Ilmu Kemanusiaan

blogger templates
1.      Apa saja yang dapat dikategorikan sebagai “Ilmu-Ilmu Kemanusiaan”, sehingga ia perlu dipelajari di jenjang S2 studi agama? Uraikan.
Jawab:
Ilmu-Ilmu Kemanusiaan atau sering disebut juga dengan ilmu sosial (social science) adalah sekelompok disiplin akademis yang mempelajari aspek-aspek yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan sosialnya.
Ilmu sosial ini lahir dari filsafat manusia yang mana disebabkan oleh rasa ingin tahu manusia akan dirinya sendiri, karena manusia cenderung untuk hidup berkelompok sehingga ia disebut sebagai makhluk sosial (zoon political), kemudian dinamika dalam kehidupan manusia juga tidak teratur, berbeda dengan hukum alam yang bersifat pasti dan teratur, padahal manusia itu sendiri juga bagian dari alam. Hal ini bagi manusia sebagai makhluk yang berfikir dianggap unik, sehingga muncullah ilmu-ilmu kemanusiaan ini.
Adapun yang dapat dikategorikan sebagai ilmu-ilmu kemanusiaan antara lain adalah sebagai berikut:
a.       Anthropologi.
Anthropologi mempelajari manusia dan budayanya. Anthropologi bertujuan memahami objek yang dikaji secara totalitas, dari  masa lalu yang lebih awal dari kehidupan manusia sampai sekarang, memahami manusia sebagai eksistensi biologis dan kultural. Anthropologi mencoba menyingkap asal-usul, perkembangan, perubahan, saling hubungan, fungsi dan arti dari fenomena manusia. Dengan demikian, kajian anthropologi bersifat holistik dan berwawasan budaya.
Demikian juga kajian anthropologi terhadap agama, kehidupan beragama ditelusuri dari zaman prasejarah sampai masa modern. Berbagai macam kehidupan beragama dipelajari, diperbandingkan seobjektif mungkin, dan ditinjau secara holistik, yaitu mempelajari fungsi dan kaitannya dengan aspek budaya yang lain.[1] Ilmu Anthropologi menekankan kepada nilai-nilai intrinsik kemanusiaan, seperti melihat kepada kepercayaan (bealive) manusia atau ritualnya.
b.      Sosiologi.
Sosiologi adalah suatu kajian ilmiah tentang kehidupan masyarakat manusia. Sosiolog (ahli sosiologi) berusaha mengadakan penelitian yang mendalam tentang hakikat dan sebab-sebab dari berbagai keteraturan pola pikiran dan tindakan manusia secara berulang-ulang. Sosiolog hanya tertarik pada pikiran dan tindakan yang dimunculkan seseorang sebagai anggota suatu kelompok atau masyarakat.[2]
Sosiologi agama cenderung membahas suatu gejala keagamaan sebagai sains. Sebagai ilmu yang ingin menjadi sains, sosiologi juga berusaha memahami fenomena sosial keagamaan dalam bentuk teori yang mengungkapkan hubungan sebab akibat atau hubungan antara variabel dependen dan variabel independen.[3]
c.       Ilmu Jiwa.
Ilmu jiwa agama mengkaji fenomena keagamaan dari segi tipe kejiwaan manusia beragama dan perubahan-perubahannya karena pengaruh lingkungan.
d.      Ilmu Politik.
Ilmu politik juga banyak yang menjadikan kepercayaan dan organisasi keagamaan sebagai objek studinya, tetapi dalam hubungannya dengan kekuasaan politik.
e.       Ilmu Sejarah.
Istilah sejarah adalah terjemahan dari kata tarikh (bahasa Arab), history (bahasa Inggris) dan geshichte (bahasa Jerman). Semua kata tersebut berasal dari bahasa Yunani, yaitu istoria yang berarti ilmu. Definisi sejarah yang lebih umum adalah masa lampau manusia, baik yang berhubungan dengan peristiwa politik, sosial, ekonomi, maupun gejala alam. Definisi ini memberi pengertian bahwa sejarah tidak lebih dari sebuah rekaman peristiwa masa lampau manusia dengan segala sisinya.[4]
Kajian sejarah terhadap agama hampir sama dengan anthropologi, tetapi kasus yang diteliti adalah kasus masa lampau, sedangkan anthropologi meneliti kasus yang sedang berlangsung tanpa mengabaikan penelusurannya secara historis.[5]
f.        Ilmu Hukum.
Manusia dalam kehidupannya mempunyai kepentingan-kepentingan. Kepentingan tersebut haruslah diatur, dari sinilah lahirnya ilmu hukum. Pada prinsipnya hukum bermakna norma yang disepakati kebenarannya. Nilai atau norma manusia baru bisa terbangun dengan adanya kesadaran individual dan komunal.
g.      Ilmu Komunikasi.
Dalam interaksinya, baik antar individu atau antar individu dengan kelompok, manusia perlu untuk menyampaikan pesan kepada orang lain, apakah pesan itu secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hal inilah ilmu komunikasi ini diperlukan.
Ilmu-ilmu kemanusiaan tersebut perlu untuk dipelajari dalam studi agama, agar agama itu dapat berelevansi dalam kehidupan manusia. Dalam artian, orang bisa menerapkan agama di dalam setiap aspek kehidupan mereka, jangan agama hanya berlaku di tempat-tempat peribadatan saja, tetapi kita juga bisa menerapkan nilai-nilai ajaran agama dalam kehidupan. Kalau tidak melihat agama dari segi ilmu-ilmu kemanusiaan tersebut, praktis agama hanya menjadi sebuah dongeng atau pelipur lara saja.



2.      Sejauh mana disiplin ilmu ini diharapkan akan dapat membantu para mahasiswa, sarjana dan ‘ulama untuk memahami lebih mendalam tentang agama yang diperlukan?
Jawab:
Ilmu-Ilmu Kemanusiaan atau sering disebut juga dengan ilmu sosial (social science) adalah sekelompok disiplin akademis yang mempelajari aspek-aspek yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan sosialnya.
Ilmu sosial ini lahir dari filsafat manusia yang mana disebabkan oleh rasa ingin tahu manusia akan dirinya sendiri, karena manusia cenderung untuk hidup berkelompok sehingga ia disebut sebagai makhluk sosial (zoon political), kemudian dinamika dalam kehidupan manusia juga tidak teratur, berbeda dengan hukum alam yang bersifat pasti dan teratur, padahal manusia itu sendiri juga bagian dari alam.
Fenomena keagamaan adalah gejala universal dan unik serta penuh misteri, sehingga berbagai ilmu sosial tertarik untuk mempelajarinya. Ahli sejarah, filsafat, linguistik, psikologi, serta ilmu sosial dan humaniora lainnya memperlajari kehidupan beragama. Berkembanglah sosiologi agama, anthropologi agama, psikologi agama, sejarah agama, di samping ilmu agama (teologi) yang memang dikenal khusus mempelajari ajaran agama.[6]
Dengan memahami disiplin ilmu-ilmu kemanusiaan ini, dapat membantu para mahasiswa, sarjana dan ulama untuk meningkatkan potensi diri dan membuka wawasan dalam memahami ilmu agama, khususnya agama Islam. Dan dengan mempelajari disiplin ilmu ini akan memudahkan untuk mempelajari ajaran-ajaran agama, karena ajaran-ajaran agama tersebut lebih mudah dipahami jika kita mendekatinya dengan ilmu-ilmu kemanusiaan. Kita akan mengerti bahwa agama bukanlah sekedar kepercayaan dan ibadah semata, akan tetapi banyak aspek-aspek kemanusiaan lainnya yang bisa didekati melalui agama, seperti sosial-kemasyarakatan, ekonomi, sejarah, budaya dan sebagainya.
Agama itu untuk manusia, dengan memahami agama kita bisa menikmati hidup ini untuk menjadi khalifah di muka bumi ini, karena tujuan dari agama adalah untuk kemashlahatan umat manusia. Orang yang beragama pasti prospek hidupnya tidak hanya di dunia saja, tetapi juga di akhirat. Sehingga di sinilah timbul pentingnya moral dan akhlak, karena agama mengajarkan moral dan akhlak manusia yang baik.
Jadi ilmu-ilmu kemanusiaan dipelajari dalam studi agama, agar agama itu dapat berelevansi dalam kehidupan manusia. Dalam artian, orang bisa menerapkan agama di dalam setiap aspek kehidupan mereka, jangan agama hanya berlaku di tempat-tempat peribadatan saja, tetapi kita juga bisa menerapkan nilai-nilai ajaran agama dalam kehidupan. Kalau tidak melihat agama dari segi ilmu-ilmu kemanusiaan tersebut, praktis agama hanya menjadi sebuah dongeng atau pelipur lara saja.



3.      Bagaimana cara agama dipelajari sehingga dia memberi ethos (nilai) kepada si pemeluknya?
Jawab:
Secara umum, agama dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia antara manusia dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Di sini agama merupakan sebuah teks suci. Adapun hubungan agama dengan manusia, terutama kegiatan-kegiatan manusia yang menjadi penganut agama, tidak tercakup dalam definisi tersebut.[7]
Agar pemahaman agama dapat memberi ethos (nilai) kepada si pemeluknya adalah dengan cara mempelajari dan mengkajinya secara mendalam sehingga timbul pemahaman bahwa agama itu tidak sempit. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan penelitian terhadap agama, baik melalui pendekatan anthropologi, sosiologi, sejarah, kebudayaan dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Misalnya pendekatan yang digunakan oleh para anthropologi dalam meneliti wacana keagamaan adalah pendekatan kebudayaan, yaitu melihat agama sebagai inti kebudayaan. Nilai-nilai keagamaan tersebut terwujud dalam kehidupan masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat orang melandasi hidupnya pada ethos agama atau budaya. Karena sangat sukar untuk menarik batas antara agama dan budaya. Kita hanya dapat mengatakan bahwa agama adalah keyakinan sedangkan budaya adalah hasil akal pikiran dan prilaku manusia. Suatu keyakinan adalah hal yang mutlak berdasarkan kepercayaan manusia, sedangkan ilmu pengetahuan merupakan hasil karya manusia berdasarkan kenyataan. Namun tidak dapat di bantah baik agama atau budaya berpangkal tolak dari adanya manusia, tidak ada agama tanpa manusia dan karena manusia ada budaya, maka ada agama.[8]
Pada masyarakat yang budayanya masih sederhana apa yang timbul dari emosi keagamaan dan kepercayaannya, kemudian diajarkan dan diwariskan secara tradisional kepada anak cucunya dalam bentuk ungkapan, cerita berirama, dongeng-dongeng suci dan sebagainya secara lisan sampai menyampai. Pada masyarakat yang sudah maju budayanya, sudah mengenal aksara, maka kepercayaan-kepercayaan itu ada yang dituliskan dalam bentuk yang masih sederhana, di atas daun-daunan, pada kulit-kulit kayu kemudian kertas sehingga dibukukan, menjadi buku-buku kesusasteraan suci atau dikeramatkan.
Sebagai contoh dari orang yang melandasi pada kedua nilai tersebut dapat dilihat pada saat ia mengadakan pelaksanaan upacara keagamaan dalam rangka kelahiran, khitanan atau perkawinan yang mana upacara-upacara tersebut tidak lepas dari unsur-unsur kebudayaan, yang mana hal ini terlihat dengan jelas bagaimana nilai-nilai agama itu sangat berkaitan erat juga dengan nilai-nilai kebudayaan.












4.      Uraikan makna “membudayakan agama atau meng-agamakan budaya”? Mana yang lebih “tepat” menurut anda?
Jawab:
Makna dari istilah “membudayakan agama” adalah menjadikan agama sebagai landasan budaya atau dengan kata lain adalah agama yang melahirkan kebudayaan, sehingga nilai-nilai universal yang terkandung di dalam agama dapat diterapkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, membudayakan agama sangatlah penting. Dengan membudayakan agama, kita dapat merasakan secara langsung bagaimana manfaat nilai-nilai dari agama tersebut di dalam kehidupan kita.
Sedangkan “mengagamakan budaya” adalah kita jadikan unsur-unsur kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun sebagai bagian dari aspek agama. Unsur-unsur ini kemudian diterapkan dalam pelaksanaan agama baik yang menyangkut dalam peribadatan maupun yang berhubungan dengan kemasyarakatan.
Dengan demikian, di antara dua istilah tersebut, saya melihat bahwa membudayakan agama lebih tepat untuk kita kembangkan dari pada meng-agamakan budaya. Karena dengan membudayakan agama kita dapat merasakan secara langsung manfaat dari agama tersebut di dalam kehidupan kita.
Sehingga aspek-aspek agama tidak hilang dari kehidupan kita dan selalu terpatri di dalam masyarakat. Sedangkan budaya yang sudah ada secara turun-temurun yang mana budaya tersebut sejalan dengan nilai-nilai agama tetap kita pelihara dan dijaga, tetapi hanya sebatas sebagai kebudayaan kita saja.





5.      Apa yang dapat anda jelaskan tentang “Sejarah tumbuhnya agama”, sejauh yang dapat diamati menurut ilmu-ilmu kemanusiaan?
Jawab:
Sejarah tumbuhnya agama merupakan salah satu dari kajian anthropologi terhadap agama. Untuk memahami fenomena kehidupan beragama, maka perlu memahami latar belakang sejarahnya. Demikian pula fenomena kehidupan beragama yang sangat bermacam ragam, juga dipengaruhi oleh latar belakang sejarah yang berbeda.
Dalam menelusuri asal-usul kenapa manusia beragama, kebanyakan ilmuwan sosial mengembalikannya kepada faktor kelemahan manusia. Sebagaimana dikutip oleh Bustanuddin Agus dari Evans-Pritchard, 1984; Norbeck, 1974, manusia beragama karena beberapa hal berikut:[9]
1.      Tidak mampu mengatasi bencana alam dengan kemampuan sendiri.
2.      Tidak mampu melestarikan sumber daya dan keharmonisan alam, seperti tidak mampu menjamin matahari tetap bersinar dan padi mereka tetap menjadi.
3.      Tidak mampu mengatur tindakan manusia untuk dapat hidup damai satu sama lain dalam masyarakat.
Karena ketidakmampuan itu mereka memercayai adanya kekuatan gaib yang maha mampu menyelamatkan atau membantu mereka. Ini berarti bahwa kepercayaan kepada kekuatan gaib tersebut mereka buat sendiri untuk menjawab misteri kehidupan dan gejala alam.
Dalam perkembangannya, agama sudah dianut sejak masyarakat primitif dalam bentuk kepercayaan dinamisme, animisme dan politeisme. Agama dinamisme mengandung kepercayaan  pada kekuatan gaib yang misterius, animisme adalah agama yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa mempunyai roh, sedangkan politeisme mengandung kepercayaan pada dewa-dewa.
Selanjutnya, dalam masyarakat yang sudah maju agama yang dianut adalah agama monoteisme, agama tauhid. Dasar ajaran monoteisme ialah Tuhan Maha Esa, pencipta alam semesta. Kalau dalam agama-agama sebelumnya asal-usul manusia belum memperoleh perhatian, dalam agama monoteisme manusia telah diyakini berasal dari Tuhan dan akhirnya akan kembali ke Tuhan. Oleh karena itu kesadaran bahwa hidup manusia tidak terbatas hanya pada hidup dunia, tetapi masih ada kehidupan lain sebagai lanjutan hidup pertama, menonjol dengan jelas ke atas. Seterusnya menjadi keyakinan pula dalam agama monoteisme bahwa di antara kedua hidup itu, hidup kedualah yang lebih penting dari hidup pertama. Maka, letak perbedaan antara agama-agama primitif dan monoteisme, dalam agama-agama primitif manusia mencoba menyogok dan membujuk kekuasaan supernaturil dengan penyembahan dan sajian-sajian supaya mengikuti kemauan manusia, sedang dalam agama monoteisme manusia sebaliknya tunduk kepada kemauan Tuhan.[10]
Tujuan hidup beragama dalam agama monoteisme ialah membersihkan diri dan mensucikan jiwa dan roh. Tujuan agama memanglah membina manusia baik-baik, manusia yang jauh dari kejahatan. Oleh sebab itu agama monoteisme erat hubungannya dengan pendidikan moral. Agama tanpa ajaran moral tidak akan berarti dan tidak akan dapat mengubah kehidupan manusia. Maka, tidak mengherankan kalau agama selalu diidentifikasikan dengan moralitas.
Agama-agama yang dimasukkan ke dalam kelompok agama monoteisme, sebagai disebut dalam Ilmu Perbandingan Agama, adalah: Islam, Yahudi, Kristen dan Hindu. Ketiga agama tersebut pertama merupakan satu rumpun (agama samawi), agama Hindu tidak termasuk dalam rumpun ini.
Pada mulanya, Yahudi, Kristen dan Islam berdasar atas keyakinan tauhid atau keesaan Tuhan, tetapi kemurniaan tauhid dipelihara hanya oleh Islam dan Yahudi. Hal ini ditegaskan dalam syahadat-nya Islam dan syema-nya Yahudi, sedangkan monoteisme Kristen dengan faham trinitasnya dan monoteisme Hindu dengan faham politeismenya (trimurti yang terdiri dari Brahma, Wisnu dan Syiwa) tidak dapat dikatakan sebagai monoteisme murni.[11]


6.      Jelaskan kalau ada beda antara agama dan budaya? Atau mana duluan dialami oleh manusia, agama atau budaya?
Jawab:
Agama memiliki pengertian yang berbagai macam, baik ditinjau dari kata ‘al-Din’ yang dari bahasa Arab, ‘religi’ dari bahasa Eropa, maupun dari kata ‘agama’ yang berasal dari bahasa Sanskrit. Intisari yang terkandung dalam istilah-istilah tersebut ialah ikatan. Agama mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. ikatan ini mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Oleh karena itu agama diberi definisi-definisi sebagai berikut:[12]
1.      Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
2.      Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
3.      Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan manusia.
4.      Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
5.      Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari suatu kekuatan gaib.
6.      Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib.
7.      Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8.      Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.
Sedangkan yang dimaksud dengan budaya, dalam literatur anthropologi terdapat tiga istilah yang boleh jadi semakna dengan kebudayaan, yaitu culture, civilization dan kebudayaan. Term kultur berasal dari bahasa latin, yaitu dari kata cultura. Arti kultur adalah memelihara, mengerjakan atau mengolah. Atas dasar arti yang dikandungnya, kebudayaan kemudian dimaknai sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Istilah kedua adalah civilization, berasal dari kata latin yaitu civis. Arti kata civis adalah warga negara (civitas = negara kota dan civilitas = kewarganegaraan). Oleh karena itu, S. Takdir Alisyahbana menjelaskan bahwa sivilisasi berhubungan dengan kehidupan kota yang lebih progresif dan lebih halus. Dalam bahasa Indonesia, peradaban dianggap sepadan dengan kata civilization. Berikut beberapa pengertian kebudayaan menurut S. Takdir Alisyahbana:[13]
1.      Kebudayaan adalah suatu keseluruhan yang kompleks yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda-beda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan segala kecakapan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
2.      Kebudayaan adalah warisan sosial atau tradisi.
3.      Kebudayaan adalah cara, aturan dan jalan hidup manusia.
4.      Kebudayaan adalah penyesuaian manusia terhadap alam sekitarnya dan cara-cara menyelesaikan persoalan.
5.      Kebudayaan adalah hasil perbuatan atau kecerdasan manusia.
6.      Kebudayaan adalah hasil pergaulan atau perkumpulan manusia.
Hal di atas merupakan perbedaan antara agama dan budaya secara terminologi, namun dalam pandangan anthropologi agama, keberadaan agama merupakan bagian dari budaya. Karena kehidupan beragama punya pengaruh terhadap aspek kebudayaan yang lain. Pada umumnya, ahli anthropologi menempatkan agama (religi) sebagai salah satu dari aspek-aspek kebudayaan (cultural universals) karena dia merupakan hasil dari pemahaman, rasa dan tindakan masyarakat yang bersangkutan dalam berhubungan dengan yang gaib.
Harsojo mengungkapkan sistem kepercayaan (religi) sebagai salah satu aspek kebudayaan di samping; (1) teknologi dan kebudayaan materil, (2) sistem ekonomi dan mata pencaharian, (3) organisasi sosial, (4) sistem kepercayaan, dan (5) kesenian. Koentjaraningrat menempatkan agama sebagai cultural universals keenam dari unsur-unsur kebudayaan yang dikemukakannya, yaitu sebagai berikut: (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian, (6) sistem religi, dan (7) kesenian.[14]
Nurcholish Madjid menjelaskan hubungan agama dan budaya. Menurutnya, agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar budaya didasarkan pada agama; tidak pernah terjadi sebaliknya. Oleh karena itu, agama adalah primer dan budaya adalah sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena ia sub-ordinat terhadap agama dan tidak pernah sebaliknya.[15]
Adapun yang mula-mula dialami oleh manusia adalah budaya, karena pada mulanya budaya manusia adalah usaha-usaha untuk mempertahankan hidupnya dimulai dengan berburu, berternak (menjinakkan hewan), kemudian manusia mulai bertani sehingga sampai masa modern dengan munculnya industri-industri. Dalam menjalani kehidupannya, manusia menghadapi berbagai tantangan seperti bencana alam (misalnya banjir, musim kemarau, musim dingin) dan bencana dari manusia (misalnya perang). Dilatar belakangi adanya tantangan-tantangan tersebut, timbullah kesadaran pada manusia terhadap kepercayaan kepada agama (keyakinan).












7.      Dalam kehidupan beragama dan berbudaya, ada realitas prilaku manusia. Bagaimana pengamatan anda orang beragama dalam budaya atau berbudaya dalam agama. Uraikan.
Jawab:
Agama sebagai ajaran Tuhan bukanlah kebudayaan karena bukan hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Akan tetapi, ajaran agama bukan semuanya yang merupakan wahyu Tuhan. Banyak pula yang merupakan interpretasi dan pendapat pemuka agama terhadap wahyu Tuhan itu, sehingga merupakan kebudayaan. Namun demikian, ada juga agama yang memang merupakan kebudayaan manusia, yaitu yang hanya berasal dari tradisi turun-temurun dan tidak jelas siapa pembawanya, kapan dan di mana turunnya. Ilmu perbandingan agama menamakan ajaran yang terakhir ini sebagai agama budaya.[16]
Menurut pengamatan saya, praktek agama budaya yang disebutkan di atas adalah prilaku orang yang beragama dalam budaya, yakni pelaksaannya merupakan ritual yang diwariskan secara turun-temurun sehingga terus berkembang menjadi sebuah budaya.
Namun penganut agama yang melaksanakan dan menghayati ajaran wahyu atau agama yang berasal dari Tuhan. Berdasarkan definisi kebudayaan di atas, apa yang mereka laksanakan dan yakini adalah kebudayaan karena dilakukan oleh manusia atau masyarakat yang menganut agama tersebut. Namun, kebudayaan yang mereka suguhkan bukanlah sembarang kebudayaan, tetapi kebudayaan yang dikembangkan dari ajaran agama yang bersangkutan.[17] Dan inilah yang dinamakan sebagai prilaku orang yang berbudaya dalam agama.
Sebagai contoh berbudaya dalam agama, ayat tentang wajib shalat misalnya, bukanlah kebudayaan, tetapi shalat yang ditegakkan umat Islam adalah kebudayaan Islam. Ajaran agama ada yang budaya, yaitu yang dipahami dan diijtihadkan oleh pemuka agama dan ada yang bukan budaya, yaitu yang langsung diungkap dari ayat-ayat Tuhan. Akan tetapi, melaksanakan ajaran agama atau beragama adalah berbudaya agama.

8.      Adakah kaitan langsung atau tidak, antara mempelajari sosiologi agama dan peningkatan pemahaman agama? Di mana titik temunya? Uraikan.
Jawab:
Sosiologi agama, umumnya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul berkaitan dengan fenomena kehidupan beragama yang terjadi pada masyarakat berdasarkan hasil penelitian lapangan tentang masyarakat beragama. Ia tidak hanya mendasarkan diri pada logika rasional tetapi juga pada logika empiris.
Para ahli sosiologi agama memandang agama sebagai suatu pengertian yang luas dan universal, dari sudut pandang sosial dan bukan dari sudut pandang individual. Hal ini berarti sosiologi agama tidak melulu membicarakan suatu agama yang diteliti oleh para penganut agama tetentu, tetapi semua agama dan di semua daerah di dunia tanpa memihak dan memilah-milah. Pengkajiannya bukan diarahkan kepada bagaimana cara seseorang beragama, melainkan diarahkan kepada kehidupan agama secara kolektif terutama dipusatkan kepada fungsi agama dalam mengembangkan atau menghambat kelangsungan hidup dan pemeliharaan kelompok-kelompok masyarakat. Perhatiannya juga ditujukan pada agama sebagai salah satu aspek dari tingkah laku kelompok dan kepada peranan yang dimainkannya selama berabad-abad hingga sekarang.[18]
Tujuan dari penelitian sosiologi agama adalah agar hasil penelitiannya bisa digunakan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) mengenai kemungkinan yang terjadi akibat kegiatan atau keputusan pejabat pemerintah atau pejabat agama. Pengetahuan tentang kondisi masyarakat pemeluk agama sangat diperlukan bagi orang yang akan menerapkan suatu kebijakan pada suatu masyarakat.
Penelitian sosiologi agama menggunakan metode ilmiah, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Begitu juga ketika ia mempelajari fenomena religius. Bidang studinya meliputi fakta sekaligus yang bersifat subjektif, seperti pikiran-pikiran, perasaan-perasaan dan maksud-maksud dari seseorang yang diungkapkan dalam tindakan-tindakan luar. Pemahaman ungkapan-ungkapan subjektif inilah yang membuat fakta menjadi suatu tindakan kebaktian, bukan sekedar gerakan biasa. Keadaan-keadaan itu yang dianggap bersifat subjektif karena terjadi dalam subjek manusia. Jadi, ada kaitan langsung antara mempelajari sosiologi agama dengan peningkatan pemahaman agama. Karena metode penelitian sosiologi agama ini, mempunyai karakteristik tersendiri dalam memahami sasaran kajiannya, yaitu sebagai berikut:[19]
1.      Agama adalah fenomena yang terjadi dalam subjek manusia serta terungkapkan dalam tanda dan simbol. Memahami suatu gejala keagamaan tidak bisa hanya melihat gerakan-gerakan tertentu, tetapi harus dimengerti gerakan itu dengan memahami maksud si pelaku.
2.      Fakta religius bersifat subjektif, ia merupakan keadaan mental manusia religius dalam melihat dan menginterpretasikan hal-hal tertentu. Dengan demikian, peneliti dapat memahami bahwa manusia religius akan memberikan penilaian religius yang mempengaruhi tindakan dan prilakunya.
3.      Pemahaman makna fenomena agama diperoleh melalui pemahaman ungkapan-ungkapan keagamaan. Seorang peneliti bisa menangkap pikiran-pikiran keagamaan orang; dan hanya dengan jalan menyelami seorang peneliti dapat memahami pemikiran dan makna keagamaan orang lain.
4.      Pemahaman suatu fenomena religius meliputi empati terhadap pengalaman, pemikiran, emosi dan ide-ide orang yang memeluk suatu agama. Empati adalah usaha untuk mencoba memahami prilaku orang lain berdasarkan pengalaman dan prilaku dirinya sendiri.
5.      Fakta-fakta keagamaan adalah fakta psikis dan spiritual. Maka cara yang tepat dalam penelitian sosiologi agama adalah penelitian kualitatif dengan cara pemahaman tingkah laku orang beragama untuk menangkap makna lebih dalam dan intensionalitas dari data religius orang lain yang merupakan ekspresi dari pengalaman religius dan iman yang lebih dalam.
Kesimpulannya, adanya kaitan antara mempelajari sosiologi agama dengan peningkatan pemahaman agama, dengan titik temu dari karakteristik-karakteristik dari metodologi penelitian sosiologi agama yang telah dipaparkan di atas.
9.      Uraikan kepahaman anda tentang perkembangan teks dalam tradisi keberagaman Muslim, antara teks I (qath’i), teks II (zanni) dan teks III (ijtihadi). Bagaimana interelasi antara ketiganya, dan bagaimana respon penganut kepada ketiganya?
Jawab:
Dalam pandang Harun Nasution, agama pada hakikatnya mengandung dua kelompok ajaran. Kelompok pertama, ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui para Rasul-Nya kepada masyarakat manusia. Ajaran dasar ini terdapat dalam kitab-kitab suci. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu memerlukan penjelasan baik mengenai arti maupun cara pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan ini diberikan oleh para pemuka atau ahli agama. Penjelasan-penjelasan mereka terhadap ajaran dasar agama adalah kelompok kedua dari ajaran agama.
Kelompok pertama karena merupakan wahyu dari Tuhan bersifat absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Kelompok kedua, karena merupakan penjelasan dan hasil pemikiran pemuka atau ahli agama, pada hakikatnya tidaklah absolut, tidak mutlak benar dan tidak kekal. Kelompok kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman.[20]
Dalam Islam terdapat tiga teks, yaitu teks I (Alquran) yang sumbernya dari Allah, teks II (Sunnah/Hadis) yang bersumber dari Rasul dan teks III (Hasil Ijtihad) yang bersumber dari para ulama. Interelasi ketiga sangat saling berkaitan, karena Alquran merupakan kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. sehingga Alquran tersebut bersifat qath’i, sedangkan Sunnah merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi dan merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Alquran, sehingga ia bersifat zanni dan ijtihad merupakan hasil penalaran ulama yang tetap berpulang kepada Alquran dan Hadis.
Syari’at Islam yang disampaikan dalam Alquran dan Sunnah secara komprehensif memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan. Di dalam keduanya terdapat lafaz yang ‘am-khash, muthlaq-muqayyad, nasikh-mansukh dan muhkam-mutasyabih, yang masih memerlukan penjelasan. Sementara itu, nash Alquran dan Sunnah telah berhenti, padahal waktu terus berjalan dengan sejumlah peristiwa dan persoalan yang datang silih berganti. Oleh karena itu, diperlukan usaha penyelesaian secara sungguh-sungguh atas persoalan-persoalan yang tidak ditunjukkan secara tegas oleh nash itu. Maka, ijtihad pun menjadi sangat penting.[21]
            Respon umat Islam kepada ketiga teks tersebut bermacam-macam, ada yang memberi perhatian dengan  porsi besar terhadap ketiga teks tersebut, ada juga yang  memberi porsi besar hanya pada salah satu atau dua diantaranya. Jika memberi perhatian hanya kepada Alquran dan Sunnah bagi saya tidak masalah, namun jika hanya memberi perhatian hanya pada hasil ijtihad semata dengan melupakan sumber rujukannya yaitu Alquran dan Sunnah sangatlah disayangkan. Apalagi jika menganggap teks-teks klasik hasil ijtihad sudah mewakili agama atau bahkan sudah dianggap sebagai agama itu sendiri, sehingga melupakan Alquran dan Sunnah, hal ini bagi saya sangatlah tidak bisa dibenarkan. Oleh karena itu, perhatian yang kita berikan terhadap ketiga teks agama ini haruslah seimbang.












10.  Apa indikator pokok bahwa seorang itu beragama? Atau sebaliknya?
Jawab:
Secara sederhana, beragama adalah kepercayaan dan perbuatan yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan kekuatan atau wujud gaib (relationship between humans and supernatural forces or beings). Dengan demikian, ada hal-hal alamiah atau natural dan ada pula yang supernatural.[22]
Kalau orang melakukan sesuatu dengan mencoba-coba, mengetes, menelusuri berbagai kemungkinan, mempertanyakan dulu, dikenal sebagai tindakan yang tidak termasuk religius, tindakan yang pragmatis dan sekular. Namun, kalau mereka lakukan sesuatu dengan ketaatan, kepercayaan, dinamakan sebagai kecenderungan beragama.
Sikap dan tanggapan manusia pun berbeda-beda ketika menghadapi bencana alam, sebagian menganggapnya sebagai kehendak Tuhan dan tidak dapat diketahui sebab-sebabnya. Akan tetapi, yang memahami persoalan secara ilmiah menilainya karena kita tidak mengetahui atau melanggar hukum sebab akibat. Cara pandang ini tidak diasosiasikan kepada agama. Komunisme, materialisme, dan sekularisme percaya bahwa kemakmuran dan kebahagiaan masyarakat hanya dapat dicapai dengan meniadakan hak milik pribadi, ditentukan oleh banyaknya harta. Paham-paham ini tidak berpendapat agama turut berperan dalam memberikan jalan mencapai kemakmuran dan kebahagiaan masyarakat.[23]
Dengan demikian, indikator pokok bahwa seseorang itu beragama adalah adanya rasa percaya terhadap kekuatan gaib yang mengatur segala sesuatu yang menuntut manusia untuk menjaga hubungan dengan kekuatan gaib tersebut. Sedangkan indikator pokok dari orang yang tidak beragama mereka mempunyai sudut pandang bahwa materi mempunyai pengaruh yang besar dalam mencapai kemakmuran dan kebahagiaan, bukan agama.


Daftar Pustaka

Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam. Bandung: Remaja Rodakarya. 2000.
Bustanuddin Agus. Agama Dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2007.
Dadang Kahmad. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2000.
Harun Nasution. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. jilid 1. Jakarta: UI-Press. 1985.
http://id.wikipedia.org/wiki/ilmu_sosial. diakses pada tanggal 13 Mai 2013.
Nurdinah Muhammad dkk. Antropologi Agama. Banda Aceh: Ar-Raniry Press. 2007.
U. Maman Kh. Et.al. Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktik. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2006.


[1] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 11-12.

[2] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 9.
                                                                             
[3] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia…, hal. 13.
[4] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rodakarya, 2000), hal. 137.

[5] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia…, hal. 16.
[6] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia…, hal. 11.
[7] U. Maman Kh. Et.al. Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktik, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 93.

[8] Nurdinah Muhammad dkk, Antropologi Agama, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2007), hal. 30.
[9] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia…, hal. 50.
[10] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid 1, (Jakarta: UI-Press, 1985), hal. 15-16.

[11] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya…, hal. 22.
[12] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya…, hal. 10.
[13] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam…, hal. 32.

[14] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia…, hal. 201-202.
[15] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam…, hal. 34.
[16] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia…, hal. 37.

[17] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia…, hal. 38.
[18] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama…, hal. 47.
[19] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama…, hal. 113-114.
[20] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam…, hal. 34.
[21] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam…, hal. 95.
[22] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia…, hal. 45.

[23] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia…, hal. 47.

0 Response to "Ilmu Kemanusiaan"