Diriwayatkan oleh Nu’man
bin Basyir: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda -Nu’man menunjukkan kedua
jarinya ke kedua telingannya-: ‘Sesungguhnya sesuatu yang halal itu sudah
jelas, dan sesuatu yang haram itu sudah jelas, di antara keduanya terdapat
sesuatu yang samar tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Siapa yang mencegah
dirinya dari yang samar maka ia telah menjaga agama dan kehormatannya. Dan
siapa yang terjerumus dalam hal yang samar itu berarti ia telah jatuh dalam
haram. Seperti seorang penggembala yang menggembala hewan ternaknya di sekitar
daerah terlarang, dikhawatirkan lambat laun akan masuk ke dalamnya. Ketauhilah,
setiap raja memiliki area larangan, dan area larangan Allah adalah apa-apa yang
telah diharamkannya. Ketahuilah, bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging,
bila ia baik maka akan baik seluruh tubuh. Namun bila ia rusak maka akan
rusaklah seluruh tubuh, ketahuilah ia adalah hati.’” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis ini, menurut Ibnu
Rajab al-Hanbali, telah disepakati kesahihannya oleh para ulama hadis. Menurut
Imam an-Nawawi, hadis ini merupakan salah satu hadis tentang pokok ajaran
agama. Ia menjelaskan bahwa perkara yang halal sudah jelas, begitu pula perkara
haram. Perkara halal dan haram, termasuk makanan, telah diterangkan ajaran
agama melalui al-Qur’an dan hadis sahih. Pengetahuan tentang halal dan haram
ini sangat penting bagi umat, karena menyangkut kehormatan diri dan kemurnian
agama.Berbicara halal dan haram
lebih identik dengan pembahasan masalah pangan. Memang, hadis ini
menitikberatkan pada masalah pangan, karena masalah ini sangat urgen dalam aktivitas
manusia sehari-hari. Tidak heran, dalam penggalan hadis ini disebutkan bahwa
orang yang tidak peduli dengan hal-hal syubhat, yang tidak jelas halal
haramnya, seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar
area terlarang. Apabila tidak hati-hati maka lambat laun akan masuk pada area
terlarang. Area terlarang itu adalah hal-hal yang diharamkan Allah.Hadis ini ditutup dengan
penjelasan Nabi SAW tentang peran sentral hati dalam aktivitas manusia. Apabila
hati baik maka akan muncul perilaku dan sikap yang baik. Namun bila hati jahat
maka perilaku dan sikap yang muncul menjadi buruk. Bahkan menurut Ibnu Hajar
al-`Asqalani dalam Fathul Bari, dalam riwayat lain digunakan kata shihhah
dan saqam (sehat dan sakit) bukan shalah dan fasad. Ini
mengindikasikan bahwa hati juga merupakan salah satu penyebab kesehatan bagi
seseorang. Tampaknya Nabi hendak
menjelaskan kiat menjaga kebersihan dan kesehatan hati adalah dengan sikap
hati-hati mengonsumsi makanan dan minuman. Karena makan dan minuman yang masuk
ke dalam tubuh akan membentuk jaringan tubuh, termasuk hati. Tidak heran bila
Nabi SAW mengingatkan umat dalam sebuah hadis diriwayatkan Jabir bin Abdullah
ketika Nabi menasehati Ka’ab bin ‘Ajrah: ”Wahai Ka’ab bin ‘Ajrah, tidak akan
masuk surga daging yang tumbuh dari makanan haram.” (HR. Darimi dalam Sunan
dengan sanad kuat).
Kriteria
makanan halalSayyid Sabiq dalam Fiqh
Sunnah menjelaskan bahwa makanan halal adalah apabila al-Qur’an maupun
hadis menjelaskannya dan tidak melarangnya. Namun makanan halal yang dijelaskan
teks agama tidak mencakup seluruh makanan yang ada. Karena itu para ulama
berijtihad sesuai kaedah: ”al-Ashlu fi al-asyya’ al-ibahah illa ma dalla
ad-dalilu ‘ala tahrimihi” (Hukum asal segala sesuatu itu adalah mubah/boleh
kecuali bila ada dalil yang mengharamkannya). Secara umum al-Qur’an maupun
hadis memberikan kriteria bahwa makanan halal itu adalah thayyib (halalan
thayyiban). Maksud halalan thayyiban, menurut Sayyid Sabiq,
terangkum dalam tiga hal: pertama, sesuai selera alamiah manusia. Kedua,
bermanfaat dan tidak membahayakan tubuh manusia. Ketiga, diperoleh
dengan cara yang benar dan dipergunakan untuk hal yang benar. Para ulama menjelaskan
kriteria makanan yang halal sebagai berikut: Pertama,
makanan nabati berupa tumbuh-tumbuhan, biji-bijian dan buah-buahan, selama
tidak membahayakan tubuh.Kedua,
minuman seperti air, susu (dari hewan yang boleh dimakan dagingnya), kopi,
cokelat.Ketiga,
makanan hewani terdiri dari binatang darat dan air. Hukum binatang darat baik
liar mapun jinak adalah halal selain yang diharamkan syariat. Begitu juga
binatang air, dalam pendapat yang paling sahih, adalah halal kecuali yag
membahayakan. Hal ini dijelaskan dalam
hadis Nabi SAW ketika ditanya tentang bersuci dengan air laut, beliau menjawab:
“Laut itu suci airnya dan halal bangkai binatangnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu
Daud, Tirmidzi, Nasa’i).Menurut Syeikh Mutawalli
Asy-Sya’rawi bahwa apa yang dihalalkan oleh Syariat lebih banyak dibandingkan
dengan yang diharamkan. Makanan yang diharamkan sangat sedikit, itulah hikmah
Syari’at lebih banyak menyebut yang haram ketimbang yang halal. Kriteria
makanan haramMakanan dan minuman yang
pelarangannya dijelaskan oleh al-Qur’an dan al-Hadis adalah haram. Al-Qur’an
maupun hadis menjelaskan kriteria makanan haram itu adalah khabitsah dan
rijs, seperti khamr yang dinyatakan rijs min ‘amal asy-syaithan
(QS. al-Maidah: 90). Rijs kata ulama berarti najis secara fisik dan
ma’nawi. Dalam Shahih Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Harga anjing itu
khabits, mahar pelacur itu khabits dan upah bekam itu khabits.” Selain itu setiap binatang
yag diperintahkan untuk dibunuh adalah haram. Seperti binatang fawasiq
(pengganggu); burung gagak, rajawali, kalajengking, anjing gila dan tikus. Hal
ini dijelaskan dalam riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i dari Aisyah
RA. Begitu juga hewan-hewan yang dilarang untuk dibunuh seperti semut, lebah,
burung hud-hud dan burung surad dan katak. Namun pendapat ini ditolak Imam
Syaukani, bahwa tidak mesti hewan yang diperintahkan untuk dibunuh atau
dilarang berarti haram dagingnya. Karena keharaman mengonsumsinya harus ada
dalil yang jelas. Makanan yang diharamkan
dalam Islam terbagi menjadi haram lidaztihi dan haram lighairihi;
yaitu makanan yang pada asalnya halal namun ada faktor lain yang haram
menjadikannya haram. Makanan yang diharamkan lidzatihi oleh al-Qur’an
dan hadis secara jelas, antara lain darah (dam masfuh), daging babi,
khamr (minuman keras), binatang buas yang bertaring, burung bercakar yang
memangsa dengan cakarnya seperti elang, binatang yang dilarang dibunuh,
binatang yang diperintahkan untuk dibunuh, keledai rumah (humur ahliyah),
binatang yang lahir dari perkawinan silang yang salah satunya diharamkan,
anjing, binatang yang menjijikan dan kotor, semua makanan yang berbahaya bagi
kesehatan manusia.Sedangkan makanan yang
haram lighairihi, di antaranya adalah binatang yang disembelih untuk
sesajian, binatang yang disembeli tanpa menyebut nama Allah (basmalah),
bangkai dengan berbagai kriterianya, makanan halal yang diperoleh dengan cara
haram dan diperuntukkan untuk hal yang dilarang, jallalah atau binatang
yang sebagian besar makanannya kotoran atau bangkai, dan makanan halal yang
tercampur dengan najis dalam bentuk cair, namun bila berbentuk padat, maka
cukup membuang yang terkena najis saja. Kriteria
syubhat (samar)Syubhat yang dimaksud dalam
hadis adalah perkara yang tidak dijelaskan halal dan haramnya oleh syariat.
Dalam hal ini sebagian ulama mengatakan selama suatu perkara itu tidak ada
penjelasan halal dan haramnya maka dikembalikan ke hukum asal, yaitu mubah
(boleh) kecuali bila ada dalil yang mengharamkan. Hal ini didasari banyak ayat al-Qur’an dan hadis, di
antaranya: Firman Allah SWT:”Dialah (Allah) yang
menciptakan semua yang ada di bumi untuk kalian.” (QS. al-Baqarah: 29).Riwayat Abu Darda bahwa
Rasulullah SAW bersabda: ”Apa yang Allah halalkan dalam Kitab-Nya adalah halal
dan apa yang diharamkan-Nya adalah haram. Dan apa yang tidak dijelaskan adalah
dimaklumi (afwun). Maka terimalah apa yang diperbolehkan Allah karena
sesungguhnya Allah tidak melupakan sekecil apapun.” (HR. Al-Bazzar dengan
sanand Sahih).Riwayat Abu Tsa’labah bahwa
Rasulullah SAW bersabda: ”Sesunguhnya Allah mewajibkan kepada kalian
kewajiban-kewajiban (faraidh) maka janganlah kalian abaikan, dan telah
memberi batasan kepada kalian, maka janganlah kalian langgar, dan mendiamkan
masih banyak perkara sebagai rahmat bagi kalian bukan karena kealpaan. Maka
janganlah kalian membahasnya berlebihan.” (HR. Daruquthni dalam Sunan)Menurut Imam Nawawi, ada beberapa pendapat ulama
tentang sesuatu tidak ada penjelasan halal haramnya: pertama, tidak
dapat dikatakan halal, haram atau mubah. Karena mengatakan sesuatu halal atau
haram harus kembali kepada dalil syar’i. Kedua, hukumnya mubah, kembali
ke hukum asal, bahwa segala sesuatu itu mubah selama tidak ada dalil yang
melarangnya. Ketiga, hukumnya haram. Keempat, tawaqquf. Kebanyakan ulama merujuk kepada pendapat kedua,
bahwa sesuatu yang tidak dijelaskan halal haramnya, hukumnya kembali pada hukum
asal, yaitu mubah. Dan perlu ditegaskan, bahwa yang halal lebih banyak
dibanding yang haram. Karena itu makanlah makanan yang halal, karena hidup akan
menjadi berkah, selamat di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bish shawab.
0 Response to "makanan Halal Dan Haram Dalam Islam"
0 Response to "makanan Halal Dan Haram Dalam Islam"
Posting Komentar