Yang pertama adalah bagaimana peran
yang dimainkannya pada masa reformasi sebagai lembaga yang konsisten sebagai
institusi penopang pemahaman Islam moderat di tengah kencangnya isu penerapan
syari’ah Islam di Indonesia pasca lengsernya Soeharto. Dan yang kedua adalah
keberhasilan reformasi sistem peradilan agama yang berorientasi sosial, dengan
memperluas dan mempermudah akses keadilan bagi masyarakat marjinal, seperti
wanita, masyarakat miskin dan masyarakat yang tinggal jauh di tempat terpencil
dan keterkaitannya dengan pembangunan serta program-program pengentasan
kemiskinan. Sehingga para penulis buku ini sering kali menyatakan bahwa
“Reformasi yang terjadi di Peradilan Agama memberikan contoh yang baik untuk
reformasi sistem peradilan di Indonesia pada umumnya dan bahkan sistem-sistem
peradilan Islam di dunia muslim”.
Buku ini
ditulis oleh dua orang Australia, Cate Sumner, seorang peneliti
senior tentang isu-isu akses pada keadilan, hak asasi manusia dan reformasi
peradilan di asia dan Tim Lindsey, seorang profesor hukum asia dan direktur
Pusat Hukum Asia di Universitas Melbourne, Australia.
Judul
: Courting Reform: Indonesia’s Islamic Courts and Justice For The Poor
Pengarang : Cate
Sumner & Tim Lindsey
Penerbit
: Lowy Institute for International Policy
Tahun terbit : 2010
Diterjemahkan : Abdul Halim, hakim pada Pengadilan Agama
Bawean, Gresik, Jawa Timur.
Tebal
: 72 hal.
A. Peradilan
Agama Pasca Soeharto
Para penulis memulai buku ini dengan
mengemukakan konsepsi yang selama ini mereka anggap salah, tentang persepsi
dunia barat tentang Islam di Indonesia yang seringkali didominasi oleh citra
minoritas garis keras yang menuntut sebuah negara syari’ah. Dalam kenyataanya,
arus utama institusi-institusi Islam telah memainkan bagian penting pada masa
setelah kejatuhan Soeharto dalam demokratisasi dan pembaharuan institusi.
Diantaranya adalah Peradilan Islam Indonesia, Pengadilan Agama.
Pengertian modern tentang negara
bangsa adalah berdasarkan gagasan sekularisme, atau setidaknya, Otoritas negara
adalah mandiri dari otoritas keagamaan. Ini artinya bahwa negara dengan
populasi mayoritas muslim selalu menghadapi tantangan menegosiasikan suatu
hubungan dengan islam.
Buku ini menunjukkan bagaimana
Peradilan dalam perkara-perkara tertentu bagi orang-orang Islam ini telah
melakukan reformasi di dalam suatu sistem peradilan yang selama ini
dianggap korup, tidak kompeten namun mengambil peranan penting dalam
upaya-upaya untuk memberikan akses terhadap putusan pengadilan yang lebih mudah
diakses, transaparan dan adil bagi wanita dan orang-orang miskin.
Pengadilan Agama telah lama
merupakan forum resmi dan berwenang dimana negara menerapkan penafsiran
yang ketat terhadap Syariah, yang secara historis secara luas dibatasi hanya
pada hukum privat dan khususnya hukum keluarga. Selain Aceh, Peradilan Agama
secara umum tidak terpengaruh oleh tekanan islamisasi hukum konservatif yang
muncul setelah kejatuhan Soeharto pada tahun 1998. Dibawah supervisi Mahkamah
Agung, Hakim-hakim Peradilan Agama telah menjaga semangat dasar negara
Pancasila dan penafsiran-penafsiran syariah yang berdasarkan perundang-undangan
resmi negara.
Pendukung
Islamisasi yang konservatif di Indonesia seringkali dikritik karena sikap keras
mereka terhadap para wanita, seperti dukungan mereka terhadap larangan
berpakaian yang tidak menutup aurat bagi perempuan, atau larangan bagi mereka
untuk bepergian secara bebas di tempat umum. Peradilan Agama justru telah
melakukan upaya-upaya hukum untuk meningkatkan posisi hukum dan kapasitas
perempuan untuk mendapatkan hak-haknya dalam keluarga, khususnya hak dalam
berperkara dalam kasus perceraian dengan cepat dan murah (hal. 8-12)
Meskipun dalam catatan sejarahnya
peradilan ini seringkali diabaikan, jumlah peradilan agama sebanyak cabang
peradilan yang lain, dan keberadaannya lebih dekat keterikatannya dengan
masyarakat pada umumnya secara individual dibandingkan peradilan lain. Buku ini
juga menunjukkan bahwa bagian terbesar dari perkara yang diselesaikan Peradilan
Agama adal perkara perceraian, dimana hampir 2/3 Penggugat adalah perempuan,
dan biasanya mereka berhasil dalam gugatannya di Peradilan ini. Survey yang
dilakukan tentang persepsi publik sepanjang tahun 2007-2009 terhadap pengguna
Pengadilan Agama, menunjukkan performa yang konsisten dan dianggap baik di
tengah reputasi dunia peradilan Indonesia yang sedang terpuruk.
Pada tahun 2007 dan 2009, Para
Penulis terlibat dalam Survey terhadap para pengguna Peradilan Agama sebagai
bagian dari sebuah proyek penelitian yang berjudul Access and Equity Study of
the General and Religious Courts yang didanai oleh AusAID’s Indonesia Australia
Legal Development Facility (IALDF). Dari 1000 responden yang disurvey ditemukan
bahwa sebanyak 83,3% merasa ‘hakim mendengarkan mereka’, 88,2% merasa ‘mereka
dilayani dengan sangat baik oleh para petugas pengadilan’, 73% merasa ‘para
petugas bersedia dan berkenan menjawab pertanyaan dan menjelaskan
prosedur-prosedur berperkara’, 74% merasa ‘perkara mereka telah disidangkan
secara cepat dan efisien’ dan 62% merasa bahwa ‘proses persidangan sangat
ramah’ dan yang terkahir 71.1% menyatakan ‘ akan kembali ke Pengadilan Agama
jika mereka mengalami sengketa yang sama di masa yang akan datang’ (hal.
13-14).
Banyak hal yang bisa diperdebatkan
dalam survey ini, namun paling tidak, indikasi-indikasi ini menunjukkan suatu
pernyataan sikap kepuasan terhadap peradilan agama sangat baik. Dari presfektif
ini, menurut para penulis buku ini, Peradilan Agama dapat dilihat sebagai
institusi peradilan yang paling berhasil. Hal ini dalam beberapa hal sangat
ironis, sebagaimana peradilan ini secara historis telah lama diabaikan oleh
pemerintah karena dianggap tidak lebih penting dari peradilan yang lain dan
ketika wajah peradilan di Indonesia dianggap penuh mafia, Peradilan Agama pada
umumnya dianggap tidak korup dan memberikan pelayanan yang baik bagi para
pencari keadilan.
Pembahasan awal buku ini bertujuan
untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang perubahan peranan Peradilan
Agama yang sama sekali tidak mempengaruhi tumbuhnya islamisasi dalam sistem
peradilan di Indonesia.
B.
Peradilan Agama dan Masyarakat Marjinal
Bagian selanjutnya dari buku ini
mencermati peranan krusial yang dilakukan peradilan agama dalam program-program
pembangunan pemerintah dan pengentasan kemiskinan. Bagian ini menguji bagaimana
konsistensi dan korelasi reformasi di Peradilan Agama berkaitan erat dengan
reformasi hukum dan peradilan di Indonesia secara lebih luas, dan telah
menolong para perempuan dan kelompok masyarakat marjinal mendapatkan akses yang
lebih luas dan leluasa terhadap pelayanan-pelayanan publik, khususnya
program-program pengentasan kemiskinan.
Ada tiga perubahan utama yang
dilakukan peradilan agama dalam kurun waktu empat tahun terakhir: Sebuah Survey
bersekala besar yang bertujuan untuk mendapatkan tanggapan balik dari para
klien pengadilan agama tentang persepsi mereka terhadap pelayanan yang
diberikan, Peningkatan transparansi pengadilan melalui publikasi berita dan
informasi yang terperinci tentang hasil kinerja dan berbagai aspek pengadilan,
dan penggunaan tolak ukur yang baru untuk meningkatkan akses yang
selauas-luasnya terhadap pencari keadilan yang biasa termarjinalkan seperti
wanita, orang miskin dan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah terpencil
(hal. 17).
Indonesia adalah negara dengan
kurang lebih 230 juta penduduk, dimana 65 juta diantaranya adalah kepala
keluarga dan 14 % dari kepala keluarga tersebut atau 9 juta diantaranya adalah
wanita dan 94% dari semua wanita kepala keluarga tersebut berada di bawah garis
kemiskinan. Sehingga, ketika Pengadilan Agama memberikan putusan dan
mengeluarkan Akta Cerai maka secara formal mereka dianggap sebagai kepala
keluarga dan bertanggung jawab terhadap kebutuhan sehari-hari mereka. Sehingga
Akta Cerai adalah dokumen kunci bagi para perempuan yang telah lama
ditelantarkan oleh suami-suami mereka untuk mendapatkan akses terhadap berbagai
macam program-program kesejahteraan sosial pemerintah termasuk jaminan
kesehatan masyarakat, beras bersubsidi, bantuan langsung tunai (BLT) dan
subsidi bulanan bagi anak-anak untuk memenuhi wajib belajar sembilan bulan
(hal. 21)
Meskipun terbatasnya
kewenangan,Pengadilan ini termasuk pengadilan yang paling sibuk. Pada tahun
2009 misalnya ada 257,798 perkara yang masuk ke pengadilan agama, bandingkan
dengan 202, 754 kasus yang masuk ke peradilan umum, tentu dengan bobot perkara
yang berbeda. Peradilan Agama menangani perkara yang jumlahnya sangat
besar dalam yuridiksinya. Karena hal ini, reformasi yang sedang dijalankan
Peradilan Agama akan berdampak pada mayoritas pengguna peradilan di Indonesia.
Lebih jauh, Peradilan Agama telah memainkan peranan yang krusial dalam
Pembangunan dan Pengentasan kemiskinan.
Akses terhadap peradilan agama bagi
rakyat miskin telah meningkat sepuluh kali lipat dalam dua tahun terakhir
melalui program berperkara gratis bagi rakyat miskin (disebut perkara prodeo).
Hampir semua kasus-kasus prodeo ini melibatkan wanita sebagai Penggugat. Hal
ini sangat penting karena kasus-kasus hukum keluarga telah membantu wanita
sebagai kepala keluarga (kurang lebih 14% dari 65 juta kepala keluarga di
Indonesia) untuk melegalkan status mereka. Implikasinya, ini akan
memfasilitasi akses-akses program-program kesejahteraan sosial Pemerintah, termasuk
bantuan langsung tunai, jaminan kesehatan, beras bersubsidi dan pendaftaran
anak-anak untuk bersekolah. Meningkatnya kemudahan akses pada Pengadilan Agama
akan membantu memecahkan siklus kemiskinan yang berurat akar bagi
wanita-wanita kepala keluarga.
Jumlah beban perkara Pengadilan
Agama juga merefleksikan bahwa kasus perceraian sekarang ini merupakan perkara
yang paling banyak dalam sistem peradilan di Indonesia yaitu 50% dari semua
perkara yang masuk di semua lingkungan peradilan diikuti 33% kasus-kasus
kriminal. Dominannya perkara perceraian lebih mencolok lagi dalam konteks
peradilan perdata, pada tahun 2009 misalnya dengan jumlah seluruh kasus perdata
310,000 kasus, 230,000 kasus diantaranya adalah kasus perceraiain, atau sekitar
74% dari total perkara perdata yang masuk ke seluruh pengadilan di Indonesia.
Sebagaimana diketahui Peradilan Agama hanya memutus perkara perceraian bagi
orang-orang muslim, sedangkan non-muslim di peradilan umum, dimana pada tahun
yang sama peradilan agama memutus 98% dan peradilan umum 2%.
Semua beban perkara di peradilan
agama ditangani para hakim tingkat pertama. Pada tahun 2009 Kurang dari 1 %
dari semua kasus yang ditangani mengajukan banding dan pada tingkat Mahkamah
Agung hanya 0,3% perkara yang mengajukan kasasi. Ini adalah sebuah indikasi
bahwa kepuasan para pihak yang berperkara terhadap putusan pengadilan.
Meskipun tentu saja, ada kemungkinan dikarenakan ketidak mampuan para
pihak untuk membayar biaya perkara pada pengadilan tingkat lanjut, mengingat
para pihak yang berperkara di peradilan agama adalah masyarakat miskin.
Dalam hal transparansi dan
keterbukaan informasi , pada tahun 2005 Direktorat Jendaral Peradilan Agama
Mahkamah Agung tidak mempunyai wabsite, apalagi 372 Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, namun saat ini lebih dari 300 website
di seluruh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dengan informasi yang
melimpah tentang kinerja pengadilan, statistik penangan perkara, putusan dan
keadaan para pegawai pengadilan dapat diakses secara online dengan sangat
mudah.
Perubahan-perubahan yang dicapai
oleh Peradilan Agama sejak masa reformasi 1998 sesuai dengan Pengembangan
Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan dan Instuksi Presiden yang
menghubungkan Akses terhadap Keadilan dengan program-program pengentasan
kemiskinan. Hal ini mengangkat profil peradilan agama sebagai sebuah
institusi penting untuk memperluas partisipasi negara dalam
program-program pro-rakyat miskin karena kewenangannya dalam menangani
perkara-perkara perdata tertentu.
Dengan menegaskan peranan baru pada
era reformasi sebagai yang terdepan dalam sistem peradilan berkeadilan sosial
dan reformasi-reformasi akses terhadap keadilan, Peradilan Agama di bawah
supervisi Mahkamah Agung sekarang berdiri sebagai model, bagi pembaharuan
peradilan di Indonesia dan bahkan memberikan pelajaran berharga bagi
peradilan-peradilan Islam di dunia muslim, yang rata-rata masih konservatif
secara sosial dan agama dibandingkan di Indonesia.
0 Response to "Peradilan Islam Indonesia"
Posting Komentar