Dalam keseharian seringkali
kata-kata aktif terdengar. Tak jarang orang mendengungkan kata ini. Ada yang
menggunakannya sebagai sebuah perintah, sebagai sebuah kalimat saran, dan lain
sebagainya. Sehingga tak mengherankan jika semua orang, dari anak-anak hingga
orang dewasa mengetahui dan sering menggunakan kata ini.
Begitu mudahnya orang menggunakan
kata tersebut. Namun, sangat jarang yang mampu memahami esensi dari kata
tersebut. Penggunaan kata ini juga sering didengungkan dalam kehidupan para
organisatoris. Bahkan mereka terkadang menyebut diri mereka sendiri sebagai aktifis.
Ada aktivis mahasiswa, aktivis dakwah, aktivis HAM, aktivis kana-kiri, dan lain
sebagainya. Ketika gelar aktifis ini disematkan kepada seseorang, maka dia
seolah-olah telah mendapatkan sebuah penghargaan yang paling hebat dan sangat
bangga menggunakannya. Namun, sangat sedikit yang mampu memberikan bukti dan
mempertanggungjawabkannya dari sebuah kata aktifis ini.
Banyak individu yang merasa diri
baik, ketika gelar ini disematkan. Sehingga berbondong-bondong orang ingin
masuk dan bergabung dalam organisasi. Dan inilah akar dari segala permasalahan
yang akan dihadapi oleh organisasi. Ketika, jumlah kader-kadernya begitu banyak.
Namun keaktifan yang dirasakan hanya segelintir orang. Ketika panggilan rapat
berdenting di HP mereka, mereka menganggap itu sebagai sebuah gangguan yang
terus mengusik kehidupan mereka. Mereka hanya bergabung demi memenuhi daftar
panjang riwayat organisasi, tanpa tahu dan pernah memberikan kontribusi di
dalamnya.
"Suatu hari, dalam sebuah
organisasi. Ingin membuat sebuah kegiatan yag bersifat seminar. Lalu
pengurusnya menghubungi seluruh anggotanya untuk hadir dalam pertemuan (rapat).
Hampir semua dihubungi tanpa ada yang luput. Dan anggota tersebut dimintai
konfirmasi atas kehadirannya. Namun, hanya sekian persen saja yang
mengkonfirmasi. Dan jumlah persentasenya tergolong sangat sedikit, jika
dibandingkan dengan jumlah undangan yang telah dikirim. Kemana anggota-anggota,
hanya untuk mengkonfirmasi kehadiran tidak sanggup. Namun untuk update status
terus dilakukan?"
Dari ilustrasi sederhana yang saya
tulis diatas, seolah memperjelas betapa mudahnya bukan, dalam kehidupan
sehari-hari terjadi praktik ketidakaktifan dan ketidakarifan. Hal yang telah
diperbuat seperti diatas, barangkali bisa kita sebut dengan sebuah
tindakan ketidakpedulian dalam konteks paling kecil, yaitu hanya memberitahukan
kondisinya. Bisa hadir atau tidak. Betapa mudahnya itu terjadi, baik di
organisasi yang kecil maupun yang sudah besar. Padahal tidak ada alasan, jika
kita mau. Jika tak punya pulsa kenapa tak meminjam kepada kawan, atau CM( Call
Me) sebuah fasilitas yang diberikan oleh salah satu operator. Atau hal lainnya.
Dalam setiap kesempatan, sebenarnya
selalu ada peluang bagi seseorang untuk berbuat lebih baik. Tidak peduli apakah
itu hanya dengan mengkonfirmasi kehadiran, hadir di dalam pertemuan, berkumpul
dan berdiskusi dengan rekan-rekan se-organisasi. Namun, kenyataan yang kita
hadapi saat ini adalah sebaliknya. Jika, kita mau memulai dari hal kecil
seperti yang saya ilustrasikan diatas yaitu mengkonfirmasi kehadiran ataupun
hal besar lainnya. Maka, kebersamaan dan kekompakkan akan sangat mudah
terwujudkan.
Apabila kita renungkan, masalah yang
sebenarnya patut mendapat perhatian yaitu bukan masalah skandal konfirmasi atau
tidak, akan tetapi masalah tidak ada lagi kata peduli dan kebersamaan didunia
ini, seolah-olah hal itu adalah sesuatu hal yang sangat langka. Banyak, yang hanya
mampu memberikan kritikan-kritikan ketika kekurangan terjadi. Namun sangat
sedikit yang mau berkontribusi dalam hal mengubahnya.
Mereka hanya mau berada dalam sebuah
lingkungan yang membuat diri mereka nyaman, tidak perlu bersusah payah,
fasilitas sudah lengkap. Namun, saat ada organigasi yang tak mampu memenuhinya.
Maka, dia akan meninggalkannya dan akan kembali di saat dia melihat peluang
mendapat manfaat itu akan diraihnya. Sungguh sangat memiriskan hati ini. Ketika
potensi-potensi yang dimiliki, akhirnya terkekang oleh ambisi kerdil yang hanya
memberikan kenikmatan semu.
Penulis merasa pelajaran yang paling
penting dan perlu diresapi kembali adalah berkorban dan persaudaraan.
Salah satu medium yang paling aktif. Dalam kontekstualnya, hal ini memberitahu
kita kapan dan bagaimana kita bersikap dengan saudara kita. Dan kita harus
mampu memahami arti dari pentingnya sebuah persaudaran yang dibungkus nilai
saling berkorban. Dengan memberikan pemahaman semacam itu, mungkin akan lebih
membuat kita (para organisator) terbekali dengan bagaimana seharusnya sikap
yang mencerminkan kelebihan orang-orang yang bergabung di dalam sebuah
organisasi.
Terakhir penulis ingin mengatakan jangan pernah
kita membiarkan pikiran “saya tidak bisa, tidak dibutuhkan, tidak ini, tidak
itu” terus bergentanyangan di dalam benak pikiran kita. Karena setiap
kita, memiliki kompetensi yang berbeda-beda dengan orang lain. Dengan perbedaan
inilah akan melahirkan sebuah keberhasilan. Semoga, kita mampu menghilangkan
sifat dan sikap kerdil yang selama ini kita pelihara yang membuat kita
bersembunyi dan lari dari/untuk aktif berkontribusi yang terbaik bagi umat ini
0 Response to "KETIKA MAHALNYA HARGA SEBUAH KEAKTIFAN"
Posting Komentar