Nasikh dan mansukh

blogger templates
Ilmu Nasikh & Mansukh

A. Pengertian Nasikh Wal Mansukh
Al-Qattan berkata, istilah nasikh menurut bahasa berarti izalah yakni menghilangkan. Misalnya nasakhati ayamsu az-zilla ( matahari menghilangkan bayang-bayangan ). Selanjutnya, Al-Qattan menyebutkan bahwa kata nasikh juga dipergunakan untuk menghapuskan jejak pertahanan. Juga bermakna memindahkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lain.

Lebih lanjut Rosihin Anwar dengan mengutip beberapa ulama ulumul qur’an, seperti Az-Zarqani As-Suyuthi bahwa selain bermakna tersebut diatas, nasikh juga bermakna tabdil yang artinya penggantian, tahwil yang berarti memalingkan, dan naql yang berarti memindahkan dari suatu tempat ke tempat yang lain.

Menurut Quraish Shihab, secara etimologis kata nasikh dipakai untuk beberapa makna, antara lain pembatalan, penghapusan, pemindahan sesuatu dari suatu wadah ke wadah yang lain. Oleh karena sesuatu yang bermakna yang membatalkan, menghapus, memindahkan dan sebagainya, dinamai nasikh. Adapun yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, dan sebagainya dinamakan mansukh.

Adapun pengertian nasikh sacara termonologis (istilah) sebagaimana dikemukakan oleh Manna’khalil al-qattan adalah mengangkat(menghapuskan) hukum syarak dengan dalil hukum (khitab) syarak yang lain. Adapula yang mendefinisikan nasikh adalah menghapuskan hukum syarak dengan khitab syarak pula. Maksud menghapuskan di sini adalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seseorang mukalaf, dan bukan terhapusnya substansi hukum itu sendiri.


Para ulama mutaqadimin yakni para ulama yang hidup sekitar abad ke-1 sampai dengan abad ke-3 hijriah, sebagaimana dikemukakan oleh Asy-Syaitibi dalam Al-Mufawaqat Fi Usul Asy-Syari’ahb yang dikutip oleh Quraish Shihab, memperluas makna nasikh sehingga mencakup beberapa hal berikut :

1. Pembatalan hukum yang ditetapakan terdahulu oleh hukum yang ditetapakan kemudian;
2. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian;
3. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar,
4. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.

Bahkan menurut Muhammad Abd. Azhim al-Zarqaniy, seperti juga yang dikemukakan oleh Quraish Shihab, diantara mereka ada yang beranggapan, bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan berdasarkan suatu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda. Misal, perintah untuk bersabar dan menahan diri, pada periode Makkah disaat kaum muslimin masih dalam keadaan lemah, dianggap telah dinasakh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah.
Sementara itu, para ulama mutaakhirin (para ulama yang datang kemudian sebagaimana dikemukakan oleh Quraish Shihab, bahwa nasikh itu terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah hal yang ditetapkan diakhir.

Dalam pandangan kelompok yang pro-nasakh mensinyalir, bahwa penetapan maupun pencabutan suatu hukum oleh al-Qur’an terhadap ayat al-Qur’an lain didasarkan oleh pertimbangan kemaslahatan. Sehingga, dalam konteks ini, ada yang menganalogikannya dengan turunnya al-Qur’an kepada nabi secara berangsur-angsur. Ayat al-Qur’an, diturunkan oleh Allah sesuai dengan realitas yang berkembang serta memperhatikan kesanggupan umat manusia yang mukallaf terhadap pesan yang dibawa oleh al-Qur’an itu sendiri.

Adapun yang dimaksud dengan mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan atau mansukh bermakna hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.

B. Rukun dan Syarat Naskh
1. Adat Naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
2. Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena Dia-lah yang membuat hukum dan Dia pula lah yang menghapusnya.
3. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan atau dipindahkan.
4. Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.
Adapun syarat-syarat naskh adalah
1. Yang dibatalkan adalah hukum syara’
2. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’
3. Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti dinaskh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
4. Tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian.
Dengan demikian, ada dua lapangan yang tidak menerima nasakh, yaitu:
a. Seluruh khabar/aqidah baik dalam al-Qur’an maupun As-Sunnah. Sebab, pembatalan khabar berarti mendustakan khabar itu sendiri pula. Sedangkan al-Qur’an dan as-Sunnah tidak mungkin berbohong.
b. Hukum-hukum yang disyariatkan secara abadi.

C. Klasifikasi Nasikh Wal Mansukh
Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, naskh dalam al-Qur’an dibagi menjadi empat macam yaitu:
1. Naskh sharih, yaitu ayat yang jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu. Misalnya ayat tentang perang (qital) pada ayat 65 surat al-anfal yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh orang kafir:

 يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا  (٦٥)بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَفْقَهُون
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat orang mukmin untuk berperang. Jika ada dua pulub orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang sabar diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab orang-orang kafir adalah kaum yang tidak mengerti.”(QS. Al-Anfal:65)
Yang kemudian dinasakh oleh ayat selanjutnya
الآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ (٦٦
“Sekarang, Allah telah meringankan kamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan. Maka jika diantara kamu ada seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika diantara kamu terdapat seribu orang yang sabar, mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.” (QS. Al-Anfal:66)
2. Naskh dhimmy, yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan, dan tidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta keduanya diketahui waktu turunnya, ayat yang kemudian menghapus ayat-ayat terdahulunya. Contohnya: ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam surat al-Baqarah 180.
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat bagi ibu-bapak serta karib-kerabatnya secara ma’ruf.”
Menurut pendukung teori nasikh-mansukh ayat ini dinaskh oleh hadis “la wahiyyah li waris” (Tidak ada wasiat bagi ahli waris).
3. Nash kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan. Contoh: ketentuan ‘iddah empat bulan sepuluh hari pada surat al-Baqarah ayat 234 dinaskh oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada ayat 240 di surat yang sama.
4. Naskh juz’iy, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya berlaku pada sebagian individu. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur ayat 4, dihapus oleh ketentuan li’an, yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah jika si penuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama.
Ditinjau dari keberadaan ayat dan hukumnya, nasikh dan mansukh dalam Al-Quran dapat dibagi menjadi tiga:
1. Penghapusan Hukum Dan Bacaan Secara Bersamaan (nasikh al-hukmi wa at-tilawah ma’a)
Ayat-ayat yang termasuk dalam kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan diamalkan. Misalnya disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan dari Aisyah r.a

عَنْ عَائِشَةَ،أَنَّهَاقَالَتْ:"كَانَ فِيمَاأنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ:عَشْرُرَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ،ثُمَّ نُسِخْنَ،بِخَمْسِ مَعْلُومَاتٍ،فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ"
"Diriwayatkan dari 'Aisyah, dia berkata: Adalah di antara yang diturunkan dari Al-Qur'an adalah sepuluh kali susuan yang maklum (jelas diketahui) itu menyebabkan mahram, kemudian ketentuan ini dinasakh dengan lima kali susuan yang maklum, sampai Rasulullah SAW wafat lima kali susuan ini termasuk ayat Al-Qur'an yang dibaca." (H.R. Muslim)

Maksud dari hadist diatas, bahwa ketentuan tentang susunan ini tidak ada lagi di dalam Al-Qur’an, baik bacan maupun hukumnya. Naskh ayat tentang radha’ah itu tidak sampai kepada semua orang, sehingga sampai Rasulullah SAW wafat masih ada yang membacanya. Karena sudah di nasakh tilawahnya, maka ayat tersebut tidak terdapat di dalam mushaf ‘Utsmani’.

2. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaan tetap ada (nasikh al-hukmi wa tilawatuha yabqa)
Misalnya, ajarkan para penyembah berhala dari kelompok musyrikin kepada orang-orang muslim untuk bergantian dalam beribadah telah dihapus oleh ayat qital. Contoh nasikh jenis ini adaah (surat al-mujadilah ayat 12) dinasakh oleh surat yang sama ayat 13 berikutnya. Yang dinasakh hanya hukumnya, sedangkan tilawah keduanya tetap ada dalam mushf ‘Utsmani’.
يَاأَيُّهَاالَّذِ ينَ آمَنُوا إِذا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدَّ مُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تُجِدُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ(١٢) 
"Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Al-Mujâdilah 58: 12)
ءَأشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذلَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوااللهَ وَرَسُولَهُ وَاللهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ(١٣)
"Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Q.S. Al-Mujâdilah 58: 13)
Hukum memberikan sedekah terlebih dahulu kepada orang miskin sebagai syarat untuk rasulullah saw pada ayat 12 diatas, dinasakh oleh ayat 13 berikutnya sebagai keringanan bagi umat.

3. Penghapusan terhadap tilawah atau bacaanya saja, sedangkan hukumnya  tetap berlaku (nasikh at-tilawah, wa hukmuha yabqa)
Contoh naskh jenis ini adalah apa yang diriwayatkan dari umar bin khatab dan ubayya ibn ka’ab bahwa keduanya berkata, diantara ayat yang pernah diturunkan adalah ayat:
الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ نَكَالاًمِنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيزٌحَكِيمٌ
"Orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina maka rajamlah keduanya dengan pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (H. R. Ibnu Hibban dan Ibn Majah)
Hukum rajam masih berlaku tetapi ayat tersebut adalah dinasakh sehingga tidak ditemukan dalam mushaf ‘Utsmani’.





D. Hikmah Nasikh Dan Mansukh
Hikmah keberadaan Nasikh dan Mansukh diantaranya sebagai berikut:
1. Memelihara kepentingan hamba.
2. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
3. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
4. Menghendaki kebaikan bagi umat. Sebab jika Nasikh itu beralih ke hal yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala,dan jika beralih ke hal yang mengandung kemudahan dan keringanan.
Pengetahuan yang benar terhadap teks yang nasikh dan yang mansuh,disamping dapat membantu seseorang didalam memahami konteks diturunkannya.

E. Pendapat Ulama Tentang Nasikh Dan Mansukh
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan yang menerima adanya nasikh mansukh dan ada pula yang menolaknya. Kedua kelompok ulama ini memberikan argumentasinya masing-masing, sebagaimana dijelaskan berikut ini:
1. Kelompok Yang Menolak Adanya Nasikh Dalam Al-Qur’an
Kelompok pertama adalah kelompok yang menolak keberadaan nasikh dalam Al-Qur’an. Di antaranya adalah Abu Muslim Al-Asfahani dan Iman Ar-Raji.
Menurut al-ashafani bahwa secara logika nasikh bisa saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi pula itu ditinjau dari syariat. Selanjutnya al-ashafani sebagaimana dikutip ash-shidiqy berkata, jika ada hukum dalam al-qur’an dan ada ayat yang telah dimansukh berarti membatalkan sebagian isinya. Membatalkan itu berarti menetapkan bahwa dalam Alquran ada yang batal atau salah. Oleh karena itu, ia dengan tegas menolak sepenuhnya nasikh dalam Alquran. Hal ini berdasarkan ayat Alquran “

لاَيَأْ تِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْ بۢيْنِ يَدَيْهِ وَلاَمِنْ خَلْفِهِ ۗ تَنْزِيْلٌ مِّنْ حَكِيْمٍ حَمِيْدٍ
‎Yang tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang (pada masa lalu dan yang akan dating, yang diturunkan dari tuhan yang bijaksana, maha terpuji.” (QS Fushilat :41-42)

Lebih lanjut Asfahani berkata, mengingatkan bahwa Alquran itu syariat yang diabadikan hingga hari kiamat dan menjadi hujjah atas manusia sepanjang masa, maka tidaklah pantas jika padanya ada ayat ayat yang mansukh. Kalau sunnah boleh saja dinasikh, karena ia sebagiannya datang untuk seketika saja, lalu dinasikh dengan sunnah yang datang sesudahnya. Dan mengingatkan bahwa kandungan Alquran bersifat kulliyah (general), bukan juziyyah (lebih khusus). Hukum-hukum yang diterangkan juga bersifat ijmali (umum), bukan secara tafsili (terperinci). Dengan demikian, menurutnya hukum-hukum Alquran tidak akan ada yang dibatalkan atau dinasikh untuk selamanya. Dan ayat-ayat tentang nasikh semua ia tasiskan.
Adanya kelompok ulama yang menolak adanya nasikh dalam Alquran ini, karena mereka berbeda pendapat ketika menafsirkan kata (ayat) yang terdapat dalam surat (Albaqarah ayat 106) di atas. Mereka mengatakan bahwa ayat yang dimaksud adalah mukjizat para nabi. Selanjutnya untuk memperkuat argumentasi ini, mereka mengemukakan firman Allah yang artinya sebagai berikut “Tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, (karena) ia diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushilat: 42).

Menurut al-Ashfani, bertolak dari ayat diatas, al-Qur’an tidak mungkin disentuh pembatalan. Sudah tentu, mayoritas ulama’ merasa keberatan terhadap pendapat al-Ashfani, sebab bagi mereka, ayat tersebut tidak berbicara tentang “pembatalan”, tetapi tentang “kebatilan” yang merupakan lawan dari “kebenaran”. Juga, menurut mereka, hukum Tuhan yang dibatalkannya tidak mengandung keharusan bahwa hukum itu batil, sebab suatu yang dibatalkan penggunaannya ketika terdapat perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu, bukan berarti hukum itu menjadi tidak benar.

Lebih jauh lagi, Quraish Shihab menyimpulkan, bahwa semua ayat al-Qur’an pada dasarnya berlaku. Ayat hukum yang tidak kondusif (berlaku) pada suatu waktu, pada waktu yang lain akan tetap berlaku bagi orang-orang yang memiliki kesesuaian kondisi dengan apa yang  ditunjuk oleh ayat yang bersangkutan.



2. Kelompok yang Menerima Adanya Nasikh Mansukh dalam Alquran
Kelompok kedua ini diikuti oleh mayoritas jumhur ulama untuk memperkuat pendapatnya, kelompok ini mengemukakan berbagai argumentasi, baik yang bersifat aqliyah (berasal dari rasio) maupun naqliyah (berasal dari Alquran) :
a. Bahwa perbuatan – perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada sewaktu-waktu dan melarang pada sewaktu-waktu yang lain. Karena hanya Dia-lah yang lebih mengetahui kepentingan hukumnya.
b. Nas-nas kitab (Alquran) dan sunnah menganjurkan adanya kebolehan nas dan terjadinya. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan adalah Firman Allah berikut.“

مَانَنْسَخْ مِنْ اٰيَةٍ اَوْنُنْسِهَانَأْتِ بِخَيْرٍمِّنْهَآاَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ اللهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
“Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan,pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” (Q.S.Al-Baqarah {2{:106)
يَمْحُوااللهُ مَايَشَآءُوَيُثْبِتُۚ وَعِنْدَه أُمُّ الْكِتٰبِ
“Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Dan di sisi-Nya terdapat Ummul-Kitab.” (Q.S.Ar-Rad{13}:39)

Berdasarkan dua ayat di atas, dapat dipahami bahwa dalam Al-Qur’an itu terdapat nasikh. Dan menurut mereka maksud kata ”ayat” yang di-nasikh itu adalah ayat Al-Qur’an yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum.

Gagasan lain yang diungkapkan oleh para ulama yang mendukung adanya nasikh dalam Al-Qur’an adalah penerapan perintah-perintah tertentu kepada kaum muslimin di dalam Al-Qur’an hanya bersifat sementara dan jika keadaan telah berubah, perintah dihapus dan diganti dengan perintah yang baru. Akan tetapi, karena perintah-perintah itu adalah kalam Allah ia harus dbaca sebagai bagian dari Al-Qur’an.
Selanjutnya, para ulama yang mendukung adanya nasikh dalam Al-Qur’an didukung oleh berbagai dalil (argumentari) yang kuat. Diantara dalil-dalil yang mereka kemukakan adalah sebagai berikut.
a. Nasikh tidak merupakan hal yang terlarang menurut akal pikiran, dan setiap yang tidak dilarang berarti boleh.
b. Seandainya nasikh tidak dibolehkan akal dan tidak terjadi dalam nasikh, syar’i  tidak boleh memerintahkan sesuatu kepada hamba-Nya, dengan perintah sementara dan melarang dengan larangan sementara pula.
c. Seandainya nasikh tidak boleh menurut akal dan terjadi menurut sam’iyat, tidak akan ditetapkan risalah Muhammad saw. Kepada seluruh alam, sedangkan semuanya mengakui bahwa risalah berlaku untuk seluruh alam dengan dalil yang pasti.
d. Terdapat dalil yang menunjukkan nasikh terjadi menurut nasikh. Oleh karena itu, keadaan terjadi (al-wuqu’) membawa pengertian boleh bertambah (al-jawad wa az-ziyadah).

Maka jelaslah apa yang dikatakan oleh para ulama bahwa ayat di-nasikh itu masih tetap ayat Al-Qur’an yang mengandung ketentuan hukum. Dengan demikian, menurut para pendukung nasikh, hukum Tuhan yang di-nasikh atau dibatalkan (diganti) bukan berarti batil, sebagamana dikemukakan oleh Al-Asfahani. Sesuatu yang dibatalkan pengggunanya, karena ada perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu, bukan berarti bahwa yang dibatalkan itu ketika diberlakukan merupakan sesuatu yang tidak benar. Dengan demikian, yang dibatalkan dan membatalkan adalah hak dan benar, bukan batil.
Perbedaan pendapat tentang ada dan tidaknya nasikh, menurut para ahli disebabkan oleh perbedaan pandangan tentang ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Sebagamana dilansirkan oleh Rosihon Anwar,Ibn Kasir, Al-Maragi, dan Al-Asfahani memiliki perbedaan diametral dalam memandang persoalan nasikh. Ibn Kasir dan Al-Marag menetapkan adanya pembatalan hukum dalam Al-Qur’an. Akan tetapi, Al-Asfahani dengan tegas menyebutkan bahwa Al-Qur’an tidak mungkin disentuh pembatalan meskpun pada umumnya dia sepakat tentang adanya, (a) pengecualian Ibn Kasir memandang ketiga hal tersebut sebagai nasikh, sedangkan Al-Asfahani mengatakan bukan naskh, tetapi takhsis (pengkhususan) karena menurutnya tidak ada nasikh dalam Al-Qur’an. Jika memang dalam Al-Qur’an ditemukan hukum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasikannya dapat dilakukan proses pen-takhsis-khukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang emudian, (b) penjelasan susulan terhadap hukum terdahulu yang ambigu, (c) penetapan syarat terhadap hukum yang terdahulu yang belum bersyarat.

Ibn Kasir memandang ketiga hal tersebut sebagai nasikh, sedangkan Al-Asfahani mengatakan bukan nasikh, tetap takhsis (pengkhususan) karena menurutnya tidak ada nasikh dalam Al-Qur’an. Jika memang dalam Al-Qur’an ditemukan hukum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasikannya dapat dilakukan proses pen-takhsis-an. Dengan demikian, menurutnya, takhsis adalah mengeluarkan sebagian satuan dari satua-satuan yang tercakup dalam lafadz yang ‘amm.
Selanjutnya, Muhammmad Abduh dalam Rasyid Ridho menolak adanya nasikh dalam arti pembatalan. Ia lebih setuju dengan adanya “tabdil” yang bermakna penggantian, pengalihan, pemindahan ayat huum ditempat ayat hukum yang lain. Dengan demikian, pemahaman Abduh di sini sama dengan sebagian definisi nasikh diatas, yakni “pemindahan sesutu dari satu wadah ke wadah yang lain.” Berdasarkan pendapatnya ini, seua ayat Al-Qur’an tetap berlaku, dan di dalamnya tidak ada kontadiksi, yang ada hanyalah pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian, ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya tetap dapat berlaku bagi orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula. Pemahaman demikian akan sangat membantu dakwah Islam sehingga ayat-ayat hukum yang bertahap tetap dapat dijalankan oleh mereka yang kondisinya sama atau mirip dengan kondisi umat Islam pada masa awal Islam.








KESIMPULAN
Adapun pengertian nasikh adalah mengangkat (menghapuskan) hukum syarak dengan dalil hukum (khitab) syarak yang lain. Adapula yang mendefinisikan nasikh adalah menghapuskan hukum syarak dengan khitab syarak pula. Adapun yang dimaksud dengan mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan atau mansukh bermakna hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.

Perbedaan nasikh wal Mansukh, Nasikh yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Sedangkan mansukh adalah hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
Pendapat ulama’ tentang nasikh mansukh, ada yang menolak adanya Nasikh dalam Al-Qur’an. Di antaranya adalah Abu Muslim Al-Asfahani dan Iman Ar-Raji. Dan kelompok yang menerima adanya Nasikh Mansukh dalam Alquran yang diikuti oleh mayoritas jumhur ulama.

0 Response to "Nasikh dan mansukh"