Sesudah Rasulullah wafat, sekelompok sahabat menekuni
penafsiran Al-Quran. Mereka adalah Ubay bin Ka'b, Abdullah bin Mas'ud, Jabir
bin Abdullah al-Anshari, Abu Sa'id al-Khudri, Abdullah bin Zubair, Abdullah
bin Umar, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abu Musa al-Asy'ari, dan yang paling
terkenal adalah Abdullah bin Abbas. Dalam menafsirkan Al-Quran, mereka menggunakan
metode mengutip apa yang mereka dengar dari Rasulullah s.a.w. tentang makna
ayat-ayat, yaitu dalam bentuk hadis-hadis yang ber-sanad.[1] Hadis-hadis
ini berjumlah lebih dari dua ratus empat puluh buah. Banyak di antaranya ber-sanad .[2] lemah dan matan-matan (teks-teks hadis)-nya tidak
bisa dipercaya.
Kadangkala mereka
menafsirkan ayat-ayat tanpa menisbatkannya kepada Rasulullah s.a.w. Kemudian
para mufasir dari kalangan Ahlus Sunnah memandang penafsiran ini sebagai bagian
dari hadis Nabi, dengan alasan bahwa para sahabat menerima pengetahuan 'tentang
Al-Quran dari Rasulullah, dal: tidak mungkin mereka memberikan penafsiran
mereka sendiri. Tidak ada bukti kuat yang menopang pandangan mereka ini. Dan
sejutnlah besar hadis tersebut berbicara tentang sebab-sebab turunnya ayat-ayat
Al-Quran dan latar belakang sejarahnya. Lagi pula, di antara hadishadis itu
ada yang tidak memiliki sanad yang sampai kepada Nabi, dan diriwayatkan dari
beberapa ulama Yahudi yang memeluk Islam, seperti Ka'b al-Ahbar dan lainnya.
Ibnu Abbas, dalam
memahami makna ayat-ayat AI-Quran, sering bertumpu pada bait-bait syair. Hal
ini terlihat dengan jelas dalam menjawab masalah-masalah yang
dikemukakan oleh Nafi' bin al-Azraq. Ibnu Abbas menggunakan syair sebagai dalil
dalam menjawab lebih dari dua ratus masalah. Dan As-Suyuthi, dalam bukunya, al-Itqan,[3] mengutip seratus
sembilan puluh jawaban Ibnu Abbas. Oleh karena itu, hadis-hadis yang
diriwayatkan dari para sahabat tidak dapat dipandang sebagai hadis-hadis Nabi.
Begitu pula, tidak dapat dikatakan bahwa mereka sepenuhnya tidak menafsirkan
Al-Quran dengan berdasarkan pendapat pribadi mereka sendiri.
Para mufasir tersebut memandang para sahabat ini
sebagai kelompok-pertama mufasir. Kelompok kedua adalah dari generasi tabi'in.
Mereka adalah murid-murid para sahabat seperti Mujahid, Sa'id bin Jubair,
Ikrimah dan ad-Dhahak, Hasan al-Basri, Atha' bin Abi Rabah, Atha' bin Abi
Muslim, Abul Aliyah, Muhammad bin Ka'b al-Kuradhi, Qatadah, 'Athiyah, Zaid bin
Aslam dan Thawus al-Yamani.[4]
Kelompok ketiga adalah para murid mufasir kelompok kedua,
seperti Rabi' bin Anas, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, Abu Shalih al-Kilbi dan
lain-lain.[5]
Metode tabi'in dalam menafsirkan Al-Quran adalah
menafsirkan ayat-ayat kadang-kadang dalam bentuk hadis dari Rasulullah s.a.w.
atau para sahabatnya, dan kadang-kadang menerangkan arti ayat tanpa merujuk
kepada siapa pun. Sikap para mufasir mutaakhir terhadap pandangan-pandangan
mufasir tabi'in ini sama dengan sikap mereka terhadap hadis-hadis Nabi, dan
memandang pandangan-pandangan ini sebagai hadits
mauquf.[6]Dua
kelompok terakhir ini disebut qudama-ul
mufassirin.
Kelompok keempat adalah orang-orang yang pertama kali
menulis buku tentang ilmu tafsir, seperti Sufyan bin 'Uyainah, Waki' bin al
Jarah, Syu'bah bin Haijaj, Abd bin Hamid dan Ibnu Jarir ath-Thabari, pengarang
buku tafsir yang termasyhur.[7] Metode mufasir kelompok
ini adalah meriwayatkan pendapat-pendapat para sahabat dan tabi'in tanpa
mengemukakan pendapat mereka sendiri. Hanya saja Ibnu Jarir, dalam buku
tafsirnya, kadang-kadang lebih berpegang pada pandangan-pandangan tertentu.
Kelompok kelima adalah para mufasir yang menghimpun
hadis-hadis dengan membuang sanad-sanad-nya.
As-Suyuthi mengatakan: "Dari sini terjadilah perbauran berbagai
penafsiran; penafsiran yang benar berbaur dengan penafsiran yang salah.[8] Orang-orang yang mengkaji
hadis-hadis ber- sanad akan
menemukan banyak pemalsuan dan penyusupan, pendapat-pendapat yang saling
bertentangan yang dinisbatkan kepada sahabat dan tabi'in, kisah-kisah dan
cerita-cerita yang dapat dipastikan ketidakbenarannya dan hadis-hadis tentang
sebab-sebab turunnya ayat, nasikh -
mansukh yang tidak sesuai dengan konteks ayat. Diriwayatkan bahwa
Imam Ahmad bin Hambal (yang hidup sebelum munculnya kelompok ini) berkata:
"Ada tiga macam hadis yang tidak mempunyai dasar, yaitu hadis-hadis tentang
keperwiraan, peperangan besar dan tafsir." Imam asy-Syafi'i dikutip
sebagai menyatakan bahwa di antara hadis-hadis yang diriwayatkan dari Ibnu
Abbas, hanya ada seratus hadis yang pasti kebenarannya.
Kelompok keenam adalah para mufasir yang muncul
sesudah berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan dan kematangan mereka dalam
Islam. Para mufasir ini melakukan penafsiran menurut spesialisasinya dan
tentang ilmu yang dikuasainya. Yang ahli nahwu
(gramatika bahasa Arab) melakukan penafsiran dari sudut pandang nahwu, seperti az-Zajaj, al-Wahidi dan
Abu Hayan;[9]
yang ahli sastra melakukannya dari sudut pandang sastra, seperti az-Zamakhsyari
dalam al-Kasyaf[10]
yang ahli teologi melakukannya dari sudut pandang teologi, seperti
al-Fahrur Razi dalam buku tafsirnya al-Kabir;[11] yang sufi melakukannya
dari sudut pandang sufi, seperti Ibnu Arabi dan Abdurrazaq al-Kasyani dalam
buku tafsir mereka;[12] yang ahli cerita memenuhi
buku tafsirnya dengan cerita-cerita, seperti as-Tsa'labi dalam buku tafsirnya;[13] yang ahli fikih melakukannya dari sudut pandang
fikih, seperti al-Qurthubi dalam buku tafsirnya.[14] dan sekelompok mufasir mengemukakan berbagai ilmu
pengetahuan dalam buku tafsir mereka, seperti yang kita lihat dalam buku tafsir
Ruhul Ma'ani,[15] Ruhul Bayan,[16] dan Tafsir an-Naisaburi.[17]
Jasa kelompok ini kepada ilmu tafsir adalah
mengeluarkan ilmu
ini dari kemandegan (stagnasi) dan memasukkannya ke dalam pengkajian dan
pembahasan. Akan tetapi, obyektivitas menuntut kita untuk menyatakan bahwa
dalam banyak pembahasan mereka, pandangan-pandangan ilmiah dipaksa-paksakan
terhadap Al-Quran, dan pembahasan-pembahasan itu tidak dilakukan melalui konteks
ayat-ayat itu sendiri.
[4] Mujahid adalah seorang
mufasir terkenal. Meninggal pada 100 (103) H (An-Nawawi, Tahzibul Asma'). Sa'id bin Jubair adalah seorang
mufasir yang cukup terkenal dan murid Ibnu Abbas. Dibunuh oleh Hajaj as-Tsaqafi
pada 94 H (Ibid). Ikrimah adalah seorang budak yang dimerdekakan oleh
Ibnu Abbas dan menjadi muridnya, dan murid Sa'id bin Jubair. Meninggal pada 10
H (Ibid). Ad-Dhahak adalah seorang murid Ikrimah (Lisanul Mizan). Hasan al-Basri adalah
seorang sufi dan mufasir yang terkenal. Meninggal pada 110 H (Tahzibul Asma'). 'Atha' bin Abi Rabah,
seorang ahli hukum Islam dan mufasir yang terkenal. Murid Ibnu Abbas. Meninggal
pada 115 H (Ibid). 'Atha' bin Abi Muslim, adalah salah seorang ulama
terbesar dari generasi tabi'in. Murid Ibnu Jubair dan Ikrimah. Meninggal pada
133 H (Ibid). Abul 'Aliyah adalah salah seorang tokoh tafsir dan ulama
terbesar dari generasi tabi'in. Hidup pada abad pertama Hijrah. Muhammad bin
Ka'b al-Kuradhi adalah seorang mufasir yang cukup terkenal. Berasal dari
keluarga Yahudi Bani Kuraidhah. Hidup pada abad pertama Hijrah. Qatadah adalah
seorang buta. Salah seorang mufasir terbesar. Murid Hasan al-Basri dan lkrimah.
Meninggal pada 117 H. (Tahzibul Asma').
'Athiyah meriwayatkan tafsir dari Ibnu Abbas. (Lisanul Mizan). Zaid bin .4slam adalah seorang budak yang
dimerdekakan oleh Umar bin Khatthab. Seorang ahli hukum Islam dan mufasir.
Meninggal pada 136 H (Tahzibul Asma').
Thawus alYamani termasuk ulama yang tinggi ilmunya pada masanya. Seorang murid
Ibnu Abbas. Meninggal pada l06 H (lbid).
[5] Abdurrahman adalah seorang
ulama ahli tafsir. Sedang Abu Shalih al-Kilbi adalah seorang ahh nasab dan
mufasir. Ia termasuk ulama paling alim pada abad kedua Hijrah.
[7] Sufyan bin 'Uyainah berasal
dari Makkah. Termasuk generasi kedua tabi'in dan ulama tafsir. Meninggal pada
198 H (Tahzibul Asma'). Waki'
bin al-Jarah berasal dari Kufah. Termasuk generasi kedua tabi'in dan ulama
tafsir terkenal. Meninggal pada 197 H (Ibid). Syu'bah bin Hajjaj
dari Basrah. Termasuk generasi kedua tabi'in dan mufasir terkenal. Meninggal
pada 160 H (Ibid). Abd bin Hamid, pengarang buku tafsir. Termasuk
generasi kedua tabi'in. Hidup pada abad kedua Hijrah. Muhammad bin Jarir bin
Yazid ath-Thabari, seorang ulama Ahlus Sunnah yang terkenal. Meninggal pada 310
H (Lisanul Mizan ).
[9] Az-Zajaj adalah seorang ahli
nahwu. Meninggal pada 310 H
(Raihanatul Adab). AlWahidi,
seorang ahli nahwu dan mufasir.
Meninggal pada 468 H (Ibid). Abu Hayan alAndalusi, seorang ahli nahwu, mufasir dan ahli qira-ah. Meninggal di Mesir pada 745
H (Ibid).
[10] Az-Zamakhsyari adalah
seorang ahli sastra yang terkenal. Pengarang buku al-Kasyaf. Meninggal pada 538 H (Kasyfudh Dhunun)
[11] Imam Fahrudin ar-Razi,
adalah seorang teolog dan mufasir yang terkenal. Pengarartg buku tafsir Mafatihul Ghaib. Meninggal pada 606 H
(Ibid)
[12] Abdurrazaq al-Kasyani,
adalah seorang sufi yang terkenal pada abad kedelapan Hijrah (Raihanatul Adab).
[13] Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim
as-Tsa'labi adalah seorang penulis kitab tafsir yang terkenal. Wafat pada 426
(427?) H (Ibid).
0 Response to "Ilmu Tafsir dan Kelompok Mufasir"
Posting Komentar