BAB I
PENDAHULUAN
Sesuai dengan namanya, mazhab al-Zhahiri
dikenal sangat berpegang teguh terhadap arti lahir (zahir) dari nash
tanpa mempertimbangkan pada penalaran rasio (ra’yu) dalam pemikiran dan
ijtihadnya. Mazhab ini didirikan oleh Dawud al-Asfahani[1],
seorang pengagum berat Imam Syafi’i yang dianggapnya sangat berpegang kepada nash
Alquran dan Sunnah. Namun dari metode ijtihad Imam Syafi’i, Dawud mengambil
sikap untuk hanya berpedoman terhadap nash semata (baik Alquran dan
Hadis) seraya meniadakan qiyas atau ra’yu.
Dalam perkembangan selanjutnya, mazhab
ini mencapai masa kegemilangannya pada masa Ibn Hazm al-Andalusi[2].
Melalui tokoh ini Mazhab al-Zhahiri tumbuh kuat di Andalusia. Namun, karena
kematiannya pula, mazhab ini dalam waktu relatif singkat menjadi lemah. Ciri
utama pemikiran Ibn Hazm adalah sandarannya yang kuat terhadap arti lahir nash
ketika menetapkan dan menyimpulkan suatu hukum dengan tanpa berpaling kepada
teori-teori ijtihad bi al-ra’yi seperti yang dilakukan oleh jumhur fuqaha
(qiyas, istihsan, atau mashlahah al-mursalah).[3]
Selain Alquran, Hadis dan Ijma’
Sahabat, sumber hukum lain yang digunakan oleh Ibn Hazm ketika meng-istinbath-kan
hukum adalah teori al-Dalil. Al-Dalil tidak lain merupakan
penerapan nash juga, hanya saja penggunaan teori ini sangat berkaitan
erat dengan penguasaan ilmu mantiq (logika). Al-Dalil menurut Ibn
Hazm tidaklah keluar dari nash atau ijma’, ia berbeda dengan qiyas
karena qiyas adalah dasarnya mengeluarkan ‘illat dari nash
dan memberikan hukum kepada segala yang terdapat pada ‘illat itu.
Sedangkan al-Dalil merupakan bagian dari nash itu sendiri.[4]
Oleh karena itu di dalam pembahasan
makalah ini, penulis akan membahas tentang penalaran Ibn Hazm, yang meliputi
berbagai sub pembahasan di antaranya adalah makna burhan menurut Ibn
Hazm, tertib al dalil menurutnya, penolakannya terhadap ‘illat
dan qiyas, sampai kepada cara Ibn Hazm dalam menggunakan dan memahami dalil
dan juga dalam menetapkan hukum kepada permasalahan yang baru.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Makna Burhan Menurut Ibn Hazm
Nalar
burhani adalah metode penalaran Aristoteles beserta segenap
pandangan-pandangan ilmiah filsafatnya. Pemikiran hukum Islam yang memiliki
kecenderungan rasional-filosofis pada dasarnya hanya “meminjam” penalaran
secara burhan sebagai dasar pijakan untuk menganalisis maksud teks
Alquran dan Sunnah sebagai sumber hukum Islam. Dalam sejarah hukum Islam, kecenderungan
burhani dalam hukum Islam ini sebenarnya telah dipraktekkan oleh para ahli
hukum Islam di Andalusia seperti Ibn Hazm, Ibn Rusyd dan al-Syatibi, sesuai
dengan perkembangan pemikiran rasional-filosofis ketika itu.[5]
Ibn
Hazm sangat menghargai logika Aristoteles, menganjurkan penggunaannya serta
mencela orang yang menolaknya. Lebih dari itu, ia merupakan ulama pertama yang
menerjemahkan (mengarang) logika Aristo ke dalam bahasa Arab dengan
contoh-contoh fiqh. Mungkin karena penguasaan yang mendalam atas logika, maka
walaupun mengaku berkecenderungan zhahiriah, di dalam kenyataannya beliau
tidaklah betul-betul zhahiriah. Ibn Hazm cenderung berpendapat bahwa setiap
lafaz (konsep) dalam Alquran serta hadis bersifat unik. Artinya tidak ada lafaz
yang sinonim dan karena itu tidak ada aturan (hukum) yang betul-betul sama.[6]
Ibn
Hazm menyatakan bahwa tidak ada jalan untuk mencapai dan memperoleh suatu
pengetahuan kecuali melalui dua cara, yaitu pertama, melalui
postulat-postulat aksiomatik yang diberikan akal dan persepsi inderawi, kedua,
melalui prinsip-prinsip penalaran yang berasal dari aksioma akal dan persepsi
inderawi. Namun demikian, menurutnya, dalam syari’ah perlu dibedakan
antara apa yang bisa dijangkau oleh akal dan yang tidak bisa dijangkau olehnya.
Akal semata, misalnya, tidak bisa menetapkan bahwa “babi itu haram atau halal,
shalat dzuhur ada empat rakaat dan shalat maghrib ada tiga rakaat”. Dalam
konteks ini, akal tidak punya peran baik dalam mengukuhkannya maupun untuk
menolaknya. Namun hal ini tidak berarti bahwa akal tidak mempunyai peran dalam syari’ah.
Hukum-hukum syari’ah mirip dengan hukum-hukum alam.[7]
Menyangkut
hukum alam, harus bertolak dari pengamatan induktif atas beberapa fenomena yang
terdapat di alam ini sebelum akhirnya sampai pada satu kesimpulan umum.
Sementara dalam syari’ah, juga ditemukan hal yang serupa. Nash-nash
yang jelas seperti fenomena-fenomena alam yang jelas, dinyatakan sebagai satu
data dari sekian data-data agama yang tidak bisa diubah dan diganti, baik
dengan qiyas, ijma’, maupun yang lain. Bila tidak ada nash,
kewajiban seorang muslim untuk mencari dan merumuskan satu “dalil” atau
pembuktian rasional, yakni dengan cara meneliti secara induktif (istiqra’)
teks-teks agama, lalu dijadikan premis-premis yang kemudian digunakan untuk
menarik satu keputusan hukum.[8]
Ibn
Hazm memandang qiyas sebagai dasar hukum yang tidak valid. Sebagai ganti
qiyas, Ibn Hazm memegang al-dalil. Al-dalil menurutnya
merupakan metode penetapan hukum dengan cara meneliti secara induktif teks-teks
syari’ah, lalu menarik satu kesimpulan hukum darinya untuk kemudian
dipakai sebagai satu dari kedua premis tersebut. Sementara premis kedua jika
bukan merupakan teks syari’ah, maka ia merupakan rumusan akal yang
bersifat apriori. Dengan demikian, dalam pandangan Ibn Hazm,
premis-premis penalaran atau dalil itu merupakan premis-premis burhani
dalam syari’ah.[9]
B.
Tertib Dalil Menurut Ibn Hazm
Ibn Hazm menggunakan konsep al-dalil ketika
tidak ada nash dalam persoalan tertentu, guna menjawab persoalan yang
baru muncul akibat perubahan sosial. Al-dalil adalah sesuatu yang
diambil secara langsung dari nash atau ijma’ dan dipahami secara
langsung dari segi dilalah keduanya. Kendati al-dalil bukan nash
atau ijma’, tetapi secara essensial memiliki kesamaan dengan keduanya;
namun tidak sama dengan qiyas.
Ibn Hazm dengan tegas menolak anggapan orang-orang
yang menyamakan al-dalil dengan qiyas, begitu juga anggapan orang-orang
yang menganggap bahwa konsep al-dalil ini telah membuatnya keluar dari nash
dan ijma’. Ibn Hazm menyatakan bahwa al-dalil diambil langsung
dari nash dan dari ijma’ dengan tertib sebagai berikut:[10]
Al-dalil yang diambil dari ijma’ dibagi menjadi empat
macam dan kesemuanya itu merupakan bagian dari ijma’ itu sendiri, yaitu:
istishab al-hal, aqallu ma qilla, ijma’ untuk meninggalkan
pendapat tertentu dan ijma’ tentang universalitas hukum.[11]
1. Istishhab al-hal, yaitu kekalnya hukum ashl yang telah tetap
berdasarkan nash, hingga adanya dalil tertentu yang menunjukkan adanya
perubahan. Konsep istishhab dalam aliran Zahiri tidak didasarkan pada
akal, tetapi pada nash Alquran yang bersifat umum, yaitu firman Allah
swt: “…dan bagi kamu
ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan” (Q.S. al-Baqarah: 36).
Ayat tersebut merupakan nash bagi hukum ibahah yang
terus berlaku sehingga terdapat dalil yang mengatur adanya pergeseran
hukum. Ketika hukum suatu masalah tidak diatur oleh dalil dari nash
atau ijma’, maka ia ditetapkan mubah atas dasar al-dalil
dalam bentuk istishhab.
2.
Aqallu ma qilla, yaitu target minimal atau terendah dari
suatu ukuran yang diperselisihkan. Apabila ulama ber-ikhtilaf tentang
ukuran atau kadar yang wajib ditunaikan, seperti zakat dan harta
warisan, al-Zahiri berpendirian bahwa ia mengambil target minimal atau ukuran
terendah dari ukuran yang di-ikhtilaf-kan.
3.
Ijma’ untuk meninggalkan pendapat tertentu.
Apabila timbul berbagai pendapat di kalangan ulama mengenai suatu masalah dan
mereka sepakat untuk meninggalkan salah satunya, kesepakatan mereka merupakan al-dalil
bagi batalnya pendapat itu.
4.
Ijma’ tentang universalitas hukum. Apabila suatu
hukum ditujukan untuk sebagian kaum muslimin, pada dasarnya hukum tersebut
dipandang berlaku secara umum untuk segenap umat Islam atas dasar kesamaan
kedudukan mereka di hadapan hukum, selama tidak terdapat nash tertentu
yang menunjukkan kekhususan berlakunya hukum itu untuk sebagian dari mereka.[12]
Sedangkan al-dalil yang diambil dari nash
terbagi menjadi tujuh, yaitu:[13]
1.
Dua proposisi (muqaddimah) yang terdiri dari nash, kemudian
menghasilkan natijah yang tidak terdapat di dalam nash. Seperti
sabda Rasulullah saw: “kullu muskirin khamrun wa kullu khamrun haram”
dan natijah kullu muskirin haram adalah al-dalil menurut Ibn
Hazm.
2.
Syarat yang tergantung dengan sifat tertentu, maka wajib untuk
menetapkannya sesuai dengan syarat tersebut. Contoh dalam Alquran surat al-Anfal ayat
38: “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: “Jika mereka berhenti
(dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa
mereka yang sudah lalu…”, maka dengan ini benar bahwa setiap yang berhenti
(dari kekafiran) akan diampuni oleh Allah swt.
3.
Lafaz yang dipahami dengan makna tertentu,
kemudian lafaz tersebut diungkapkan dengan pernyataan lain yang semakna (al-mutala’imat).
Contoh firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 114: “…sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi
penyantun.” Maka dapat
dipahami secara dharuri bahwa ia (Ibrahim) bukanlah orang yang safih
(jahat, kasar). Begitu juga dengan lafaz الضيغم، الأسد، الليث، الضرغام، وعنبسة semuanya nama-nama tersebut mempunyai makna yang
sama, yaitu singa.
4.
Sesuatu yang bukan wajib dan bukan haram,
hukumnya adalah mubah. Menurut Abu Zahrah, al-dalil ini pada dasarnya
adalah istishab, yakni hukum asal segala sesuatu adalah mubah sebelum
ada dalil nash yang mengharamkannya atau mewajibkannya.[14]
5.
Qadhaya Mudarrajat yaitu pemahaman bahwa derajat tertinggi
dipastikan berada di atas derajat yang lain di bawahnya. Ibn Hazm mencontohkan,
apabila terdapat pernyataan bahwa Abu Bakar lebih utama dari Umar dan Umar
lebih utama dari Utsman, maka makna lainnya adalah Abu Bakar lebih utama dari
Utsman.
6. ‘Aks Qadhaya, di mana bentuk proposisi kulliyat, dibalik ke
dalam bentuk proposisi juz’iyyat, seperti pernyataan; “setiap yang
memabukkan adalah khamr” dibalik menjadi “sebagian dari hal yang
diharamkan adalah yang memabukkan”.
7. Cakupan makna yang merupakan keharusan untuk menyertai makna yang
dimaksud, atau suatu lafaz mempunyai makna hakiki, namun juga memiliki beberapa
makna yang otomatis menempel padanya. Seperti ungkapan “Zaid sedang menulis”
dalam kalimat ini mengandung makna bahwa Zaid itu hidup, mempunyai anggota
badan yang dapat digunakan untuk menulis. Atau contoh lainnya firman Allah: “Setiap
yang bernyawa pasti akan merasakan mati” maka dengan demikian, zaid,
hindun, atau ‘umar pasti akan mati, walaupun nash tidak menyebutkan
namanya.
C. Penolakan terhadap ‘Illat dan Qiyas
a. Penolakannya terhadap ‘Illat
Ini merupakan perbedaan antara fiqih ahlu dzahir
dengan jumhur fuqaha. Jumhur bersepakat bahwa hukum yang ditetapkan Syari’--secara
umum--selalu memiliki alasan logis (‘illat). Setiap nash yang di-syari’at-kan
mempunyai tujuan atau maqashid yang dapat mengatur semua urusan baik
berkenaan dengan agama maupun dunia. Oleh sebab itu, syari’at perlu
diperluas sesuai dengan perkembangan manusia. Hal ini dikarenakan nash
jumlahnya terbatas, sedangkan permasalahan baru yang muncul di dalam kehidupan
manusia tidaklah terbatas. Maka illat dari sebuah nash perlu
dikeluarkan agar dapat meng-istinbath-kan hukum dengan qiyas.
Namun berbeda dengan pendapat jumhur, Ibn Hazm menolak
keberadaan ‘illat di dalam nash, karena menurutnya setiap nash
atau hukum hanya terkait dengan masalah tertentu saja tanpa ‘illat yang
bisa diterapkan kepada masalah yang lain.[15]
Ibn Hazm menyatakan, kami tidak menolak apa yang di-nash-kan oleh Allah
dan Rasul-Nya, yang kami tolak adalah ‘illat yang dikeluarkan dari akal,
lalu dinyatakan dari Allah dan Rasul-Nya.[16]
Dalam menguatkan pendapatnya bahwa nash-nash syar’i
tidak perlu dicari ‘illat-nya, Ibn Hazm berpegang pada firman Allah:
w ã@t«ó¡ç $¬Hxå ã@yèøÿt öNèdur cqè=t«ó¡ç ÇËÌÈ
Artinya:
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan
ditanyai.” (Q.S. Al-Anbiya’: 23)
Apabila perbuatan Allah tidak bisa di-ta’lil,
maka tidak ada ‘illat di dalam syari’at. Jadi tidak perlu mencari
‘illat dari sebuah nash, karena mencari ‘illat dari sebuah
nash sama saja dengan mencari ‘illat dari perbuatan Allah.[17]
Dengan demikian, terdapat perbedaan pandangan antara
jumhur dengan Ibn Hazm atau zhahiriah. Jumhur melihat perlunya ta’lil
nushush sehingga dapat mengatur semua perkara dunia dan membangun fiqih ra’yi
terhadap permasalahan yang tidak tercakup di dalam nash. Sedangkan
kelompok zhahiri berpandangan tidak adanya ta’lil nushush, bahkan mereka
menggunakan sebuah nash tanpa berusaha mencari ‘illat-nya dan
juga tidak men-ta’diyah-kan hukum kepada selain yang ditetapkan oleh nash.
b. Penolakannya terhadap Qiyas
Ibn
Hazm adalah musuh besar bagi qiyas. Menurutnya, tidak ada peran logika
di dalam ilmu-ilmu keagamaan. Ia mempunyai pemikiran yang mendalam tentang
Alquran dan menemukan hanya tiga sumber hukum, yaitu: Alquran, Sunnah dan
Ijma’. Sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Hasan, Ibn Hazm berpendapat bahwa
kaum Muslimin tidak dituntut untuk mencari sebab-sebab perintah Tuhan. Jika
seseorang mengambil sebab suatu ketetapan hukum dan menganggap bahwa itu juga
yang dikehendaki Tuhan, hal itu merupakan keputusan yang sewenang-sewenang.[18]
Dalam
menolak qiyas, Ibn Hazm juga menolak dalil yang dijadikan pegangan qiyas
oleh jumhur ulama dan berusaha melemahkannya. Jumhur biasanya menggunakan dalil
“fa’tabiru ya uli al-abshar” (al-Hasyr: 2) dengan mengartikan “i’tabiru”
dengan “qisu”. Menurut Ibn Hazm “i’tabiru” tidak dapat diartikan
“qisu”, makna “i’tabiru” adalah “ta’ajjabu wa ta’adzu”
sebagaimana dalam surat al-Nahl: 66-67:
¨bÎ)ur ö/ä3s9 Îû ÉO»yè÷RF{$# Zouö9Ïès9 ( /ä3É)ó¡S $®ÿÊeE Îû ¾ÏmÏRqäÜç/ .`ÏB Èû÷üt/ 7^ösù 5Qyur $·Yt7©9 $TÁÏ9%s{ $Zóͬ!$y tûüÎ/Ì»¤±=Ïj9 ÇÏÏÈ `ÏBur ÏNºtyJrO È@ϨZ9$# É=»uZôãF{$#ur tbräÏGs? çm÷ZÏB #\x6y $»%øÍur $·Z|¡ym 3 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ZptUy 5Qöqs)Ïj9 tbqè=É)÷èt ÇÏÐÈ
Artinya:
“Dan sungguh pada hewan ternak itu benar-benar terdapat pelajaran (la’ibrah)
bagi kamu, Kami memberimu minum dari apa yang ada dalam perutnya (berupa) susu
murni antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang meminumnya (66)
Dan dari buah kurma dan anggur, kamu membuat minuman yang memabukkan dan rezeki
yang baik. Sungguh pada demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran
Allah) bagi orang yang mengerti (67)”.
Ibn
Hazm mengartikan kata la ’ibrah pada ayat di atas dengan makna mau’idzah
(pelajaran).[19]
Sedangkan di dalam Mulakhkhas Ibthal al-Qiyas, Ibn Hazm juga membantah
ayat yang menjadi dalil qiyas oleh jumhur tersebut dengan menggunakan
ayat “laqad ka na fi qashashihim ‘ibrah” (Yusuf: 111). Kata ‘ibrah
pada ayat ini bermakna ‘ajab (takjub) bukan bermakna qiyas.[20]
Pandangan
Ibn Hazm ini berbeda dengan jumhur ulama yang melihat nash sebagai
sesuatu yang ma’qul al-ma’na, diturunkan bagi manusia dengan tujuan
mengatur kehidupan mereka di dunia dan akhirat (maqashid syari’ah),
sehingga dalam memahami nash ada yang ‘am, khas, ‘illat
dan lain sebagainya. Sehingga jika Allah melarang mengkonsumsi khamar,
maka harus dipelajari maksud dan tujuan diharamkannya khamar, hingga
bisa dianalogikan dengan hal yang lain yang serupa, demi tercapainya tujuan
dari pengharaman khamar itu sendiri.
D. Cara Ibn Hazm dalam Menggunakan dan Memahami Dalil
Secara umum, prinsip yang dipegang
oleh Ibn Hazm adalah berdasarkan pada konsistensi nash atau mengambil
penjelasan yang zhahir (zawahirun nushush) dari Alquran, Sunnah, Ijma’
Sahabat ra. dan al-Dalil. Bagi Ibn Hazm, tidak boleh ada ra’yu
dalam masalah agama, barang siapa yang ber-ijtihad dengan ra’yu
maka berarti ia telah membuat kebohongan terhadap Allah swt. Dengan demikian,
Ibn Hazm menutup sama sekali pintu ijtihad bil ra’yi seperti qiyas,
istihsan, mashalih mursalah dan sadd al-zara-i’.[21]
Pandangannya
tersebut didasarkan terhadap beberapa dalil Alquran dan Hadis, namun yang
penulis kutip adalah dalil Alquran dalam surat al-Nisa’ ayat 59, Allah swt.
berfirman:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.”
Dari
ayat tersebut, Ibn Hazm menyimpulkan bahwa sumber-sumber syari’at
hanyalah Alquran, Sunnah dan Ijma’ (sahabat), ketika terjadi perselisihan maka
harus kembali kepada Alquran dan Sunnah, tidak kepada selain keduanya.
Hal
yang menarik di sini adalah Ibn Hazm dengan tegas menolak ijtihad bil ra’yi,
namun ia menawarkan konsep al-dalil yang termasuk di dalamnya juga ada
konsep istishab, ketika ber-ijtihad untuk menggali hukum-hukum syari’at
dari nash Alquran maupun Hadis. Bagi Ibn Hazm, konsep al-dalil
ini tidak keluar dari jalur nash, namun penggunaan teori ini sangat
berkaitan erat dengan penguasaan ilmu mantiq (logika). Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa penalaran ra’yu tidak bisa dilepaskan sama
sekali dalam ber-ijtihad atau menetapkan hukum.
E. Cara Ibn Hazm dalam Menetapkan Hukum pada Permasalahan Baru
Sebagaimana
yang kita ketahui sebelumnya bahwa fikih Ibn Hazm adalah fiqh al-nushush
dalam artian bahwa dalam berijtihad ia selalu mengutamakan dalil dari Alquran
dan Hadis tanpa berpaling kepada ijtihad bi al-ra’yi. Namun, ketika
dihadapkan terhadap persoalan tertentu yang tidak tercakup di dalam nash,
Ibn Hazm menggunakan konsep al-dalil dan istishab yang merupakan
pengembangan dari al-dalil tersebut.
Menurut
Ibn Hazm, nash menunjukkan prinsip ibahah ashliyah bagi segala
sesuatu sampai ada nash lain yang memalingkannya dari prinsip itu baik
berupa larangan atau kewajiban. Berbeda dengan jumhur ulama yang menyatakan bahwa istishab
berdasarkan pada penalaran akal, Ibn Hazm justru menyatakan bahwa yang menjadi
sandaran istishab adalah nash. Apa yang telah ditetapkan oleh nash
mengenai status hukumnya maka status hukum itu berlangsung terus hingga ada
dalil lain yang mengubahnya.[22]
Lebih lanjut, Ibn Hazm mendefiniskan istishab dengan:[23]
بقاء حكم الأصل الثابت بالنصوص حتى يقوم الدليل على التغيير
“Tetapnya hukum asal
yang telah ditetapkan dengan nash sehingga ada dalil yang mengubahnya”.
Ibn Hazm menegaskan bahwa perubahan esensi dari
sesuatu yang dihukumi oleh nash tidak diragukan lagi mengakibatkan
perubahan status hukumnya, misalnya arak yang berubah menjadi cuka maka
hukumnya berubah dari haram menjadi halal, atau seperti daging babi atau
bangkai yang dimakan oleh ayam maka batal status keharamannya sehingga memakan
daging ayam itu hukumnya tetap halal.[24]
Contoh penerapan metode istishab yang dilakukan
oleh Ibn Hazm dapat dilihat pada permasalahan dan kesucian air, Ibn Hazm
berpendapat bahwa air yang suci dan halal bila terkena najis atau sesuatu yang
haram namun tidak mengubah warna, rasa dan baunya; maka air tersebut tetap
halal untuk diminum dan digunakan, dalam artian ber-wudhu’ dan bersuci
tetap boleh dengan air tersebut.[25]
Ibn Hazm mengajukan kaedah pada permasalahan ini:[26]
إن ما ثبت حله لا يزول الحل إلا بدليل أو بأمر يغير ذاته
“Sesungguhnya apa yang
telah tetap kehalalannya tidaklah hilang kehalalan tersebut kecuali adanya
dalil atau suatu hal yang mengubah dzatnya”.
Dalam hal ini, Ibn Hazm tidak membedakan antara air
yang banyak atau sedikit, air yang mengalir atau tenang, pada pokoknya selama
air tersebut tidak berubah setelah terkena najis maka hukumnya tetap suci dan
dapat dimanfaatkan sesuai kegunaanya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas penulis dapat menarik
kesimpulan bahwa walaupun Ibn Hazm seorang yang literalis dengan menolak semua
model ijtihad bi al-ra’yi, namun ketika meng-istinbath-kan hukum
ia tetap tidak bisa melepaskan diri dari unsur logika di dalam ijtihad-nya.
Hal ini dapat dilihat dengan penggunaan nalar burhani yang dilakukannya,
yaitu metode
penalaran Aristoteles beserta segenap pandangan-pandangan ilmiah filsafatnya.
Di samping itu, ia juga mengembangkan konsep al dalil terhadap
permasalahan tertentu yang tidak terjawab di dalam nash. Meskipun
menurut Ibn Hazm konsep al dalil ini belum keluar dari jalur nash,
namun penggunaan teori ini sangat berkaitan erat dengan penguasaan ilmu mantiq
(logika).
Selain al dalil, Ibn Hazm juga menggunakan teori istishab
guna menetapkan hukum pada permasalahan baru. Istishab yang dilakukannya
merupakan pengembangan dari metode al dalil. Ibn Hazm justru menyatakan bahwa yang menjadi sandaran istishab
adalah nash. Nash menunjukkan prinsip ibahah ashliyah bagi
segala sesuatu sampai ada nash lain yang memalingkannya dari prinsip itu
baik berupa larangan atau kewajiban. Apa yang telah ditetapkan oleh nash
mengenai status hukumnya maka status hukum itu berlangsung terus hingga ada
dalil lain yang mengubahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Hasan. Qiyas; Penalaran Analogis di Dalam Hukum Islam. terj. Oleh: Munir.
Bandung: Penerbit Pustaka. 2001.
Al
Yasa Abubakar. Metode Istishlahiyah. Banda Aceh: Bandar Publishing. 2012.
Ibn
Hazm. al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. jilid 2. Beirut: Dar Kutub al-‘Ilmiyah.
t.th.
------------.
al-Nubadz fi Ushul Fiqh. Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah. 1981.
-----------.
Mulakhkhash Ibtal al-Qiyas wa al-Ra’yu wa al-Istihsan wa al-Taqlid wa
al-Ta’lil. Damaskus: Jami’ah Dimasyq. 1960.
-----------.
al-Muhalla bi al Atsar. Jil. I. Kairo: Idarah li at-Thiba’ah al-Munirah.
t.th.
Jaih
Mubarok. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. cet. II. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya. 2000.
Muhammad
Abu Zahrah. Ibn Hazm: Hayatuhu wa ‘Ashruhu-Ara’uhu wa Fiqhuhu. Kairo:
Dar al-Fikr al-Araby. 1997.
Rahman
Alwi. Metode Ijtihad Mazhab al-Zahiri; Alternatif Menyongsong Modernitas.
Jakarta: Gaung Persada Press. 2005.
Agus
Moh. Najib. Nalar Burhani Dalam Hukum Islam; Sebuah Penulusuran Awal.
Diakses di situs http://digilib.uin-suka.ac.id/8396/1/AGUS%20MOH.%20NAJIB%20NALAR%20BURHANI%20DALAM%20HUKUM%20ISLAM%20(SEBUAH%20PENELUSURAN%20AWAL).pdf. pada tanggal 24 0ktober 2013.
[1] Nama
lengkapnya adalah Abu Sulaiman Daud ibn Ali al-Asfahani yang kemudian
dikenalkan dengan nama Daud al-Zahiri. Beliau dilahirkan di Kufah dalam tahun
202 H, dibesarkan di Bagdad dan wafat di sana
dalam tahun 270 H. Mula-mula beliau bermadzhab Syafi’i, dan amat teguh memegang
hadis. Beliau pernah belajar pada Ishaq ibn Rahawaih, salah seorang fuqaha’
Madrasah Al Hadis, pada tahun 233 H.
[2] Nama
lengkap Imam Ibn Hazm adalah Ali ibn Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm ibn Ghalib ibn Shalih
bin Abi Sufyan ibn Yazid, di juluki dengan Abu Muhammad. Ia lahir di Cordova
pada hari terakhir di bulan Ramadhan 384 H dan wafat pada tahun 456 H. Guru
pertama Ibn Hazm adalah Abu Umar ibn Muhammad ibn al-Jaswar sebelum tahun 400
H. Sedangkan di bidang logika adalah Muhammad ibn al-Hasan al-Madzhaji yang
dikenal dengan sebutan “Ibn al-Kattani”. Ibn Hazm belajar hadis dan fiqih
kepada al-Husain ibn Ali al-Farisy dan Ahmad ibn Yusuf.
[3]
Rahman Alwi, Metode Ijtihad Mazhab al-Zahiri; Alternatif Menyongsong
Modernitas, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2005), hal. 19.
[4]
Rahman Alwi, Metode Ijtihad Mazhab al-Zahiri…, hal. 84.
[5]
Agus Moh. Najib, Nalar Burhani Dalam Hukum Islam; Sebuah Penulusuran Awal,
diakses di situs http://digilib.uin-suka.ac.id/8396/1/AGUS%20MOH.%20NAJIB%20NALAR%20BURHANI%20DALAM%20HUKUM%20ISLAM%20(SEBUAH%20PENELUSURAN%20AWAL).pdf,
pada tanggal 24 0ktober 2013, hal. 3.
[6] Al
Yasa Abubakar, Metode Istishlahiyah, (Banda Aceh: Bandar Publishing,
2012), hal. 231.
[7]
Agus Moh. Najib, Nalar Burhani Dalam Hukum Islam…, hal. 12.
[8]
Agus Moh. Najib, Nalar Burhani Dalam Hukum Islam…, hal. 12-13.
[9]
Agus Moh. Najib, Nalar Burhani Dalam Hukum Islam…, hal. 18.
[10]
Lihat Ibn Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, jilid 2, (Beirut: Dar Kutub
al-‘Ilmiyah, t.th.), hal. 100.
[11] Ibn
Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, jilid 2…, hal. 100.
[12]
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, cet. II, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 158.
[13] Ibn
Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, jilid 2…, hal. 100-101.
[14]
Muhammad Abu Zahrah, Ibn Hazm: Hayatuhu wa ‘Ashruhu-Ara’uhu wa Fiqhuhu,
(Kairo: Dar al-Fikr al-Araby, 1997), hal. 314.
[15]
Lihat Ibn Hazm, al-Nubadz fi Ushul Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Kulliyat
al-Azhariyah, 1981), hal. 67.
[16] Ibn
Hazm, Mulakhkhash Ibtal al-Qiyas wa al-Ra’yu wa al-Istihsan wa al-Taqlid wa
al-Ta’lil, (Damaskus: Jami’ah Dimasyq, 1960), hal. 48.
[17]
Lihat Ibn Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, jilid 2…, hal. 606. Dan
lihat juga Muhammad Abu Zahrah, Ibn Hazm…, hal. 340.
[18]
Ahmad Hasan, Qiyas; Penalaran Analogis di Dalam Hukum Islam, terj. Oleh:
Munir, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2001), hal. 530.
[19] Ibn
Hazm, al-Nubadz fi Ushul Fiqh…, hal. 62.
[20] Ibn
Hazm, Mulakhkhas Ibthal al-Qiyas wa al-Ra’yi wa al-istihsan wa al-Taqlid wa
al-Ta’lil…, hal. 28.
[21]
Rahman Alwi, Metode Ijtihad Mazhab al-Zahiri…, hal. 64.
[22]
Rahman Alwi, Metode Ijtihad Mazhab al-Zahiri…, hal. 104.
[23]
Muhammad Abu Zahrah, Ibn Hazm…, hal. 320.
[24] Ibn
Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, jilid 2…, hal. 6.
[25]
Lihat Ibn Hazm, al-Muhalla bi al Atsar, Jil. I, masalah no: 136, (Kairo:
Idarah li at-Thiba’ah al-Munirah, t.th.), hal. 135.
[26]
Rahman Alwi, Metode Ijtihad Mazhab al-Zahiri…, hal. 111.
0 Response to "mazhab al-Zhahiri"
Posting Komentar