Sebuah pepatah Arab
mengatakan “Dimulai dari pandangan, lalu salam, lalu obrolan, lalu
janji, dan akhirnya “pertemuan” (Al-nadhr tsumma al-salam tsumma
al-kalam tsumma al-mau’id tsumma al-liqa’)”. Pepatah Melayu mengatakan
“Dari mata turun ke hati”. Kesemua ungkapan tersebut menunjukkan
alangkah dahsyatnya dampak sebuah pandangan. Karena itu Nabi bersabda,
“Pandangan merupakan panah beracun yang dilontarkan oleh Iblis”.Adalah
suatu hal yang alamiah (fitri) bahwa ketika seorang pemuda memandang
seorang gadis (atau sebaliknya) maka akan terlintas dalam benaknya (yang
selalu ingin tahu) suatu perasaan X (yang disebut secara berbeda-beda
dalam berbagai bahasa, namun substansinya sama). Perasaan ini sifatnya
spontan (beyound consciousness) dan tak terhindarkan.
Karena
sifatnya yang tak terhindarkan inilah maka Allah tidak akan pernah
menuntutnya (sebagai suatu kesalahan), La yukallifu al-Lah(u) nafs(an)
illa wus’aha (Allah tidak akan membebani seseorang diluar
kesanggupannya) (QS Al-Baqarah: 286). Atau minimal, Allah akan
memaafkannya sebagaimana ketika Allah dahulu menurunkan ayat “Meskipun
kalian menampakkan ataupun menyembunyikan segala sesuatu pada diri
kalian, Allah akan memperhitungkan semuanya” (QS Al-Baqarah: 284), maka
para sahabat amat khawatir dan bersedih atas turunnya ayat ini. Mereka
mengira bahwa Allah akan memperhitungkan segala hal negatif yang
terbetik dan terlintas dalam benak mereka. Namun untunglah, Allah
kemudian menurunkan sebuah ayat yang melegakan hati para sahabat, yakni
ayat terakhir (286) surat Al-Baqarah. La yukallifu al-Lah(u) nafs(an)
illa wus’aha, laha ma kasabat wa ‘alaiha ma iktasabat (Allah tidak akan
membebani seseorang diluar kesanggupannya. Seseorang mendapatkan
(pahala) atas segala (kebaikan) yang dilakukannya – meskipun baru
sekedar niat – dan seseorang menanggung (dosa) atas segala (keburukan)
yang telah benar-benar dilakukannya). Perhatikanlah bahwa pada ayat
tersebut Allah menggunakan kata kasaba untuk menerangkan kebaikan dan
menggunakan kata iktasaba (kasaba disisipi huruf ta’, menunjukkan
penambahan intensitas makna) untuk menerangkan keburukan. Disebutkan
bahwa Allah telah mengabulkan doa yang tersebut dalam ayat tersebut bagi
sekalian umat Muhammad saw. (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim oleh Ibn
Katsir)
Jadi, yang menjadi persoalan bukanlah perasaan alamiah
yang spontan dan tak terhindarkan tersebut, akan tetapi bagaimana sikap
dan tindakan kita selanjutnya – lahiriyah dan batiniyah - setelah
perasaan itu tiba-tiba muncul. Yang jelas kita harus segera beristighfar
dan memohon perlindungan kepada Allah dari tipu daya syetan. Kita tidak
boleh mengumbar hati kita, “menindaklanjuti” perasaan tersebut.
Pengumbaran hati inilah yang disebut oleh Rasulullah sebagai zina hati,
dalam hadits zina anggota-anggota badan. Secara lahiriyah, kita harus
segera memalingkan pandangan tatkala perasaan itu muncul. Perasaan
tersebut adalah fitnah, jangan sampai kita terpedaya karenanya. Oleh
karena itu, manakala kita yakin bahwa dengan memandang si Fulanah, kita
akan ter-fitnah, maka sejak awal kita tidak boleh memandangnya, kecuali
tidak sengaja atau karena terpaksa (adanya hajat syar’iyyah atau
dharurat).
Pengumbaran hati dalam masalah ini tidak boleh
dilakukan, karena akan sanggup menjelma menjadi tekad kuat (al-‘azm)
untuk berbuat keji. Apabila tekad kuat ini mendapatkan kesempatan maka
terjadilah perbuatan keji itu (Na’udzu bi al-Lah). Menghalangi tekad
kuat inilah hal yang paling penting, sebab kesempatan itu bisa
diciptakan dan dicari-cari. Karena itulah Allah melarang zina dengan
kata-kata “Janganlah kalian mendekati zina”, sebab Allah tahu – dan
memang Allah Maha Tahu - bahwasanya manusia sulit untuk bisa selamat
manakala telah dekat dengan zina. Hal ini diakibatkan oleh
kelemahan-kelemahan fitriyah manusia, diantaranya tergesa-gesa (QS.
Al-Anbiya’: 37). Manusia seringkali tidak sanggup berpikir jauh ke
depan, baik ke depan dalam konteks dunia, lebih-lebih ke depan dalam
pengertian kehidupan akhirat.
0 Response to "Lintasan Hati Dua Anak Manusia"
Posting Komentar