LAFAZ
YANG DIDUGA SINONIM, PERTANYAAN DAN JAWABAN DI DALAM AL-QUR’AN
A. Mengetahui Kosa Kata yang Terkesan
Bersinonim
Al-Qur’an banyak memakai kosa kata yang pada
lahirnya tampak bersinonim, namun bila diteliti secara cermat ternyata
masing-masing kosa kata itu mempunyai konotasi sendiri-sendiri yang tidak ada
pada lafal lain yang dianggap bersinonim dengannya. Di antara ayat-ayat yang
terkesan bersinonim itu ialah Q.s Ar-ra’d: 21
tûïÏ%©!$#ur tbqè=ÅÁt !$tB ttBr& ª!$# ÿ¾ÏmÎ/ br& @|¹qã cöqt±øsur öNåk®5u tbqèù$ssur uäþqß É>$|¡Ïtø:$# ÇËÊÈ
Kata
khasyyah dan khawf hampit
tidak berbeda pemahamannya secara lughawi. Tetapi al-Qur’an memakai kata
tersebut dalam konotasi yang berbeda. Penggunaan kata khasyyah dalam
al-Qur’an lebih mengacu pada perasaan takut yang disertai hormat dan
mengagungkan karena
pada umumnya kata ini selalu dikaitkan dengan perasaan takut kepada Allah.
Walaupun seseorang itu mempunyai mental yang kuat, sudah pasti dia tidak akan
berdaya jika dikaitkan urusannya dengan Allah. Sedangkan kata khawf berarti rasa takut yang wajar.
Karena, rasa takut tersebut bisa muncul akibat dari sebab yang jika dilakukan
oleh seseorang. Seperti halnya rasa takut pada siksa di akhirat kelak karena
seorang tersebut sering melakukan dosa.[1]
Q.s al-Maidah: 3
…. tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYÏ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYÏ 4 ……
Lafal kamal
dan tamam pada ayat di atas sepintas lalu terkesan konotasi keduanya
sama, jika pada kata tamam pada awalnya tidak memakai “و” (harf
‘athf) yang menghubungkan kalimat akmaltu dengan atmamtu,
karena pemakaian harf ‘athf menunjukkan bahwa kedua kalimat tersebut
mempunyai makna yang berbeda. Dengan demikian timbul kesan bahwa antara ikmal
dan itmam tidak bersinonim, melainkan mempunyai konotasi yang
berlainan.[2]
Dalam kaitan inilah Al-‘Asykari sebagaimana dikutip oleh al-Zarkasyi berkata: “al-kamal
adalah sebutan bagi suatu objek yang seluruh bagiannya telah berhimpun secara
utuh, dan al-tamam ialah nama bagi sub-sub bagian yang membentuk objek
tersebut”. Dari itu maka pemahaman ayat 3 surat al-Maidah tersebut ialah: Allah
telah memberikan agama yang sempurna lagi utuh dan nikmat yang sudah lengkap
kepadamu.[3]
- Pertanyaan dan Jawaban di Dalam Al-qur’an
Cara
berkomunikasi dalam bentuk soal jawab dalam al-Qur’an diungkapkan melalui gaya
bahasa yang berbeda dari gaya bahasa manusia. Pada dasarnya antara jawaban dan
pertanyaan harus sejalan. Artinya penjelasan yang diberikan tidak boleh keluar
dari apa yang ditanyakan. Namun al-Qur’an dalam menjawab suatu pertanyaan
mempunyai pola tersendiri dan tidak mengikuti pola tersebut seperti pertanyaan
tentang bulan sabit dalam Q.s al-Baqarah: 189
* tRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }Ïd àMÏ%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur 3 }§øs9ur É9ø9$# br'Î/ (#qè?ù's? Vqãç6ø9$# `ÏB $ydÍqßgàß £`Å3»s9ur §É9ø9$# Ç`tB 4s+¨?$# 3 (#qè?ù&ur Vqãç7ø9$# ô`ÏB $ygÎ/ºuqö/r& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6¯=yès9 cqßsÎ=øÿè? ÇÊÑÒÈ
Pertanyaan dalam ayat ini jelas sekali berkenaan dengan
kondisi bulan: mula-mula terlihat kecil dan tipis sekali, dari malam ke malam
ia bertambah besar dan sampai sempurna purnama; setelah itu ia kembali mengecil
dan akhirnya hilang. Kemudian muncul lagi tipis, kecil, terus berangsur-angsur
membesar, lalu sempurna purnama, setelah itu berangsur kecil lagi, akhirnya
hilang dari penglihatan begitulah sepanjang tahun perjalanan bulan.
Kondisi
yang demikian terasa aneh bagi sahabat, lantas mereka menanyakannya kepada
Rasul Saw. tetapi di luar dugaan mereka, jawaban yang diberikan bukan berkenaan
dengan kondisi bulan sebagaimana digambarkan itu melainkan penjelasan tentang
fungsi bulan tersebut yakni sebagai sarana untuk mengetahui waktu dan musim
haji.
Apabila
diamati secara seksama dari pertanyaan tersebut niscaya akan terasa bagi si
penanya bahwa memang seharusnya mereka menanyakan berkenaan dengan penjelasan
yang diberikan dalam jawaban itu, memang kegunaan bulan itu yang harus mereka
tanyakan dan itulah yang mereka butuhkan, bukan mempermasalahkan kondisi bulan.
Kajian tentang kondisi yang demikian belum mereka butuhkan, karenanya jawaban
yang diberikan dialihkannya kepada menjelaskan fungsi bulan bukan kondisinya.[4]
Contoh
lain yang serupa dengan itu, misalnya pertanyaan tentang apa yang akan
diinfakkan seperti dalam Q.s al-Baqarah: 215
tRqè=t«ó¡o #s$tB tbqà)ÏÿZã ( ö@è% !$tB OçFø)xÿRr& ô`ÏiB 9öyz ÈûøïyÏ9ºuqù=Î=sù tûüÎ/tø%F{$#ur 4yJ»tGuø9$#ur ÈûüÅ3»|¡pRùQ$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# 3 $tBur (#qè=yèøÿs? ô`ÏB 9öyz ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOÎ=tæ ÇËÊÎÈ
Tampak
dengan jelas jawaban tersebut tidak sejalan dengan pertanyaan karena yang
ditanyakan ialah tentang “apa yang akan diinfakkan”. Tetapi jawabannya
menjelaskan tentang “siapa yang layak menerima infak tersebut”.
Jawaban
contoh di atas juga tidak sejalan dengan pertanyaan, bahkan jawabannya melebihi
isi pertanyaan karena yang ditanyakan hanya tentang apa tetapi jawabannya
ditambah lebih lengkap di samping menjelaskan benda yang diinfakkan, dan
sekaligus juga dijelaskan siapa yang layak menerima infak tersebut.[5]
Ada
pula jawaban yang diberikan al-Qur’an kurang dari isi pertanyaan seperti dalam
Q.s Yunus: 15
#sÎ)ur 4n?÷Gè? óOÎgøn=tæ $uZè?$t#uä ;M»oYÉit/ tA$s% úïÏ%©!$# w tbqã_öt $tRuä!$s)Ï9 ÏMø$# Ab#uäöà)Î/ Îöxî !#x»yd ÷rr& ã&ø!Ïdt/ 4 ö@è% $tB Ücqä3t þÍ< ÷br& ¼ã&s!Ïdt/é& `ÏB Ç!$s)ù=Ï? ûÓŤøÿtR ( ÷bÎ) ßìÎ7¨?r& wÎ) $tB #Óyrqã n<Î) ( þÎoTÎ) ß$%s{r& ÷bÎ) àMø|Átã În1u z>#xtã BQöqt 5OÏàtã ÇÊÎÈ
Dalam
ayat ini orang-orang kafir meminta agar Nabi Muhammad Saw mendatangkan
al-Qur’an lain yang tidak mencaci Tuhan mereka, atau kalau tidak dapat
demikian, paling tidak menukar ayat azab dengan rahmat dan sebagainya. Kedua
permintaan itu langsung dijawab oleh Rasul dengan mengatakan,”Saya tidak
berwenang sedikit pun untuk mengubah (menukar) ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan
kemauan sendiri”.[6]
Tampak
dengan jelas jawaban yang diberikan tidak seimbang dengan permintaan. Hal ini
menurut al-Zamakhsyari adalah karena “mengganti ayat azab dengan nikmat dan
menghilangkan cacian terhadap berhala-berhala yang mereka anggap Tuhan dan
sebagainya, masih dalam kemampuan manusia, tetapi mendatangkan al-Qur’an selain
yang diturunkan Allah adalah sesuatu yang mustahil”.[7]
Apa
yang ditegaskan al-Zamakhsyari itu ada benarnya, karena memang tidak mungkin
Nabi Muhammad Saw membuat al-Qur’an sendiri. Jadi dalam jawaban tersebut
sekilas bahwa al-Qur’an tidak mungkin dimanipulasi oleh siapa pun, termasuk
Nabi Saw sendiri. dengan demikian nyatalah bahwa al-Qur’an asli dari Tuhan,
tidak dicampuri oleh kaum yang lain.[8]
[1]Nashruddin Baidan. Wawasan
Baru Ilmu Tafsir, cet 1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 317-318.
[2]Nashruddin Baidan. Wawasan
Baru Ilmu Tafsir…hal. 320.
[3]Al-Zarkasyi, Al-Burhan
fi ‘Ulum Al-Qur’an, Tahqiq, Muhammad Abu Al-Fadhl Ibrahim, (Mesir: ‘Isa
al-Bab al-Halabi, t.t), hal. 85.
[4]Nashruddin Baidan. Wawasan
Baru Ilmu Tafsir…hal. 326-327.
[5]Nashruddin Baidan. Wawasan
Baru Ilmu Tafsir…hal. 327.
[6]Nashruddin Baidan. Wawasan
Baru Ilmu Tafsir…hal. 328.
[7]Al-Zamakhsyari, Tafsir
al-Khasysyaf, Jilid II, (Bairut: Dar al-Ma’rifah, t.t), hal. 228-229.
[8]Nashruddin Baidan. Wawasan
Baru Ilmu Tafsir…hal. 329.
0 Response to "LAFAZ YANG DIDUGA SINONIM, PERTANYAAN DAN JAWABAN DI DALAM AL-QUR’AN "
Posting Komentar