Caleg sebagai Komunikator Politik

blogger templates


Buramnya wajah dunia perpolitikan Indonesia tak terlepas dari sepak terjang para politisinya yang mengalami penyimpangan dan tersangkut banyak kasus mulai dari kasus korupsi, penyalahgunaan narkoba, penyuapan dan pencucian uang, tindakan amoral dan lain sebagainya, sehingga menyebabkan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap instutisi politik (Parpol, DPR, Eksekutif, Yudikatif) menjelang pemilu 2014. Menurut hasil survey yang dirilis berbagai lembaga peneliti, meningkatnya jumlah caleg yang maju dalam pemilu tak sebanding dengan partisipasi pemilih. Pada kenyataannya, dari pemilu ke pemilu, partisipasi masyarakat terus menurun. Pada Pemilu 2009 partisipasi pemilih sebesar 71 persen, menurun dibandingkan pemilu sebelumnya (baca: 2004) yang mencapai angka 84 persen. Sedangkan pada Pemilu 1999, di mana euforia reformasi sedang tinggi-tingginya, partisipasi masyarakat dalam menyalurkan hak pilihnya mencapai 93 persen (sumber; LSI).
            Apatisme politik masyarakat bukannya tak beralasan. Hal ini disebabkan perilaku elit politik yang terlibat sederetan kasus kosupsi dan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja elit politik yang melempem. Penyebabnya lainnya adalah ketidakpekaan konstestan (Caleg) pemilu ketika terpilih sehingga masyarakat merasa tidak banyak mendapat manfaat dari pesta politik tersebut, yang terkesan hanya mementingkan diri sendiri dan golongan. Belum lagi tontonan lumrah setiap pemilu adalah terjadinya kerusuhan antara partai politik dalam mendulang suara menjadi penyebab semakin apatisnya masyarakat. Tradisi saling menjatuhkan dan black campaign pesaing parpol menambah rentetan kejengkelan masyarakat terhadap praktik politik di negeri ini.
Pendidikan politik
Apatisme politik masyarakat tentunya tidak boleh dibiarkan begitu saja. Menyikapi hal ini maka partai politik harus mengambil perannya dalam proses pendidikan politik sebagaimana amanat undang-undang bahwa partai politik berfungsi sebagai sarana Sosialisasi Politik, Rekrutmen Politik, Partisipasi Politik, Komunikasi politik, Pengatur Konflik  dan Kontrol Politik. Tentunya pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik bukan hanya kepada masyarakat namun juga harus menyentuh para anggotanya terutama para petarung dalam pemilu 2014 yang kita sebut sebagai caleg agar terhindar dari sikap pragmatisme dan jualan janji-janji manis.
Pendidikan politik merupakan bentuk penyampaian tentang hak, kewajiban dan peranan seluruh masyarakat dalam menciptakan praktek politik secara sehat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentunya, dalam pendidikan politik akan tergambarkan dengan jelas bahwa praktik politik bukan hanya terpusat pada agenda formalitas semata seperti bagi-bagi sembako, bagi-bagi uang, sarung, dan lain sebagainya. Melainkan pendidikan politik harus menyentuh ranah substansial bahwa politik bukan hanya kegiatan formalitas karena majunya bangsa ini dipengaruhi oleh tingginya partisipasi politik masyarakat.
Lantas siapakah yang harus mengambil peran sebagai pengajar pendidikan politik ini. Jawabannya, kita semua memiliki peran penting. Dan aktor utama dalam pendidikan politik adalah mereka yang berada dalam partai politik berserta kontestan pemilu (Baca;Caleg). Menurut Sudiharto pemilu adalah sarana penting dalam demokrasi, karena pemilu merupakan contoh partisipasi rakyat dalam berpolitik. Hal ini terjadi karena banyaknya jumlah warganegara, sehingga mereka harus menunjuk wakil untuk kehidupan Negara. Berdasarkan hal tersebut tentunya sebagai aktor utama, mereka harus mampu menunjukkan tingkah dan perilaku politik yang sehat dan baik kepada masyarakat. Caleg harus mampu mengajarkan dan memberikan pemahaman tentang kekuatan politik dalam pengelolaan bangsa dan Negara. Pertanyaannya, apakah hal ini sudah terjadi? Hanya segelintir saja parpol dan caleg yang mau mengambil peran ini. sedangkan yang lain menyibukkan diri dengan pencitraan dan politik transaksional.
Restorasi Pemikiran Caleg
April 2014 akan menjadi puncak pagelaran pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif. Kontestan pemilu yang menciut dari periode sebelumnya menjadi kelebihan tersendiri, karena masyarakat tidak terlalu dipusingkan dengan warna dan bendera yang bejibun banyaknya. Pemilu 2014, sebanyak 15 partai (12 partai nasional dan 3 partai lokal di Aceh) akan ambil bagian dalam pesta rakyat ini.
Sederhananya dengan jumlah partai politik sebanyak 15 partai dan 1.259 yang akan memperebutkan 81 kursi di DPRA  ditambah 40 calon DPD memperebutkan 4 kursi DPD untuk mewakili provinsi Aceh dengan pola distrik terbanyak. Tentunya dengan data ini menjadi modal sangat besar bagi perpolitikan Aceh. Disadari atau tidak ternyata kita sudah memiliki ribuan komunikator politik yang berasal dari berbagai partai politik dan perwakilan yang sudah siap diterjunkan kepada masyarakat. Belum lagi ditambah dengan jumlah pengurus dari setiap parpol yang tersebar hingga ke ranah ranting (desa) menambah rentetan modal besar yang dimiliki dalam menyukseskan komunikasi politik ini.
Disinilah peran partai politik untuk memberikan bekal kepada para caleg bahwa ajang pemilu bukanlah ajang politik transaksional atau hanya usaha mencari calon pemilih semata. Parpol harus mampu memberikan pemahaman yang mantap kepada para calegnya, bahwa inti dan fungsi parpol adalah BERBUAT bukan PENCITRAAN. Caleg harus membuang jauh-jauh niat PENCITRAAN dari isi pikirannya. Dengan bekal tersebut, caleg akan mampu terjun ke ranah masyrakat sebagai komunikator politik yang baik dan kompeten yang membawa misi menyampaikan politik sebenarnya seperti apa. Sehingga hubungan yang akan dibangun nantinya adalah hubungan politik emosional yaitu politik ikatan antara “wakil” dan “rakyat” bukan politik transaksional yang terbatas hanya sebatas barteran barang/jasa; caleg memberikan bantuan (kain,sembako,uang,dll) dan masyarakat memberikan suara pada saat pencoblosan. Dengan politik emosional yang telah dibangun, maka perilaku dan budaya politik telah mengalami kemajuan yang pesat, efek yang akan diterima bagi pelaku politik adalah program yang baik akan terus dijalankan termasuk ketika Pemilu telah selesai digelar. Apakah si caleg tersebut terpilih ataupun tidak.
Para caleg tidak boleh hanya terfokus untuk pemenangan pemilu melainkan caleg dan partainya harus mampu memberikan bukti nyata dalam setiap kinerja dilapangan. Jika kultur ini terbangun, maka masyarakat tak akan pernah disuguhi dengan potret buram pemilu yang silam dengan berbagai aksi pengrusakan, hingga black campaign kepada parpol dan caleg lainnya. Baik itu dilakukan oleh partai politik, caleg atau bahkan para simpatisannya sendiri. Para caleg, parpol beserta para pengurusnya tidak boleh lagi melarutkan diri pada ambisi meraup suara semata hingga meninggalkan rasionalitas lapangan apalagi sampai melakukan segala cara untuk meraih tujuan tersebut. Namun, partai harus mampu mengembalikan jati dirinya sebagaimana diamanatkan oleh UU Negara ini bahwa partai politik bertujuan menjaga kedaulatan bangsa dan negara serta mewujudkan kesejehteraan bagi rakyat Indonesia dan meningkatkan partisipasi politik dan menghadirkan etika dan kultur politik yang sehat. Ingat, kesejahteraan masyarakat Indonesia bukan pribadi maupun golongan tertentu, jika etika dan kultur ini terjaga maka akan sebanding dengan minta partisipasi politik masyarakat.
Buah yang akan kita petik dari proses pendidikan politik adalah masyarakat bukan hanya menjadi pemilih yang cerdas, namun mampu memunculkan nilai tanggung jawab dengan pilihannya sendiri. Tentunya hal tersebut akan didapat jika para caleg yang menjadi komunikator politik menjalankan tugas dan misinya dengan jujur dan totalitas. Selanjutnya masyarakat lah yang akan menyeleksi dan berpartisipasi politik secara aktif. Sehingga tidak lagi ada istilah golput karena semua telah memiliki pilihan atas dasar proses seleksi yang baik, meskipun pada dasarnya golput pun sebuah pilihan. Di samping itu diperlukan keteladanan dari elite politik, terutama bagi mereka yang akan dipilih. Peran penyelenggara pemilu, LSM, elemen pemuda dan mahasiswa serta para stakeholder pun harus ditingkatkan dalam tahapan sosialisasi yang masif ke berbagai ranah. Setelah tahapan ini semua berjalan dengan baik, maka mari menyambut kedatangan iklim politik yang sehat di negeri ini. Semoga.

0 Response to "Caleg sebagai Komunikator Politik"