A. Dhamir,
Ma’rifah dan Nakirah
1. Dhamir
Isim dhamir
yaitu kata ganti untuk membicarakan atau orang pertama, dan orang yang diajak
bicara atau orang yang kedua seperti انا
dan نتا
dan untuk orang ketiga هو. Dhamir itu dapat dibagi menjadi dua yaitu: Pertama dhamir
bariz, yaitu dhamir yang ada bentuknya (berupa lafaz) seperti ت pada kata فتحت.
Kedua dhamir mustatir, yaitu dhamir yang tidak ada bentuknya (tidak
tampak berupa lafaz), melainkan hanya dalam pemahaman saja, seperti dalam
dhamir pada fi’il فهم dhamirnya هو.[1]
Fungsi Dhamir
- Untuk
menggantikan penyebutan kata-kata yang banyak dan menempati kata-kata itu
secara sempurna, tanpa mengubah makna yang dimaksud dan tanpa pengulangan.[2]
- Isim
Ma’rifah
Isim ma’rifah
adalah isim yang diketahui maksudnya.[3]
Fungsi Isim Ma’rifah
- Penggunaan
isim ma’rifah dalam bentuk dhamir befungsi untuk menempati posisi sebagai
mutakallim, mukhatab atau ghaib. Contoh
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ
Penggunaan
dhamir هو menunjukkan kepada Allah Swt berfungsi untuk menempatkan Dia
sebagai objek yang sedang dibicarakan.
- Penggunaan
kata ma’rifah dalam bentuk isim ‘alam memiliki 3 fungsi, di antaranya:
-
Menunjukkan kehadiran atau keberadaan
-
Mengagungkan
-
Merendahkan
c.
penggunaan isim ma’rifah yang berbentuk isyarah berfungsi
- Membedakan atau mengistimewakan
- Sindiran
- Merendahkan dari dekat
- Mengagungkan dari jauh
d. Penggunaan isim ma’rifah yang
berbentuk isim mausul berfungsi:
- Menunjukkan
ketidaksenangan atas penyebutan orang dengan nama aslinya, baik dengan alasan melindungi,
merendahkan, dan sebagainya,
- Menghendaki manka umum
- Meringkas
e. Isim ma’rifah
yang menggunakan alif dan lam berfungsi:
- Menunjukkan sesuatu diketahui
karena telah disebutkan dahulu
- Menunjukkan sesuatu yang
telah diketahui oleh pendengarannya
- Menunjukkan makna secara
keseluruhan
- Menunjukkan hakikat makna
secara keseluruhan
- Menunjukkan seluruh
pengertian yang tercakup di dalamnya.
f. Isim ma’rifah
yang menggunakan idhafah berfungsi:
- Memuliakan atau pemberian
penghargaan
- Menunjukkan pengertian umum
3. Isim
Nakirah
Isim nakirah adalah isim yang
pengertiannya tidak tertentu.[4]
Fungsi
Isim Nakirah
a. Menghendaki
kesatuan
b. Menghendaki
satu jenis
c. Untuk
menunjukkan “satu” dan “jenis” sekaligus
d. Mengagungkan
atau menghormati
e. Memperbanyak
f. Untuk
mengagungkan dan menunjukkan banyak
g. Menghinakan
h. Menyedikitan
B. Penyebutan
Kata Benda Dua Kali Murad dan Jamak
1. Pengulangan
ma’rifah dengan ma’rifah
Apabila kedua-duanya ma’rifah, maka
pada umumnya isim yang kedua adalah yang pertama. Karena merujuk kepada makna
dasar dari alif dan lam dan idhafah yang menunjukkan kepada makna sesuatu yang
sudah diketahui.[5]
2. Pengulangan
nakirah dan nakirah
Jika
keduanya nakirah, maka isim yang keduanya biasanya bukan yang pertama. Artinya:
kata yang kedua itu tidak sama konotasinya dengan kata yang pertama meskipun
bentuk dan bacaannya persis sama dengan yang pertama.
3. Pengulangan
nakirah dengan ma’rifah
Jika yang pertama nakirah dan yang
kedua ma’rifah maka yang kedua itu adalah yang pertama, karena sudah diketahui.
Artinya: kata yang kedua menunjuk kepada objek yang pertama.[6]
4. Pengulangan
ma’rifah dengan nakirah
Jika yang pertama ma’rifah sedang
yang kedua nakirah, maka tergantung pada qarinahnya (konteks). Apabila konteksnya
menunjukkan pemahaman yang berbeda maka pemahaman kedua kata tersebut berbeda
pula, jika konteksnya menunjukkan pengertian yang sama, maka pengertian kedua
kata itu sama pula.
Mufrad
dan Jamak
Mufrad adalah sesuatu yang menunjukkan
makna tunggal, sedangkan jamak adalah sesuatu yang menunjukkan makna banyak.
Contoh: pada lafaz السماء ia terkadang disebutkan dalam bentuk jamak dan
terkadang dalam bentuk mufrad, sesuai dengan keperluannya. Jika lafaz yang
dimaksudkan adalah “bilangan” maka ia didatangkan dalam bentuk jamak yang
menunjukkan betapa sangat besar dan luasnya, seperti
سبح
لله مأ في السموات dan jika lafaz tersebut dimaksudkan adalah
“arah” maka ia didatangkan dalam bentuk mufrad
اامنتم من في السماءyang
terdapat dalam surah al-Mulk:16. Akan tetapi, ada pula kata yang dipakai dalam
al-Qur’an dalam mufradnya saja yang disebutkan dan tidak pernah sekalipun
disebutkan dalam bentuk jamak, seperti kata ارض
yang terulang dalam berbagai ayat al-Qur’an sebanyak 461 kali.[7]
C. Jamak
dan Jamak atau dengan Mufrad
Jamak dengan jamak ialah menempatkan kata
jamak setelah kata jamak, karena letak keduanya berdekatan, seakan-akan
keduannya berhadap-hadapan, terkadang dimaksudkan bahwa setiap satuan dari
jamak yang satu diimbangi dengan satuan jamak yang lain. Begitu juga apabila
jamak dengan mufrad dalam satu ungkapan, maka kata jamak ditempatkan pula
setelah kata mufrad yang berhadap-hadapan.
D. Pemakaian
Isim Fi’il dan ‘Athaf
1. Kalimat
isim
Kalimat isim adalah kata benda, kata
benda ini ada yang berbentuk kongkrit (nyata) seperti rumah, dan lain-lain. Ada
yang berbentuk abstrak (tidak nyata) seperti kebaikan, keraguan, dan lain
sebagainya.[8]
2. Kalimat
fi’il
Kalimat fi’il dalam bahasa Arab
bermakna kata kerja seperti belajar, pergi, dan lain sebagainya.
3. Kalimat
huruf
Kalimat huruf dalam bahasa Arab
bearti dengan kata depan, kata sambung, kata penghubung dan kata Tanya,
seperti:لكن, ام, او, ثم, ف, و, حتى, بل, لأ
1. Pembahasan
mengenai isim (jumlah ismiyah)
Isim (kata benda) menunjukkan
sesuatu yang tetap dan berlangsung secara terus menerus. Sedangkan fi’il (kata
kerja) menunjukkan kepada sesuatu yang berulang-ulang dan baru. Keduanya tidak
dapat saling menggantikan kedudukan masing-masing
2. Pembahasan
mengenai fi’il (jumlah fi’liyah)
3. Pembahasan
mengenai ‘athaf
Athaf terbagi menjadi 3 macam yaitu:
a. ‘Athaf
kepada suatu lafaz inilah yang asli. Syaratnya adalah ‘amil (beberapa faktor)
itu dapat masuk kepada kata yang di’athafkan.
b. ‘Athaf
mahail (athaf kepada kedudukan kata). Syaratnya ada tiga. Pertama, tampaknya
mahall pada perkataan yang fasih sehingga tidak boleh mengatakan “saya melewati
Zaid dan Amru”. Kedua, kedudukan itu memang demikian adanya, sehingga tidak
diperbolehkan mengatakan, misalnya “ ini yang memukul Zaid dan saudaranya”.
Ketiga, adanya sesuatu yang memperbolehkan sehingga tidak perbolehkan
mengatakan dengan kalimat “sesungguhnya Zaid dan Amru duduk”. Karena yang menyebabkan
kata Amru dibaca rafa’ adalah kedudukannya sebagai mubtada’ dan itu telah
hilang dengan maksud inna.
c. ‘Athaf
tawahum, seperti Zaid tidak berdiri dan tidak duduk merendah. ‘Athaf yang
dibaca jazm adalah pada qira’at, selain Abu ‘Amru.
E. Perbedaan
antara Al- ita’ dan al-I’tha’
2. Al-I’tha’
(عطاءالأ)
berasal dari bahasa Arab (- والعطاوة- الأعطاءالعطاءة) yang
bearti pemberian.[10]
Menurut al-Juwaini, lafaz “al-ita’”
lebih kuat dari lafaz “al-I’tha’” dalam menetapkan objeknyan (maf’ul). Al-ita’
merupakan pemberian yang sudah tetap
tidak berubah dan objeknya tidak terlalu kelihatan, sedangkan al-I’tha’
kadang kala berubah dari sifat aslinya dan kalimatnya membutuhkan objek.[11]
F. Lafaz
فعل dan كان
1. Lafaz
fa’ala digunakan untuk menunjukkan
beberapa jenis perbuatan, bukan hanya satu perbuatan saja, penggunaan lafaz ini
adalah untuk meringkas kalimat.[12]
2. Lafaz
kaana dalam al-Qur’an banyak digunakan
berkenaan dengan zat dan sifat-sifat Allah. Para ahli nahwu dan ahli yang
lainnya berbeda pendapat tentang lafaz kaana tersebut. Ibnu Athiyah
menyebutkan dalam tafsir surah al-Fatihah, apabila kaana digunakan
berkenaan dengan sifat Allah maka ia tidak mengandung unsur waktu.
Menurut penelitian Abu Bakar
Ar-Razi, penggunaan kaana didalam al-Qur’an terdapat lima macam yaitu:
a. Dengan
makna azali dan abadi dalam firman Allah Q.s An-Nisa: 170.
b. Dengan
makna terputus (terhenti) seperti dalam Q.s An-Naml: 48
c. Dengan
makna masa sekarang seperti dalam Q.s Ali-Imran: 110 dan Q.s An-Nisa: 103.
d. Dengan
makna masa akan datang seperti Q.s Al-Insan: 7
e. Dengan
makna sara (menjadi) seperti dalam Q.s al-Baqarah: 34.
G. Huruf
Fa (ف) dan Huruf Fi (ف)
Fungsi huruf Fa
a. Digunakan
sebagai huruf athaf, memiliki tiga makna:
1. Menunjukkan
tartib (urutan), baik secara makna
2. Ta’qib
(datang segera setelah yang sebelumnya), kesegeraan itu sesuai dengan keadaan
sesuatu. Inilah perbedaannya dengan tarakhi yang mana (ada selang jarak yang lama).
3. Sababiyah
(untuk menerangkan sebab)
b. Untuk
menjelaskan sababiyah semata, tanpa diiringi adanya athof.[14]
c. Sebagai
pengikat atau penghubung antara syarat dan jawab pada saat jawab itu tidak
dapat dijadikan sebagai syarat
d. Digunakan
sebagai huruf tambahan.
2. Huruf
fi merupakan
salah satu di antara huruf zar atau huruf khafadh, yaitu apabila sesuatu isim
bertemu dengan salah satu huruf tersebut, maka isim itu dibaca kasrah,[15]
fi ini memiliki beberapa makna di antaranya:
a. Digunakan
sebagai zharaf zaman
b. Mushahabah
(dengan/beserta)
c. Ta’lil
(karena/sebab)
d. Isti’la
/ menunjukkan keindahan (ketinggian)
e. Memiliki
kesamaan dengan ba, ila, min dan ‘an.
f. Perbandingan
(masuk kepada sesuatu yang lebih rendah yang disebutkan sebelumnya dan sesuatu
yang lebih baik yang disebutkan setelahnya).
g. Taukid
(penguat)
H. Lafaz
‘Amm dan Khas
1.
Lafaz ‘amm
adalah suatu lafaz yang menunjukkan suatu makna yang mencakup seluruh kesatuan
yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu
Kata yang
menunjukkan makna ‘amm adalah:
a.
كل
Pembagian
‘aam
a. Lafaz
umum yang tidak mungkin di takhsihkan
b. Lafaz
umum yang dimaksudkan khusus karena adanya tentang kekhususan
c. Lafaz
‘amm yang dikhususkan.[17]
2. Khas
adalah lawan dari ‘amm, artinya
mengkhususkan,[18]
sedangkan takhsis adalah mengeluarkan sebagian apa-apa yang dicakup dalam lafaz ‘amm
Mukhasis
terdapat dalam dua macam:
1. Mukhasis
muttasil ialah makna satu dalil yang mengkhususkan berhubungan erat dan
bergantung kepada kalimat umum sebelumnya. Macam-macam mukhasis muttasil:
a. Pengecualian
(isti’na)
b. Syarat
c. Sifat
d. Batas
sesuatu (ghayah)
2. Mukhasis
munfasil adalah makna dalil yang umum atau makna dalil yang mengkhususkan
masing-masing berdiri sendiri, yaitu terkumpul tetapi terpisah. Macam-macam
pembagian mukhasis munfasil:
a. Ayat
al-Qur’an di takhsiskan dengan ayat al-Qur’an
b. Ayat
al-Qur’an ditakhsiskan dengan sunnah
c. Sunnah
di takhsiskan dengan ayat al-Qur’an.[19]
I. MUTLAQ
DAN MUQAYYAD
1. Multaq
secara etimologi bermakna bebas,
dalam artian tanpa ada ikatan dengan sesuatu yang lainnya, sedangkan secara terminologi
mutlaq adalah lafaz yang datang dalam bentuk umum, tanpa mempunyai sebarang
keterbatasan atau had tertentu (taqyiid). Ia merujuk kepada sesuatu maksud
tertentu yang telah dimaklumi.
2. Muqayyad
secara etimologi bermakna terikat
dengan sesuatu, sedangkan secara terminologi muqayyad adalah lafaz yang
memiliki ikatan hukum atau ketentuan yang menunjukkan kepada sesuatu dengan
keterbatasan dan ikatan-ikatan tertentu.
J. LAFAZ
YANG DIDUGA SINONIM, PERTANYAAN DAN JAWABAN
Al-Qur’an banyak memakai kosa kata
yang pada lahirnya tampak bersinonim, namun bila diteliti secara cermat
ternyata masing-masing kosa kata itu mempunyai konotasi sendiri-sendiri yang
tidak ada pada lafal lain yang dianggap bersinonim dengannya.[20]
Cara berkomunikasi dalam bentuk soal
jawab dalam al-Qur’an diungkapkan melalui gaya bahasa yang berbeda dari gaya
bahasa manusia. Pada dasarnya antara jawaban dan pertanyaan harus sejalan.
Artinya penjelasan yang diberikan tidak boleh keluar dari apa yang ditanyakan.
Namun al-Qur’an dalam menjawab suatu pertanyaan mempunyai pola tersendiri dan
tidak mengikuti pola tersebut.[21]
K. LAFAZ
كاد, جعل, لعل DAN عس
1. Lafaz
كاد
Pertama, كاد
sama dengan fi’il lainnya baik dalam hal
nafi (negatif, meniadakan) maupun dalam hal isbat (positif,
menetapkan). Positifnya adalah positif dan negatifnya adalah negatif, sebab
maknanya adalah muqarabah (hampir, nyaris). Kedua كاد berbeda
dengan fi’il-fi’il lainnya baik dalam hal positif maupun negatif. Positifnya
adalah negatif dan negatifnya adalah positif. Ketiga, كاد yang
dinegatifkan menunjukkan terjadinya sesuatu dengan susah payah dan sulit. Keempat,
dibedakan antara yang berbentuk mudhari’ “yakadu” dengan yang berbentuk madhi,
“kada”. Menegatifkan bentuk mudhari’ menunjukkan arti negatif, namun
menegatifkan yang berbentuk madhi menunjukkan arti positif. Kelima, كاد
yang dinegatifkan adalah untuk menunjukkan arti positif jika lafaz yang
sesudahnya berhubungan dan berkaitan dengan lafaz yang sebelumnya. Misalnya
perkataan (hampir aku tidak sampai ke Mekkah sampai aku tawaf di Baitul Haram).
2. Lafaz
جعل
Lafaz جعل digunakan dalam
qur’an untuk beberapa makna:
a. Dengan
makna samma (menamakan)
b. Dengan
makna aujada (menjadikan, mewujudkan) yang mempunyai satu maf’ul
(objek).
c. Dengan
makna perpindahan dari satu keadaan ke keadaan lain dan makna tasyir (menjadikan),
karena ia mempunyai dua maf’ul perpindahan itu ada yang bersifat indrawi.
d. Dengan
makna i’tiqad (beritikad, meyakini)
e. Dengan
makna menetapkan sesuatu atas sesuatu yang lain, baik benar maupun batil.[22]
3. Lafaz
لعل
Lafaz لعل merupakan sebuah
huruf yang menasabkan isim dan merafa’kan khabar
serta memiliki beberapa makna:
a. Yang
paling masyhur adalah suatu pengharapan atas terjadinya sesuatu yaitu harapan
terwujudnya sesuai yang disukai.
b. Ta’lil
c. Pertanyaan.[23]
4. Lafaz
عس
Para ulama mengatakan bahwa makna عس
adalah mengharapkan sesuatu yang disenangi dan bersedih pada sesuatu yang
tidak disenangi.[24]
L. LAFAZ
عند DAN غير
1. عند
secara bahasa bermakna ketika, tatkala,
hampir, bersebelahan, menjelang, sebelah atau di sisi.[25]
Pada sumber lain menyebutkan عند adalah kata nama tempat misalnya di sisi pintu.
Selain itu disebutkan عند merupakan kata nama masal misalnya ketika waktu
fajar. Sedangkan secara istilah diartikan sebagai zharaf makan.[26]
Kata عند ini dapat diganti dengan لدن dan لدي. Adapun perbedaan
ketiganya adalah:
a. عند dan لدي sesuai untuk permulaan suatu tujuan
yang lainnya, sedangkan لدن hanya sesuai untuk
permulaan tujuan saja.
b. عند
dan لدي adalah mu’rab. Sedangkan لدن adalah mabni
menurut bahasa kebanyakan bangsa Arab.
c. لدن kadang-kadang
tidak diidhafahkan kadang-kadang diidhafahkan kepada kalimat,
sedangkan عند dan لدي hanya diidhafahkan saja.
Ar-Raghib berkata: لدن adalah lebih
khusus dan lebih baik dari عند, karena kata ini menunjukkan permulaan dari
akhir suatu perbuatan.
عند adalah lebih tegas kedudukannya sebagai
isim لدن, عند ditinjau dari dua segi, yaitu bahwa عند ini dapat menjadi dzaraf
bagi isim dzat dan bagi isim makna.
Selain itu, عند dapat digunakan untuk
sesuatu yang ada di tempat maupun yang tidak ada. Adapun لدن tidak digunakan
kecuali untuk sesuatu yang ada di tempat. Kedua hal ini disebutkan oleh Ibnu
Asy-Syajari dan yang lainnya.[27]
2. غير merupakan
lafadz yang berasal dari bahasa Arab, yang artinya selain, itu, kecuali, tidak
atau bukan. غير berasal
dari kata ‘ghara-yaghharu-wa ghairan’ yang bearti cemburu.[28]
Kata غير digunakan
pada beberapa penggunaan sebagai berikut:
a. Sebagai
suatu bentuk penafian
b. غير bermakna illa.
Ia sebagai istitsna dan juga sebagai sifat dari nakirah.
c. Menafikan
bentuk yang lain dari materinya.
[1]Hifni Bek Dayyab et
al, Kaidah Tata Bahasa Arab, (Terj), Chatibul Umam, (Jakarta: Darul
Ulum, 1990), hal. 182.
[2]Imam Jalaluddin
As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an, jilid I, (Bairut: Dar al-Fikr,
2008), hal. 270.
[3]Hifni Bek Dayyab et
al, Kaidah Tata Bahasa Arab…hal. 182.
[4]Hifni Bek Dayyab et
al, Kaidah Tata Bahasa Arab…hal. 182.
[5]Nasaruddin Baidan, Wawasan
Baru Ilmu Tafsir, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 303.
[6]Manna Al-Khathan, Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an, (terj), Aunur Rafiq El-Mazni, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2010), hal. 247.
[7]Nasaruddin Baidan, Wawasan
Baru Ilmu Tafsir…hal. 310.
[8]Akrom Fahmi, Ilmu
Hahwu dan Sharaf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 7.
[9]Mahmud Yunus, Qamus
‘Arabiyyun-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), hal. 33.
[10]Ahmad Warson Munawwir,
Al-Munawwir: Kamus, Arab-Indojesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997),
hal. 946.
[11]Manna Al-Khathan, Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an, (terj), Aunur Rafiq El-Mazni, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2010), hal. 256.
[12]Manna Al-Khathan, Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an…hal. 257.
[13]Muhammad Idris Abd
Rauf Al-Marbawi, Kamus Idris Al-Marbawi, (Kuala Lumpur: Darul Fikr,
t.t), hal. 74.
[14]Imam Jalaluddin
As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an…hal. 676.
[15]Mukhlas Syarkun, Cara
Belajar Bahasa Arab (Nahwu), (Selangor: Al-Hidayah Publication, 2010), hal.
678.
[16]Imam Jalaluddin
As-Suyuthi, Studi Ilmu al-Qur’an Komprehensif…143.
[17]Imam Jalaluddin
As-Suyuthi, Studi Ilmu al-Qur’an Komprehensif…147.
[18]Omar Bakry, Kamus
Arab, (Jakarta: Mutiara Sumber Widia, 2010), hal. 97.
[19]Manna Al-Khathan, Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an…hal. 319.
[20]Nashruddin Baidan. Wawasan
Baru Ilmu Tafsir, cet 1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 317-318
[21]Nashruddin Baidan. Wawasan
Baru Ilmu Tafsir…hal. 326-327.
[22]Manna khalil
Al-Khattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, (terj), Mudzakir AS, (Bogor:
Lentera Antar Nusa, 2011), hal. 299-301.
[23]Imam Jalaluddin
As-Suyuthi, Studi Ilmu al-Qur’an Komprehensif, (Terj), Tim Editor Indiva,
(Solo: Indiva Media Kreasi, 2008), hal. 708-709.
[24]Imam Jalaluddin
As-Suyuthi, Studi Ilmu al-Qur’an Komprehensif…hal. 710.
[25]Abdul Rauf Hassan, Dkk.
Kamus Bahasa Melayu-Bahasa Arab: Bahasa Arab-Bahasa Melayu, cet 6,
(Selangor: Oxford fajar, 2006), hal. 258.
[26]Mukhlas syarkun, Cara
Belajar Bahasa Arab (Nahu), cet 4, (Selangor: Al-hidayah, 2010), hal. 190.
[27]Imam Jalaluddin
As-Suyuthi, Studi Ilmu al-Qur’an Komprehensif, (Terj), Tim Editor
Indiva, (Solo: Indiva Media Kreasi, 2008), hal. 672.
[28]Osman Khalid, Kamus
Besar Arab-Melayu Dewan, cet 1, (Kuala lumpur: Dewan Pustaka dan Bahasa,
2006), hal. 1689.
[29]Imam Jalaluddin
As-Suyuthi, Studi Ilmu al-Qur’an Komprehensif…hal. 671.
0 Response to "Dhamir, Ma’rifah dan Nakirah"
Posting Komentar