- pendahuluan
Islam adalah agama yang komprehensif, ia tidak hanya
mengatur cara manusia menyembah Tuhannya, tetapi juga mengatur segala sendi
kehidupan. Mulai dari tata cara hidup bermasyarakat, menuntut ilmu, bahkan juga
mengatur tata negara dan kepemimpinan.[1]
Pemimpin dan kepemimpinan dalam Islam telah diatur dalam hukum Syari’at Islam.
Setiap
manusia pasti menyandang predikat sebagai seorang pemimpin, baik dalam tingkatan
tinggi (pemimpin umat/negara) maupun dalam tingkatan yang paling rendah, yaitu
pemimpin bagi diri sendiri. Setiap bentuk kepemimpinan membutuhkan suatu
keahlian. Kepemimpinan tidak bisa dijalankan hanya dengan kemampuan seadanya.
Sebab, yang pasti hal itu akan menimbulkan gejolak di antara personil-personil
yang dipimpinnya.[2]
Kepemimpinan
merupakan salah satu tanggung jawab yang sangat besar karena hal itu merupakan
amanah dari Allah, baik atau tidaknya sebuah kepemimpinan disebabkan oleh
faktor pemimpin itu sendiri. Untuk itu di dalamnya ada dua pihak yang berperan
antara lain yang dipimpin dan yang memimpin (imam).[3]
Konsep
kepemimpinan dalam Islam sebenarnya memiliki dasar-dasar yang sangat kuat dan
kokoh. Ia dibangun tidak saja oleh nilai-nilai transendental, namun telah
dipraktekkan sejak berabad-abad yang lalu oleh nabi Muhammad SAW, para Shahabat
dan Al-Khulafa' Al-Rasyidin. Pijakan kuat yang bersumber dari Al-qur'an dan
Assunnah serta dengan bukti empiriknya telah menempatkan konsep kepemimpinan
Islam sebagai salah satu model kepemimpinan yang diakui dan dikagumi oleh dunia
internasional.
Namun
dalam perkembangannya, aplikasi kepemimpinan Islam saat ini terlihat semakin
jauh dari harapan masyarakat. Para tokohnya terlihat dengan mudah kehilangan
kendali atas terjadinya siklus konflik yang terus terjadi. Harapan masyarakat
akan munculnya seorang tokoh muslim yang mampu dan bisa diterima oleh semua
lapisan dalam mewujudkan Negara yang terhormat, kuat dan sejahtera nampaknya
masih harus melalui jalan yang panjang.
Tokoh
pemimpin (imam) menjadi harapan dalam penciptaan masyarakat adil dan makmur
sebagai salah satu tujuan terbentuknya Negara. Karena itu pergeseran dari
harapan atau penyimpangan dari makna hakiki kepemimpinan dan sikap keteladanan,
menjadi sumber pemuasan ambisi, akan mengakibatkan munculnya pemerintahan
tirani.[4]
Keberhasilan seseorang dalam memimpin tidak saja ditentukan oleh seberapa
tinggi tingkat kepemimpinannya, tetapi yang paling penting adalah seberapa
besar pengaruh baik yang dapat diberikan kepada orang lain.
Dari
belakang masalah di atas maka penulis ingin membahas tentang bagaimana memahami
ayat kepemimpinan menurut ulama tafsir yang bernama Imam Al-Nasafiy. Dari
penafsirannya ini nanti kiranya dapat memberikan penjelasan kepada kita
sehingga kita bisa menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
B. Tinjauan
Umum Mengenai Kepemimpinan
Secara etimologi kepemimpinan berarti Khilafah, Imamah,
Imaroh, yang mempunyai makna daya memimpin atau kualitas seorang pemimpin atau
tindakan dalam memimpin.[5]
Sedangkan secara terminologinya adalah suatu kemampuan untuk
mengajak orang lain agar mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan.[6]
Dengan kata lain, kepemimpinan adalah upaya untuk mentransformasikan semua
potensi yang terpendam menjadi kenyataan.
Tugas dan tanggungjawab seorang pemimpin adalah menggerakkan
dan mengarahkan, menuntun, memberi motivasi serta mendorong orang yang dipimpin
untuk berbuat sesuatu guna mencapai tujuan. Sedangkan tugas dan tanggungjawab
yang dipimpin adalah mengambil peran aktif dalam mensukseskan pekerjaan yang
dibebankannya tanpa adanya kesatuan komando yang didasarkan atas satu
perencanaan dan kebijakan yang jelas, maka rasanya sulit diharapkan tujuan yang
telah ditetapkan akan tercapai dengan baik. Bahkan sebaliknya, yang terjadi
adalah kekacauan dalam pekerjaan. Inilah arti penting komitmen dan kesadaran
bersama untuk mentaati pemimpin dan peraturan yang telah ditetapkan.[7]
C. Memahami Ayat Kepemimpinan dalam Tafsir
Al-Nasafi
Q.s
An-Nisa: 59
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
D. Penafsiran
Manakala
Allah Swt memerintahkan kepada pemimpin untuk menunaikan amana-amanahnya dan
berhukum dengan adil dan Allah memerintahkan manusia untuk taat kepadaNya,
kemudian taat kepada rasulNya, dan para pemimpin di antara manusia.
Allah berfirman (يأيهاالدينءامنوأطيعوالله
وأطيعوالرسول وأولى الأمرمنكم ), adalah para alim ulama
memerintahkan kepada kita untuk taat kepada umara (pemimpin).
( ن تنزعتم في
شىءفا), jika apabila antara kamu dengan pemimpin
berselisih pada suatu masalah agama.
(فردوه
الى الله ولرسول
(, maka kembalilah
kamu kepada kitab (al-Qur’an) dan sunnah (hadits).
(ان
كنتم تومنون بالله واليوم الأخر), bahwa makna beriman di sini adalah wajib taat dan bukan
maksiat, dan ayat ini menunjukkan bahwa taat kepada pemimpin apabila sesuai
dengan kebenaran, ketika berselisih dengan masalah yang tidak hak maka tidak
diwajibkan taat kepada mereka (pemimpin), Rasulullah Saw bersabda “janganlah
taat kepada makhluk apabila menyuruh kepada maksiat” dari Muslimah ibn
Malik ibn Marwan berkata dari Ibnu Hazm: “maka tidaklah kamu diperintahkan
untuk taat kepada kami.
Dengan
perkataanNya (لي الأمرمنكموأو(? Ibnu Hazm
berkata: “maka tidaklah dicabut ketaatan dari mereka apabila kamu berselisih
dengan kebenaran.
Dengan FirmanNya ( فردوه
الى الله ن تنزعتم في شىءفا), ayat al-Qur’an الرسول)و
(, pada kehidupan
rasul Saw hingga wafatnya.
(دلك) menunjukkan
kepada kitab al-Qur’an dan hadits. (جير(
baik. (حس تأويلأوا)
akibat.
Ayat
ini turun tatkala terjadi sengketa antara orang Yahudi dengan seorang munafik.
Orang munafik ini meminta kepada Ka’ab bin Asyraf agar menjadi hakim di antara
mereka, sedangkan orang Yahudi miminta kepada Nabi Saw. Lalu kedua orang yang
bersengketa itu pun datang kepada Nabi Saw yang memberikan kemenangan kepada
orang Yahudi. Orang munafik itu tidak rela menerimanya, lalu mereka mendatangi
Umar dan si Yahudi pun menceritakan persoalannya, kata Umar kepada orang
munafik “Benarkah demikian?” “Benar” jawabnya. Maka orang itu pun dibunuh oleh
Umar.[8]
E. Analisis Penulis
Imam
Nasafiy menjelaskan bahwasanya, Ayat di atas merupakan perintah untuk taat
kepada Allah, Rasul, dan Ulil Amri (ulama dan umara). Oleh karena Allah
berfirman “Taatlah kepada Allah”, yakni ikutilah kitab-nya, “dan
taatlah kepada Rasul”, yakni pegang teguhlah sunnahnya, “dan kepada Ulim
Amri di antara kamu”, yakni terhadap ketaatan yang mereka perintahkan
kepadamu, berupa ketaatan kepada Allah bukan ketaatan kepada kemaksiatan
terhadap-Nya. Kemudian apabila kamu berselisih tentang suatu hal maka
kembalilah kepad al-Qur’an dan hadits.
Ayat ini turun tatkala terjadi
sengketa antara orang Yahudi dengan seorang munafik. Orang munafik ini meminta
kepada Ka’ab bin Asyraf agar menjadi hakim di antara mereka, sedangkan orang
Yahudi miminta kepada Nabi Saw. Lalu kedua orang yang bersengketa itu pun
datang kepada Nabi Saw yang memberikan kemenangan kepada orang Yahudi. Orang munafik
itu tidak rela menerimanya, lalu mereka mendatangi Umar dan si Yahudi pun
menceritakan persoalannya, kata Umar kepada orang munafik “Benarkah demikian?”
“Benar” jawabnya. Maka orang itu pun dibunuh oleh Umar.
F. Penutup
Imam Nasafiy dalam menafsirkan ayat kepemimpinan, tidak
berbeda jauh dengan para mufassir lainnya. Ayat kepemimpinan yang ditafsirkan
Imam Nasafiy ini tidak berbelit dan langsung kepada pembahasannya.
Setelah dilihat lebih dalam ketika Imam Nasafiy menafsirkan
ayat dan menjumpai Asbabun Nuzul ayat yang bersangkutan, Imam Nasafiy langsung mencantumkan
Asbabun Nuzul ayat setelah ayat yang ditafsirkan tanpa adanya pemisah antar
keduanya.
Pada akhir penafsiran tentang suatu ayat Imam Nasafiy tidak
memberikan komentar atau pun kesimpulan mengenai suatu masalah ayat yang
ditafsirkan dan langsung beralih ke ayat selanjutnya sebagaimana kita lihat
pada contoh ayat kepemimpinan di atas.
- Daftar Pustaka
Hepi Andi Bastoni, Sejarah Para
Khalifah, Bogor: Pustaka Al-kautsar, 2009.
Muhammad Abdul Jawwad, Kaifa Tamtaliku Quluuba
Muwazdzhafiika, (terj), Abdurrahman Jufri, Trik Cerdas Memimpin Cara
Rasulullah, Solo: Pustaka Iltizam, 2009.
Ernita Dewi, Menggagas Kriteria Pemimpin Ideal,
cet 1, Yogyakarya: AK Group, 2006.
Al-Imam Abdullah ibn Ahmad Ibn Mahmud
an-Nasafi, Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta`wil, Jilid I, Baurut: Dar Al-Kitab
Alamiyah, t.t.
Muhammad Idris Marbawi, Kamus Idris Al-Marbawy, juz
1, Mesir: Mustafa Al-Halaby wa Auladuhu, 1359 H.
Abdul Mujieb, Kamus Istilah Fiqh,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Wahbah Al-Zuhaily, Fiqh Al-Islami wa
Adillatuhu, Bairut: Dar Al-Fikr, 1984.
Mani’ ‘abd al-Halim Mahmud, Manhaj
al-Mufassirin, (terj), Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode
Para Ahli Tafsir, Jakarta: Rajawali Pers, 2006.
[1]Hepi Andi Bastoni, Sejarah
Para Khalifah, (Bogor: Pustaka Al-kautsar, 2009), hal. IX.
[2]Muhammad Abdul Jawwad,
Kaifa Tamtaliku Quluuba Muwazdzhafiika, (terj), Abdurrahman Jufri, Trik
Cerdas Memimpin Cara Rasulullah, (Solo: Pustaka Iltizam, 2009), hal. 10.
[3]Ernita Dewi, Menggagas
Kriteria Pemimpin Ideal, cet 1, (Yogyakarya: AK Group, 2006), hal. 2.
[4]Ernita Dewi, Menggagas
Kriteria Pemimpin Ideal… hal. V.
[5]Muhammad Idris
Marbawi, Kamus Idris Al-Marbawy, juz 1, (Mesir: Mustafa Al-Halaby wa
Auladuhu, 1359 H), hal. 28.
[6]Abdul Mujieb, Kamus
Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal. 120.
[7]Wahbah Al-Zuhaily, Fiqh
Al-Islami wa Adillatuhu, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1984), hal. 661.
[8]Al-Imam Abdullah ibn
Ahmad Ibn Mahmud an-Nasafi, Madarik
al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta`wil, Jilid I, (Baurut: Dar Al-Kitab Alamiyah, t.t), hal.
260-261.
0 Response to "tafsir "
Posting Komentar