BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk
tahu. Berbedanya cara dalam mendapatkan pengetahuan tersebut serta tentang apa
yang dikaji oleh pengetahuan tersebut membedakan antara jenis pengetahuan yang
satu dengan yang lainnya.
Pengetahuan dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama
yakni, pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi
dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua adalah
kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis
besar cara berpikir seperti ini disebut penalaran.
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik
sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Agar pengetahuan yang
dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu
harus dilakukan melalui suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan
baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikannya dilakukan menurut
cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, di mana
logika secara luas dapat didefinisikan sebagai “pengkajian untuk berpikir
secara sahih”.
Pengetahuan banyak jenisnya, salah satunya adalah ilmu.
Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang objek telaahnya adalah dunia
empiris dan proses pendapatkan pengetahuannya sangat ketat yaitu menggunakan
metode ilmiah. Ilmu menggabungkan logika deduktif dan induktif, dan penentu
kebenaran ilmu tersebut adalah dunia empiris yang merupakan sumber dari ilmu
itu sendiri.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Apakah struktur ilmu
pengetahuan itu ?
2. Bagaimana sifat-sifat ilmu
pengetahuan itu ?
3. Apa sajakah pembagian jenis
ilmu pengetahuan ?
4. Dimana batas-batas
pengkajian ilmu pengetahuan ?
5. Apakah Ontologi itu?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sistem, Struktur, dan susunan Ilmu Pengetahuan
Peter R Senn dalam Ilmu Dalam Perspektif (Jujun
Suriasumantri) meskipun tidak secara gamblang ia menyampaikan bahwa ilmu
memiliki bangunan struktur Van Peursen menggambarakan lebih tegas bahwa “Ilmu
itu bagaikan bangunan yang tersusun dari batu bata. Batu atau unsur dasar
tersebut tidak pernah langsung di dapat di alam sekitar. Lewat observasi ilmiah
batu-batu sudah dikerjakan sehingga dapat dipakai kemudian digolongkan menurut
kelompok tertentu sehingga dapat dipergunakan. Upaya ini tidak dilakukan dengan
sewenang wenang, melainkan merupakan hasil petunjuk yang menyertai susunan
limas ilmu yang menyeluruh akan makin jelas bahwa teori secara berbeda- beda
meresap sampai dasar ilmu[1].
Hidayat Nataatmaja menggambarkan dalam bahasanya sendiri
mengenai hal tersebut di atas bahwa “ilmu memiliki struktur dan struktur ilmu
itu beberapa lapis. Beliau membagi lapisan ilmu ke dalam 2 golongan/ kategori
yaitu lapisan yang bersifat terapan dan lapisan yang bersifat paradigmatik.
Kedua kategori memiliki karakter sendiri-sendiri. Lapisan terapan besifat
praktikal dan lapisan paradigmatik bersifat asumtif spekulatif.[2]
Dalam penerapannya, ilmu dapat dibedakan atas berikut di
bawah ini:
1. Ilmu Murni (pure science)
Yang dimaksud dengan Ilmu murni adalah ilmu tersebut hanya
murni bermanfaat untuk ilmu itu sendiri dan berorientasi pada teoritisasi,
dalam arti ilmu pengetahuan murni tersebut terutama bertujuan untuk membentuk
dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak yakni untuk mempertinggi
mutunya.
2. Ilmu Praktis (applied
science)
Yang dimaksud dengan ilmu praktis adalah ilmu tersebut praktis
langsung dapt diterapkan kepada masyarakat karena ilmu itu sendiri bertujuan
untuk mempergunakan hal ikhwal ilmu pengetahuan tersebut dalam masyarakat
banyak.
3. Ilmu Campuran
Yang dimaksud dengan ilmu campuran dalam hal ini adalah
sesuatu ilmu yang selain termasuk ilmu murni juga merupakan ilmu terapan yang
praktis karena dapat dipergunakan dalam kehidupan masyarakat umum.
Sedangkan dalam fungsi kerjanya, ilmu juga dapat dibedakan
atas berikut ini:
4. Ilmu teoritis rasional
Ilmu teoritis rasional adalah ilmu yang memakai cara
berpikir dengan sangat dominan, deduktif dan mempergunakan silogisme, misalnya
dogmatis hukum.
5. Ilmu empiris praktis
Ilmu empiris praktis adalah ilmu yang cara penganalisaannya
induktif saja, misalnya dalam pekerjaan social atau dalam mewujudkan
kesejahteraan umum dalam masyarakat.
6. Ilmu teoritis empiris
Ilmu teoritis empiris adalah ilmu yang memakai cara
gabungan berpikir, induktif-deduktif atau sebaliknya deduktif-induktif.
Saat ini tampaknya sebagian besar para pakar membagi ilmu
atas ilmu-ilmu eksakta dan ilmu-ilmu hukum yang pada satu titik tertentu sangat
sulit dibedakan, namun pada titik yang lain sangat berbeda satu sama lain.
Ilmu-ilmu eksakta kesemuanya mempunyai objek fakta-fakta,
dan benda-benda alam serta hukum-hukumnya pasti dan tidak dapat dipengaruhi
oleh manusia. Ilmu-ilmu eksakta meliputi antara lain yaitu berbagai ilmu teknik
(seperti teknik permesinan kapal, nuklir, perminyakan, metalurgi, gas,
petrokimia, informatika, computer, planologi, kelautan, industry, pertambangan,
kimia, sipil, mesin, elektro, arsitektur, pertanian, geodesi, geologi,
geofisika, dan meteorologi), berbagai ilmu kedokteran (seperti kedokteran gigi,
anak, penyakit dalam, penyakit khusus, bedah, kebidanan, bedah mulut, kesehatan
masyarakat, keperawatan, kelamin, dan penyakit mata), berbagai ilmu alam
(seperti geofisika, bumi, ruang angkasa, dan pesawat), berbagai ilmu matematika
(seperti ilmu ukur ruang, ilmu ukur sudut dan aljabar), berbagai ilmu hewan
(seperti kedokteran hewan, biologi, lingkungan dan peternakan), berbagai ilmu
tumbuh-tumbuhan (seperti pertanian dan kehutanan), berbagai ilmu kimia, ilmu
tanah, ilmu komputer, farmasi, agronomi, geografi dan statistik.
Sedangkan ilmu-ilmu sosial hukum-hukumnya relatif tidak
sama dalam berbagai ruang dan waktu, dibandingkan ilmu-ilmu eksakta (ilmu
pasti) dalam arti selalu ada perubahan yang tergantung pada situasi dan kondisi
dan lingkungan, bahkan bisa dipengaruhi dan diatur (rekayasa) oleh manusia.
Ilmu-ilmu social meliputi antara lain berbagai ilmu administrasi (seperti
administrasi pembangunan, Negara, fiskal, niaga, kepegawaian dan perkantoran),
berbagai ilmu ekonomi (seperti ekonomi pertanian, mikro, makro, social,
akuntansi dan keuangan), berbagai ilmu hukum (seperti hukum perdata, hukum
pidana, hukum adat, hukum islam dan hukum waris), serta disiplin ilmu social
lainnya seperti ilmu politik, ilmu pemerintahan, ilmu jiwa (psikologi),
sosiologi, jurnalistik, perhotelan, kepariwisataan, sejarah, antropologi,
arkeologi, komunikasi, manajemen, akuntansi, perpustakaan, hubungan
internasional dan ilmu negara[3].
B. Jenis – jenis Ilmu pengetahuan dan sifatnya
Sehubungan dengan adanya berbagai sumber, sifat-sifat,
karakter dan susunan ilmu pengatahuan, maka dalam pandangan tentang ilmu
pengetahuan itu orang mengutarakan pembagian ilmu pengetahuan (classification).
Ini tergantung kepada cara dan tempat para ahli itu meninjaunya. Menurut
pembagian klasik, maka ilmu pengetahuan dibedakan atas:
1. Natural Sciences (kelompok
ilmu-ilmu alam)
2. Social Sciences (kelompok
ilmu-ilmu sosial)
Sedang Dr. C. A. Van Peurson membedakan ilmu pengetahuan
atas:
a) Nomotetis: ilmu yang menetapkan hukum-hukum yang universal
berlaku, mempelajari objeknya dalam keabstrakan dan mencoba menemukan
unsur-unsur yang selalu terdapat kembali dalam segala pernyataan yang konkrit
bilamana dan dimana saja. Misalnya, ilmu alam, ilmu kimia, sosiologi, ilmu
hayat.
b) Ideografis (ide: cita-cita, grafis: lukisan), ilmu yang
mempelajari objeknya dalam konkrit menurut tempat dan waktu tertentu, dengan
sifat-sifatnya yang menyendiri (unik), misalnya: ilmu sejarah, etnografi (ilmu
bangsa-bangsa), sosiografi, dsb.
Praktis (Applied Science/ Ilmu Terapan): Ilmu yang langsung
ditujukan kepada pemakaian atau pengalaman pengetahuan itu, jadi menentukan
bagaimanakah orang harus berbuat sesuatu. Maka ini pun diperinci lebih lanjut
yaitu:
a) Normatif, ilmu yang memesankan bagaimanakah kita harus
berbuat, membebankan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan, misalnya: etika
(filsafat kesusilaan/ filsafat moral).
b) Positif (“applied” dalam arti sempit): ilmu yang mengatakan
bagaimanakah orang harus berbuat sesuatu, mencapai hasil tertentu, misalnya:
ilmu pertanian, ilmu teknik, ilmu kedokteran,sb.
Menurut Objeknya (terutama objek formalnya atau sudut
pandangnya)
1. Universal/ umum: meliputi
keseluruhan yang ada, seluruh hidup manusia, misalnya: Teologi/agama dan
Filsafat.
2. Khusus: hanya mengenai
salah satu lapangan tertentu dari kehidupan manusia, jadi objek terbatas, hanya
ini saja atau itu saja. Inilah yang biasa disebut “ Ilmu Pengetahuan ”. ini
diperinci lagi atas:
a) Ilmu-ilmu alam (natural
science, natuurwetenscappen): yang mempelajari barang-barang menurut keadaannya
di alam kodrat saja, terlepas dari pengaruh manusia dan mencari hukum-hukum
yang mengatur apa yang terjadi di dalam alam, jadi terperinci lagi menurut
objeknya, misalnya: ilmu alam, ilmu fisika, ilmu kimia, ilmu hayat, dsb.
b) Ilmu pasti (Mathmatics),
yang memandang barang-barang, terlepas dari isinya hanya menurut besarnya. Jadi
mengadakan abstraksi barang-barang itu. Ilmunya dijabarkan secara logis
berpangkal pada beberapa asas-asas dasar (axioma). Misalnya, ilmu pasti, ilmu
ukur, ilmu hitung, ilmu aljabar,dsb.
c) Ilmu-ilmu
kerohanian/kebudayaan (Geisteswissen-schaf-ten/social-science). Ilmu yang mempelajari
hal-hal dimana jiwa manusia memegang peranan yang mementukan. Yang dipandang
bukan barang-barang seperti di alam dunia, terlepas dari manusia, melainkan
justru sekedar mengalami pengaruh dari manusia. Dan karena manusia berbuat
dengan berdasarkan kekuatan jiwanya dan jiwa dalam Bahasa Jerman disebut
“Geist”, maka gerombolan ilmu-ilmu yang memandang perbuatan manusia dan
hasil-hasil kegiatannya itu disebut “Geisteswissenscaften”. Misalnya: ilmu
sejarah, ilmu mendidik, ilmu hukum, ilmu ekonomi, ilmu sosiologi, ilmu Bahasa,
dsb.
b. Sifat-sifat Ilmu Pengetahuan
Sejarah membuktikan, bahwa dengan metode ilmu, akn membawa
manusia kepada kemajuan dalam pengetahuannya. Kemajuan dalam pengetahuan yang
dihasilkan oleh ilmu itu memungkinkan, karena beberapa sifat, atau cirri khas
yang dimiliki oleh ilmu.
Dalam hal ini, Randall mengemukakan beberapa ciri umum
daripada ilmu, di antaranya ialah:
1. Hasil ilmu sifatnya
akumulatif dan merupakan milik bersama. Artinya, hasil daripada ilmu yang telah
lalu dapat dipergunakan untuk penyelidikan dan penemuan hal-hal yang baru, dan
tidak menjadi monopoli bagi yang menemukannya saja, setiap orang dapat
menggunakan, memanfaatkan hasil penyelidikan atau hasil penemuan orang lain.
2. Hasil ilmu, kebenarannya
tidak mutlak, dan bisa terjadi kekeliruan, karena yang menyelidikinya adalah
manusia. Namun yang perlu diketahui, kesalahan-kesalahan itu bukan karena
metodenya, melainkan terletak pada manusia yang menggunakan metode tersebut.
3. Ilmu itu objektif, artinya
prosedur cara penggunaan mtode ilmu tidak tergantung kepada yang
menggunakannya, tidak tergantung kepada pemahaman secara pribadi. Berbeda
dengan prosedur otoritas dan intuisi, yang tergantung kepada pemahaman secara
pribadi.
Selanjutnya, Ralph Ross dan Ernest Van den Hagg yang
disunting oleh Prof. Drs. Harsojo, mengemukakan ciri-ciri umum daripada ilmu,
yaitu:
1. Bahwa ilmu itu rasional
2. Bahwa ilmu itu Bersifat
empiris
3. Bahwa ilmu itu Umum
4. Bahwa ilmu itu Akumulatif
Ilmu dikatakan rasional, karena ilmu merupakan hasil dari
proses berpikir dengan menggunakan akal, atau hasil berpikir secara rasional.
Pada umumnya, orang-orang menggolongkan filsafat itu pasti
ke dalam ilmu-ilmu pengetahuan. Walaupun filasafat iu muncul sebagai salah satu
ilmu pengetahuan, akan tetapi ia mempunyai struktur tersendiri dan tidak dapat
begitu saja dianggap sebagai “ilmu pengetahuan”.
Tentu saja sedikit banyak bagi setiap ilmu pengetahuan
berlaku, bahwa ilmu itu mempunyai struktur dan karakteristik tersendiri. Studi
tentang ilmu kedokteran adalah sesuatu yang berbeda sekali dengan sejarah
kesenian, dan ilmu pasti/matematika sesuatu yang berlainan sekali dengan ilmu
pendidikan. Akan tetapi untuk filsafat, hal yang “tersendiri” ini berlaku dengan
cara yang dasarnya lain.[4]
C. Batasan-batasan Pengkajian Ilmu Pengetahuan
Apakah batasan yang merupakan lingkup penelajahan ilmu?
Dimanakah ilmu berhenti? Apakah yang menjadi karakter objek ontologis ilmu yang
membedakan ilmu dan pengetahuan pengetahuan yang lain? Jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan itu adalah sederhana: ilmu memulai penjelajahannya pada
pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Ilmu tidak mempelajari
ikhwal surga dan neraka. Sebab ikhwal surga dan neraka berada diluar Jangkauan
pengalaman manusia. Ilmu tidak mempelajari sebab musabab terciptanya manusia
sebab kejadian itu terjadi diluar jangkauan pengalamann manusia. Baik hal-hal
yang terjadi sebelum hidup kita, maupun hal-hal yang terjadi setelah kematian
manusia, semua itu berada di luar penjelajahan ilmu.
Ilmu hanya membatasi daripada hal-hal yang berbeda dalam
batas pengalaman kita karena fungsi ilmu sendiri dalam hidup manusia yaitu
sebagai alat bantu manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya
sehari-hari. Persoalan mengenai hari kemudian tidak akan kita tanyakan pada
ilmu, melainkan kepada agama. Sebab agamalah pengetahuan yang mengkaji
masalah-masalah seperti itu.[5]
Ilmu membatasi batas penjelajahannya pada batas pengalaman
manusia juga disebabkan pada metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah
diuji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar
batas pengalaman empirisnya, maka pembuktian metodologis tidak dapat dilakukan.
Ilmu tanpa bimbingan moral agama adalah buta. Kebutaan
moral dari ilmu mungkin membawa kemanusiaan ke jurang malapetaka. Contoh
penyalahgunaan teknologi nuklir yang telah merenggut jutaan jiwa.
Ruang penjelajahan keilmuan kemudian kita menjadi “kapling
kapling” berbagai disiplin keilmuan. Kapling ini makin lama makin sempit
sesuai dengn perkembangan kuantitatif disiplin keilmuan. Dahulu ilmu dibagi
menjadi dua, ilmu alam dan ilmu sosial. Kini telah terdapat lebih dari 650
cabang keilmuan. Oleh karena itu, seorang ilmuwan harus tahu benar batas-batas
penjelajahan cabang keilmuan maing-masing.
Mengenai batas-batas kapling ini, disamping menunjukkan
kematangan keilmuan dan profesional kita, juga dimaksudkan agar kita mengenal
tetangga-tetangga kita. Dengan makin sempitnya daerah penjelajahan suatu
bidang keilmuan, maka sering sekali diperlukan “pandangan” dari
disiplin-disiplin yang lain. Saling pandang memandang ini atau pendekatan
multi disipliner, membutuhkan pengetahuan tentang tetangga-tetangga yang
berdekatan. Artinya harus jelas bagi semua, dimana disiplin seseorang berhenti
dan dimana disiplin orang lain mulai. Tanpa kejelasan batas-batas ini maka
pendekatan multi disipliner akan berubah menjadi sengketa kapling.
D. Ontologi Pengatahuan
Tokoh yang membuat istilah ontologi adalah Cristian Wolff
(1679-1714).Istilah ontologi berasal dari bahasa yunani, yaitu ta onta bararti”yang
barada”, dan logi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan
demikian, antologi adalah ilmu paengetahuan atau ajaran tentang yang berbeda.
Adapun dapat diartikan juga yaitu, antologi adalah ilmu yang mencari asensi dan
eksentasi yang terakhir. Antologi adalah bagian dari Metafisika.[6]
Persoalan dalam keberadaan menurut Ali Mudhofir (1996) ada
tiga pandangan, yang masing-masing menimbulkan aliran yang berada. Tiga segi
pandangan itu adalah sebagai berikut:
1) Keberadaan Dipandang dari Segi Jumlah
(Kuantitas)
Keberadaan dipandang dari segi jumlah (Kuantitas), artinya
berapa banyak kenyataan yang paling dalam itu. Pandangan ini malahirkan
beberapa aliran filasafat sebagai jawabannya, yaitu sebagai berikut:
a. Monisme
Aliran yang menyataknan bahwa hanya satu kenyataan yang
fundamental. Kenyataan tersebut dapat berupa jiwa, materi, Tuhan atau subtansi
lainnya yang tidak dapat diketahui. Tokohnya antara lain: Thales (625-545 SM)
yang berpendapat bahwa kenyataan yang terdalam adalah sebuah subtansi, yaitu
air. Aniximander (610-547 SM) berkeyakinan bahwa yang merupakan kenyataan
terdalam adalah Aperion, yaitu sesuatu yang tanpa batas, tidak dapt ditentukan
dan tidak memiliki persamaan dengan salah satu benda yang ada dalam dunia .
Anaximenes (585-528 SM) berkeyakinan bahwa yang merupakan
unsur kenyataan yang sedalam-dalamnya adlah udara. Filuf modern yang ternasuk
monisme adalah B.Spinoza, berpendapat bahwa hanya ada satu subtansi, yaitu
Tuhan. Dalam hal ini Tuhsn dididentikkan dengan alam (naturans naturata).[7]
b. Dualiasme
(Serba Dua)
Aliran yang menganggap adanya dua subtabsi yang
masing-masing berdiri sndiri. Tokoh-tokoh yang termasuk aliran ini adalah Plato
(428-348 SM), yang membadakan dua dunia, yaitu dunia indra (bayang-bayang) dan
dunia ide (dunia yang terbuka bagi rasio manusia). Rene Descrates (1596-1650 M)
yang membedakan subtansi pikiran dan subtabsi keluasan. Leibniz (1646-1716 M)
yang membadakan antara dunia dunia yang sesungguhnya dan dunia yang mungkin.
Imanuel Kant (1724-1804) yang membedakan antara dunia gejala (fenomena)
dan dunia hakiki (naumena).[8]
c. Pluralisme
(Serba Banyak)
Aliran yang tidak mengakui adanya satu subtansi atau dua
subtansi melainkan banyak subtansi. Para filsuf yang termasuk pluralisme
diantaranya Empedokles (490-430 SM) yang mrnyatakan bahwa hakikat kenyataan
terdiri atas 4 unsur, yaitu udara, api, air, dan tanah. Anaxagoras (500-428 SM)
yang menyatakan bahwa hakikat hakikat kenyataan terdiri atas unsur-unsur
yang tidak terhitungg banyaknya, sebanyak sejumlah sifat benda dan semuanya
dikuasai oleh suatu tenaga yang dinamakan nous. Dikataknnya bahwa
nous adalah suatu zat yang paling halus yang memiliki sifat pandai bergerak dan
mengatur.[9]
2) Keberadaan Dipandang dari Segi Sifat
(Kualitas)
Keberadaan dipandang dari segi sifat (kualis) menimbulkan
beberapa aliran sebagai barikut.
a. Spiritualisme
Spiritualisme mengandung beberapa arti, yaitu:
1. Ajaran yang menyatakan
bahwa kenyataan yang terdalam adalah roh (Pneuma, Nous, Reason, Logos),
yakni roh yang mendasari dan mengisi seluruh alam. Spirituliasme dalam arti ini
dilawankan dengan materialisme.
2. Kadang-kadang dikenakan
pada pandangan idealistis yang menyatakan adanya roh mutlak. Dunia indra dalam
pengertian ini sebagai dunia ide.
3. Dipakai dalm istilah
keagamaan untuk menekankan pengaruh langsung dari roh suci dalam bidang agama.
4. Kepercayaan bahwa roh orang
mati berkomunikasi dengan roh orang yang masih hidup melalui perantara atau
orang tertenntu dan melalui bentuk wujud yang lain. Istilah spiritualisme lebih
tepat dikenakan bagi kepercayaan semacam ini. Aliran spiritualisme juga disebut
idealisme (serba cita). Tokoh aliran ini diantaranya Palto dengan ajarannya
tentang idea(cita) dan jiwa. Idea atau cita adalah gambaran asli segala
benda. halSemua yang ada dalam dunia hanyalah penjelmaan atau
bayangan saja.
b. Materialisme
Adalah pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu
yang nyata kecuali materi. Pikiran dan kesadaran hanyalah penjelmaan materi
yang dapat dikembalikan pada unsur-unsur fisik. Materi adalah sesuatu
yang kelihatan, dapat diraba, berbentuk, dan menempati ruang. Hal-hal
yang bersifat keharmonian seperti pikiran, jiwa, keyakinan rasa sedih, dan rasa
senang tidak lain hanyalah pengungkapan proses kebendaan.
Tokoh aliran ini antara lain Demokritos (460-370 SM),
Berkeyakinan bahwa alam semesta tersusun atas atom-atom kedil yang memiliki
bentuk dan badan. Atom ini mempunyai sifat yang sama, perbedaannya hanya hanya
besar, bentuk, dan letaknya. Thomas ahobbes (1588-1679) berpendapat bahwa
segala sesuatu yang terjadi di dunia merupakan gerak dari materi. Termasuk juga
pikiran, perasaan adalah gerak materi belaka karena segala sesuatu yang terjadi
dari benda-benda kecil. Bagi Thomas Hobbes, filsafat sama dengan ilmu yang
mempelajari benda-benda.[10]
3) Keberadaan Dipandang dari Segi Proses,
Kejadian, atau Perubahan
Aliran yang berusaha menjawab persoaaln ini adalah sebagai
berikut.
a. Mekanisme
Menyatakan bahwa semua gejala dapat dijelaskan berdasarkan
asas-asas mekanik(mesin). Semua peristiwa adalah hasil dari materi yang
bergerak dan dapat dijelaskan menurut kaidahnya. Aliran ini jua menerangkan
semua peritiwa berdasar pada sebab kerja (efficient cause), yang
dilawankan sebab tujuan (final cause). Alam dianggap sebuah mesin yang
keseluruha fungsinya ditentukan secara otomatis oleh bagian-bagiannya.
Pandangan yang bercorak mekanistik dalam kosmologi pertama
kali diajukan oleh Leucippus dan Demokritus yang berpendirian bahwa alam dapat
diterangkan berdasarkan pada atom-atom yang bergerak dalm ruang kosong.
Pandangan ini dianut oleh Galileo Galilei (1564-1641) dan filsuf lainnya dalam
abad ke-17 sebagai filsafat mekanik.
b. Teleologi
(Serba- Tujuan)
Berpendirian bahwa yang berlaku dalam kejadian alam
bukanlah kaidah sebab akibat, akan tetapi sejak semula memang ada suatu kemauan
atau kekuatan yang mengarahkan alam kesuatu tujuan.
Plato membedakan antaa idea dan materi. Tujuan berlaku di
dalm ide, sedangkan kaidah sebab-akibat berlaku dalm materi.
Menurut Aristoteles, untuk melihat kenyataan yang
sesungguhnya kita harus memahami empat sebab, yaitu sebab bahan (materia
cause), sebab bentuk (formal cause), sebab kerja (efficient cause),
dan sebab tujuan (final cause). Sebab bahan adalah bahan yang menjadikan
sesuatu itu ada; sebab bentuk adalah yang menjadikan sesuatu itu berbentuk;
sebab kerja adalah yang menyebabkan bentuk itu bekerja atas bahan; sebab tujuan
adalah yang menyebabkan tujuan semat-mata karena perubahan tempat atau gerak.
Dibidang ini semata-mata berkuasa yang kaidah sebab akibat yang pasti.
Sebaliknya, segala kejadian tujuannya adalah menimbulkan sesuatu bentuk atau
sesuatu tenaga. Namun, di katakan juga bahwa kegiatan alam maengandung suatu
tujuan. Sehubungan dengan masalah ini kaidah sebab akibat hanyalah alat bagi alam
untuk mencapai tujuannya[11].
c. Vitalisme
Memandang bahwa kehidupan tidak dapat sepenuhnya secara
fisika-kimiawi, karena
Hakikatnya berbeda dengan yang tidak hidup. Filsuf
vitalisme seperti Henry Bergson (1859-1941) menyebutkan elan vital.
Dikatakannya bahwa ela vital merupakan sumber dari sebab kerja dan perkembangan
dalam alam. Asas hidup ini mamimpin dan mengatur gejala hidup dan
menyesuiakannya dengan tujuan hidup. Oleh karena itu, vitalisme sering juga
dinamakan finalisme.
Organisme, aliran ini biasanya dilawankan dengan mekanisme
dan vitalisme. Menurut organisisme, hidup adalah suatu sturktur yang dinamis,
suatu kebetulan yang yang memiliki bagian yang heterogen, akan tetapi yang
utama adalah adanya sistem yang teratur. Semua bagian bekerja dibawah
kebulatannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ternyata ilmu pengetahuan tidak sesederhana seperti yang
kita bayangkan. Sebagai seorang pengguna ilmu pengetahuan kita sering
berprasangka bahwa ilmu pengetahuan hanya berkutat pada teori, riset, dan
rekayasa perkembangan teknlogi
Ilmu pengetahuan ternyata merupakan sebuah dunia yang
memiliki karakter dasar, prinsip, dan struktur yang kesemuanya itu menentukan
arah dan tujuan pemanfaatan ilmu.
Karakter dasar, prinsip dan struktur ilmu pengetahuan
dibangun oleh para pendiri sains modern, dimana pada saat itu para pendiri
sains modern menyadari bahwa hidup manusia memiliki tujuan yaitu membangun
peradaban ummat manusia dan untuk mencapai tujuannya itu manusia membutuhkan
alat. Dan alat itu adalah ilmu pengetahuan.
Ontologi ilmu pengetahuan dalam filsafat ilmu adalah suatu
yang sangat penting karena segi lapis terdalam dari fondasi dunia itu
pengetahuan. Ia adalah sebuah ruang tempat diletakkannya “Undang-undang
dasar dunia ilmu pengetahuan”. Disanalah ditetapkannya kearah manakah
Sains Modern menuju dan kita sebagai seorang pengguna, sadar atau tidak adalah
orang-orang yang sedang bersama-sama bergerak menuju arah yang sudah ditetapkan
oleh para pendiri sains modern.
B. Saran
Demikianlah pembahasan kelompok kami tentang Ontologi Ilmu
pengetahuan. Pembahasan kami hanya merunut dimanakah posisi dan peran ontologi
dalam dunia keilmuan.
Kami sadari dalam makalah ini masih banyak kekurangan
sehingga kami sebagai penyaji memohon saran dan kritik pembangun, sebagai alat
pacu perbaikan bagi kami. Demikian lah penyajian kami atas perhatiannya kami
sampaikan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Beekman,Gerard dan R.A Rivai. 1973. Filsafat Para
Filsuf Berfilsafat.Jakarta:Penerbit Erlangga
Syafii,Inu Kencana. 2004. Pengantar Filsafat.
Bandung: PT Refika Aditama
Lanur,Alex OFM.1993.Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja
Ilmu-ilmu. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama
Salam, Burhanuddin. 2005. Pengantar Filsafat. Jakarta:
Bumi Aksara
Surajiyo.2008.Ilmu Filsafat Suatu Pengantar.Jakarta:PT.Bumi Aksara.
A.Wiramihardja,Sutarjo.2007.Pengantar Filsafat.Bandung:PT.Refika
Aditama.
[2] Alex Lanur
OFM.”Hakikat Pengatahuan dan Cara KerjaIlmu-Ilmu”(Jakarta: PT.Gramedia Pustaka
Utama,1993),hal.73.
[5]Gerrard
Beekman dan RA.Rifai”Filsafat Para Filsuf Berfilsafat”(Jakarta: Penerbit
Erlangga,1973)hal.73.
[7]Surawijo.”Ilmu
Filsafat Suatu Pengantar”(Jakarta:PT.Bumi Aksara).Hal.174
[8]Surawijo.”Ilmu
Filsafat Suatu Pengantar”(Jakarta:PT.Bumi Aksara).Hal.17
0 Response to " "
Posting Komentar