Membentengi UIN dari Liberalisme

blogger templates


Tulisan “UIN bukan Agen Liberalisme” oleh saudara M. Ridha Basri(RB) di Serambi Indonesia edisi Sabtu (04/01/2014) bagi saya sangat menarik untuk dicermati. Tulisan itu barangkali diawali oleh satu satu semangat, bahwa UIN tidak mutlak menjadi markas kaum liberal, bahwa UIN bukanlah “pabrik” pemikiran liberal. RB memberi contoh statmen rektor UIN Ar-Raniry yang menyatakan bahwa UIN Ar-Raniry tidak menjadi liberal. Namun anehnya, secara umum tulisan tersebut justru berakhir pada kesimpulan bahwa Liberalisme bukanlah sesuatu yang berbahaya bagi umat Islam. Meskipun paham liberalisme sulit berkembang di perguruan tinggi umum karena kekalahan logia mereka, tapi sebagai mahasiswa dari luar institusi Islam saya memandang liberalisme merupakan persoalan masyarakat secara umum, utamanya karena paham ini telah diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) lewat fatwa tahun 2005. Fatwa ulama tentu lebih dekat dengan kebenaran.
Dalam paragraf ke delapan misalnya, RB menulis “Sebenarnya tidak ada yang salah dengan munculnya gagasan pemikiran pembaharuan tersebut, karena dalam kehidupan manusia selalu dituntut untuk mengembangkan hal-hal baru”. Disini RB ingin menyampaikan kepada pembaca, bahwa menerima liberalisme adalah suatu keharusan dalam mengikuti perkembangan zaman dengan menerima pembaharuan  liberal. Sedikitpun RB tidak menjelaskan definisi Liberal itu sehingga terkesan ambigu bagi pembaca. Padahal, sudah lumrah dipahami bahwa liberalisme yang sering muncul di perguruan tinggi Islam dan sering dipersoalkan oleh umat Islam adalah liberalisme yang menolak Islam sebagai satu-satunya agama yang benar di sisi Allah Swt serta membenarkan semua ajaran yang menyimpang dari akidah Islam, seperti pembenaran terhadap gerakan Homo, Lesbian, Gay, Ahmadiyah dan sebagainya yang sering ditunjukkan oleh Jaringan Islam Liberal(JIL) yang digawangi oleh Ulil Absar Abdalla dan kawan-kawannya. Kalau liberalisme dalam artian paham untuk mengajak umat Islam agar menggunakan nalar mereka untuk maju, tentu ini bukan persoalan karena memang akal menempati posisi yang strategis dalam Islam. Akidah Islam mengajarkan kita, fungsi akal adalah untuk berfikir dan menggali pesan-pesan langit dengan dibimbing oleh wahyu. Bukan sebaliknya, akal yang membimbing wahyu. Ini bisa dipahami mengingat akal manusia memiliki banyak keterbatasan
Jujur menilai Liberal
Kalau kita membaca agenda liberalisme versi Jaringan Islam Liberal (JIL) di situs mereka, secara nyata jaringan ini antara lain “mempercayai kebenaran yang relatif dan juga hendak memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik”.
Manifesto tersebut menampakkan bagaimana sporadisnya pemikiran mereka yang tak memiliki “garis pinggir” untuk menjaga alur gagasan. Padahal, bukankah Allah telah menegaskan bahwa agama yang benar di sisi Allah itu hanyalah Islam? lalu, apakah akidah Islam memandang kebenaran agama itu relatif yang berujung pada pembenaran semua agama di luar Islam? Sekiranya semua agama bisa benar, maka tentu Alquran dan Hadits tidak akan memberikan banyak gambaran dan informasi seputar bahaya kesyirikan dan ancaman siksa yang berat bagi setiap musyrik (yang menduakan Allah Swt). Sekiranya semua agama benar, maka Rasulullah tidak akan menginformasikan kepada umatnya bahwa Islam sebagai satu-satunya agama benar memiliki lima rukun sebagai fondasinya, dimana rukun pertama adalah mengucap dua kalimah syahadat, yaitu sebuah bersaksi pada tidak ada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad Saw itu adalah utusan Allah Swt.
Nah, apakah akidah Islam akan bisa menganggap kebenaran agama itu relatif alias semua bisa benar? Sementara kita tahu banyak manusia yang menduakan Allah Swt, banyak pula manusia yang menolak kenabian Muhammad walaupun telah jelaslah kerasulan Muhammad. Dan yang paling membahayakan dari paham liberalisme adalah karena mereka dengan tegas berprinsip memisahkan antara otoritas duniawi dan ukhrawi. Apakah prinsip seperti ini berasal dari Islam? Bukankah Nabi Muhammad Saw sebagai juga sebagai kepala Negara yang mengatur Negara dengan sistem Islam?
Di hadapan realitas kegamangan paham liberalisme ini, Akmal Sjafril, seroang aktivis Indonesia Tanpa JIL, menjelaskan bahwa istilah 'Islam liberal' bukan hanya rancu, tapi juga tidak jelas batasnya. Dalam konteks sebagai manusia beradab, maka setiap kebebasan pasti ada batasnya. Tidak ada kebebasan yang tidak berbatas, kecuali kita bukan manusia, atau kita sudah tidak beradab".
Menurut Akmal, "Islam liberal yang kita hadapi sekarang jauh lebih ganas ketimbang Islam liberal pada awal 2000-an. Dari masa ke masa, penyimpangan itu semakin jauh. Ulil Abshar Abdalla, misalnya, sudah beberapa kali ia mengatai lawan debatnya di twitter dengan kata 'tolol'.” Inilah di antara watak radikal dari paham liberalisme tersebut. Sementara itu, Haidar Bagir dalam kolom Republika (20 Maret 2002) mengatakan: “Islam Liberal Butuh Metodologi”. JIL dikatakannya tak memiliki metodologi. Istilah ”liberal”, menurutnya, cenderung menjadi “keranjang yang ke dalamnya apa saja bisa masuk”. Tanpa metodologi yang jelas akan menguatkan kesan, Islam liberal adalah ”konspirasi manipulatif untuk menggerus Islam justru dengan meng-abuse sebutan Islam itu sendiri”.
Membendung virus liberalisme
Sebuah fakta yang sulit dibantah, bahwa lingkungan IAIN/UIN di Indonesia menjadi “sarang” paling nyaman bagi berkembangnya virus liberalisme dengan alasan studi keIslaman. Beruntung paham-paham seperti ini tidak laku di perguruan tinggi umum. Mereka menggunakan UIN sebagai “ladang” garapan agar mudah berkamuflase dalam referensi-refensi ilmiah yang diajarka, sembari berdalih untuk “memperdalam” makna keilmuan Islam maka kritisilah sebaik mungkin. Saya tidak ingin mengatakan bahwa virus ini dikembangkan oleh IAIN/UIN secara institusi karena faktanya memang tidak demikian. Namun merspon opini yang ditulis RB, seharusnya RB mendudukkan persoalan liberalisme ini secara adil. Bahwa benar UIN/IAIN bukan agen liberalisme, tapi ini bukan berarti liberalisme menjadi sebuah paham yang benar menurut akidah Islam. Liberalisme bukan jalan mendobrak kejumudan umat Islam, karena memang paham ini tidak lain hanya mengajak umat Islam untuk ragu dengan kebenaran agamanya , seraya itu juga menjelaskan bahwa modernisme itu adalah sebagaimana yang ditulis oleh Barat berupa Westernisasi.
            Yang dibutuhkan dari umat ini untuk maju adalah memiliki nalar kritis yang terukur dan jelas dalam mengkaji dan menganalisis berbagai disiplin ilmu.  Dalam artian setiap sisi “liberal”nya memiliki batasan ruang gerak, batasan akan sebuah keilmuan hanyalah tidak memasuki ranah ketuhanan karena hal tersebut merupakan sebuah kemutlakan hakiki yang tak pantas untuk dikaji kembali agar keraguan tidak menghinggapi umat Islam setelah kita dibimbing oleh wahyu.
            Untuk mencapai kemajuan, kita harus mampu mengintegrasikan antara hati kita, akal dan wahyu dengan menempatkan posisi wahyu di atas akal. Yang harus kita lakukan adalah berjuang sekuat mungkin memfungsikan akal untuk meraih kemajuan dalam bidang sains dan teknologi karena memang Islam memerintahkan kita demikian, menempatkan wahyu di atas akal saat akal kita mencoba menalar akidah Islam agar kita tidak menjadi peragu. Dengan meninggalkan salah satunya maka dipastikan ketimpanganlah yang akan dihasilkan. Jadi, bukan dengan mengadopsi pemikiran liberalisme yang memang tidak pernah menawarkan solusi yang nyata misalnya atas ketertinggalan umat Islam dalam bidang sains dan teknologi.
Maka akhirnya, Gerakan #AcehTanpaJIL yang sudah dideklarasikan oleh para mahasiswa dan didukung oleh para ulama haruslah mampu kita kampanyekan secara massif kepada masyarakat umum sebagai bentuk edukasi dalam upaya membendung virus bahaya tersebut. Ini sebagai respon kita atas fatwa yang telah dikeluarkan MUI pusat, sekaligus sebagai untuk menjaga Aceh kita agar tetaplah  menjadi yang terdepan dalam menjaga kemurnian ajaran Islam. Wallahu a’lam bishshawab.

0 Response to "Membentengi UIN dari Liberalisme "