KONSEP
KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
BAB I
PENDAHULUAN
Islam
adalah agama yang komprehensif, ia tidak hanya mengatur cara manusia menyembah
Tuhannya, tetapi juga mengatur segala sendi kehidupan. Mulai dari tata cara
hidup bermasyarakat, menuntut ilmu, bahkan juga mengatur tata negara dan
kepemimpinan.[1]
Pemimpin dan kepemimpinan dalam Islam telah diatur dalam hukum Syari’at Islam.
Setiap
manusia pasti menyandang predikat sebagai seorang pemimpin, baik dalam tingkatan
tinggi (pemimpin umat/negara) maupun dalam tingkatan yang paling rendah, yaitu
pemimpin bagi diri sendiri. Setiap bentuk kepemimpinan membutuhkan suatu
keahlian. Kepemimpinan tidak bisa dijalankan hanya dengan kemampuan seadanya.
Sebab, yang pasti hal itu akan menimbulkan gejolak di antara personil-personil
yang dipimpinnya.[2]
Kepemimpinan
merupakan salah satu tanggung jawab yang sangat besar karena hal itu merupakan
amanah dari Allah, baik atau tidaknya sebuah kepemimpinan disebabkan oleh
faktor pemimpin itu sendiri. Untuk itu di dalamnya ada dua pihak yang berperan
antara lain yang dipimpin dan yang memimpin (imam).[3]
Konsep
kepemimpinan dalam Islam sebenarnya memiliki dasar-dasar yang sangat kuat dan
kokoh. Ia dibangun tidak saja oleh nilai-nilai transendental, namun telah
dipraktekkan sejak berabad-abad yang lalu oleh nabi Muhammad SAW, para Shahabat
dan Al-Khulafa' Al-Rasyidin. Pijakan kuat yang bersumber dari Al-qur'an dan
Assunnah serta dengan bukti empiriknya telah menempatkan konsep kepemimpinan
Islam sebagai salah satu model kepemimpinan yang diakui dan dikagumi oleh dunia
internasional.
Namun
dalam perkembangannya, aplikasi kepemimpinan Islam saat ini terlihat semakin
jauh dari harapan masyarakat. Para tokohnya terlihat dengan mudah kehilangan
kendali atas terjadinya siklus konflik yang terus terjadi. Harapan masyarakat
akan munculnya seorang tokoh muslim yang mampu dan bisa diterima oleh semua
lapisan dalam mewujudkan Negara yang terhormat, kuat dan sejahtera nampaknya
masih harus melalui jalan yang panjang.
Tokoh
pemimpin (imam) menjadi harapan dalam penciptaan masyarakat adil dan makmur
sebagai salah satu tujuan terbentuknya Negara. Karena itu pergeseran dari
harapan atau penyimpangan dari makna hakiki kepemimpinan dan sikap keteladanan,
menjadi sumber pemuasan ambisi, akan mengakibatkan munculnya pemerintahan
tirani.[4]
Keberhasilan seseorang dalam memimpin tidak saja ditentukan oleh seberapa
tinggi tingkat kepemimpinannya, tetapi yang paling penting adalah seberapa
besar pengaruh baik yang dapat diberikan kepada orang lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan
Umum Mengenai Kepemimpinan
Secara etimologi kepemimpinan berarti Khilafah, Imamah,
Imaroh, yang mempunyai makna daya memimpin atau kualitas seorang pemimpin atau
tindakan dalam memimpin.[5]
Sedangkan secara terminologinya adalah suatu kemampuan untuk
mengajak orang lain agar mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan.[6]
Dengan kata lain, kepemimpinan adalah upaya untuk mentransformasikan semua
potensi yang terpendam menjadi kenyataan.
Tugas dan tanggungjawab seorang pemimpin adalah menggerakkan
dan mengarahkan, menuntun, memberi motivasi serta mendorong orang yang dipimpin
untuk berbuat sesuatu guna mencapai tujuan. Sedangkan tugas dan tanggungjawab
yang dipimpin adalah mengambil peran aktif dalam mensukseskan pekerjaan yang
dibebankannya tanpa adanya kesatuan komando yang didasarkan atas satu
perencanaan dan kebijakan yang jelas, maka rasanya sulit diharapkan tujuan yang
telah ditetapkan akan tercapai dengan baik. Bahkan sebaliknya, yang terjadi adalah
kekacauan dalam pekerjaan. Inilah arti penting komitmen dan kesadaran bersama
untuk mentaati pemimpin dan peraturan yang telah ditetapkan.[7]
B. Kepemimpinan
dalam Islam
1.
Hakekat Kepemimpinan
Pandangan dalam Islam, kepemimpinan merupakan amanah dan
tanggungjawab yang tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada anggota-anggota
yang dipimpinya, tetapi juga akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah Swt.
Jadi, pertanggungjawaban kepemimpinan dalam Islam tidak hanya bersifat
horizontal-formal sesama manusia, tetapi bersifat vertikal-moral, yakni
tanggungjawab kepada Allah Swt di akhirat nanti. Seorang pemimpin akan dianggap
lolos dari tanggungjawab formal dihadapan orang-orang yang dipimpinnya, tetapi
belum tentu lolos ketika ia bertanggungjawab dihadapan Allah Swt. Kepemimpinan
sebenarnya bukan sesuatu yang mesti menyenangkan, tetapi merupakan
tanggungjawab sekaligus amanah yang amat berat yang harus diemban dengan
sebaik-baiknya. Allah Swt berfirman:
tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÏF»oY»tBL{ öNÏdÏôgtãur tbqããºu ÇÑÈ tûïÏ%©!$#ur ö/ãf 4n?tã öNÍkÌEºuqn=|¹ tbqÝàÏù$ptä ÇÒÈ
"dan orang-orang yang
memelihara amanah (yang diembankannya) dan janji mereka, dan orang-orang yang
memelihara sholatnya."
(QS.Al Mukminun 8-9)
Seorang
pemimpin harus bersifat amanah, sebab ia akan diserahi tanggungjawab. Jika
pemimpin tidak mempunyai sifat amanah, tentu yang terjadi adalah penyalahgunaan
jabatan dan wewenang untuk hal-hal yang tidak baik.[8]
Itulah mengapa nabi Muhammad SAW juga mengingatkan agar menjaga amanah
kepemimpinan, sebab hal itu akan dipertanggungjawabkan, baik didunia maupun
diakhirat. Nabi bersabda: "setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian
akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya" (HR.
Bukhori).[9]
Nabi Muhammad SAW juga bersabda: "Apabila amanah disia-siakan maka
tunggulah saat kehancuran. Waktu itu ada seorang shahabat bertanya: apa
indikasi menyia-nyiakan amanah itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: apabila
suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah saat
kehancurannya" (HR. Bukhori)[10]
Oleh
karenanya, kepemimpinan mestinya tidak dilihat sebagai fasilitas untuk
menguasai, tetapi dimaknai sebagai sebuah pengorbanan dan amanah yang harus
diemban dengan sebaik-baiknya. Kepemimpinan juga bukan kesewenang-wenangan
untuk bertindak, tetapi kewenangan untuk melayani dan mengayomi dan berbuat
dengan seadil-adilnya. kepemimpinan adalah sebuah keteladanan dan kepeloporan
dalam bertindak. Kepemimpinan semacam ini akan muncul jika dilandasi dengan
semangat amanah, keikhlasan dan nilai-nilai keadilan.[11]
2.
Hukum dan Tujuan Menegakkan
Kepemimpinan
Pemimpin yang ideal merupakan dambaan bagi setiap orang,
sebab pemimpin itulah yang akan membawa maju-mundurnya suatu organisasi,
lembaga, negara dan bangsa. Oleh karenanya, pemimpin mutlak dibutuhkan demi
tercapainya kemaslahatan umat. Tidaklah mengherankan jika ada seorang pemimpin
yang kurang mampu, kurang ideal misalnya cacat mental dan fisik, maka cenderung
akan mengundang kontroversi, apakah tetap akan dipertahankan atau di non
aktifkan.[12]
Imam Al-mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah menyinggung
mengenai hukum dan tujuan menegakkan kepemimpinan. beliau mengatakan bahwa
menegakkan kepemimpinan dalam pandangan Islam adalah sebuah keharusan dalam
kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Lebih lanjut, beliau
mengatakan bahwa keberadaan pemimpin (imamah) sangat penting, artinya, antara
lain karena imamah mempunyai dua tujuan: pertama: Likhilafati an-Nubuwwah
fi-Harosati ad-Din, yakni sebagai pengganti misi kenabian untuk menjaga
agama. Dan kedua: Wa sissati ad-Dunnya, untuk memimpin atau mengatur
urusan dunia. Dengan kata lain bahwa tujuan suatu kepemimpinan adalah untuk
menciptakan rasa aman, keadilan, kemaslahatan, menegakkan amar ma'ruf nahi
munkar, mengayomi rakyat, mengatur dan menyelesaikan problem-problem yang
dihadapi masyarakat.[13]
3.
Kriteria Pemimpin yang Ideal dalam
Islam
Seorang
pemimpin merupakan sentral figur dan profil panutan publik. Terwujudnya
kemaslahatan umat sebagai tujuan pendidikan Islam sangat tergantung pada gaya
dan karakteristik kepemimpinan. Dengan demikian kualifikasi yang harus dipenuhi
oleh seorang pemimpin mencakup semua karakteristik yang mampu membuat
kepemimpinan dapat dirasakan manfaat oleh orang lain.
Dalam
konsep Syari’at Islam, kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin telah
dirumuskan dalam suatu cakupan sebagai berikut:
1. Pemimpin haruslah orang-orang yang
amanah, amanah dimaksud berkaitan dengan banyak hal, salah satu di antaranya
berlaku adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok,
golongan atau kaum muslimin saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan
seluruh makhluk. Dalam al-Qur’an surah an-Nisa’: 58 dijelaskan:
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/ ÇÎÑÈ
Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.
Ayat di atas memerintahkan
menunaikan amanat, ditekankannya bahwa amanat tersebut harus ditunaikan kepada ahliha
yakni pemiliknya. Ketika memerintahkan menetapkan hukum dengan adil,
dinyatakannya “apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia”. Ini bearti
bahwa perintah berlaku adil itu ditunjukkan terhadap manusia secara
keseluruhan.[14]
2. Seorang pemimpin haruslah orang-orang
yang berilmu, berakal sehat, memiliki kecerdasan, kearifan, kemampuan fisik dan
mental untuk dapat mengendalikan roda kepemimpinan dan memikul tanggungjawab.
Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surah An-Nisa’: 83
#sÎ)ur öNèduä!%y` ÖøBr& z`ÏiB Ç`øBF{$# Írr& Å$öqyø9$# (#qãã#sr& ¾ÏmÎ/ ( öqs9ur çnru n<Î) ÉAqߧ9$# #n<Î)ur Í<'ré& ÌøBF{$# öNåk÷]ÏB çmyJÎ=yès9 tûïÏ%©!$# ¼çmtRqäÜÎ7/ZoKó¡o öNåk÷]ÏB 3 wöqs9ur ã@ôÒsù «!$# öNà6øn=tã ¼çmçGuH÷quur ÞOçF÷èt6¨?]w z`»sÜø¤±9$# wÎ) WxÎ=s% ÇÑÌÈ
Dan apabila
datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka
lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri
di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri) kalau tidaklah karena
karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali
sebahagian kecil saja (di antaramu).
Maksud
ayat di atas adalah kalau mereka menyerahkan informasi tentang keamanan atau
ketakutan itu kepada Rasulullah Saw apabila bersama mereka, atau kepada
pemimpin-pemimpin mereka yang beriman, niscaya akan diketahui hakikatnya oleh
orang-orang yang mampu menganalisis hakikat itu dan menggalinya dari
celah-celah informasi yang saling bertentangan dan tumpang tindih.[15]
3. Pemimpin harus orang-orang yang beriman,
bertaqwa dan beramal shaleh, tidak boleh orang dhalim, fasiq, berbut keji,
lalai akan perintah Allah Swt dan melanggar batas-batasnya. Pemimpin yang
dhalim, batal kepemimpinannya.
4. Bertanggung jawab dalam pelaksanaan
tatanan kepemimpinan sesuai dengan yang dimandatkan kepadanya dan sesuai
keahliannya. Sebaliknya Negara dan rakyat akan hancur bila dipimpin oleh orang
yang bukan ahlinya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw “Apabila diserahkan
suatu urusan kepada yang bukan ahlinya maka tungguhlah kehancuran suatu saat”.
5. Senantiasa menggunakan hukum yang telah
ditetapkan Allah, seperti yang Allah jelaskan dalam al-Qur’an.
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.
Ayat di atas merupakan perintah
untuk taat kepada Allah, Rasul, dan Ulil Amri (ulama dan umara). Oleh karena
Allah berfirman “Taatlah kepada Allah”, yakni ikutilah kitab-nya, “dan taatlah
kepada Rasul”, yakni pegang teguhlah sunnahnya, “dan kepada Ulim Amri di antara
kamu”, yakni terhadap ketaatan yang mereka perintahkan kepadamu, berupa
ketaatan kepada Allah bukan ketaatan kepada kemaksiatan terhadap-Nya. Kemudian
apabila kamu berselisih tentang suatu hal maka kembalilah kepad al-Qur’an dan
hadits.[16]
Ayat ini turun tatkala terjadi
sengketa antara orang Yahudi dengan seorang munafik. Orang munafik ini meminta
kepada Ka’ab bin Asyraf agar menjadi hakim di antara mereka, sedangkan orang
Yahudi miminta kepada Nabi Saw. Lalu kedua orang yang bersengketa itu pun
datang kepada Nabi Saw yang memberikan kemenangan kepada orang Yahudi. Orang
munafik itu tidak rela menerimanya, lalu mereka mendatangi Umar dan si Yahudi
pun menceritakan persoalannya, kata Umar kepada orang munafik “Benarkah
demikian?” “Benar” jawabnya. Maka orang itu pun dibunuh oleh Umar.[17]
6. Tidak meminta jabatan, atau menginginkan
jabatan tertentu, sabda Rasulullah Saw “ Sesungguhnya kami tidak akan
memberikan jabatan ini kepada seseorang yang memintanya, tidak pula kepada
orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” (H.R . Muslim).
- Prinsip-Prinsip Kepemimpinan Islam
1. Prinsip Tauhid
Prinsip
tauhid merupakan salah satu prinsip dasar dalam kepemimpinan Islam. Sebab
perbedaan akidah yang fundamental dapat menjadi pemicu dan pemacu kekacauan
suatu umat. Oleh sebab itu, Islam mengajak kearah satu kesatuan akidah diatas
dasar yang dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat, yaitu tauhid. Dalam
alqur'an sendiri dapat ditemukan dalam surat An-nisa' 48, Ali imron 64 dan
surat al Ikhlas.
2. Prinsip Musyawarah (Syuro)
Musyawarah
berarti mempunyai makna mengeluarkan atau mengajukan pendapat. Dalam menetapkan
keputusan yang berkaitan dengan kehidupan berorganisasi dan bermasyarakat
musyawarah dalam konteks membicarakan persoalan-persoalan tertentu dengan
anggota masyarakat, termasuk didalamnya dalam hal berorganisasi. Hal ini
sebagaimana terdapat pada surat Ali-imran ayat 158. "bermusyawarahlah
kamu (Muhammad) dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, bertawakkalah kepada Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt
mencintai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya".
Meskipun
terdapat beberapa Al-qur'an dan As-sunnah yang menerangkan tentang musyawarah.
Hal ini bukan berarti al-Qur'an telah menggambarkan sistem pemerintahan secara
tegas dan rinci, nampaknya hal ini memang disengaja oleh Allah untuk memberikan
kebebasan sekaligus medan kreatifitas berfikir hambanya untuk berijtihad
menemukan sistem pemerintahan yang sesuai dengan kondisi sosial-kultural.
Sangat mungkin ini salah satu sikap demokratis Tuhan terhadap hamba-hambanya.
3. Prinsip Keadilan (Al-'adalah)
Dalam
memanage pemerintahan, keadilan menjadi suatau keniscayaan, sebab pemerintah
dibentuk antara lain agar tercipta masyarakat yang adil dan makmur. Jadi, sistem
pemerintahan Islam yang ideal adalah sistem yang mencerminkan keadilan yang
meliputi persamaan hak didepan umum, keseimbangan (keproposionalan) dalam
memanage kekayaan alam misalnya, distribusi pembangunan, adanya balancing power
antara pihak pemerintah dengan rakyatnya.
4. Prinsip Kebebasan (al-Hurriyah)
Kebebasan
dalam pandangan al-Qur'an sangat dijunjung tinggi termasuk dalam menentukan
pilihan agama sekaligus. Namun demikian, kebebasan yang dituntut oleh Islam
adalah kebebasan yang bertanggungjawab. Kebebasan disini juga kebebasan yang
dibatasi oleh kebebasan orang lain. Dalam konteks kehidupan politik, setiap
individu dan bangsa mempunyai hak yang tak terpisahkan dari kebebasan dalam
segala bentuk fisik, budaya, ekonomi dan politik serta berjuang dengan segala
cara asal konstitusional untuk melawan atas semua bentuk pelanggaran.
- Kepemimpinan Rasulullah SAW
Kepemimpinan Rasulullah SAW tidak bisa terlepas dari
kehadiran beliau yaitu sebagai pemimpin spiritual dan pemimpin rakyat. Prinsip
dasar dari kepemimpinan beliau adalah keteladanan. Dalam memimpin beliau lebih
memgutamakan Uswah al-Hasanah pemberian contoh kepada para shahabatnya.
Sebagaimana digambarkan dalam Al-qur'an: "dan sesungguhnya engkau Muhammad
benar-benar berada dalam akhlaq yang sangat agung" (QS. Al-qolam: 4).
Keteladanan Rasulullah SAW antara lain tercermin dalam sifat-sifat beliau,
Shiddiq, Amanah, Tabliq, Fathonah. Inilah karakteristik kepemimpinan Rasulullah
SAW.
Sifat
ajaran Rasulullah Saw adalah intelektual dan spiritual prinsipnya adalah
mengarahkan orang kepada kebenaran, kebaikan, kemajuan, dan keberhasilan.
Metode ilmiah seperti ini adalah yang terbaik yang pernah ada di muka bumi.
Khususnya di bidang kepemimpinan dan akhlak, mampu memberikan kemerdekaan
berfikir dan tidak menentang kehendak hati nurani yang bebas, tidak ada unsur
pemaksaan yang menekan perasaan.
Semua
yang diperaktikkan dalam tindakan Rasulullah Saw terasa begitu sesuai dengan
suara hati, dan cocok dengan martabat kehormatan manusia. Sangat menjunjung
tinggi hati dan pikiran manusia, sekaligus membersihkan belenggu yang
senantiasa membuat orang menjadi buta. Dialah sebenarnya guru dari kecerdasan
emosi dan kecerdasan spritual.
Rasulullah
Saw adalah pemimpin abadi dan tauladan bagi seluruh manusia yang pengaruhnya
tetap akan dikenang sepanjang masa. Beliau telah meletakkan dasar yang kokoh
bagi pembangunan peradaban baru manusia di bumi yang sesuai dengan fitrah
manusia, seperti yang telah Allah jelaskan dalam firmanNya:
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_öt ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sur ©!$# #ZÏVx. ÇËÊÈ
Sesungguhnya telah
ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah.[18]
Ayat
di atas menjelaskan hai orang-orang yang tidak mau berperang kamu memperoleh
teladan yang baik pada diri Nabi. Maka, seharusnya kamu meneladani Rasulullah
Saw dalam segala perilakumu. Rasulullah adalah contoh yang baik dalam segi
keberanian, kesabaran, dan keteladanan menghadapi bencana. Orang yang mengharap
pahala Allah dan takut kepada siksa-Nya, serta bayak mengingat Allah, akan
memperoleh teladan yang baik seperti yang ada pada diri Rasulullah.[19]
BAB III
PENUTUP
Seorang
pemimpin yang memiliki integritas tinggi adalah orang-orang yang penuh
keberanian, berusaha tanpa kenal putus asa untuk mencapai apa yang
dicita-citakan. Cita-cita yang dimiliki itu mampu mendorong dirinya untuk tetap
konsisten dengan langkah-langkahnya. Ketika seseorang mencapai tingkat ini,
maka orang lain akan melihat bagaimana aspek mulkiyah yaitu komitmen
orang tersebut, sehingga orang akan menilai dan memutuskan untuk mengikuti atau
tidak mengikuti. Integritas akan membuat seorang pemimpin dipercaya, dan
kepercayaan ini akan menciptakan pengikut. Untuk kemudian terbentuk sebuah
kelompok yang memiliki satu tujuan.
Pemimpin
Islam adalah orang yang paling bertanggungjawab terhadap kehidupan rakyat
jelata. Mata, telinga, dan pikiran harus mampu menjangkau kesetiap sudut
wilayah kekuasaannya, agar setiap air mata rakyat yang mengalir dapat diketahui
oleh pemimpinnya. Sebagai negarawan muslim, tanggungjawab yang luar biasa telah
ditunjukkan dalam kepemimpinan Rasulullah Saw di atas, yang rela mengorbankan
harta dan jiwanya bagi keselamatan umatnya. Sikap ini kemudian mewarnai
kepemimpinan para sahabat sepeninggalan beliau
Mengingat
begitu banyaknya pemimpin yang tidak sempurna, dalam arti tidak mampu
mewujudkan sifat-sifat yang dicintai oleh rakyatnya, maka figur ideal
kepemimpinan Rasulullah Saw sangat tepat untuk menjadi contoh teladan bagi
pemimpin sesudahnya untuk menjalankan kepemimpinan berdasarkan suara hati dan
bukan berdasarkan ambisi. Kepemimpinan Rasulullah Saw sangat berpengaruh dalam
peradaban manusia, beliau juga dikenal sebagai pemimpin yang sangat dicintai
oleh umatnya, sang Nabi penutup yang lebih memilih Inner Beauty dalam
kesehariannya, dan bukan hanya menampilkan sikap-sikap hanya untuk menarik
perhatian dan simpati orang lain.
Pemimpin Aceh saat ini baik di
tingkat gubernur, bupati, camat, dan pemimpin lainnya dapat belajar dari
kesuksesan kepemimpinan nabi dan para sahabat. Walaupun itu terasa sulit,
tetapi bila diniatkan untuk bekal di hari akhir, maka hal itu akan terasa
ringan. Begitu juga dengan teori-teori yang dikemukakan oleh pakar Islam
tentang pemimpin ideal. Untuk semua rakyat Aceh kita harapkan dapat memilih
pemimpin yang hatinya berlandaskan iman dan ketakwaan kepada Allah Swt
janganlah memilih pemimpin karena uangnya, tetapi pilihlah pemimpin yang memang
dia memiliki sifat dan kriteria seorang pemimpin di masa yang akan datang. Baldatun Thoyibatun Wa Robbun
Ghofur.
Wallahu a’lam bisshawab
[1]Hepi Andi Bastoni, Sejarah
Para Khalifah, (Bogor: Pustaka Al-kautsar, 2009), hal. IX.
[2]Muhammad Abdul Jawwad,
Kaifa Tamtaliku Quluuba Muwazdzhafiika, (terj), Abdurrahman Jufri, Trik
Cerdas Memimpin Cara Rasulullah, (Solo: Pustaka Iltizam, 2009), hal. 10.
[3]Ernita Dewi, Menggagas
Kriteria Pemimpin Ideal, cet 1, (Yogyakarya: AK Group, 2006), hal. 2.
[4]Ernita Dewi, Menggagas
Kriteria Pemimpin Ideal… hal. V.
[5]Muhammad Idris
Marbawi, Kamus Idris Al-Marbawy, juz 1, (Mesir: Mustafa Al-Halaby wa
Auladuhu, 1359 H), hal. 28.
[6]Abdul Mujieb, Kamus
Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal. 120.
[7]Wahbah Al-Zuhaily, Fiqh
Al-Islami wa Adillatuhu, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1984), hal. 661.
[8]Raihan Putri,
Kepemimpinan Perempuan dalam Islam, cet 1, (Yogyakarta: AK Group, 2006),
hal. 52.
[9]Muslich Shabir, Terjemah
Riyadhus Shalihin, jilid 1, (Semarang: Karya Toha Putra, 2004), hal. 335.
[10]Raihan Putri,
Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam… hal. 57.
[11]Abdul Al-Rahman Ibnu
Khaldun, Muqaddimat, (t.t.t: Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubs, t.t). hal.
191.
[12]Ernita Dewi, Menggagas
Kriteria Pemimpin Ideal…hal. 14.
[13]Al-Mawardi, Al-Ahkam
Al-Sulthaniyah, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1980), hal. 6.
[14]M.Quraish Shihab, Tafsir
al-Mishbah Pesan, Kesan, dan keserasian al-Qur’an, Volume 2, Cet 1,
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), hal. 458.
[15]Sayyid Quthb,
Tafsir fi Zhilalil Qur’an, (terj), As’ad Yasin, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2002), hal. 54.
[16]Ibnu Katsir, Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir, (terj), M. Nasib Ar-Rifa’i, (Jakarta: Gema Insani,
1999), hal. 740-741.
[17]Imam Jalaluddin
Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain, Berikut Asbabun
Nuzul Ayat, (terj), Bahrun Abubakar, cet 4, (Bandung: Sinar Baru Algesindo,
2006), hal. 343.
[18]Q.s Al-Ahzab: 21
[19]Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nur, jilid 4, (Semarang:
Pustaka Rizki putra, 2000), hal. 3269.
0 Response to "KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN"
Posting Komentar