A. LATAR BELAKANG
Berdasarkan putusan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dalam Munas VI telah mengeluarkan fatwa pada tanggal 27 Rabiul
Akhir 1421 H/28 Juli 2000 tentang risywah (suap), ghulul (korupsi), dan hadiah
kepada pejabat, yang intinya adalah memberikan risywah dan menerimanya,
hukumnya adalah haram serta melakukan korupsi hukumnya haram. (Diposkan oleh
Aira di http://4iral0tus.blogspot.com).
Korupsi terjadi diberbagai negara,
tak terkecuali di negara-negara maju sekalipun. Di negara Amerika Serikat
sendiri yang sudah begitu maju masih ada praktek-praktek korupsi. Apa yang
terjadi pada peradaban Islam di Andalusia bisa diangkat sebagai contoh kecil
praktik korupsi. Andalusia (sekarang Spanyol) hancur di tangan tentara Ratu
Isabella dan Raja Ferdinand, Andalusia mudah hancur karena keropos, bukan saja
karena gaya hidup bermewah-mewahan yang merajalela di kalangan istana, akan
tetapi juga karena perilaku korup para penguasanya (Akbar S. Ahmed, 1997:
111-116 dalam Irfan Awaludin)
Di tengah maraknya praktek korupsi
di belahan dunia, Indonesia pun tak mau tertinggal. Bahkan ‘prestasi’
korupsi Indonesia selalu muncul di urutan teratas, jauh mengalahkan
negara-negara jiran. Padahal, secara kuantitatif, Indonesia adalah negara
berpenganut Islam terbanyak di dunia. Fakta ini menjadi paradoks sekaligus
ironi yang nyata di depan mata.
Di negara Indonesia akhir-akhir ini
masalah korupsi sedang hangat-hangatnya dibicarakan publik, terutama dalam
media massa baik lokal maupun nasional. Tidak sedikit para pelaku korupsi
adalah petinggi-petinggi negara bahkan penegak hukum sekalipun terjerat kasus
korupsi, yang seharusnya bisa mengayomi dan melindungi masyarakat. Korupsi ini
sangat merugikan negara dan dapat merusak kepemerintahan. Korupsi punya
karakteristik penghancur yang kuat, ia merusak sistem pemerintahan, sistem
sosial sampai sistem kepribadian. Korupsi pun bisa menjatuhkan sebuah
peradaban. Menurut saya pribadi, “korupsi
ini seperti parasit didalam kepemerintahan yang merusak struktur pemerintahan,
dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan.”
Timbul pertanyaan yang besar yang
selama ini telah menggerogori pikiran kita yaitu “Mengapa manusia harus
melakukan korupsi, dan mengapa manusia harus terjerumus ke lembah kemaksiatan
yang mengakibatkan dirinya terhina?”. Jawabannya adalah terjerumusnya manusia
ke lembah kehinaan, disebabkan oleh ketidakmampuannya mengendalikan dan
mengalahkan nafsunya sendiri sebagai musuh utama manusia dalam melakoni
kehidupan mereka di bumi ini, yang disebut nafsu syahwat. Nafsu syahwat
tersebut bertengger di dua tempat, yaitu perut dan bawah perut (faraj). Perut
adalah simbol tempat memenuhi segala kebutuhan materi. Karena dengan
terpenuhinya kebutuhan perut manusia bertahan untuk menyambung hidupnya, bahkan
demi hidup, ada saja di antara anak manusia menjual dirinya menjadi PSK
(Pekerja Seks Komersial), lantaran kebutuhan perut. Seorang oknum pejabat
misalnya, melakukan korupsi uang negara, karena desakan perut untuk segera
menjadi kaya raya. Menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya
untuk meraih keuntungan berupa fulus juga tidak terlepas dari ketidakmampuannya
mengendalikan diri dari syahwat memperoleh keuntungan yang banyak.
Rasulullah SAW pernah bersabda di
depan para sahabat setelah melalukan peperangan melawan kafir Quraisy Mekah di
medan perang Badar dan Uhud yang berbunyi ”Raja’na minal jihadil asghari ilal
jihadil akbar” (kita baru saja pulang dari perang kecil menuju perang yang
lebih besar). Sahabat kaget mendengar ucapan Rasul, lalu bertanya: “Masih
adakah perang yang lebih besar dari perang yang banjir darah, ya Rasulullah? Rasulullah
SAW menjawab: “Naam, jihadi al akbar, jihad al nafs” (sesungguhnya perang besar
itu ialah perang melawan diri sendiri).
Atas dasar itulah penulis membuat
tulisan dengan judul “Membasmi Toleransi Budaya Korupsi Dalam Perspektif
Islam”. Di dalam tulisan ini penulis berupaya untuk membasmi masalah korupsi
yang marak terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia, ataupun di lingkungan
tempat tinggal kita agar tidak tercemar dan membudaya serta masyarakat tidak
acuh tak acuh, tidak masa bodoh, dan tidak akan mentolerir terhadap
pelaku-pelaku korupsi. Dan dengan tulisan ini, penulis memiliki harapan yang
besar agar para koruptor bertaubat kepada Allah SWT dengan sadar diri bahwa apa
yang sedang ia lakukan sekarang adalah perbuatan yang sangat dibenci Allah SWT.
Dan Allah telah menyiapakn tempat yang layak baginya di akhirat kelak yaitu
neraka.
Melakukan praktik korupsi sama
halnya dengan memakan harta orang lain, seperti yang difirmankan Allah SWT
dalam Al-Quran Surat Al-Baqoroh ayat 188 yang artinya : Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara
kamu dengan jalan yang bathil dan janganlah kamu membawa ( urusan ) harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang
lain itu (dengan jalan) berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.
B. DEFINISI KORUPSI
Korupsi adalah tindak pidana. Menurut Prof. Muljatno (dalam Fadhl
Muhammad, 1983 : hal. 16), tindak pidana merupakan perbuatan yang
oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang
melanggar aturan tersebut.
Korupsi memang sudah dianggap sebagai penyakit moral,
bahkan ada kecenderungan semakin berkembang dengan penyebab multifaktor.
Dibawah ini merupaka beberapa pendapat dari para ahli tentang pengertian dari
korupsi. Disimpulkan bahwa korupsi merupakan tindakan pidana yang
memiliki unsur unsur sebagai berikut :
1. Perbuatan Melawan Hukum,
2. Penyalahgunaan wewenang,
kesempatan, atau sarana,
3. Memperkaya diri sendiri,
orang lain atau korporasi,
4. Merugikan keuangan Negara
atau perekonomian Negara.
Sebagai
tindakan pengambilan terhadap yang bukan haknya, korupsi diistilahkan al-Qur’an
dengan ungkapan yang berbeda-beda tergantung teknik, jenis maupun motif
pengambilannya. Di antaranya adalah :
1. Ghulul (mengambil sesuatu secara
sembunyi-sembunyi dan memasukkan ke dalam hartanya);
2. Risywah (suap atau sogokan);
3. Khana (berkhianat atau tidak jujur);
4. Ghasab (menguasai milik orang lain);
5. Sariqah (pencurian);
6. Intikhab (merampas), dan ikhtilash (mencopet), serta
7. terakhir aklu suht (memanfaatkan barang
haram).
C. REALITA PRAKTIK
KORUPSI
Di
Indonesia tidak sedikit para pelaku korupsi adalah
petinggi-petinggi negara, para pemimpin, bahkan penegak hukum sekalipun
terjerat kasus korupsi, yang seharusnya bisa mengayomi dan melindungi
masyarakat. Seperti kasus korupsi Bank Century, Proyek Hambalang, pengadaan
Al-Qur’an, simulator SIM, korupsi daging sapi, dan kasus-kasus korupsi lainnya
telah menyeret banyak petinggi-petinggi negara kita.
Menjadi pemimpin, sangatlah
diperlukan kemampuan untuk memimpin diri sendiri. Seseorang yang ingin
mendapatkan tempat yang terhormat di sisi Allah SWT, dalam kapasitas sebagai
khairah ummah (sebaik-baik umat), tentu disyaratkan agar ia mampu menjadi
pemimpin yang efektif, yakni pemimpin yang beriman dan bertakwa kepada Allah,
mampu mengendalikan dirinya sendiri serta memegang teguh amanah yang dititipkan
Allah SWT.
Allah
berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah
dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27). Khianat
yang semakna dengan pengertian korupsi, yaitu pengkhianatan terhadap amanah dan
sumpah jabatan.
Permasalahan
korupsi di Indonesia bukanlah permasalahn baru. Menanggapi permasalahan
tersebut, para pemimpin dan ahli politik saling membenarkan persepsi sendiri
dan mementingkan diri sendiri atau golongan sehingga rakyat kecil menjadi
bingung dan terjadi KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) yang semakin lama
semakin marak dan semakin sulit untuk menumpasnya. sungguh sangat berbahaya
bagi kelangsungan negara ini, jika pemerintah dan para ahli politik saling
bertentangan dalam persepsi mereka serta rasa egois untuk balik modal dalam
kampanye yang dilakukan, ini bukan semata-mata karena rakyat.
Penyakit
ini jika penulis samakan dengan penyakit pada tubuh manusia adalah sama halnya
dengan penyakit HIV/AIDS yang karakteristik dari penyakit ini adalah gejala
yang terjadi akan terasa setelah terkena selama maksimal 2 sampai 5 tahun yang
melemahkan sistem kekebalan tubuh. Begitupun dengan penyakit negara kita saat
ini yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dampaknya akan kelihatan
dalam selang waktu yang cukup lama. Bahkan Singapura pernah mengecap Indonesia
sebagai the envelope country, jika
diterjemahkan secara bebas artinya adalah sebuah negara amplop. Menurut penulis
wajar Singapura mengecap Indonesia dengan sebutan itu dan seharusnya para
aparatur negara tanpa terkecuali seharusnya berkaca dari ucapan itu dan bukan
malah menuntut Singapur. Mengapa demikian?, jelas kerana fakta yang ada di Indonesia
saat ini adalah segala hal bisa dibeli mulai dari hukum, lisensi, tender,
wartawan, hakim, jaksa, petugas pajak dan dari lembaga Independen sekalipun
bisa dibeli.
D. HUKUMAN BAGI PARA KORUPTOR
Kecendrungan untuk menerapkan Hukum
seberat-beratnya terhadap pelanggar Hukum (Korupsi), bukan lagi suara
perorangan, kelompok, atau organisasi tertentu. Suara itu sudah menjadi suara
mayoritas. Bahkan seluruh masyarakat Indonesia. Dengan demikian, semangat
ketegasan Hukum Islam yang selama ini jadi momok yang menakutkan bagi sebagian
kalangan, secara sadar ataupun tidak. Sebenarnya sudah diadopsi masyarakat.
Didalam Islam terdapat 3 jenis
Hukuman. Penggolongan tersebut sesuai dengan jenis pelanggaran (Jarimah) yang
dilakukan. Tiga jenis hukuman tersebut adalah :
1. Tindak Pidana
Hudud
Yaitu jarimah yang diancam hukuman
had (Hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya). Misalnya, zina dengan
dijilid seratus kali (QS: an-Nur : 2), qadzaf (menuduh orang berbuat zina)
dengan dijilid 80 kali kalau tidak bisa menghadirkan 4 orang saksi, minum
minuman keras, mencuri dengan potong tangan (QS: al-Maidah : 38), Hirabah
(Pembegalan, perampokan, perusakan dan jenis gangguan keamanan lainnya) dengan
dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kakinya secara berseling, atau
diasingkan (QS : al-Maidah : 33) dan lain - lain.
2. Tindak Pidana
Qotlu/Jarh (pembunuhan / mencelakai)
3. Tindak Pidana
Takzir (Jarimah)
Abdul Qodir Audah mengatakan bahwa ada
tiga kriteria jenis – jenis jarimah Takzir tersebut, yaitu:
a)
Terhadap perbuatan itu disyariatkan hukuman hudud, tetapi
karena tidak memenuhi syarat, maka hukuman hudud tersebut tidak bisa dilakukan.
Misalnya, seseorang melakukan pencurian tetapi tidak mencapai satu nisab harta
yang dicuri.
b)
Terhadap perbuatan itu disyariatkan Hukum Hudud, tetapi ada
penghalang untuk melakukan hukum hudud itu. Misalnya, anak mencuri harta
ayahnya satu nisab atau lebih. Hukuman hudud potong tangan tidak bisa
dilakukan, karena antara keduanya ada hubungan keturunan yang mengakibatkan
adanya syibhu al-Milk (keraguan kepemilikan).
c)
Terhadap perbuatan itu tidak ditentukan sama sekali
hukumannya, baik hudud, kisas, diat, dan kafarat. Bentuk terakhir inilah
maksiat yang paling banyak, seperti mengingkari atau mengkhianati amanah,
pengurangan timbangan atau takaran, memberi kesaksian palsu, melakukan muamalah
riba, dan sogok menyogok.
Tindak pidana korupsi termasuk dalam kelompok tindak pidana
takzir. Oleh sebab itu, penentuan hukuman, baik jenis, bentuk dan jumlahnya
diserahkan Syarak kepada pemerintah, (dalam hal ini) Hakim (qadhi) . Dalam
menentukan hukuman terhadap koruptor, seorang hakim harus mengacu kepada tujuan
syarak (maqashid asy-Syari’ah) dalam menetapkan hukuman, kemaslahatan
masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan, dan situasi serta kondisi sang
koruptor, sehingga koruptor akan jera melakukan korupsi dan hukuman itu juga
bisa menjadi tindakan preventif bagi orang lain (Sumber http://4iral0tus.blogspot.com).
E.
UPAYA YANG DISYARIATKAN ISLAM DALAM PEMBERANTASAN
KORUPSI
Bertitik tolak pada pandangan Hukum
Islam, bahwa tidak ada Fiqh (pemahaman) atau tafsiran sumber rujukan Hukum
Islam (al-Qur’an dan as-Sunnah) yang memberi celah / peluang pada kemungkinan
hukum Korupsi itu dapat diterima, maka step selanjutnya adalah bagaimana dan
dari mana pemberantasan korupsi harus dimulai. Orang tua dulu pernah berpesan, “Jangan menyapu lantai, ketika masih
membersihkan atap“. Mungkin bisa jadi pesan inilah yang perlu diamalkan
oleh pemerintah kita. Pesan ini yang mungkin pas (cocok) dengan watak masyarakat
Indonesia yang masih cenderung paternalistik menuntut pemberantasan korupsi
dimulai dari atas. Kalau pemimpinnya memiliki keberanian dan kesungguhan untuk
itu, saya yakin, korupsi dapat ditekan atau dikurangi, bahkan dihilangkan.
Ini juga sejalan dengan pepatah bijak yang artinya “manusia itu mengikuti agama
pemimpin mereka”. Jika pemimpinnya bersih, yang dipimpin juga akan bersih atau
setidaknya dapat diharapkan untuk menjadi bersih.
Dalam konteks ini pula, keteladanan
(uswah) Rasuullah SAW kepada umatnya dapat dibuktikan karena beliau memulainya
dari diri sendiri. Jika pemimpinnya sudah memulai, diharapkan umatnya juga
mengikuti serta memberikan dukungan penuh secara konsisten.
Selain itu, membangun instrumen
Hukum yang konprehensif. Hal itu, dimulai dengan membenahi system, tata cara,
dan prodedur untuk menutup celah akan terjadi penyelewengan dan penyimpangan
dan sebagainya. Terutama aparat penegak Hukum. Setelah itu masyarakat umum
sebagai subjek hukum juga harus memiliki kesiapan. Misalnya ketika mempunyai
urusan, tempuhlah cara-cara prosedural sesuai aturan yang berlaku (UU) dan
jangan suka memberikan sesuatu dengan harapan urusan cepat selesai.
Pelesetan “kasih uang selesai
urusan” untuk menyebut norma hukum adalah sindiran telak terhadap kecenderungan
sebagian masyarakat untuk menyelesaikan persoalan gaya toke cina. Ini pula yang
akan melahirkan budaya korupsi yang makin merajalela dengan berbagai motifnya.
Alternatif lain adalah menaikan
tingkat penghasilan para pekerja, termasuk pegawai negeri. Yang terakhir inilah
yang harus diperbaiki. Sebab, dengan standar demikian, mencari orang yang
bersih dan cerdas akan dapat diakukan lantaran mereka mendapatkan imbalan yang
proporsional dengan porsi tugas masing-masing.
Apakah subur dan tingginya angka korupsi
itu berkaitan secara signifikan dengan kecilnya penghasilan? Boleh jadi faktor
itu bukan satu-satu penyebab. Sebab, ketika “pemanfaatan” hasil korupsi itu
tidak lagi untuk kepentingan pribadi dan keluarga, persoalannya akan melebar.
Walaupun seluruh langkah – langkah diatas telah ditempuh dengan baik, yang
namanya korupsi tetap saja langgeng. Kalau saja, tidak ada usaha tindakan Hukum
yang bersifat represif. Sebagaimana menghukum para koruptor ini dengan hukum
Takzir yang terberat.
Dalam praktek upaya
pemberantasannya adalah dengan selalu bercermin pada keteladanan (uswah) yang
dicontohkan Rasuullah SAW kepada umatnya, hal itu dibuktikan beliau dengan
memulai gerakan pembersihan dari diri sendiri.
Jadi dapat disimpulkan, ada 4 langkah yang bisa dilakukan untuk langkah
pemberantasan tersebut, yaitu :
1.
Membangun kesadaran masyarakat bahwa korupsi harus
diberantas dengan merujuk pada Fiqh Anti Korupsi yang telah disepakati. Yang
kemudian, memicu kesiapan sikap diri senantiasa bersih dari segala penyimpangan
dari seorang pemimpin atau pejabat dilingkungan pemerintahan. Sehingga
mendorong yang lain melakukan hal yang sama.
2.
Pembenahan sistem, tata cara, dan prosedur untuk menutup
peluang terjadinya korupsi.
3.
Meningkatkan standar penghasilan para pegawai negeri atau
swasta sesuai dengan kebutuhannya yang rasional.
4.
Melakukan penindakan tegas terhadap para koruptor tanpa
pandang bulu dengan hukuman Takzir yang paling berat seperti penyitaan harta,
pemecatan, kurungan, kerja paksa, sampai hukuman mati.
F.
KESIMPULAN
Dari uraian diatas, maka penulis
dapat menyimpulkan bahwa :
1.
Dampak negative yang ditimbulkan tindak pidana korupsi
sangat besar serta mengganggu kelanjutan perjalanan sebuah bangsa.
2.
Mengharapkan Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat
Islam terbesar di Indonesia bekerjasama dengan ormas Islam lainnya untuk
menjadi pelopor dalam upaya pemberantasan “korupsi”, dengan cara mempertegas
pemahaman keagamaan di lingkungan masing-masing ormas dalam bingkai gerakan
budaya antikorupsi, karena dalam ajaran agama manapun tidak ada yang melegalkan
tindak pidana korupsi, apalagi Islam sebagai agama yang mempunyai citra
rahmatan lil’alamin sudah pasti menolak (mengharamkan) karena bertentangan dengan
syariat Islam.
3.
Mengharapkan KPK sebagai lembaga yang bergerak dalam
pemberantasan korupsi di negara Indonesia ini untuk membasmi hama tikus-tikus
berdasi (koruptor) tanpa pandang bulu dengan hukuman Takzir yang paling berat
seperti penyitaan harta, pemecatan, kurungan, kerja paksa, bahkan sampai
hukuman mati.
4.
Bagi para koruptor yang sedang melaksanakan misinya, ingat
dan sadar diri bahwa kalian tidak akan pernah mendapatkan kebahagian
dikehidupan dunia sekarang ataupun kehidupan akhirat kelak karena azab dan
siksa Allah SWT telah menunggu.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber : (http://dimaswarning.wordpress.com/masalah-korupsi-di-indonesia-dan-solusinya/). Akses tanggal 20 Juni 2013, pukul
17.03 Wita.
Sumber : (http://4iral0tus.blogspot.com), diposkan oleh Aira tentang “Pandangan Islam Terhadap Tindak Pidana
Korupsi”. Akses tanggal 22 Juni 2013, pukul
22.14 Wita.
Sumber : (http://fajar.co.id/main.html), diposkan oleh Samiang Katu
(Guru Besar UIN Alauddin Makassar) tentang “Puasa
Dan Pemberantasan Korupsi”. Akses tanggal 22 Juni 2013, pukul 22.33 Wita.
Sumber : (http://fadhlmohammed.blogspot.com), diposkan oleh
Fadhl Muhammad tentang “Korupsi Dan Dasar
Hukum”. Akses tanggal 22 juni 2013, pukul 22.39 Wita.
Sumber : (http://kompasiana.com), diposkan oleh Yulia
Rahmawati tentang “Istilah Korupsi dalam
Islam”. Akses tanggal 22 Juni 2013, pukul 22.47 Wita.
Sumber : (http://harry-vht.blogspot.com), diposkan oleh Nur
Haryanto tentang “Makalah Hukum Korupsi
Menurut Islam”. Akses tanggal 22 Juni 2013, puukul 22.59 Wita.
Sumber : (http://academia.edu), diposkan oleh Irvan
Awaluddin tentang “KORUPSI
SEBAGAI PERMASALAHAN TEOLOGIS:Mengurai Anatomi Pemberantasan Korupsi Dalam
Al-Qur’an”.
Akses tanggal 22 Juni 2013, pukul 23.06 Wita.
Sumber : (http://siskanajwa.blogspot.com), Diposkan oleh
I'm Proud to be Muslimah tentang “Ayat
Al-Quran dan Al-Hadits yang berkaitan dengan Perkara Korupsi”. Akses
tanggal 22 juni 2013, pukul 23.14 Wita.
0 Response to "MEMBASMI TOLERANSI BUDAYA KORUPSI DALAM PERSFEKTIF ISLAM"
Posting Komentar