Berbicara tentang
tarbiyah maka kita tak bisa melepaskannya dari sosok seorang pemuda luar biasa
yang semenjak usia dini saja sudah mulai melakukan manuver-manuver dakwah agar
mampu merubah kondisi kemasyarakatan. Sosok tersebut adalah Imam Syaikh Syahid
Hasan Al-Banna. Sosok yang tak asing lagi dikalangan para pegiat tarbiyah.
Namun saya tak ingin menjelaskan panjang lebar tentang riwayat hidup beliau,
karena sudah banyak tulisan yang hadir baik dalam bentuk artikel, buku, biografi,
dan sebagainya yang telah mampu menggambarkan keistimewaan dari sosok ini. Yang
harus saya tekankan adalah bahwa saya bukan sedang berada dalam posisi
mengkultuskan Imam Hasan Al-Banna melainkan berada dalam posisi mengagumi sosok
dan karakter yang dimiliki oleh beliau.
Saat
ini begitu banyak orang mulai merasuki dunia tarbiyah bahkan menjadi sebuah
kebanggaan tersendiri bagi orang-orang yang sudah merasakan kenikmatan berada
di alam tersebut. Akan tetapi saya melihat ada sebuah ketimpangan yang saat ini
terjadi diantara para pelakon tarbiyah tersebut. Hal ini termanifestasi dari
sikap dan perilaku yang mulai dihadirkan oleh para pelakon itu. Ketimpangan
yang saya maksudkan disini adalah adanya ketidaksempurnaan dalam praktek sisi
tarbiyah itu sendiri, banyak yang mulai memahami tarbiyah adalah hanya persoalan
antara bergelut dengan quran-shalat-zikir-baca buku islam (manhaj)-qiyamullail-
atau bersemangat dalam ibadah wajib dan sunnah saja. Memang bukanlah sebuah
kesalahan karena itu merupakan perintah dari sang Rabb. Namun, jika kita ingin
membuka catatan tentang tarbiyah maka dunia tarbiyah bukan hanya berbicara
tentang kelebihan dari sisi ibadah (ruhiyah) melainkan tarbiyah mengajarkan
kita untuk menggarap semua aspek agar mendapatkan hasil yang optimal. Imam Hasan
Al-Banna mengingatkan para al-akh agar tidak melupakan proses tarbiyah yang
ada. Proses tarbiyah yang dimaksudkan adalah proses tarbiyah jasadiah, ruhiyah
dan fikriyah. Karena tarbiyah adalah proses membina diri menjadi lebih baik
maka unsur jasadiyah (fisik), ruhiyah (rohani) dan fikriyah (wawasan) menjadi
hal yang tak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain.
Jika
pun dipraktekkan maka untuk memenuhi tuntutan tersebut kita tak membutuhkan
waktu yang relatif lama, contohnya saja dalam hal menjaga kondisi fisik
(jasadiyah) agar tetap prima, kita bisa melakukan stretching ringan, push-up/sit-up/pull-up
dengan jumlah yang ringan, atau hanya sekedar melakukan gerakan senam tangan
dan lain sebagainya. Begitu pula untuk kondisi lainnya (ruhiyah-fikriyah).
Peningkatan
ranah fikriyah harus dilakukan dengan melahap banyak bacaan dari berbagai
literature. Karena tak mungkin ada yang cerdas tanpa membaca, jika pun ada maka
mereka adalah golongan Sok-cerdas yang tentunya kosong kompetensi ilmiah. Konon
lagi perkembangan zaman yang terus melesat dengan pesat maka jika tak dibarengi
dengan wawasan yang luas tentu kita hanya akan menjadi gerombolan-gerombolan
pengekor atau bahkan menjadi korban yang dimangsa zaman.
Sehingga
wajar lah ketika ada seruan memanggil maka jawaban yang sering terlontar adalah
wajah lain dari kemalasan, lelah, kenapa saya selalu, dsb. Maka secara bersama
mari kita mengevaluasi kembali akan proses yang sudah kita jalani. Atau secara
tidak sadar kita telah mengebiri potensi jasadiah yang luar biasa, yang jika
mampu dan mau di asah maka akan lebih bermanfaat untuk kemajuan dakwah.
Begitupula dalam konteks ruhiyah, sudah seberapa sering kita menyiraminya
dengan air mata keikhlasan sehingga pohon keimanan tidak akan menemui masa
ketandusannya. Tentu saja untuk masalah fikriyah pun harus menjadi satu hal penting
untuk kita evaluasi, jangan sampai kita senang/seringkali mengerdilkan potensi
yang dimiliki oleh akal. Banyak cara mudah untuk mengasah ketajamanan fikriyah
(wawasan) bisa dengan membudayakan diskusi, mencari forum-forum transfer
keilmuan baik formal maupun informal. Sehingga dengan begitu kita telah mentransformasikan
nilai tarbiyah itu ke dalam sisi pribadi yang unggul dan handal. Bukan malah
menjadi pribadi yang kaku akan aturan yang ada melainkan mampu membaca kondisi
dengan nilai kekinian dan menjadi pribadi Solutif diranah masyarakat. Wallahu
a’lam bish shawab
0 Response to "Optimalisasi Nilai Tarbiyah"
Posting Komentar