wa `Ushûl al-Hukm.
[46] Athiyah Mustafa musyarrafah, al-Qadha fi Al-Islam
[48]
Ramulya, Idris. 2004. Dasar-dasar Hukum Islam. Cet.I, Jakarta: Sinar Grafika. Hal 126
[49]Hasbi Amiruddin, Umar Bin Khatab dan pemberantasan korupsi,
(polydor:Yogyakarta, 2009). Hal 33
[50] M Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agam dan
Mahkamah Syar’iyah Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005. halm., 92-94
[51] Hasbi Amiruddin, Umar Bin Khatab dan pemberantasan korupsi, (polydor:Yogyakarta,
2009). Hal 33
0 Response to "A. konsep Peradilan Dan Pengadilan"
Posting Komentar