Mukjizat merupakan sesuatu yang luar
biasa, teruji (tahaddi), dan tidak mengandung kontradiksi. Wujudnya bisa
bersifat hissiyah (fisikal atau indrawi) dan bisa pula ‘aqliyah
(rasional). Kebanyakan mukjizat yang diberikan Allah kepada Bani Israil itu
bersifat hissiyah. Hal itu disebabkan oleh kebodohan dan kelemahan
pandangan (pemikiran) mereka, sehingga hanya bisa disaksikan oleh manusia yang
menyaksikan saja, seperti unta Nabi Shaleh dan tongkatnya Nabi Musa. Sedangkan
kebanyakan mukjizat yang dianugrahkan kepada umat islam bersifat ‘aqliyah
(rasional) sesuai dengan kecerdasan, kepintaran, dan kesempurnaan daya
nalarnya. Karena syariat islam berlaku sepanjang masa sampai hari kiamat nanti,
umat islam diberi mukjizat yang rasional demi menghadapi tantangan generasi
mendatang yang semakin pandai dan berkembang.
Adapun mengenai aspek kemukjizatan
Al-Qur’an terletak pada gaya bahasa sastrawinya dan pemberitaan terhadap
hal-hal yang ghaib sehingga Ia dapat membuktikan apa yang pernah
diberitakannya. Fenomena itulah yang menunjukkan kebenaran yang diberikan
Al-Qur’an melalui Nabi Muhammad Saw. dan kemukjizatan Al-Qur’an terletak pula
pada keindahan susunan, validitas makna, dan kesinambungan dalam kefasihan
kata-katanya. Sebab, Allah Swt. mengetahui segala sesuatu, termasuk pengetahuan
tentang menyusun kalimat. Apabila kata-kata Al-Qur’an disusun Dia akan
mengetahui dengan ilmu-Nya, kata apa saja yang paling cocok untuk dibaca
terlebih dahulu sehingga dapat menjelas makna demi makna secara
berkesinambungan. Susunan yang demikian berlaku sejak awal sampai akhir ayat
Al-Qur’an.
Berkenaan dengan masalah diatas,
tidak ada perbedaan pendapat bahwa Al-Qur’an merupakan mukjizat yang tidak
seorang pun mampu menandinginya setelah mereka diberi kesempatan untuk
mengujinya. Seperti apa yang telah Rasulullah lakukan yaitu menantang dan
memberi kesempatan yang panjang (bertahun-tahun) kepada suku Quraisy yang
paling fasih dalam berbahasa arab untuk membuat sesuatu yang mirip dengan
Al-Qur’an, mereka pun tidak mampu melakukannya. Seperti firman Allah dalam Q.s
At-Thur: 34 “Hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al-Qur’an
itu jika mereka adalah orang-orang yang benar.” Kemudian Nabi menantang
mereka untuk membuat sepuluh surah yang semisal, seperti yang dijelaskan dalam
(Q.s Hud: 13-14). Mereka pun tidak mampu melakukannya sehingga Nabi kembali
menantang mereka untuk membuat satu surah saja seperti Al-Qur’an, Allah tegaskan
dalam (Q.s Al-Baqarah: 23).
Tantangan itu pun tidak mendapat
respon dari mereka. Mereka tetap tidak berdaya untuk menandingi Al-Qur’an,
sekalipun di antara mereka banyak pakar bahasa, sastrawan yang handal, dan
orator ulung. Setelah melihat ketidakmampuan mereka mendatangkan satu surah
yang sama, Nabi berseru untuk menyatakan dan ketidakberdayaan mereka sambil
memperlihatkan kemukjizatan Al-Qur’an, seperti firman Allah dalam (Q.s Al-Isra:
88). Sebaliknya, mereka justru kembali menyatakan keingkaran dan bahkan mencoba
untuk mengolok-oloknya. Lebih dari itu, banyak pula di antara mereka yang
mengatakan bahwa Al-Qur’an itu hanyalah sebuah sihir (sihr), syair (syi’r),
atau cerita orang-orang dahulu (asathir al-awwalin). Semua ini
menyebabkan kebingungan dan keputusasaan mereka untuk menandingi Al-Qur’an.
Jelaslah bahwa sesungguhnya Allah
Swt. menjadikan mukjizat para Nabi berdasarkan sesuatu yang jauh lebih bagus
dan unggul dengan apa yang berlaku pada masa Nabi yang akan ditampilkan-Nya.
Oleh sebab itu, sihir dinilai telah sampai puncaknya pada masa Nabi Musa,
kedokteran pada masa Nabi Isa, dan kefasihan berbicara pada masa Nabi Muhammad
Saw.
0 Response to "KAIDAH TENTANG KEMUKJIZATAN AL-QUR’AN"
Posting Komentar