SEJARAH PERADILAN DI ZAMAN NABI SAW
Oleh: Muhamad Sahrul Murajjab
Pendahuluan
Dalam kajian teori-teori terbangunnya suatu
peradaban, terdapat sebuah pendapat populer yang menyatakan bahwa cara pandang
dunia (worldview) yang dilahirkan dari semangat (elan vital) yang
dibawa oleh ide-ide atau gagasan ajaran keagamaan (al-fikrah al-dīniyyah)
merupakan unsur paling penting terbangunnya sebuah peradaban.[1] Dalam konteks ini, kemunculan Islam di
Semenanjung Arabia sekitar abad ke-7 Masehi telah menjadi faktor utama penggerak
munculnya sebuah peradaban baru yang terlahir dari sebuah wilayah yang secara
geografis dikelilingi oleh tanah gersang dan secara sosiologis telah
berabad-abad tenggelam dalam kegelapan kebodohan.
Oleh sejarah, bahkan masyarakat yang mendiami wilayah
Semenanjung Arabia tersebut cenderung terabaikan karena selain disebabkan oleh
kebiasaan mereka yang nomaden (berpindah-pindah) juga disebabkan pula
oleh ketidakadaan kesatuan institusi politik yang mempersatukan suku-suku yang
justru seringkali saling bermusuhan, disamping juga kenyataan bahwa mayoritas
masyarakat bangsa mereka adalah buta huruf (ummy). [2]
Islam sejak awal sejarah kemunculannya, dengan Sang
Nabi Muhamad SAW sebagai tokoh sentral, sebagai agama kemudian secara cepat
melahirkan sebuah komunitas masyarakat madani (civil society)
bernegara-berperadaban di Madinah dimana dalam mata rantai sejarah peradaban
Islam merupakan fase terpenting dibangunnya prinsip-prinsip utama dan
dasar-dasar yang kokoh bagi terbangunnya sebauh peradaban baru tersebut dengan
memberikan landasan-landasan ideologis-normatif maupun berbagai tata cara
praktis sebagai sumber mata air keteladanan generasi-generasi berikutnya.
Termasuk hal tersebut di atas, masyarakat-negara
yang dibangun oleh Nabi SAW telah memberikan bebeberapa latar belakang dan
model awal instrumen-instrumen dan institusi-institusi yang menjadi menjadi
pilar penting keberadaan sebuah masyarakat-negara. Maka jika dalam perspektif ilmu
ketatanegaraan modern mengenal tiga lembaga kekuasaan Negara atau yang disebut
sebagai trias politica yakni kekuasaan lembaga legislatif, eksekutif dan
judikatif maka ternyata Rasulullah SAW telah mempraktekkan tiga bentuk
institusi tersebut.
Dalam konteks pengantar/pendahuluan di atas, tulisan
ini akan berupaya mengeksplorasi sejarah salah satu institusi trias politica
tersebut yaitu institusi judikatif (peradilan) di zaman Nabi. Kajian terhadap
tema ini akan menemukan arti pentingnya karena dengan mengerti dan memahami
sejarah awal dan konsepsi peradilan di zaman Nabi akan memudahkan siapa saja
untuk lebih mengenal semangat keadilan yang dibawa oleh ajaran Islam itu
sendiri dan pernah dipraktekkan melalui peradaban Islam selama berabad-abad,
sehingga tidak keliru jika Edmund Burke (1729-1797), seorang penulis-negarawan
Inggris, mengakui bahwa “sesunguhnya undang-undang/hukum Islam diterapkan
kepada semua umat Muslimin tanpa ada perbedaan antara raja yang sedang bertahta
dengan seorang pembantu yang lemah. Undang-undang hukum Islam telah tersusun
dengan sangat rapi dan kokoh, sehingga secara nyata telah menjadi
hukum/undang-undang yang amat sangat mendasar dan paling cemerlang yang pernah
dikenal oleh sejarah manusia”.[3]
Sejarah Peradilan di Zaman Jahiliyah.
Sebelum mengeksplorasi sejarah dan konsepsi sistem
peradilan dalam Islam di masa Nabi, tulisan ini akan terlebih dulu menjelaskan
secara sekilas mengenai sejarah peradilan pada masa Arab Jahiliyah pra-Islam
dengan tujuan agar arti penting sistem peradilan dalam Islam di masa Nabi SAW
tersebut akan lebih dimengerti secara lebih tepat dan lebih baik.
Masyarakat Arab pada zaman Jahiliyah Pra-Islam dapat
dikatakan belum memiliki bentuk maupun sistem peradilan yang mapan. Karena pada
saat itu di Jazirah Arab sama sekali tidak terdapat satu kesatuan sosiologis
(bangsa) maupun kesatuan politik (Negara) secara nyata. Mereka juga tidak
diketahui memiliki undang-undang atau hukum tertentu semacamnya yang dapat
dijadikan referensi dalam menyelesaikan berbagai persoalan dan persengketaan
yang seringkali terjadi diantara mereka. Tradisi dan kebiaaan yang berlaku di
masing-masing kabilah (suku)-lah yang lantas menjadi pedoman utama penyelesaian
berbagai persoalan tersebut.[4] Hukum balas dendam (al-akhdzu bi al-tsa’ri)
yang biasa dilakukan oleh suku-suku Arab pra-Islam dan menjadi jalan keluar
dari kasus-kasus pidana, terutama terkait dengan pidana kematian jiwa, pada
kenyataannya justru seringkali menyebabkan semakin runcingnya sebuah persoalan
dan berkepanjangannya suatu kasus. Hal ini diperkuat dengan adanya realitas
bahwa pada masa itu masing-masing suku memiliki kecenderungan fanatisme dan
solidaritas internal yang sangat kuat terhadap anggota-anggota suku, terutama
jika datang dari kalangan bangsawan mereka.
Dalam kondisi demikian, mereka juga terbiasa
menyelesaikan kasus ataupun masalah mereka dengan mendatangi para “dukun” (kāhin)
dan tukang ramal (`arrāf) yang diyakini oleh masyarakat Arab waktu itu
memiliki kelebihan pengetahuan perihal rahasia-rahasia gaib baik melalui
ketajaman firasat, atau melalui hubungan dan kongsi dengan para jin maupun
melalui ilmu perbintangan (astrologi). Diantara para dukun yang dikenal saat
itu adalah Rabī` ibn Rabī`ah ibn al-Dzi’ib atau yang lebih dikenal sebagai
Saţīh al-Kāhin.[5]
Masyarakat Arab pra-Islam mengenal juga cara
penyelesaian masalah melalui arbitrasi (tahkim) kepada
orang-orang tertentu atau arbitrator yang dikenal “bijak” dalam menyelesaikan
persengketaan mereka. Diantara tokoh sejarah Arab pra-Islam yang dikenal
sebagai arbitrator antara lain: `Abd Al-Muţallib,[6] Zuhayr ibn Abu Sulma,[7] Aktsam ibn Şayfi,[8] Hājib ibn Zirārah,[9] Qus ibn Sā`idah al-Iyādi,[10] `Āmir ibn al-Dharib al-`Udwāni,[11] serta Ummayah ibn Abu Şalt[12] dan lain-lain. Dari kalangan perempuan
terdapat juga nama `Amrah binti Zurayb.[13] Bahkan Nabi Muhamad SAW sendiri sebelum masa
kerasulannya pada zaman Jahiliyah pernah diminta untuk menjadi arbitrator oleh
kaum Quraysh ketika berselisih dalam menentukan siapa yang lebih berhak untuk
meletakkan hajar aswad pada saat penyelesaian ahir pembangunan
Ka’bah.[14]
Akan tetapi eksistensi dan otoritas para arbitrator masyarakat Arab pra-Islam
ini bersifat sporadis bersama dengan “orang-orang bijak” atau
arbritator-arbitrator lainnya. Keputusannya pun tidak sepenuhnya mengikat
karena mereka sendiri tidak punya instrumen untuk mengeksekusi
keputusan-keputusan mereka. Orang-orang yang bersengketa tidak diharuskan untuk
datang kepada para arbitartor ketika menemui perselisihan dan tidak pula harus
tunduk atau menerima keputusan mereka. Sebagaimana pula keputusan yang diambil
para arbitrator ini hanya berdasarkan pandangan-pandangan subjektif mereka,
atau tradisi mereka bukan didasari oleh aturan atau undang-undang hukum
tertentu.[15]
Karena alasan-alasan tersebut di atas, arbitrasi
yang dilakukan pada masa itu tidak bisa disebut sebagai proses hukum yang
tertata dan secara faktual tidak mampu mengatasi persengketaan yang terjadi
sehingga kaum Quraysh kemudian memiliki ide untuk membentuk sebuah mekanisme
penyelesaian masalah yang disebut dengan hilf al-fudlūl.[16] Kesepakatan hilf al-fudlūl ini
dibuat dengan tujuan untuk mencegah perlakuan tidak adil dan tindak aniaya
kepada siapapun baik orang merdeka maupun hamba sahaya, warga setempat maupun
orang-orang asing, serta melindungai hak-hak yang terampas.[17] Saat usia beliau 35 tahun dan sebelum
kerasulannya, Nabi Muhamad SAW ikut hadir di rumah `Abdullah ibn Jad’ān ketika
kesepakatan hilf al-fudlūl tersebut dibentuk. Beberapa waktu
kemudian setelah kenabiannya, Rasulullah SAW menyatakan bahwa seandainya beliau
diundang untuk urusan yang sama (menghadiri hilf al-fudlūl) di
masa Islam, beliau tentu akan mendatanginya juga.[18]
Sebelum dibentuknya kesepakatan hilf al-fudlul
ini sebenarnya telah ada upaya-upaya lain yang telah dilakukan oleh masyarakat
Arab Jahiliyah –di Mekah khususnya- untuk menciptakan sebuah mekanisme
penyelesaian persengketaan dan perlindungan terhadap hak-hak warga yang
teraniaya dengan lebih terukur dan teratur. Dalam upaya ini suku Quraysh pernah
memilih beberapa tokoh-tokoh mereka sebagai hakim (arbitrator), misalnya dengan
menunjuk tokoh-tokoh Bani Sahm untuk menyelesaikan permasalahan internal suku
Quraysh, atau menugaskan tokoh-tokoh dari Bani `Adiy dalam perselisihan yang
melibatkan Quraysh dengan suku-suku di luar mereka.[19]
Sejarah Peradilan Zaman Nabi SAW
a. Nabi SAW sebagai Satu-satunya Pemegang
Otoritas Jurisdiksi
Sejarah kenabian dimulai ketika Nabi Muhammad SAW
menerima wahyu pertama kali di Gua Hira, kira-kira saat beliau berusia 40
tahun. Setelah kurang lebih 13 tahun menyampaikan risalahnya di Mekah dengan
fokus da’wah mengajak manusia untuk bertauhid kepada Allah secara murni dan
meninggalkan berhala-berhala. Kemudian sesampainya di Madinah, Rasulullah SAW
mulai membangun sebuah masyarakat dan negara dengan menegakkan hukum-hukum dan
syariat Allah yang nantinya akan menjadi pedoman bagi manusia sepanjang
sejarah. Prinsip kehidupan yang dibangun Nabi SAW sendiri basisnya didasarkan
pada prinsip Tauhid yang meletakkan manusia berkedudukan setara di hadapan Allah
dan hukum-hukumNya. Maka dari itu keadilan dipandang sebagai satu elemen yang
sangat mendasar dan senantiasa ditegaskan oleh Allah dalam beberapa ayat-ayat
Al-Quran seperti dalam QS. Al-Nisā: 57, QS. Al-Māidah : 8 , QS.
Al-An`ām:153 dan lain-lain.
Keberadaan Nabi SAW sendiri di masyarakat-negara
Madinah saat itu jika dilihat dari konsep ketatanegaraan modern menggabungkan
ketiga institusi trias politica yaitu kekuasaan legislatif (sulţah
tashrī`iyah), kekuasaan eksekutif (sulţah tanfīdziah) dan kekuasaan
judikatif (sulţah qadlāiyah) sekaligus. Sebagai seorang penerima
sekaligus penyampai wahyu dari Allah, Nabi Muhamad SAW merupakan satu-satunya
sumber segala hukum dan tata aturan. Bahkan segala perbuatan dan ucapannya juga
diposisikan sebagai sumber legislasi yang harus ditaati. Sedangkan unsur
kekuasaan eksekutif Rasulullah dapat dilihat dari pelaksanaan beliau dan
pengejawantahan hukum-hukum Allah/syariat Islam serta menegakkannya dalam
berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi maupun politik.
Adapun kekuasaan judikatif Rasulullah diperlukan
dalam kerangka penegakan keadilan dan pemeliharaan hak-hak masyarakat waktu itu
yang terkadang mengalami perselisihan atau persengketaan antar pemiliknya.
Proses yang dilakukan pun menjadi penting sebagai cara penguatan sistem sebuah
masyarakat-negara yang baru lahir dan sedang dibangun dimana nantinya akan
diteladani oleh umat Islam secara keseluruhan di masa-masa berikutnya. Sebagai
catatan, dengan mengutip pendapat Syaikh `Abdul Wahhāb Khallāf, bahwa penyatuan
tiga kekuasaan judikatif, legislatif dan eksekutif sekaligus di kedua tangan
seorang Nabi SAW ini tidaklah menimbulkan kekhawatiran tejadinya penyalahgunaan
kekuasaan atau tuntutan pemisahan jabatan dengan alasan-alasan kekhawatiran
lainnya karena jaminan ke-ma`şum-an Rasulullah (terjaga dari dosa)[20] dan sekaligus sebagai teladan bagi umat.
Sementara itu, Piagam Madinah (al-Mītsāq al-Madani) sebagai
undang-undang tertulis yang disusun tidak lama setelah sampainya Rasulullah di
Madinah memiliki muatan-muatan yang mengatur hubungan sosial-politik masyarakat
baru di Madinah dimana di dalam salah satu pasalnya menegaskan kewajiban
unsur-unsur anggota masyarakat tersebut, khususnya dari kalangan orang-orang
muslim, untuk saling bertanggungjawab secara bersama-sama terhadap keamanan
umum dalam negeri Madinah.[21] Dalam teks piagam tersebut disebutkan bahwa
masing-masing orang mu’min bertanggungjawab atas kejahatan yang terjadi
disekitarnya meskipun hal itu dilakukan oleh anaknya sendri.[22] Adapun jika terjadi terjadi perselisihan dan
persengketaan maka otoritas legislasi dan jurisdiksi berada di tangan Allah dan
Rasul-Nya, sebagaimana juga dikatakan oleh teks piagam tersebut.[23] Otoritas jurisdiksi yang hanya dimiliki
Rasulullah ini dengan sangat tegas juga ditekankan oleh Al-Quran sebagaimana
dalam QS. Al-Nisā’: 65.
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى
يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ
حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (65)
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak
beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
b. Penunjukan Sahabat sebagai Qādli
Sebagaimana disingggung di muka, bahwa Nabi SAW merupakan satu-satunya pemegang
otoritas jurisdiksi saat itu. Namun beberapa riwayat yang ada menunjukkan bahwa
Nabi SAW pernah menunjuk beberapa orang sahabatnya untuk menyelesaikan
kasus-kasus persengkataan tertentu. Sebagai contoh Nabi pernah mendelegasikan Hudzaifah
ibn al-Yamān al-`Absy untuk menyelesaikan perselisihan dua orang bersaudara
yang memperebutkan hidhār [24] atau jidār rumah mereka.[25] Nabi juga diriwayatkan pernah meminta `Amru
ibn al-`Āş untuk memberi keputusan pada sebuah masalah yang dibawa oleh dua
orang yang datang kepada Nabi mengadukan persengketaan mereka. Nabi bersabda
kepada `Amru: “Putuskanlah perkara yang terjadi antara keduanya wahai `Amru.”
Maka `Amru merasa kaget dan berkata: “Akankah aku putuskan perkara keduanya
sementara engakau berada bersama kami wahai Rasulullah?”[26]
Selain kepada dua sahabatnya seperti di atas, Nabi
juga pernah meminta hal sama kepada sahabat `Uqbah ibn `Amir al-Juhani untuk
memmutus satu perkara.[27] Nabi diberitakan juga pernah mengirimkan
Ma`qil ibn Yasār[28] -dan dalam kesempatan berbeda- `Ali ibn Abu
Ţālib sebagai qadli ke Yaman.[29]
Sebagaian sahabat lain pernah ditunjuk Nabi SAW untuk menjadi wali (wakil
pemerintahan) beliau di suatu wilayah tertentu sekaligus sebagai pelaksana qadlā
seperti sahabat `Utāb ibn Asīd yang ditugaskan Nabi menjadi wali Mekah setelah
penaklukan (Fathu Makkah), atau Mu`adz ibn Jabal yang diutus ke
Al-Janad (sebuah wilayah di Yaman) untuk mengajarkan Al-Qur’an dan syariat
Islam, mengumpulkan zakat, sekaligus menjalankan peradilan, Abū Mūsa
al-‘Ash`ari diutus ke bagian lainnya di Yaman (daerah Zabīd, `Adn), serta Al-`Alā’
al-Hadlrāmi ke Bahrain. [30] Dalam kasus lain, saat Nabi SAW keluar dari
Madinah untuk sebuah keperluan, Nabi mewakilkan pemerintahan Madinah –termasuk
diantara bagiannya adalah institusi jurisdiksinya- kepada para sahabatnya
seperti Sa’ad ibn `Ubādah ketika beliau keluar ke medan Perang al-Abwā’ atau
Sa`īd ibn Madh`ūn ketika terjadi Perang Buwāţ.[31]
Dari uraian di atas, yang perlu dicatat adalah bahwa Nabi SAW tidak pernah
mengangkat seorangpun yang secara khusus mengemban tugas “profesi” sebagai qādli
maupun memberikan mandat jurisdiksi (qadlā’) secara penuh kepada
sahabat-sahabat beliau untuk melakukan tugas tersebut secara multak tanpa
batasan tempat dan waktu. Akan tetapi pemberian otoritas jurisdiksi oleh Nabi
kepada sahabatnya tersebut paling tinggi terjadi saat beliau menujuk wakilnya
untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan di daerah tertentu sebagai bagian
dari wilayah `āmmah.[32] Hal itu sebagai tuntutan dari konsekuensi
dari semakin meluasnya daerah-daerah kekuasaan Islam.
c. Sumber Hukum Peradilan
Sebagai seorang Qādli (pemegang otoritas jurisdiksi) Nabi SAW telah
menjalankan perannya dengan baik dalam memutuskan berbagai persoalan yang
terjadi pada zaman itu. Diantara putusan Nabi ada diantaranya yang merupakan
implementasi langsung dari aturan-aturan wahyu yang terdapat dalam al-Quran,
seperti saat Nabi SAW memerintahkan pemotongan tangan seorang perempuan Bani
Makhzūm yang mencuri, sebagai pelaksanaan kandungan ayat QS. Al-Mā’idah: 38.[33]
Namun, Nabi SAW terkadang juga memutuskan suatu
perkara dengan ijtihad belaiu dalam beberapa hal ketika tidak terdapat naş-nya
secara eksplisit dalam al-Quran seperti ketika beliau memberikan kebebasan
kepada seorang anak yang telah dewasa untuk memilih ikut ibu atau bapaknya
ketika keduanya bercerai.[34] Mengenai keberadaan ijtihad sebagai salah
satu sumber hukum peradilan di zaman ini secara lebih tegas diungkapkan
oleh Nabi sendiri ketika memberikan putusan kepada dua orang yang
bersengketa tentang sebuah masalah waris. Nabi SAW bersabda:
إِنِّى
إِنَّمَا أَقْضِى بَيْنَكُمْ بِرَأْيِى فِيمَا لَمْ يُنْزَلْ عَلَىَّ فِيهِ
“Sesungguhnnya aku metutuskan berdasarkan
pandanganku, dalam perkara yang belum ada wahyu yang diturunkan kepadaku”.[35]
Putusan Nabi berdasarkan ijtihad ini bagi umatnya dengan sendirinya tentu saja
menjadi bagain dari sumber hukum itu sendiri karena posisi Nabi sebagai
penyampai tashrī`` dari Allah atau sebagai musharri`.[36] Persoalan ini bisa lebih dilihat secara
lebih jelas melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Mu’ādz ibn Jabal.
Salah seorang sahabat yang pernah ditugaskan oleh Nabi sebagai qādli ini
meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ketika akan mengirimnya ke Yaman bertanya:
“Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa orang kepadamu?”.
“Saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalam Kitabullah.” Jawab Mu’ādz.
Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau engkau tak menemukan hal itu dalam
Kitabullah, bagaimana?”. Mu’ādz menjawab: “Saya akan memutuskannya menurut
Sunah Rasul-Nya”. Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi: “Kalau hal itu tidak
ditemukan juga dalam Sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitabullah,
bagaimana?” Lalu Mu’adz menjawab: “Jika tidak terdapat dalam keduanya
saya akan berijtihad sepenuh kemampuan saya.” Mendengar jawaban itu,
Rasulullah SAW lalu menepukkan kedua tangannya ke dada Mu’ādz dan berkata:
“Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan Rasulullah,
kepada apa yang diridlainya.” [37]
d. Proses Peradilan
Pada zaman Nabi SAW proses peradilan berlangsung
dengan sangat sederhana. Jika ada seseorang yang menemui satu permasalahan maka
ia dapat bersegera datang kepada Nabi untuk meminta putusan tanpa harus
menunggu waktu tertentu maupun mencari tempat tertentu pula. Bahkan kebanyakan
dari putusan-putusan (qadlā’) yang dilakukan oleh Nabi lebih bersifat
sebagai “fatwa”[38] dengan model tanya-jawab, dibandingkan
dengan proses sebuah “pengadilan” dalam bahasa yang sering dipahami di masa
sekarang.
Namun meskipun proses peradilan ini berlangsung
sangat sederhana, Rasulullah menyaratkan bahwa ketika terjadi persengketaan
antara dua pihak yang saling mengklaim kebenaran sebuah keputusan tidak boleh
diambil kecuali setelah sang pengambil keuputusan (qādli) mendengarkan
pelaporan dari kedua belah pihak.
عن علي قال : قال لي رسول الله صلى الله عليه و سلم
إذا تقاضى إليك رجلان فلا تقض للأول حتى تسمع كلام الآخر فسوف تدري كيف تقضي قال
علي فما زلت قاضيا بعد
Dari Ali r.a berkata: Rasulullah SAW berkata
kepadaku: “Jika datang kepadamu dua orang untuk meminta putusan dari mu, maka
janganlah engkau beri putusan kepada orang pertama sebelum engkau mendengarkan
juga (laporan) dari orang kedua, sehingga engkau tahu bagaimana seharusnya kamu
memutuskan.” [39]
Dalam konteks ini Nabi SAW juga mengharuskan adanya bukti yang dibawa oleh
pelapor dan sumpah bagi yang dilaporkan. Dalam sebuah riwayat dari Ibn `Abbās
Nabi SAW bersabda:
لو يعطى الناس بدعواهم لادعى رجال
اموال قوم ودماء هم ولكن البينة على المدعى واليمين على من انكر
“Seandainya setiap orang diberikan apa-apa yang
mereka klaim, maka orang-orang akan mengklaim harta-harta atau jiwa-jiwa suatu
kaum. Tetapi (semestinya adalah) bahwa bukti harus didatngkan oleh orang yang
mengklaim (pelapor) dan sumpah harus diberikan oleh yang dilaporkan”.[40]
Adapun mengenai masa yang dibutuhkan bagi berlangsungnya proses mulai dari
putusan hingga eksekusi tidak menunggu waktu melainkan dijalankan secara
langsung. Kesimpulan ini bisa dipahami dari beberapa hadits seperti saat Nabi
memutuskan persengketaan Ka`ab ibn Malik dengan Ibn Abi Hadrad mengenai
piutangnya. Nabi memutuskan agar Ka`ab mengambil separuh dari piutangnya dan
merelakan separuhnya. Saat itu juga Nabi memerintahkan Ka`ab untuk segera
melaksanakan putusan tersebut dengan mengatakan “Qum fa iqdlihi”
(Lekaslah berdiri wahai Ka`ab dan tunaikanlah!).[41]
d. Perangkat-perangkat Lain dalam
Sistem Peradilan pada Masa Nabi
Dalam Islam sejak awal bahwa peradilan merupakan
sebuah sistem[42] yang selain mencakup proses peradilan atau
arbitrasi itu sendiri juga mencakup hal-hal atau lembaga lainnya yang saling
mendukung satu sama lain. Dalam diskursus jurisprudensi Islam yang berkembang
kemudian, selain istilah qadlā’ (yang berarti peradilan secara umum)
dikenal pula istilah Hisbah dan al-Madzalim.
Hisbah didefinisikan sebagai “memerintahkan hal-hal yang baik (ma`rūf)
ketika telah mulai ditinggalkan dan mencegah atau melarang kemungkaran ketika
dikerjakan”.[43] Dalam perkembangan system peradilan Islam
yang terjadi kemudian hisbah menjadi sebuah lembaga (dan
petugasnya disebut dengan muhtasib) yang bertugas menegakkan
kebenaran dan mencegah kemungkaran dengan dibekali hak istimewa untuk
menginvestigasi dan mencari-cari perilaku kemungkaran yang mungkin dikerjakan.
Dan ternyata, konsep lembaga ini jika dirunut
memiliki akar historis pada zaman Rasulullah. Sebagaimana diriwayatkan, bahwa
Rasulullah senantiasa memeriksa keadaan dan kondisi berbagai sisi hidup
umatnya. Suatu ketika, saat berjalan-jalan (melakukan inspeksi) di pasar Nabi
menjumpai kecurangan yang dilakukan oleh seorang pedagang makanan dan kemudian
menegurnya.[44]
Sama halnya dengan hisbah, peradilan madzālim juga telah
memiliki dasar sejarah di zaman Nabi. Madzālim merupakan institusi
pembelaan terhadap hak-hak rakyat kecil dari seseorang yang berpengaruh,
sehingga sulit bagi pengadilan biasa untuk menyelesaikannya. Nabi pernah
mencontohkan pembelaan madzālim ini untuk umatnya atas dirinya sendiri
dengan mengatakan “barangsiapa yang hartanya telah terambil olehku maka inilah
hartaku aku silakan dirinya mengambilnya.”[45]
Adapun lembaga system peradilan yang lain seperti
kepolisian dan penjara, dari catatan sejarah yang ada dapat disimpulkan
tampaknya kedua institusi tersebut belum pernah ada di zaman Nabi. Sedangkan
konsep “lembaga pengawasan” terhadap peradilan juga bisa ditemukan dalam sejarah
peradilan di zaman Nabi. Fungsi pengawasan itu dilakukan oleh wahyu Allah
terhadap Nabi Saw. Rasulullah juga melakukan pengawasan serta evaluasi terhadap
para sahabat yang ditunjuknya untuk menjalanakan peradilan sebagaimana
diindikasikan dalam riwayat Hudzaifah ibn Al-Yaman dan Ali yang usai
menyelesaikan putusannya melaporkannya kepada Nabi, dimana Nabi kemudian
membenarkannya. Jika putusan kedua sahabat itu salah, tentu Nabi-pun akan
segera mengoreksinya.[46]
Kesimpulan
Dari paparan mengenai sejarah peradilan di zaman
Nabi di atas, akhir tulisan ini akan ditutup dengan beberapa poin penting yang
merepresentasikan saripati hasil kajian ini yaitu:
- Peradilan pada zaman Nabi merupakan fase paling penting dalam
sejarah peradilan Islam. Pada saat itu Nabi SAW merupakan merupakan
pemegang otoritas jurisdiksi satu-satunya meskipun beliau juga
pernah mendelegasikan tugas-tugas jurisdiksi tersebut kepada
beberapa orang sahabat secara terbatas. Pada zaman itu lembaga peradilan
merupakan bagian tidak terpisahkan dari pemegang kekuasaan pemeritahan
secara umum (wilayah `ammah).
- Sistem peradilan yang dibawa oleh Nabi SAW, merupakan perkembangan
yang jauh lebih maju dan teratur dibanding dengan peradilan di zaman
Jahiliyah.
- Sumber hukum yang menjadi referensi utama bagi pemegang otoritas
jurisdiksi adalah wahyu -baik berupa al-Qur’an maupun Sunnah Nabi SAW-
serta ijtihad. Peradilan di zaman Nabi dan yang dilakukan oleh Nabi
sendiri merupakan penerjemahan langsung dari ayat-ayat dan sunnah
qawliyah Nabi yang diimplementasikan dalam praktik-praktik yang ideal.
- Proses peradilan zaman Nabi SAW berlangsung sangat sederhana dan
tidak berbelit-belit, namun justru lebih mementingkan substansi dari pada
prosesi.
- Sistem peradilan saat itu juga memberikan pijakan dan prinsip
dasar bagi perkembangan sistem peradilan yang berkembang kemudian dalam
peradaban Islam yang mencakup penguatan lembaga-lembaga baru seperti hisbah
dan peradilan madzālim.
Last but not least, perlu penulis sampaikan
bahwa tulisan ini semestinya akan menjadi lebih lengkap dengan memuat pula
konsepsi dan prinsip-prinsip yang diwariskan oleh Nabi SAW sebagai garis-garis
besar haluan atau acuan bagi terciptanya peradilan Islam yang ideal. Tetapi
dikarenakan keterbatasan waktu hal itu belum dapat penulis laksanakan.
[1] Ibn Khaldūn adalah ahli sejarah pertama yang
mencetuskan teori ini, yang kemudian diikuti oleh pakar sejarah perdaban
seperti Arnold Toynbee dan Mālik Ben Nabi. Lihat dalam Sulaymān al-Khatīb,
Usus Mafhūm al-Hadlārah fī al-Islām, Kairo, Al-Zahrā’ li al-I`lām
al-`Arabi, Cet.I, 1986, hlm. 73-80
[2] Hasan Ibrāhīm Hasan, Tārikh
al-Islām: al-Siyāsi wa al-Dīni wa al-Tsaqāfi wa al-Ijtima`i, Beirut-Kairo,
Maktabah Al-Jīl & Maktabah al-Nahdlah al-Mişriyah, Vol. I, Cet. 14, 1996,
hlm. 7
[3] M.M. Sharīf, Al-Fikr al-Islāmi: Manābi`uhu
wa Ātsāruhu, Kairo, Maktabah al-Nahdlah al-Mişriyah, Cet. 8, 1986, hlm. 62.
Buku yang aslinya berjudul Islamic Thought: It’s Origin and Achievements ini
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan dikomentari serta diberi beberapa
tambahan oleh oleh Dr. Ahmad Shalabi.
[4] Tentang hal ini lihat misalnya: Dr. `Ali Husni
al-Kharbuţli, Al-Hadlarah al-`Arabiyah al-Islāmiyah, Kairo,
Maktabah al-Khānji, Cet. 2, 1994, hlm. 42; Dr. Naşr Farīd Muhammad Wāşil, Al-Sulţah
al-Qadlā’iyah wa Nidzām al-Qadlā’ fī al-Islām, t.t, Maktabah al-Tawfīqiyyah,
cet. 2, t.th, hlm. 33 (selanjutnya diringkas dengan Al-Sulţah al-Qadlā’iyah);
Dr. Muhamad al-Zuhayli, Tārikh al-Qadlā’ fī al-Islām,
Beirut, Dār al-Fikr al-Mu`āşir & Damaskus, Dār al-Fikr, Cet. 1, 1415/1995,
hlm. 30-31 (selanjutnya disebut sebagai Tārikh al-Qadlā’); Dr. `Ali
`Abdul Qādir, Al-Fiqh al-Islāmi: Al-Qadlā wa al-Hisbah, dalam Mawsū`ah
al-Hadlārah al-`Arabiyyah al-Islāmiyah, Amman & Beirut, Dār al-Fāris
& Al-Muassasah al-`Arabiyah li al-Dirāsāt wa al-Nashr, Cet. 1, 1995, hlm.
57 (selanjutnya disingkat dengan Al-Fiqh al-Islāmi).
[5] Lihat biografi singkatnya dalam Khayr al-Dīn
Ibn Mahmūd Al-Ziriklī, Al-A’lām, Beirut, Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, Cet.
15, Mei 2002, Vol. III, hlm. 14. Diantara cerita yang dituturkan tentangnya
dalam Al-A`lām adalah bahwa dirinya pernah menjadi arbitrator antara
`Abd al-Muţallib ibn Hāshim –yang memiliki kedudukan sangat terpandang saat
itu– dengan sekolompok orang dari suku Qays `Aylān mengenai persengketaan
mereka terhadap sebuah sumber air di wilayah Ţāif.
[6] `Abd al-Muţallib ibn Hāshim ibn `Abd Manāf
(hidup sekitar tahun 500-575 M), pemimpin suku Quraysh pada zaman Jahiliyah dan
memegang kepemimpinan tertinggi di Mekah dari tahun 520-579 M). Lihat biografi
singkatnya dalam Al-Ziriklī, Al-A’lām, Vol. IV, hlm. 154
[7] Zuhayr ibn Abū Sulmā Rabī`ah ibn Rayyah
al-Muzani (w. 609 M), seorang tokoh sastra/penyair bijak dan oleh banyak pakar
sastra Arab ditempatkan sebagai penyair terbaik pada era Jahiliyah. Lihat:
Al-Ziriklī, Al-A’lām, Vol. III, hlm. 52
[8] Aktsam ibn Şayfi ibn Rayyah ibn Al-Hārits ibn
Mukhāshin ibn Mu`āwiyah al-Tamīmi (w. 630 M). Dikenal sebagai arbitrator (orang
bijak, hakīm) pada zaman Arab Jahiliyah. Meninggal tahun 9 H/630 M
ditengah perjalanan menuju Madinah bersama 100 orang dari kaumnya untuk masuk
Islam. Lihat: Al-Ziriklī, Al-A’lām, Vol. II, hlm. 6
[9] Hājib ibn Zirārah ibn `Adas al-Dārimi
al-Tamīmi (w. 625 M), salah seorang pemuka Arab Jahiliyah dan beberapa kali
memimpin Bani Tamim dalam beberapa kesempatan. Masuk Islam dan ditugaskan oleh
Nabi SAW untuk mengumpulkan sedekah kaum muslimin Bani Tamim hingga wafatnya.
Lihat: Al-Ziriklī, Al-A’lām, Vol. II, hlm. 153
[10] Qus ibn Sā`idah ibn `Amru ibn `Adiy, ibn
Mālik (w. 600 M) dari Bani Iyād. Seorang uskup yang tinggal di Najran.
Merupakan salah seorang arbitrator (orang bijak, hakīm) dan sekaligus
orator ulung pada zaman Arab Jahiliyah. Lihat: Al-Ziriklī, Al-A’lām,
Vol. V, hlm. 196
[11] `Āmir ibn al-Dharib ibn `Amru ibn `Iyādz
al-`Udwāni, dikenal juga sebagai “Dzu al-Hilm”. Pemimpin Bani
Mudlar, dikenal sebagai orator dan arbitrator (orang bijak, hakīm) yang
selalu diterima pendapatnya, serta termasuk salah satu diantara yang
mengharamkan khamr di zaman Jahiliyah. Lihat: Al-Ziriklī, Al-A’lām,
Vol. III, hlm. 252
[12] Umayyah ibn `Abdullah Abu al-Şalt ibn Abu
Rabī`ah ibn `Awf al-Tsaqafi (w. 626M). Berasal dari penduduk Thāif, dikenal
sebagai seorang penyair sekaligus arbitrator (orang bijak, hakīm) pada
zaman Arab Jahiliyah. Tidak meminum khamr dan tidak pula menyembah
berhala. Mengetahui dan mengakui kebenaran Islam, serta pernah berniat masuk
Islam. Akan tetapi ketika terjadi perang Badar dan mengetahui dua saudara
sepupunya (anak dari saudara laki ibunya) ikut menjadi korban tewas oleh kaum
muslimin dalam perang tersebut, ia mengurungkan niatnya hingga akhir hayatnya.
Lihat: Al-Ziriklī, Al-A’lām, Vol. II, hlm. 23
[13] Nama ini disebutkan oleh Dr. `Ali `Abdul
Qādir dalam Al-Fiqh al-Islāmi, hlm. 59. Penulis telah mencoba mencari
biografi (tarjamah) sosok `Amrah binti Zurayb ini dalam buku-buku tarājim
seperti Al-A`lām dan lainnya, serta buku-buku sejarah malalui fasilitas searching
Software Al-Maktabah al-Shāmilah namun belum menemukannya.
[14] Kisah ini dimuat dalam berbagai buku-buku
sirah. Lihat misalnya: Abu Muhamad `Abd al-Malik Ibn Hishām ibn Ayyūb
al-Himyari, Al-Sīrah al-Nabawiyyah, Tahqiq: Ţāhā `Abd al-Ra’ūf
Sa`ad, Beirut, Dar al-Jīl, 1411H, vol. II, hlm. 18-19; Abu al-Rabī` Sulaymān
ibn Mūsā al-Kalā`i al-Andalusi, Al-Iktifā’ bi Mā Tadlammanahu min Maghāzi
Rasūlillah wa al-Tsalātsah al-Khulafā’, Tahqiq: Dr. Muhamad Kamāl al-Dīn
`Izz al-Dīn `Ali (selanjutnya disebut dengan Al-Iktifā’ saja) , Beirut,
`Ālam al-Kutub, Cet. 1, 1417H, vol. I , hlm. 120-121
[15] Naşr Farīd Muhammad Wāşil, Al-Sulţah
al-Qadlā’iyah, hlm. 35; `Ali Husni al-Kharbuţli, Al-Hadlarah
al-`Arabiyah al-Islāmiyah, hlm. 42
[16] Naşr Farīd Muhammad Wāşil, Al-Sulţah
al-Qadlā’iyah, hlm. 36
[17] Muhamad al-Zuhayli, Tārikh
al-Qadlā’, hlm. 36. Lihat juga: Ibn Mūsā al-Kalā`i al-Andalusi, Al-Iktifā’,
vol. I , hlm. 53; Ibn Hishām, Al-Sīrah al-Nabawiyyah, vol. I, hlm. 265
[18] Ibn Hishām, Al-Sīrah al-Nabawiyyah,
vol. I, hlm. 266; Ibn Mūsā al-Kalā`i al-Andalusi, Al-Iktifā’, vol. I ,
hlm. 54;
[19] Muhamad al-Zuhayli, Tārikh
al-Qadlā’, hlm. 35
[20] `Abdul Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt
al-Tsalāts fī al-Islām: Al-Tashrī`, al-Qadlā’, al-Tanfīdz, Kuwait, Dār
al-Qalam, Cet. 2, 1405H/1985M, hlm. 27
[21] Dr. Mahmūd `Ukāshah, Tārīkh al-Hukm
fī al-Islām, Kairo, Mu’assasah al-Mukhtār, Cet. 1, 2002, hlm. 152
[22] Ibn Hishām, Al-Sīrah al-Nabawiyyah,,
vol. III, hlm. 33. Teksnya berbunyi:
وإن
المؤمنين المتقين على من بغى منهم أو ابتغى دسيعة ظلم أو إثم أو عدوان أو فساد بين
المؤمنين وإن أيديهم عليه جميعا ولو كان ولد أحدهم
[23] Ibn Hishām, Al-Sīrah al-Nabawiyyah,,
vol. III, hlm. 34-35. Teksnya berbunyi:
“وإنه ما كان بين أهل هذه الصحيفة من
حدث او اشتجار يخاف فساده فإن مرده إلى الله عز وجل وإلى محمد رسول الله”
[24] Hidhār (حظار ) adalah segala sesatu yang digunakan untuk sebagai pembatas.
Lihat: Ibrāhīm Musthafā, dkk (Majma’ Al-Lughah Al-Arabiyah Mesir), Al-Mu’jam
Al-Wasīth, Istanbul, Dār al-Da’wah, 1989, hlm.183
[25] `Abdul Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt
al-Tsalāts fī al-Islām, hlm. 22; Diriwayatkan juga oleh Al-Dāraquţni.
Lihat: `Ali ibn `Umar Abu al-Hasan al-Dāraquţni al-Baghdādi, Sunan
al-Dāraquţni, Tahqiq: Al-Sayyid `Abdullah Hāshim Yamāni al-Madani, Beirut,
Dar al-Ma`rifah, 1386H/1966, vol. 4, hlm. 229
[26] Lihat: Ahmad ibn Hanbal,
Musnad Ahmad ibn Hanbal, Tahqiq: Shu`aib al-Arna’ūţ .et.al,
Beirut, Mu’assasah al-Risalah, cet. 2, 1420H/1999M, vol. 29, hlm. 357.
Hadits. No. 17824.
[27] Al-Dāraquţni, Sunan al-Dāraquţni,
vol. 4, hlm. 203
[28] Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad
no. 20305. Lihat: Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal,
vol. 33, hlm. 420; Muhamad al-Zuhayli, Tārikh al-Qadlā’, hlm.
44
[29] Lihat: Ahmad ibn Hanbal, Musnad
Ahmad ibn Hanbal, vol. II, hlm. 421. Hadits. No. 1280
[30] Abdul Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt
al-Tsalāts fī al-Islām, hlm. 23; Muhamad al-Zuhayli, Tārikh
al-Qadlā’, hlm. 46-47
[31] Abdul Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt
al-Tsalāts fī al-Islām, hlm. 22
[32] Hasan Ibrāhīm Hasan, Tārikh
al-Islām, vol. I, hlm. 394; `Ali Husni al-Kharbuţli, Al-Hadlarah
al-`Arabiyah al-Islāmiyah, hlm. 45; `Abdul Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt
al-Tsalāts fī al-Islām, hlm. 21-22
[33] Ayatnya yaitu: وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ
اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
[34] Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Lihat: Abū
Dāwud Sulaymān ibn al-Ash`ats al-Sijistāni, Sunan Abī Dāwud, Beirut, Dār
al-Kitāb al-`Arabi, vol. II, hlm. 251. Hadits No. 2279
[35] Abū Dāwud, Sunan Abī Dāwud,
vol. III, hlm. 329. Hadits No. 3587
[36] Pembahasan mengenai ijtihad Nabi SAW maupun
keberadaan beliau sebagai penyampai tashrī` ataupun sebagai musharri`
dapat ditelaah dalam buku-buku usūl al-fiqh.
[37] Abū Dāwud, Sunan Abī Dāwud, vol.
III, hlm. 330. Hadits No. 3594. Sebagai catatan, kesahihan hadits ini
diperdebatkan oleh para ulama hadits. Sebagaian ahli hadits, diantaranya Syaikh
Al-Albani men-dla`if-kan hadits ini.
[38] Abdul Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt
al-Tsalāts fī al-Islām, hlm. 24
[39] HR. Al-Tirmidzi dan dikatakan hasan oleh
Al-Albāni. Lihat: Muhammad ibn `Īsā Abū Īsā al-Tirmidzi, Al-Jāmi` al-Şahīh
Sunan Al-Tirmidzi, Tahqiq: Ahmad Muhamad Shākir et.all, Beirut, Dār Ihyā
al-Turāts al-`Arabi, tt, vol. III, hlm. 618. Hadits no. 1331.
[40] Al-Bayhaqi, Al-Sunan al-Kubro, vol.
X, hlm. 252 dalam Software al-Maktabah al-Shāmilah. Hadits senada juga
diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi dalam Al-Jāmi` al-Şahīh Sunan Al-Tirmidzi,
vol. III, hlm. 626. Hadits no. 1341. Bunyi teksnya: أن
النبي صلى الله عليه و سلم قال في خطبته البينة على المدعي واليمين على المدعى
عليه
[41] Abū Dāwud, Sunan Abī Dāwud,
vol. III, hlm. 333. Hadits No. 3597. Bunyi hadits selengkapnya:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا
ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِى يُونُسُ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِى عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ كَعْبَ بْنَ مَالِكٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ تَقَاضَى
ابْنَ أَبِى حَدْرَدٍ دَيْنًا كَانَ لَهُ عَلَيْهِ فِى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- فِى الْمَسْجِدِ فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا حَتَّى
سَمِعَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ فِى بَيْتِهِ فَخَرَجَ
إِلَيْهِمَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- حَتَّى كَشَفَ سِجْفَ
حُجْرَتِهِ وَنَادَى كَعْبَ بْنَ مَالِكٍ فَقَالَ « يَا كَعْبُ ». فَقَالَ
لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَأَشَارَ لَهُ بِيَدِهِ أَنْ ضَعِ الشَّطْرَ مِنْ
دَيْنِكَ قَالَ كَعْبٌ قَدْ فَعَلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ النَّبِىُّ -صلى
الله عليه وسلم- « قُمْ فَاقْضِهِ ».
[42] Tentang hal ini lihat misalnya: Dr. Ahmad
Shalabi, Al-Tashrī` wa Al-Qadlā’ fi al-Fikr al-Islāmi, Kairo, Maktabah
al-Naldlah al-Mişriyah, Cet. 4, 1989, hlm. 229
[43] Al-Māwardi, Al-Ahkām al-Sulţāniyah,
dalam Software Al-Maktabah al-Shāmilah, vol. I, hlm. 486
[44] HR. Muslim dari Abu Hurayrah. Lihat: Muhamad
al-Zuhayli, Tārikh al-Qadlā’, hlm. 52. Teksnya berbunyi:
إن رسول الله صلى الله عليه وسلم مر على صبرة
طعام فأدخل يده فيها فنالت أصابعه بللا، فقال: ما هذا يا صاحب الطعام ؟ قال:
أصابته السماء يا رسول الله.قال: أفلا جعلته فوق الطعام حتى يراه
الناس.من غشنا فليس منا.
[45] Disebutkan oleh beberapa ulama sirah.
Maknanya terdapat juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad.
Lihat: Muhamad al-Zuhayli, Tārikh al-Qadlā’, hlm. 52
[46] Lihat lebih lanjut: Muhamad al-Zuhayli,
Tārikh al-Qadlā’, hlm. 56
REFERENSI
- `Abdul Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt al-Tsalāts fī al-Islām:
Al-Tashrī`, al-Qadlā’, al-Tanfīdz, Kuwait, Dār al-Qalam, Cet. 2,
1405H/1985M
- `Ali ibn `Umar Abu al-Hasan al-Dāraquţni al-Baghdādi, Sunan
al-Dāraquţni, Tahqiq: Al-Sayyid `Abdullah Hāshim Yamāni al-Madani,
Beirut, Dar al-Ma`rifah, 1386H/1966
- Abu al-Rabī` Sulaymān ibn Mūsā al-Kalā`i al-Andalusi, Al-Iktifā’
bi Mā Tadlammanahu min Maghāzi Rasūlillah wa al-Tsalātsah al-Khulafā’,
Tahqiq: Dr. Muhamad Kamāl al-Dīn `Izz al-Dīn `Ali, Beirut, `Ālam al-Kutub,
Cet. 1, 1417H
- Abū Dāwud Sulaymān ibn al-Ash`ats al-Sijistāni, Sunan Abī Dāwud,
Beirut, Dār al-Kitāb al-`Arabi
- Abu Muhamad `Abd al-Malik Ibn Hishām ibn Ayyūb al-Himyari,
Al-Sīrah al-Nabawiyyah, Tahqiq: Ţāhā `Abd al-Ra’ūf Sa`ad, Beirut,
Dar al-Jīl, 1411H
- Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal,
Tahqiq: Shu`aib al-Arna’ūţ .et.al, Beirut, Mu’assasah al-Risalah, cet. 2,
1420H/1999M
- Al-Bayhaqi, Al-Sunan al-Kubro, vol. X, hlm. 252 dalam
Software al-Maktabah al-Shāmilah
- Al-Māwardi, Al-Ahkām al-Sulţāniyah, dalam Software
Al-Maktabah al-Shāmilah
- Dr. `Ali `Abdul Qādir, Al-Fiqh al-Islāmi: Al-Qadlā wa al-Hisbah,
dalam Mawsū`ah al-Hadlārah al-`Arabiyyah al-Islāmiyah, Amman &
Beirut, Dār al-Fāris & Al-Muassasah al-`Arabiyah li al-Dirāsāt wa
al-Nashr, Cet. 1, 1995
- Dr. `Ali Husni al-Kharbuţli, Al-Hadlarah
al-`Arabiyah al-Islāmiyah, Kairo, Maktabah al-Khānji, Cet. 2, 1994,
- Dr. Mahmūd `Ukāshah, Tārīkh al-Hukm fī al-Islām,
Kairo, Mu’assasah al-Mukhtār, Cet. 1, 2002
- Dr. Muhamad al-Zuhayli, Tārikh al-Qadlā’ fī
al-Islām, Beirut, Dār al-Fikr al-Mu`āşir & Damaskus, Dār al-Fikr,
Cet. 1, 1415/1995
- Dr. Naşr Farīd Muhammad Wāşil, Al-Sulţah al-Qadlā’iyah wa
Nidzām al-Qadlā’ fī al-Islām, t.t, Maktabah al-Tawfīqiyyah, cet. 2,
t.th,
- Ibrāhīm Musthafā, dkk (Majma’ Al-Lughah Al-Arabiyah Mesir), Al-Mu’jam
Al-Wasīth, Istanbul, Dār al-Da’wah, 1989
- Khayr al-Dīn Ibn Mahmūd Al-Ziriklī, Al-A’lām, Beirut, Dār
al-‘Ilm li al-Malāyīn, Cet. 15, Mei 2002
- M.M. Sharīf, Al-Fikr al-Islāmi: Manābi`uhu wa Ātsāruhu,
Kairo, Maktabah al-Nahdlah al-Mişriyah, Cet. 8, 1986
- Muhammad ibn `Īsā Abū Īsā al-Tirmidzi, Al-Jāmi` al-Şahīh Sunan
Al-Tirmidzi, Tahqiq: Ahmad Muhamad Shākir et.all, Beirut, Dār Ihyā
al-Turāts al-`Arabi, tt
- Hasan Ibrāhīm Hasan, Tārikh al-Islām:
al-Siyāsi wa al-Dīni wa al-Tsaqāfi wa al-Ijtima`i, Beirut-Kairo,
Maktabah Al-Jīl & Maktabah al-Nahdlah al-Mişriyah, Vol. I, Cet. 14,
1996
- Sulaymān al-Khatīb, Usus Mafhūm al-Hadlārah fī al-Islām,
Kairo, Al-Zahrā’ li al-I`lām al-`Arabi, Cet.I, 1986
http://majelispenulis.blogspot.com/2011/10/sejarah-peradilan-islam.html
0 Response to "SEJARAH PERADILAN DI ZAMAN NABI SAW"
Posting Komentar