BAB
I
PENDAHULUAN
Kebenaran-kebenaran
yang ada dalam alam raya begitu nyata dan telah dapat dirasakan manusia. Alam
ini telah mengungkapkan sendiri tanpa perlu kepada argumentasi lain untuk menyatakan
kebenaran dan eksitensinya tersebut. Namun demikian, kesombongan seringkali
mendorong seseorang untuk membangkitkan keraguan terhadap hakikat-hakikat
tersebut dengan bersembunyinya di balik akal. Usaha demikian ini perlu dihadapi
dengan hujjah agar hakikat-hakikat tersebut dapat diakui sebagaimana mestinya,
dipercayainya atau malah diingkari. Al-Qur’anul Karim, seruan Allah kepada
seluruh umat manusia, berdiri tegak di hadapan berbagai macam arus kebatilan
yang mengingkari hakikat-hakikatnya dan memperdebatkan pokok-pokoknya.
Karenanya ia perlu membungkam usaha-usaha mereka secara konkrit dan realistis
serta menghadapi mereka dengan uslub bahasa yang memuaskan, argumentasi yang
canggih, pasti dan bantahan yang tegas.[1]
Pada
pembahasan ini akan dijelaskan pokok-pokok tentang jidal meliputi defenisi
jidal, metode jidal dalam al-Qur’an, jenis-jenis jidal dalam al-Qur’an, dan
macam-macam jidal dalam al-Qur’an. Semoga makalah yang singkat ini bermanfaat
dan dapat menambah khazanah keilmuan bagi para pembacanya.
BAB
II
PEMBAHASAN
JIDAL
DALAM AL-QUR’AN
A.
Defenisi
Jidal
Secara
Etimologi jidal berasal dari
kata جدل – يجدل – جدلأ yang artinya mengemaskan, mengetatkan, dan menguatkan.[2]
Sedangkan
secara Terminologi jidal berarti bertukar pikiran dengan cara bersaing dan
berlomba untuk mengalahkan kawan dalam mempertahankan argumen.[3]
Untuk memenangkan pendapat dalam suatu perdebatan yang sengit. Pengertian ini
lebih menunjukkan kepada perdebatan atau diskusi, yaitu untuk mencari
kebenaran.
Dengan
demikian jidal al-Qur’an adalah pembuktian-pembuktian serta pengungkapan
dalil-dalil yang terkandung di dalamnya, untuk dihadapkan kepada orang kafir
dan mematahkan argumentasi para penentang dengan seluruh tujuan dan maksud
mereka, sehingga kebenaran ajaran-Nya dapat diterima.[4]
Di dalam
al-Qur’an Allah menyatakan bahwa jidal merepukan salah satu tabiat manusia
dengan firman-Nya dalam surah Al-Kahfi: 54
ôs)s9ur $oYøù§|À
Îû
#x»yd
Èb#uäöà)ø9$#
Ĩ$¨Z=Ï9
`ÏB
Èe@à2
9@sWtB
4 tb%x.ur
ß`»|¡RM}$#
usYò2r&
&äóÓx«
Zwyy`
ÇÎÍÈ
“Dan
Sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam al-Quran ini
bermacam-macam perumpamaan, dan manusia adalah makhluk yang paling banyak
membantah".
B. Metode Jidal Dalam
Al-Qur’an
1.
Bermunazharah
(bertukar pikiran) dengan ahli kitab melalui cara yang baik. Allah berfirman
dalam Surah Al-Ankabut: 46
* wur
(#þqä9Ï»pgéB
@÷dr&
É=»tGÅ6ø9$#
wÎ)
ÓÉL©9$$Î/
}Ïd
ß`|¡ômr&
wÎ)
tûïÏ%©!$#
(#qßJn=sß
óOßg÷YÏB
( (#þqä9qè%ur
$¨ZtB#uä
üÏ%©!$$Î/
tAÌRé&
$uZøs9Î)
tAÌRé&ur
öNà6ös9Î)
$oYßg»s9Î)ur
öNä3ßg»s9Î)ur
ÓÏnºur
ß`øtwUur
¼çms9
tbqßJÎ=ó¡ãB
ÇÍÏÈ
“Dan janganlah
kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali
dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan Katakanlah: "Kami telah
beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan
kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu; dan Kami hanya kepada-Nya
berserah diri".
Bermunazharah seperti itu bertujuan untuk menampakkan hak kebenaran sejati dan
menegakkan hujjah kepada mereka. Metode jidal al-Qur’an dalam memberi petunjuk
kepada orang kafir dan mengalahkan para penentang al-Qur’an.
2.
Metode yang terdapat di dalam al-Qur’an dalam berdebat dengan para
penentang, banyak menggunakan dalil-dalil dan bukti yang kuat serta jelas yang
dapat dipahami oleh kalangan awam dan akademisi. Ia membatalkan setiap
kerancuan dan mematahkannya dengan redaksi yang konkrit, indah susunannya dan
tidak memerlukan pemerasan akal atau banyak penyelidikan.
3.
Rasulullah juga diperintahkan agar berdebat dengan kaum musyrik
menggunakan cara yang baik yang dapat meredakan keberingasan mereka.[5] Firman
Allah Q.s An-Nahl: 125
äí÷$#
4n<Î)
È@Î6y
y7În/u
ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/
ÏpsàÏãöqyJø9$#ur
ÏpuZ|¡ptø:$#
( Oßgø9Ï»y_ur
ÓÉL©9$$Î/
}Ïd
ß`|¡ômr&
4 ¨bÎ)
y7/u
uqèd
ÞOn=ôãr&
`yJÎ/
¨@|Ê
`tã
¾Ï&Î#Î6y
( uqèdur
ÞOn=ôãr&
tûïÏtGôgßJø9$$Î/
ÇÊËÎÈ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.”
4.
Tidak menggunakan metode-metode berpikir ilmu kalam yang rumit,
karena dua hal:
a.
Mengingat Firman-Nya, “Dan kami tidak mengutus seorang Rasul
melainkan dengan bahasa kaumnya.”[6]
(Q.s Ibrahim: 4).
b.
Orang yang cenderung pada penggunaan pendapat yang mendalam adalah
orang yang tidak mampu mengungkapkan hujjah secara jelas. Sebab, orang dapat
berbicara dengan sangat jelas sehingga dapat dipahami oleh banyak orang, tidak
akan menggunakan teori-teori rumit, yang hanya akan dipahami segelintir orang
sehingga perkataan mereka pun kurang jelas.[7]
C.
Jenis-jenis Jidal Dalam Al-Qur’an
1.
Dalam al-Qur’an banyak mengungkapkan ayat-ayat kauniyah yang
disertai perintah melakukan perenungan dan pemikiran untuk dijadikan dalil bagi
penetapan dasar-dasar akidah, seperti ketauhidan Allah dalam uluhiyah-Nya
dan keimanan kepada malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul-Nya dan hari
kemudian (Lihat Q.s Al-Baqarah: 21-22).[8]
2.
Membantah pendapat para penentang dan lawan, serta mematahkan
argumentasi mereka.[9]
Perdebatan macam ini mempunyai beberapa bentuk:
a.
Mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang telah diakui dan
diterima baik oleh akal, agar ia mengakui apa yang tadinya diingkari, seperti
penggunaan dalil dengan makhluk untuk menetapkan adanya Khaliq (Lihat Q.s
Ath-Thur: 35-43).[10]
b.
Menggunakan argumentasi yang berkaitan dengan asal mula kejadian
dan hari kebangkitan (Lihat Q.s Al-Qiyamah: 36-40).
Termasuk di antaranya beristidlal
dengan kehidupan bumi yang tandus kering, untuk menetapkan kehidupan sesudah
mati untuk dihisab. (Lihat Q.s Fushshilat: 39).
c.
Membatalkan pendapat lawan dengan membuktikan kebalikannya, (Lihat
Q.s Al-An’am: 91) ayat ini merupakan respon terhadap pendirian orang Yahudi,
sebagaimana diceritakan Allah dalam firman-Nya: “Dan mereka tidak
menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya dikala mereka mengatakan:
Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia.” (Q.s Al-An’am).
d.
Menggunakan teori (as-sabr wa taqsim), yakni mengoleksi
beberapa sifat sesuatu, kemudian menjelaskan bahwa sifat-sifat tersebut
bukanlah ‘illat, alasan hukum, (Lihat Q.s Al-An’am: 143-144).
e.
Mematahkan hujjah lawannya dengan menjelaskan bahwa asumsinya itu
tidak diakui oleh seorang pun, (Lihat Q.s Al-An’am: 101).[11]
D.
Betuk-bentuk Jidal Dalam Al-Qur’an
1.
As-Sibru
dan Taqsim
Membatasi sesuai dengan sifat dan menolak
untuk membagi salah satunya sebagai dasar hukum, seperti dalam surah al-An’am:
143
spuÏZ»yJrO 8lºurør&
( ÆÏiB
Èbù'Ò9$#
Èû÷üuZøO$#
…..
(Yaitu) delapan binatang yang berpasangan, sepasang domba,
sepasang dari kambing….
Ini adalah penjelasan tentang
kebodohan bangsa Arab sebelum masuk Islam berkenaan tentang binatang ternak
yang mereka haramkan dan membagikan kedalam beberapa bagian. Semua yang
diciptakan ini milik Allah. Maka Allah Swt mengcounter atas pernyataan
mereka itu dengan cara as-sabri wa at-taqsim, seakan Allah berfirman:
“sesungguhnya semua yang diciptakan ini milik Allah, Allah telah menciptakan
segala sesuatu berpasang-pasang ada yang jantan dan ada yang betina, tetapi
mengapa kalian mengharamkan apa yang kalian sebutkan? Padahal masalah
mengharamkan itu masalah ibadah (hanya Allah yang berhak menentukan), yang
harus diambil dari Allah Swt dan diutusnya seorang rasul.[12]
2.
Al-Qaulu bi Mujab
Ibnu
Abi al-Ishbi’ berkata,”Hakikat dari istilah ini adalah membantah ucapan musuh
dengan kandungan atau isi ucapan sendiri.”
Ulama
lainnya mengatakan bahwa istilah tersebut dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Apabila ada sifat pada kata-kata orang lain sebagai kinayah
(sindiran) dari sesuatu yang ditetapkan suatu hukum untuknya, kemudian dia
tetapkan bagi sesuatu yang lain, firman Allah Q.s al-Munafiqun: 8.
tbqä9qà)t
ûÈõs9
!$oY÷èy_§
n<Î)
ÏpoYÏyJø9$#
Æy_Ì÷ãs9
tãF{$#
$pk÷]ÏB
¤AsF{$#
4 ¬!ur
äo¨Ïèø9$#
¾Ï&Î!qßtÏ9ur
……
Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke
Madinah, [13]
benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari
padanya." Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi rasul-Nya….
Di dalam ayat ini kata al-a’azzu (yang mulia) adalah kata
yang diucapkan oleh orang-orang munafik sebagai gambaran tentang kelompok
mereka, sedangkan kata al-adzallu (yang hina) juga kata-kata mereka
untuk menggambarkan tentang kelompok orang beriman. Orang-orang munafik
menyatakan dirinya dengan kata tersebut untuk mengusir orang-orang beriman dari
Madinah. Maka Allah membantah mereka bahwa sifat mulia itu ditujukan untuk
selain kelompok mereka, yaitu untuk
Allah dan rasul-Nya serta orang-orang yang beriman. Seakan-akan dikatakan
kepada mereka “kelompok yang mulia akan mengusir kelompok yang hina.”
b.
Memahami lafaz yang keluar dari ucapan orang lain berbeda dengan
maksudnya dan disertai penyebutan sesuatu yang berkaitan dengannya, firman
Allah Q.s at-Taubah: 61.
ãNåk÷]ÏBur
úïÏ%©!$#
tbrè÷sã
¢ÓÉ<¨Z9$#
cqä9qà)tur
uqèd
×bèé&
4 ö@è%
ãbèé&
9öyz
öNà6©9
….
Di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan
mengatakan: "Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya."
Katakanlah: "Ia mempercayai semua yang baik bagi kamu.
Di antara kaum munafik itu ada
orang-orang yang suka menyakiti Nabi dengan perkataan, Nabi mempercayai
semua apa yang didengarnya. Maksudnya, siapa pun yang berkata, bercerita,
dan bersumpah kepadanya, maka ia akan mempercayainya. Allah berfirman “Katakanlah
ia mempercayai semua yang baik bagi kamu.” Artinya, ia selalu mendengarkan
yang baik, dan bisa membedakan mana yang berkata benar dan mana yang berkata
berdusta.[14]
3.
At-Taslim
Yaitu
memastikan sesuatu yang tidak mungkin terjadi baik dengan cara meniadakan,
karena sesuatu yang disebutkan itu tidak mungkin terjadi sebab tidak memenuhi
persyaratan. Seperti firman Q.s al-Mu’minun: 91.
$tB
xsªB$#
ª!$#
`ÏB
7$s!ur
$tBur
c%2
¼çmyètB
ô`ÏB
>m»s9Î)
4 #]Î)
|=yds%©!
@ä.
¥m»s9Î)
$yJÎ/
t,n=y{
xyès9ur
öNßgàÒ÷èt/
4n?tã
<Ù÷èt/
4 z`»ysö6ß
«!$#
$£Jtã
cqàÿÅÁt
ÇÒÊÈ
Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada
Tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada Tuhan beserta-Nya, masing-masing Tuhan
itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu
akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha suci Allah dari apa yang mereka
sifatkan itu.
Maksud dari ayat di atas adalah
tidak ada Tuhan yang lain bersama Allah. Seandainya illah itu berbilang,
niscaya masing-masing illah akan membawa makhluk yang diciptakannya. Jika itu
terjadi, maka alam semesta ini tidak akan teratur dan kehidupan akan
berantakan. Namun kenyataannya yang dapat kita saksikan menunjukkan betapa alam
ini begitu teratur rapi, baik alam semesta yang berada di atas maupun yang
berada di bawah, satu sama lain saling beraturan dengan sistematis.
4.
Al-Isjaal
Yaitu
kata-kata yang mendorong seseorang yang diajak bicara untuk memenuhi apa yang
diminta. Ini seperti firman Allah Swt Q.s Ali-Imran: 194.
$oY/u
$oYÏ?#uäur
$tB
$oY¨?tãur
4n?tã
y7Î=ßâ
Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami
dengan perantaraan Rasul-rasul Engkau.
Maksud ayat ini, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada
kami dengan perantara (lisan) Rasul-rasul Engkau, yaitu surga bagi orang yang
taat.[15]
Firman Allah dalam Q.s Al-Mu’minun: 8
tûïÏ%©!$#ur
öNèd
öNÎgÏF»oY»tBL{
öNÏdÏôgtãur
tbqããºu
ÇÑÈ
Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan
janjinya.
5.
Al-Intiqal
Yaitu upaya seseorang yang berdalil
untuk mengalihkan dalilnya dengan dalil yang lainnya, karena pihak lawan tidak
memahami maksud dari dalil yang pertama. Seperti dalam perdebatan Nabi Ibrahim
dengan Raja Namrudz, firman dalam Q.s al-Baqarah: 258
}În/u……
Ï%©!$#
¾Çósã
àMÏJãur
tA$s%
O$tRr&
¾ÄÓóré&
àMÏBé&ur
( tA$s%
ãN¿Ïdºtö/Î)
cÎ*sù
©!$#
ÎAù't
ħôJ¤±9$$Î/
z`ÏB
É-Îô³yJø9$#
ÏNù'sù
$pkÍ5
z`ÏB
…..É>ÌøóyJø9$#
Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah yang menghidupkan
dan mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan
mematikan".[16]Ibrahim
berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka
terbitkanlah Dia dari barat.”
6.
Al-Munaqadhah
Yaitu
mengaitkan sesuatu pada faktor yang mustahil sebagai isyarat (tanda) bahwa itu
tidak mungkin terjadi, seperti firman Allah Swt dalam Q.s al-A’raf: 40
wur…. tbqè=äzôt
sp¨Yyfø9$#
4Ó®Lym
ykÎ=t
ã@yJpgø:$#
Îû
ÉdOy
ÅÞ$uÏø:$#
4
Dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang
jarum.
7.
Mujaaraat
al-Khasmi li Ya’tsar
Yaitu dengan cara menerima sebagian
permulaannya, sebagai trik untuk mematahkan lawan dan mengalahkannya, firman
Allah dalam Q.s Ibrahim: 10-11
(#þqä9$s% ÷bÎ)
óOçFRr&
wÎ)
×|³o0
$uZè=÷WÏiB
tbrßÌè?
br&
$tRrÝÁs?
$£Jtã
c%x.
ßç7÷èt
$tRät!$t/#uä
$tRqè?ù'sù
9`»sÜù=Ý¡Î0
&úüÎ7B
ÇÊÉÈ ôMs9$s%
öNßgs9
öNßgè=ßâ
bÎ)
ß`øtªU
wÎ)
Öt±o0
öNà6è=÷VÏiB
Mereka berkata: "Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti Kami
juga. kamu menghendaki untuk menghalang-halangi (membelokkan) Kami dari apa
yang selalu disembah nenek moyang Kami, karena itu datangkanlah kepada Kami,
bukti yang nyata. Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: "Kami tidak
lain hanyalah manusia seperti kamu.”
Perkataan mereka, yaitu para rasul,
bahwa “kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu” merupakan pengakuan bahwa
mereka juga memiliki keterbatasan sebagaimana manusia. Mereka seakan-akan
menafikan risalah dari diri mereka, tetapi tidaklah demikian yang dimaksud.
Bahkan ini termasuk memberi kesempatan pada musuh untuk menyerah, seakan mereka
berkata: ”apa yang kalian tuduhkan pada kami bahwa kami hanyalah manusia adalah
benar. Kami tidak mengingkarinya, tetapi ini tidak menafikan adanya Allah Swt
yang member nikmat dan karunia kepada kami dengan risalah.”[17]
BAB
III
PENUTUP
Jidal
al-Qur’an adalah pembuktian-pembuktian serta pengungkapan dalil-dalil yang
terkandung di dalam al-Qur’an, untuk dihadapkan kepada orang kafir dan
mematahkan argumentasi para penentang dengan seluruh tujuan dan maksud mereka,
sehingga kebenaran ajaran-Nya dapat diterima.
Metode
jidal dalam al-Qur’an yang di tempuh salah satunya adalah dengan cara Bermunazharah
(bertukar pikiran). Bermunazharah seperti itu bertujuan untuk
menampakkan hak kebenaran sejati dan menegakkan hujjah. Metode yang terdapat di
dalam al-Qur’an dalam berdebat dengan para penentang, banyak menggunakan
dalil-dalil dan bukti yang kuat serta jelas yang dapat dipahami oleh kalangan
awam dan akademisi. Ia membatalkan setiap kerancuan dan mematahkannya dengan
redaksi yang konkrit, indah susunannya dan tidak memerlukan pemerasan akal atau
banyak penyelidikan. Yang paling perlu diketahui bahwasanya berdebat merupakan
tabiat manusia.
Mengenai
jenis-jenis dan bentuk-bentuk jidal dalam al-Qur’an cukup banyak disebutkan,
salah satu contoh jenis jidal adalah banyak menyebutkan ayat-ayat kauniyah yang
disertai perintah melakukan perenungan dan pemikiran untuk dijadikan dalil bagi
penetapan dasar-dasar akidah, seperti ketauhidan Allah dalam uluhiyah-Nya
dan keimanan kepada malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul-Nya dan hari
kemudian. Sedangkan salah satu contoh dari bentuk jidal adalah At-Taslim yaitu
memastikan sesuatu yang tidak mungkin terjadi baik dengan cara meniadakan,
karena sesuatu yang disebutkan itu tidak mungkin terjadi sebab tidak memenuhi
persyaratan.
DAFTAR PUSTAKA
Lowis Al-Ma’luf, Al-munjid Fillughati Wal Al’alam, Beirut:
Darus Masyruk, 1986.
Manna’
Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (Terj), Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar
Studi Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Kautsar, 2009.
Muhammad
Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2002.
Imam
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-itfan fi Ulumil Qur’an, (terj), Tim Editor
Indiva, Studi Al-Qur’an komprehensif, cet 1, Solo: Indiva Pustaka, 2009.
Abu
Anwar, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, cet 2, Pekanbaru: Amzah, 2005.
Rosihon
Anwar, Ilmu Tafsir, cet 3, Bandung: Pustaka Setia, 2005.
[1]Manna’
Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (Terj), Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar
Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2009), hal. 376
[2]Lowis
Al-Ma’luf, Al-munjid Fillughati Wal Al’alam, (Beirut: Darus Masyruk,
1986), hal. 82.
[3]Manna’
Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (Terj), Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar
Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2009), hal. 376
[4]Muhammad
Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2002), hal.195.
[5]Manna’
Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (Terj)…hal. 377.
[6]Dikarenakan
al-Qur’an itu diturunkan ditengah-tengan bangsa Arab dan menggunakan bahasa
mereka, maka al-Qur’an berpendapat sebagaimana pendapat-pendapat mereka
sehingga jelas atas persoalan-persoalan yang dibicarakan.
[7]Manna’
Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (Terj)…hal. 378.
[8]Manna’
Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (Terj)…hal. 381
[9]Muhammad
Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2002), hal.196.
[10]Manna’
Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (Terj)…hal. 382.
[11]Manna’
Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, (Terj)…383-384.
[12]Imam
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-itfan fi Ulumil Qur’an, (terj), Tim Editor
Indiva, Studi Al-Qur’an komprehensif, cet 1, (Solo: Indiva Pustaka,
2009), hal. 740.
[13]Maksudnya:
kembali dari peperangan Bani Musthalik.
[14]Imam
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-itfan fi Ulumil Qur’an, (terj)…hal. 741.
[16]Maksudnya raja Namrudz dengan menghidupkan ialah membiarkan hidup,
dan yang dimaksudnya dengan mematikan ialah membunuh. Perkataan itu untuk
mengejek Nabi Ibrahim a.s.
0 Response to "jidal"
Posting Komentar