BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Imam Abu Hanifah adalah
salah seorang imam yang empat dalam sejarah islam, ia lahir dan meninggal lebih
dahulu dari para imam-imam yang lain. Karena dialah yang kita bicarakan lebih
dahulu dari imam-imam yang lain. Imam Abu Hanifah seorang berjiwa yang besar,
dalam arti kata seorang yang berhasil dalam hidupnya, dia seorang yang bijak
dalam bidang ilmu pengetahuan tepat dalam memberikan sesuatu keputusan bagi
sesuatu masalah atau peristiwa yang dihadapi.
Karena dia seorang yang
berakhlak atau berbudi pekerti yang luhur, ia dapat menggalang hubungan yang
erat dengan pejabat pemerintah, ia mendapat tempat yang baik dalam masyarakat
pada masa itu, sehingga beliau telah berhasil menyandang jabatan atau gelar
yang tertinggi yaitu imam besar (Al-Imam Al-‘Adham) atau ketua Agung. Imam Abu
Hanifah terkenal sebagai orang ahli dalam ilmu Fiqh di negara Irak, beliau juga
juga sebagai ketua kelompok ahli fikri (Ahlu-Ra’yi).[1]
Ia mendapat penghargaan masa itu, seorang utusan yang di antar oleh Abdullah
bin Al-Mubaraq (seorang pejabat ketika itu) berkata: “imam Abu Hanifah adalah
akal ilmu pengetahuan” dan perutusan lain pun berkata ia sebagai pakar dalam
ilmu Fiqh. [2]
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini
adalah:
1.
Biografi Abu Hanifah
2.
Prinsip-prisip yang dipegang
abu hanifah
3.
Metode istinbath yang digunakan
Abu Hanifah
4.
Ciri dan contoh ijtihat Abu
Hanifah
5.
Perbedaan Istinbath Abu Hanifah
Dengan Imam Mazhab Yang Lain
6.
Murid Dan Pengembang Mazhab
sesudah Abu Hanifah Serta Buku Utama mazhab.
BAB II
Kajiaan Teoritis
A.
Biografi Abu Hanifah
Nama Lengkapnnya adalah
Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit bin Zauthi At-Taimi Al-Kufi, Kepala suku dari
bani Tamim bin Tsa’labah, ada yang mengatakan bahwa sebab penamaan dengan Hanifah
adalah karena dia selalu membawa tinta yang disebut Hanifah dalam
Bahasa Irak.[3]
Dia dilahirkan di Kufah
pada tahun 80 hijriah bersamaan 699 masehi,[4]
saat pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan, dan hidup dalam keluarga kaya yang shaleh, dan
ia terkenal dengan sebutan Imam Ahlu al-Ra’yi (imam ahli logika).[5]
Dia menghafal al-Qur’an sejak masa kecil dan merupakan orang yang pertama
belajar Hukum Islam dengan cara berguru .pada saat itu dia masih sempat melihat
sahabat Nabi Anas bin Malik, ketika Anas r.a dan rombongannya datang ke Kufah,
akan tetapi ada yang menyangkal berita ini dan mengatakan bahwa berita imam Abu
Hanifah bertemu dengan sahabat Nabi Anas adalah tidak benar.[6]
Pada umur 22 tahun Abu
Hanifah belajar kepada Hammad bin Abi Sulaiman, yaitu selama 18 tahun hingga
gurunya wafat. Dia mempelajari Fiqh Iraqi, yang merupakan saripati Fiqh Ali,
Ibnu Mas’ud dan fatwa An-Nakha’iy. Dari Atha beliau menerima ilmunya Ibnu Abbas
dan Ibnu Umar, kemudian Abu Hanifah belajar pada ulama-ulama lain yang ada di
mekkah dan madinah. Abu Hanifah berkata: aku berada dalam tambang ilmu dan
fiqh, aku menghadiri majlis ulama dan aku taat serta tekun kepada mereka.[7]
Hal tersebut menunjukkan bahwa Abu
Hanifah hidup dalam zaman keemasan ilmu pengetahuan, guru-gurunya juga terdiri
atas berbagai golongan, seperti golongan jama’ah, Imamiyyah dan Zaidiyyah.
Oleh karena itu, Abu Hanifah boleh dikatakan boleh dikatakan belajar dari
murid-murid Umar, Ali, dan Ibnu Mas’ud Radhiallahu anhum. Mereka adalah sahabat
Rasulullah SAW. Yang Mempergunakan daya akalnya untuk ijtihad. Abu Hanifah
dengan beberapa sahabat Rasul, seperti Anas bin Malik (W. tahun 93 H), Abdullah
bin Abi Aufa (W. tahun 87 H), Watsilah bin Asqa’ (W. tahun 85 H), Abu Thufail
Amir (W.tahun 102 H) dan Sahal bin Sa’ad (W.tahun 88). Namun, Abu Hanifah tidak
menerima hadis dan meriwayatkan dari mereka.[8]
Dengan demikian Abu Hanifah dapat dimasukkan dalam golongan Tabi’in.
Selain itu, Abu Hanifah
adalah seorang Mujtahid yang ahli ibadah sebagai mana disebutkan dalam kitab I’aanatuth
Thaalibin : bahwasannya Imam Abu Hanifah adalah seorang ahli ibadah,
ahli zuhud, dan seorang yang sudah mencapai tingkat ma’rifat kepada Allah SWT.
B.
Guru-guru Abu Hanifah
Menurut sebagian dari
ahli sejarah bahwa beliau mempelajari ilmu fiqh dari Ibrahim, Umar, Ali bin Abi
Thalib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas. Diantara para gurunya
adalah Hamad Bin Abu Sulaiman Al-Asya’ari beliau banyak memberi pelajaran
kepadanya. Abu Hanifah telah mendapat kelebihan dalam ilmu fiqh, dan juga
tauhid dari gurunya.[9]
Setelah meninggal gurunya beliau menggantikan gurunya untuk mengajar ilmu fiqh.
Namanya terkenal keseluruh dunia pada masa itu .
Imam abu Hanifah juga
mempelajari Ilmu tajwid dari gurunya yang bernama Idris bin Asir yang alim
dalam ilmu tajwid, beliau amat berpengaruh kepada gurunya Ibrahim An-Nukha’ii.[10]
C.
Murid-murid Abu Hanifah
Diantara beberapa murid Abu Hanifah yang terkenal adalah Abu Yusuf
Ya’qub Al-Anshari, dengan pengaran dan bimbingan dari gurunya ia terkenal
sebagai seoarang alim dalam ilmu fiqh dan diangkat menjadi Qhadi semasa
khalifah Al-Mahdi dan Al-hadi dan juga pada masa Al-Rasyid pada masa
pemerintahanAbbasiyyah. Diantara karyanya adalah : Al-Kharaj, Al-Athar,
dan Arras ‘ala siari Al-Auzali.
Diantara murid yang lain adalah al-hazali dia tidak banyak mengarang
buku, dia banyak memberikan pelajaran dengan mengajar cara lisan saja.
Begitu juga dengan Al-Hasan bin Ziad al-Lu’lu mereka juga termasuk
diantara muridnya juga yang menjadi Qhadi di Kufah, adapaun karangan nya adalah
Al-Qadhi, Al-Khisal, Ma’ani Al-Iman, An-Nafaqat, Al-Kharaj, Al-Fara’aid,
Al-Wasaya dan Al-Amani.
Walaupun Abu Hanifah tidak banyak mengarang sebuah kitab untuk
mazhabnya namun mazhabnya tetap terkenal disebabkan murid-muridnya atau anak
didiknya yang menulis kitab-kitab untuk mazhabnya terutama sekali Abu Yusuf
Muhammad dan lai-lain.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Pengembangan Fiqh Oleh
Abu Hanifah
1.
Prinsip-prinsip yang
Dipegang Abu Hanifah
a.
Lafadz ‘Am dalalahnya adalah
Qhat’i
b.
Mazhab sahabi dapat
mrntakhshiskan yang ‘am bila bertentangan
c.
Banyak perawi tidak menjamin
terhadap kesahihan hadis
d.
Tidak menerima hadis ahad
e.
Amar sudah pasti menunjukkan
wajib selama tidak ada penyanggah
f.
Bila bertentangan riwayat dan
perbuatan seorang perawi, maka yang menjadi pegangan adalah perbuatan perawi
g.
Berpegang kepada istihsan
h.
Meninggalkan qiyas jika
diperlukan
Abu hanifah menyatakan istihsan itu Sembilan sepersepuluh ilmu, oleh
sebab itulah istihsan mendominasi dalam ijtihad Mazhab abu Hanifah
2.
Metode Istinbath yang
digunakan Abu Hanifah
Thaha Jabir
Fayadl al-’Ulwani, sebagaimana yang dikutip oleh Jaih Mubarak, membagi metode
ijtihad Imam Abu Hanifah menjadi dua,yaitu cara ijtihad yang pokok dan cara
ijtihad yang merupakan tambahan. Cara ijtihadnya yang pokok dapat dipahami dari
ucapan beliau sendiri, yaitu:
انى آخذ بكتاب الله اذا وجدته، فما لم اجده فيه
اخذت بسنة رسول الله والآثار الصحاح عنه التى فشت في ايدى الثقات. فاذا
لم اجد في كتاب الله و سنة رسول الله صلى الله عليه و سلم اخذت بقول اصحابه اخذت
بقول ما شئت ثم لا اخرج عن قولهم الى قول غيرهم، فاذا انتهى الامر الى ابراهيم
والشعبي وابن المسيب (عدد رجالا) فاجتهد كما اجتهدوا…
“Sesungguhnya aku (Abu Hanifah) merujuk kepada Al-Qur’an
apabila aku mendapatkannya; apabila tidak ada dalam Al-Qur’an, aku merujuk
kepada sunnah Rasulullah SAW dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh
orang-orang tsiqah. Apabila aku tidak mendapatkan dalam Al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah, aku merujuk kepada qaul sahabat, (apabila sahabat ikhtilaf), aku
mengambil pendapat sahabat yang mana saja yang ku kehendaki, aku tidak akan
pindah dari pendapat yang satu ke pendapat sahabat yang lain. Apabila
didapatkan pendapat Ibrahim, Al-Sya’bi dan ibnu Al-Musayyab, serta yang
lainnya, aku berijtihad sebagai mana mereka berijtihad.”[11]
Sahal ibn
Muzahim, sebagaimana yang dikutip oleh Hasbi ash-Shiddieqy, menerangkan bahwa
dasar-dasar (sumber-sumber) hukum Abu Hanifah dalam menegakkan fiqih adalah:
“Abu Hanifah memegangi riwayat orang yang terpercaya dan menjauhkan diri dari
keburukan serta memperhatikan muamalat manusia dan adat serta ‘uruf mereka itu.
Beliau memegang Qiyas. Kalau tidak baik dalam satu-satu masalah didasarkan
kepada Qiyas, beliau memegangi istihsan selama yang demikian itu dapat
dilakukan. Kalau tidak, beliau berpegang kepada adat dan ‘uruf. Ringkasnya,
dasar (sumber-sumber) hukum Abu Hanifah, ialah:
a.
Al-Quran
Hukum-hukum yang telah ditemukan dalam
Al-Quran, maka beliau tidak mau pindah pada sumber yang lainnya, sebab Al-Quran
merupakan pokok dalam syariat islam yang bersifat pasti (Qath’i) hal ini sudah
menjadi konsensus para ulama.
b. Hadits
Hukum yang tidak
ditemukan dalam Al-Qur’an dan ditemukan dalam
Al-hadits maka itulah yang dipegang oleh beliau sebagai sumber syari’at. Kendati demikian beliau dalam
pengambilan hadits sebagai hujjah sangat selektif, tidak serta merta
mengambilnya begitu saja. Prinsip yang menjadi komitmennya adalah tidak mau menerima hadits Nabi kecuali
diriwayatkan dari golongan ke golongan (hadits mutawatir). Atau hadits yang
diriwayatkan oleh salah satu shahabat yang tidak kontra dengan shahabat lainnya
(hadits masyhur). Ia tidak mau mengambil hadits Ahad kecuali bila rawinya adil
dan bisa dipertanggung jawabkan.
c. Konsensus Shahabat (Ijma’)
permasalahan-permasalahan yang menjadi perselisihan para
shahabat, maka pertama kali yang menjadi prinsipnya adalah mengasah analisanya
kepada pendapat mereka. kemudian menyeleksi dari pendapat-pendapat tersebut
sesuai dengan hasil ijtihadnya dan ia tidak keluar dari pendapat mereka. Serta
masih menjadikan qaul shahabat sebagai hujjah yang lebih diprioritaskan daripada qiyas.
Adapun pendapat tabi’in
tidak dijadikan sebagai
hujjah kecuali sesuai dengan hasil ijtihadnya. Dan terkadang ia berpendapat
yang tidak mereka ungkapkan .
d.
Qiyas,
betapa pun Abu Hanifah terkenal dengan madzhab
rasionalis, acap kali menyelami dibalik ilat dan arti suatu hukum serta sering
menggunakan qiyas, tetapi tidak berarti ia telah mengabaikan nash-nash Al
qur’an dan hadits atau meninggalkan hadits dan atsar. Tidak ada riwayat yang shaheh yang
menyebutkan Abu Hanifah mendahulukan rasio dari pada sunah ketika masih di
temukan dari sunah tersebut.
e. Istihsan.
Tidak ada satu pun ulama’ kecuali menggunakan jalan istihsan
sebagai metodologi. Hanya saja mereka tidak menamakan dengan nama istihsan, akan tetapi dimasukkan dalam bab-bab lain seperti istishlah
atau maslahah mursalah. Beliau yang lebih banyak menggunakan metode
istihsan dari pada ulama’ yang lain.
f. Urf.
Menurutnya urf yang shahih dijadikan
rujukan hukum dan merupakan salah satu sumber untuk mengembangkan furu’-furu’. Beliau lebih mendahulukan urf dari pada qiyas
ketika terjadi pertentangan. Beliau orang yang terkenal, mahir dalam fiqh
islami. Ketika dihadapkan hadits yang shahih maka ia mampu mengeluarkan
hukum-hukum fiqh darinya dengan kecerdasan akal pikirannya. Hal ini pernah dibuktikan:
Pada
satu ketika A’masy (salah satu pakar hadits) menanyakan
permasalahan-permasalahan, kemudian Abu Hanifah menjawabnya.
A’masy bertanya lagi sambil menyangsikan jawabannya.”
Dari mana hukum ini engkau dapatkan?
“Abu Hanifah menjawab: “Hukum ini aku dapatkan dari hadits yang diriwayatkan
dari Ibrahim dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Sya’bi. A’masy berkata:
"Wahai para pakar fiqh, engkau adalah seorang dokter dan kami adalah ahli
obatnya
Abu
Hanifah tidak bersikap fanatik terhadap pendapatnya. Ia selalu mengatakan,
“Inilah pendapat saya dan kalau ada orang yang membawa pendapat yang lebih
kuat, maka pendapatnya itulah yang lebih benar.” Pernah ada orang yang berkata
kepadanya, “Apakah yang engkau fatwakan itu benar, tidak diragukan lagi?”. Ia
menjawab, “Demi Allah, boleh jadi ia adalah fatwa yang salah yang tidak
diragukan lagi”[12].
Dari keterangan
di atas, tampak bahwa Imam Abu Hanifah dalam beristidlal atau menetapkan hukum
syara’ yang tidak ditetapkan dalalahnya secara qath’iy dari Al-Qur’an atau dari
hadits yang diragukan keshahihannya, ia selalu menggunakan ra’yu. Ia sangat
selektif dalam menerima hadits. Imam Abu Hanifah memperhatikan muamalat
manusia, adat istiadat serta ‘urf mereka. Beliau berpegang kepada qiyas dam
apabila tidak bisa ditetapkan berdasarkan qiyas, beliau berpegang kepada
istihsan selama hal itu dapat dilakukan. Jika tidak, maka beliau berpegang
kepada adat dan ‘urf. Dalam menetapkan hukum, Abu Hanifah dipengaruhi oleh
perkembangan hukum di Kufah, yang terletak jauh dari Madinah sebagai kota
tempat tinggal Rasulullah SAW yang banyak mengetahui hadits. Di Kufah kurang
perbendaharaan hadits. Di samping itu, Kufah sebagai kota yang berada di tengah
kebudayaan Persia, kondisi kemasyarakatannya telah mencapai tingkat peradaban
cukup tinggi. Oleh sebab itu banyak muncul problema kemasyarakatan yang
memerlukan penetapan hukumnya. Karena problema itu belum pernah terjadi di
zaman Nabi, atau zaman sahabat dan tabi’in, maka untuk menghadapinya memerlukan
ijtihad atau ra’yu. Di Kufah, sunnah hanya sedikit yang diketahui di samping
banyak terjadi pemalsuan hadits, sehingga Abu Hanifah sangat selektif dalam
menerima hadits, dan karena itu maka untuk menyelesaikan masalah yang aktual,
beliau banyak menggunakan ra’yu.[13]
3.
Ciri dan contoh Ijtihad
Abu Hanifah
Abu Hanifah dikenal sebagai Ahli Ra`yi dalam
menetapkan hukum Islam, baik yang diistimbathkan dari Al-Quran atau pun hadis.
Beliau banyak menggunakan nalar. Beliau mengutamakan ra`yi ketimbang khabar
ahad. Abu Hanifah dalam berijtihad menetapkan suatu hukum berpegang kepada
beberapa dalil syara' yaitu Al-Qur'an, Sunnah, Ijma' Sahabat, Qiyas, Istihsan,
dan 'Urf.[14]
Fiqh Imam Abu
Hanifah dilandaskan pada prinsip menghormati kebebasan setiap orang untuk
menentukan kemauan sendiri. Di bawah ini akan dipaparkan beberapa contoh ijtihad
Abu Hanifah, diantaranya :
1.
Menganjurkan persamaan antara
pria dan wanita, di zaman ketika kaum wanita mulai berubah kedudukannya hanya
sebagai alat kesenangan, ia menfatwakan bahwa gadis yang sudah dewasa boleh
menikahkan dirinya sendiri, ia bebas memilih suami, ia memfatwakan juga bahwa
tidak dibenarkan adanya pingitan/ hijr, terhadap seorang, sebab pingitan
memperkosa kemanusiaan dan menghancurkan keinginan.
2.
Abu hanifah memfatwakan bahwa
harta kekayaan milik orang yang berutang tidak boleh diblokir/ditahan, dan
boleh digunakan pemiliknya, kendati utangnya sebesar semua harta kekayaan yang
dimilikinya, tindakan seperti itu sama
artinya dengan merampas kemerdekaannya.
3.
Mengenai masalah kehidupan yang
dapat mengurangi atau meniadakan kemerdekaan manusia, Abu Hanifah memfatwakan
agar kemerdekaan manusia dihormati dan dijamin, karena meniadakan kemerdekaan
manusia merupakan perbuatan menyakiti hati yang tiada taranya.
4.
Imam abu hanifah Juga
memfatwakan soal yang memudahkan manusia untuk melaksanakan ajaran Agama, dan
memudahkan kehidupa, maka ia berpendapat bahwa keraguan tidak menghapuskan
keyakinan, sebagai contoh jika orang salah berwudhu kemudian dia meragukan
keabsahannya wudhunya karena merasa seolah-olah sudah terkena hadas, (lupa-lupa
ingat) maka wudhunya tetap sah, karena keraguannya tidak menghapuskan
keyakinan.
5.
Fatwa yang lain tentang: tidak
seorang pun berhak melarang orang lain menggunakan apa yang dimilikinya, tidak
seorangpun berhak menetapkan kekafiran seoarng muslim selagi ia masih tetap
beriman kepada Allah dan RasulNya, kendati ia telah berbuat berbagai macam
maksiat. Barang siapa yang mengkafirkan orang muslim ia berdosa.[15]
6.
Abu Hanifah menfatwakan bahwa
surah al-Fatihah dan lainnya, yang bacaannya dibacakan oleh Imam (dalam shalat
berjamaah), tidak hars lagi diucapkan oleh Makmum, karena cukup dibacakan oleh
Imam.[16]
4.
Perbedaan Istinbath Abu
Hanifah Dengan Imam Mazhab Yang Lain
a)
Manhaj/metode Abu Hanifah dalam
mengistinbathkan hukum adalah Al-Qur’an, Hadis, Pendapat Sahabat, Qiyas,
Istihshan, Ijma’ Dan Uruf, Mazhab Hanafi Mulai tersebar di Kuffah, Bagdad,
Mesir, Syam, Persia, Romawi, Yaman, India dan China.
b)
Istinbath Mazhab Maliki adalah
Al-Qur’an, Hadis, Amalan Penduduk Madinah, Fatwa Sahabat, Mashalih Murshalah,
Istihshan, Sadd Al-Zarai, Uruf, mazhab ini berkembang besar dinegeri Hijaz,
Mesir, Tunisia, Aljazair, Maroko, Tripoli, Sudan, Bashran, Dan Bagdad.
c)
Sumber Hukum Imam Syafi’I
Nash-nash (Al-Qur’an Dan Hadis), Ijma’, Pendapat Para Sahabat, Qiyas,
penyebaran Mazhab Syafi’I di Irak, Mesir, Kawasan Khurasan, Palestina, Yaman,
Persia, Pakistan, Srilanka, India, Indonesia, Australia
d)
Dasar mazhab hanbali adalah
Nash Al-Qur’an dan Hadits, fatwa sahabat yang tidak ada penetangnya, (dia tidak
menamakannya dengan ijma’ tapi wara’), jika sahabat berbeda pendapat maka
beliau memilih salah satunya jika sesuai dengan al-qur’an dan hadits, kemudian
menggunakan hadits mursal, dan hadits dha’if jika tidak ada dalil lainyang
menguatkannya, dan didahulukan dari pada Qiyas (hadits Dha’if yang diterima adalah
jika orang/rawi yang belum mencapai derajat tsiqah tapi tidak sampai dituduh
berdusta), sumber lain dalah qiyas. Penyebaran mazhab Hanbali di Irak, Mesir,
Semenanjung Arab dan Syam, dan menjadi mazhab resmi Kerajaan Saudi Arabia.[17]
Berikut adalah perbedaan
mazhab Abu Hanafi dengan mazhab yang lain dalam istilah-istilah Fiqh, yaitu:
a.
Fardu Dan wajib mempunyai makna
yang sama menurut jumhur ulama selain kalangan Hanafiah, menurut mazhab Hanafi,
pengertian Fardu adalah kewajiban yang dituntut dengan dalil yang Qhat’I
(pasti), semisal Shalat, Haji, zakat, sedangkan wajib adalah kewajiban yang
dituntut dengan dalil Zhanni (ada kesamaran), seperti Khitan, Akikah dan
Lain-lain.
b.
Jumhur ulama selain kalangan
malikiyah menyamakan istilah Sunnah dengan Mandub, Nafilah, Mustahab, Tathawu’,
murghab fih, Ihsan dan husn. Sedangkan menurut Hanafiah adalah suatu yang terus
dilakukan oleh Rasulullah SAW. Namun kadang-kadang beliau meninggalkannya tanpa
uzur, mandub dan mustahab adalah suatu yang rasulullah tidak terus menerus
melakukannya meskipun beliau tidak mengerjakan sesudah menggemarkannya pada
orang lain.
c.
Menurut mazhab Hanafi, makruh
terbagi dua yaitu makruh tahrim dan makruh tanzih, makruh tahrim adalah makruh
yang dilarang dengan dalil yang tidak pasti, contoh, bertunangan dengan
tunangan orang lain, sedangkan makruh tanzih adalah larangan melalui larangan
yang tidak pasti dan tidak mengisyaratkan adanya hukuman seperti memakan daging
kuda dan berwudhu dari bejana, sedangkan jumhur ulama memandang makruh hanya
satu jenis saja.
d.
Rukun menurut ulama Hanafi
adalah suatu yang kewujudan suatu yang lain adalah bergantung pada
kewujudannya, dan ia merupakan bagian dari hakikat itu, menurut jumhur, Rukun
adalah perkara yang menjadi asas bagi kewujudan suatu meskipun ia berada diluar
hakikat sesuatu itu.
5.
Murid Dan Pengembang Mazhab
sesudah Abu Hanifah 13Meskipun beliau seorang ahli fiqih,
keahliannya jarang didapati bandingannya pada masanya dan ahli dalam masalah
teologi, maka dikala itu tidak sedikit para ulama’ yang pernah menjadi muridnya
dan tidak sedikit pula para pakar islam yang mengambil dan menghisap ilmu
pengetahuannya. Namun menurut satu riwayat beliau tidak pernah membukukan
sendiri kitab tentang masalah fiqih, hanya saja dari ashhab-ashhabnya yang
menghimpun dan menyusun perkataan dan buah pikirannya tentang masalah hukum
keagamaan dengan dicampur pendapatnya sendiri.
Para
sejarawan berkata bahwa Abu Hanifah
memiliki karya yang menyinggung masalah keagamaan, seperti kitab Alim Wal
Mutaalim, kitab Al Roddu Alal Qodiriyah dan kitab Fiqih Akbar .
Namun
menurut pendapat yang rajih ia tidak pernah mengarang dan menyusun kitab
yang menyinggung masalah fiqih. Dan kitab Fiqih Akbar seperti yang
disampaikan diatas adalah kitab yang menjelaskan masalah teologi.
Sepanjang
riwayat menyebutkan bahwa para ashhab Hanafi yang membukukan dan mensiarkan mazhab Abu
Hanifah banyak sekali. Dari antara mereka yang masyhur adalah imam Abi Yusuf,
Muhammad bin Hasan Al Syaibani dan Zafr Bin Hudzail.[18] Dikala
Harun Al-Rasyid menjabat selaku kepala negara bagi dunia islam.
ia menyerahkan urusan kehakiman pemerintahannya kepada imam Abu Yusuf salah
satu murid Abu Hanifah yang terkenal.
Maka
segenap urusan kehakiman dalam kerajaan Harun Al-Rasid ada
di tangan kekuasaannya. Ia tidak menyerahkan jabatan itu melainkan orang yang
yang sependirian dengan mazhabnya ( mazhab hanafi). Maka dengan tindakan Abi
Yusuf yang sedemikian itu, maka segenap qadli dan hakim di beberapa daerah
dikala itu pada umumnya terdiri dari ulama’-ulama’ madzhab Hanafi. Dengan
sendirinya kebanyakan orang gemar mempelajari kitab-kitab yang bermadzhab
Hanafi . Dari situ madzhab Hanafi mulai tersebar luas. Sekarang madzhab Hanafi
tersebar luas ke beberapa daerah seperti Iraq, Pakistan, Afganistan, Turki,
Barzil dan Amerika Selatan.
6.
Murid-murid Abu Hanifah.
Murid-muridnya
sebenarnya banyak sekali, namun akan kami sebutkan tiga yang terkenal di manca
negara yaitu Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan Al Syaibani dan Zafru bin Hudzail.
Merekalah murid- murid Abu Hanifah yang mempunyai kelebihan mengabadikan
madzhab Hanafi dengan memodifikasi, menarik kesimpulan, meruntutkan
permasalahannya dan mempublikasikannya kemanca negara.[19]
Abu Yusuf
Nama
lengkapnya adalah Ya’qub bin Ibrohim Al-Anshori. Kakeknya bernama Sa’d bin hatabah
salah satu shahabat anshor. Beliau dilahirkan di kufah pada tahun 112 H. Wafat
ditempat yang sama pada tahun 182 H.[20]
Pada
mulanya ia belajar ilmu fiqh kepada Ibnu Laila.
Kemudian pindah kepada Abu Hanifah. Termasuk muridnya yang mempunyai keilmuan
yang tinggi dan sering diberi uluran dana oleh gurunya (Abu Hanifah) demi
kehidupahn sehari-hari, karena orang tuanya tergolong orang yang fakir.
Diantara gurunya adalah Hisyam bin Urwah, Abu Ishaq Asy Syaibani
, Athok bin Sa’id. Setelah ia belajar dan meriwayatkan hadits darinya,
terpaksa ia harus mengembara kekota madinah untuk
menuntut ilmu Hadist dan fiqih kepada imam Malik. Ia menjabat sebagai
qodli pada tiga fase pada pemerintahan Abasiyah. Pertama ketika
pemerintahan dipegang oleh Al-Mahdi. Kedua ketika pemerintahan dipegang oleh Musa
Al-Hadi. Ketiga ketika pemerintahan dipegang oleh Harun Ar rosyid.
Ia
menjabat sebagai qodli bertepatan pada tahun 166 H. Gelar ini terus ia sandang sampai meninggal dunia pada tahun 182
H. Ia diberi gelar qodli qudlot oleh raja Harun Ar rosyid. Ia orang yang
pertama kali mendapat gelar tersebut. Ia salah satu murid Abu Hanifah yang
sangat terkenal dengan ilmu fiqh Madzhab Hanafi dan banyak meriwayatkan Hadist.
Kealimannya tentang fiqh dan hafal banyak hadist diakui oleh salah
seorang yang bernama Jarud At thobari.
Ibnu
Mu’in, Ibnu Hambal dan imam Madini sepakat bahwa Abu Yusuf
termasuk orang yang dapat dipercaya. Namun
waktu itu ada beberapa hal yang menyebabkan para ulama’ menjauh darinya, antara lain karena
ia sangat liberal dalam berfikir, berteman dengan seorang raja dan menjabat
sebagai seorang qodli.
Muhammad
Hasan Asy-Syaibani
Ia adalah Muhammad bin Hasan Farqath
Asy-Syaibani. Dilahirkan di tanah Wasith pada tahun
132 H. Di tengah-tengah perjalanan orang tuanya dari negara Syam sampai Irak.
Orang tuanya berasal dari sebuah desa kecil yang bernama Harasta yang terletak
di daerah Damaskus (Syiria). Kemudian ia berdomisili di negara Kufah dan
belajar kepada Abu Hanifah. Sayang ia tidak bisa lama belajar dengannya karena
Abu Hanifah terpaksa harus meninggalkannya untuk menghadap Sang Pencipta. Pada
saat ditinggal gurunya, ia masih berusia 18 tahun. Ia juga merupakan salah satu
murid Abu Yusuf. Kemudian ia pindah ke kota Madinah untuk belajar kepada Imam
Malik dan meriwayatkan hadits Muwatha’ darinya.[21]
Beliau
diminta kesediaannya menjadi seorang qadli oleh pemegang pemerintahan (Harun
Al-Rasyid). Kemudian ia uzlah pada tahun 187 H. Lalu kembali ke Baghdad.
Kemudian ia menemani Raja Harun Al-Rasyid bepergian menuju tanah Khurasan,
namun bagaimanapun saja bila ajal telah tiba maka tidak dapat diundur lagi,
akhirnya ia meninggal di tengah-terngah perjalananannya pada tahun 189 H. di tanah
رانبوية Ketepatan,
ia berusia 58 tahun.
Imam
Syafi’i berkata: "Saya
tidak pernah melihat seorang yang lebih alim dengan Kitab Allah dari pada
Muhammad bin Hasan. Seakan-akan Kitab Allah diturunkan kepadanya”.
Karya Muhammad bin Hasan
Beliau wafat pada tahun 189 dengan
meninggalkan beberapa karya. Diantara karyanya yang sangat masyhur ada enam
buah, Kitab Mabsuth merupakan kitab asal, Jami’us Shaghir, Jami’ul
Kabir, Al-Ziyadat, Sayr Shoghir dan Sayr Kabir.
Dua
kitab yang terakhir ini adalah sebuah kitab
yang menjelaskan perundang-undangan mengenai militer. Dari kitab-kitab di atas,
golongan Hanafiah menamakan dengan kitab Zhahir ar-riwayat, karena kitab-kitab
ini diriwayatkan dari Muhammad bin Hasan dengan riwayat orang-orang yang adil.
Tentang keenam kitab di atas, telah dihimpun dan diringkas oleh Muhammad bin
Abdul Hakim yang dikenal dengan nama Al-Marwazi, wafat tahun 433 H. Dengan nama
kitab Kafi yang kemudian kitab Kafi
ini disyarahi dan di komerntari oleh Imam Asy syarkhasi. kitabnya dinamakan
dengan kitab Mabsuth (Sekarang ada 30 jilid).[22]
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Nama Lengkapnnya adalah Abu
Hanifah An-Nu’man bin Tsabit bin Zauthi At-Taimi Al-Kufi, Kepala suku dari bani
Tamim bin Tsa’labah, ada yang mengatakan bahwa sebab penamaan dengan Hanifah
adalah karena dia selalu membawa tinta yang disebut Hanifah dalam
Bahasa Irak
2.
Abu
Hanifah dikenal sebagai Ahli Ra`yi dalam menetapkan hukum Islam, baik yang
diistimbathkan dari Al-Quran atau pun hadis. Beliau banyak menggunakan nalar.
Beliau mengutamakan ra`yi ketimbang khabar ahad. Abu Hanifah
dalam berijtihad menetapkan suatu hukum berpegang kepada beberapa dalil syara'
yaitu Al-Qur'an, Sunnah, Ijma' Sahabat, Qiyas, Istihsan, dan 'Urf
3.
Perbedaan Istinbath Abu Hanifah
Dengan Imam Mazhab Yang Lain
·
Manhaj/metode Abu Hanifah dalam
mengistinbathkan hukum adalah Al-Qur’an, Hadis, Pendapat Sahabat, Qiyas,
Istihshan, Ijma’ Dan Uruf, Mazhab Hanafi Mulai tersebar di Kuffah, Bagdad,
Mesir, Syam, Persia, Romawi, Yaman, India dan China.
·
Istinbath Mazhab Maliki adalah
Al-Qur’an, Hadis, Amalan Penduduk Madinah, Fatwa Sahabat, Mashalih Murshalah,
Istihshan, Sadd Al-Zarai, Uruf, mazhab ini berkembang besar dinegeri Hijaz,
Mesir, Tunisia, Aljazair, Maroko, Tripoli, Sudan, Bashran, Dan Bagdad.
·
Sumber Hukum Imam Syafi’I
Nash-nash (Al-Qur’an Dan Hadis), Ijma’, Pendapat Para Sahabat, Qiyas,
penyebaran Mazhab Syafi’I di Irak, Mesir, Kawasan Khurasan, Palestina, Yaman,
Persia, Pakistan, Srilanka, India, Indonesia, Australia
·
Dasar mazhab hanbali adalah
Nash Al-Qur’an dan Hadits, fatwa sahabat yang tidak ada penetangnya, (dia tidak
menamakannya dengan ijma’ tapi wara’), jika sahabat berbeda pendapat maka
beliau memilih salah satunya jika sesuai dengan al-qur’an dan hadits, kemudian
menggunakan hadits mursal, dan hadits dha’if jika tidak ada dalil lainyang
menguatkannya, dan didahulukan dari pada Qiyas (hadits Dha’if yang diterima
adalah jika orang/rawi yang belum mencapai derajat tsiqah tapi tidak sampai
dituduh berdusta), sumber lain dalah qiyas. Penyebaran mazhab Hanbali di Irak,
Mesir, Semenanjung Arab dan Syam, dan menjadi mazhab resmi Kerajaan Saudi
Arabia.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Asy-Syurbasi, Sejarah Dan Boigrafi Empat Imam Mazhab, cer ke-3, Amzah:
t.p. 2004.
Abdurrahman Asy-Syarqawi, Aimmah al-Fiqh
at-Tis’ah,Terjemahan, Bandung: Hidayah, 2000.
Mujiyono Nurkholis, Kehidupan, pemikiran, dan perjuangan 5 Imam
Madzhab Terkemuka; terjemah A’immatul Fiqh At-Tis’ah. Bandung, t.p,
1994.
Al
Maraghi, Abdullah Mustofa. Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah,Yogyakarta: LKSPM, 2001.
Syeikh Ahmad
Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Cet II, Jakarta: Pustaka Kautsar,
2007.
Jamil Ahmad, Seratus
Muslim Terkemuka, cet ke-9,Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009.
Muhammad Sa’id
Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2008.
Mahmud Syalthut, Fiqh
Tujuh Mazhab, Cet I, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Hepi Andi
Bastoni, 101 Kisah Tabi’in, cet 1, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Al-Hamid
Al-Husaini, A’immah al-Fiqh al-Tis’ah, terjemah, Bandung: Pustaka
Hidayah, 2000.
Masturi Irham, 60
Biografi Ulama Salaf, terjemah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006
Sahliona, Biografi
Tingkatan Perawi Hadits, cet 1, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1999
M. Kaled Muslih, Biografi
10 Imam Besar, terjemah, Jakarta: Pustaka Kautsar, 2005.
Abdul Mughits, Kritik
Nalar Fiqih Pasantren, cet1, Jakarta: Prenada Media Group, 2008.
[1]Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah Dan
Boigrafi Empat Imam Mazhab,(Amzah, 2004, Cet ke 4 ) Hal 12
[2]Ahmad Asy-syurbasi, Hal 13
[3]Syeikh Ahmad Farid, 60 Biografi
Ulama Salaf, Cet II (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2007), Hal 169
[4]Jamil Ahmad, Seratus Muslim
Terkemuka, cet ke-9 (Jakarta: Pustaka Firdaus, , 2009) Hal 95
[5]Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokaoh
Besar Islam Sepanjang Sejarah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), Hal 337
[6] Syeikh Ahmad Farid. Hal 169
[7] Mahmud Syalthut, Fiqh Tujuh
Mazhab, Cet I (Bandung: Pustaka Setia, 2000,) Hal 13
[8] Ibid
[9] Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah
Dan Biografi Empat Imam Mazhab, Hal 17
[10] Ibid
[11] Ahmad Asy-Syurbasi, Hal 19
[12]Al Maraghi, Abdullah Mustofa. Pakar-Pakar
Fiqh Sepanjang Sejarah,(Yogyakarta: LKSPM. 2001). Hal 74
[13] Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta, pustaka Firdaus,
, 2009. Hal 123
[15]Abdurrahman Asy-Syarqawi, Aimmah al-Fiqh at-Tis’ah, Terjemahan,(Bandung:
Hidayah, 2000), hal 253-254
[16]Mujiyono
Nurkholis, Kehidupan, pemikiran, dan perjuangan 5 Imam Madzhab Terkemuka;
terjemah A’immatul Fiqh At-Tis’ah (Bandung,1994), hal.46
[19]Ahmad Asy-Syurbasi, hal. 97
[20]Syaikh Ahmad Farid. Hal. 180
[21]Ahmad Asy-Syurbasi, hal. 88
[22]Hepi Andi Basyoni, 101
Kisah Tabi’in, cet 1, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2006),45
0 Response to "pengembangan Fiqh Oleh Abu Hanifah"
Posting Komentar