Assalamu alaikum Wr. Wb.
saya ada pertanyaan tentang bersuci dari najis bekas jilatan anjing. Seperti yang telah kita ketahui dari hadis Rasulullah bahwa tata cara mensucikan bejana bekas jilatan anjing adalah dengan digosok dengan tanah sebanyak 7 kali. Pertanyaan saya adalah:
Wassalamualaikum Wr Wb
Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam Wr. Wb.
Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan. Berikut ini jawaban kami:
saya ada pertanyaan tentang bersuci dari najis bekas jilatan anjing. Seperti yang telah kita ketahui dari hadis Rasulullah bahwa tata cara mensucikan bejana bekas jilatan anjing adalah dengan digosok dengan tanah sebanyak 7 kali. Pertanyaan saya adalah:
1. Apakah hanya
untuk bekas jilatan anjing saja yang cara mensucikannya demikian?
2. Pada saat ini
sudah ada sabun pembersih. Apakah dengan memakai sabun ini dapat menghilangkan
keharusan menggosok dengan tanah sebanyak 7 kali?
Demikianlah pertanyaan saya dan terima kasih banyak atas perhatian dari
Bapak.Wassalamualaikum Wr Wb
Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam Wr. Wb.
Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan. Berikut ini jawaban kami:
1. Untuk menjawab
pertanyaan pertama yang saudara ajukan, kita bisa menempuh beberapa metode,
yaitu: (a) kritik hadis, (b) hukum asli (al-bara-ah al-ashliyyah), (c)
pendekatan semantik (dilalah al-alfadz).
a. Terdapat
sebuah hadis yang menerangkan perintah mencuci bejana dari jilatan binatang
selain anjing. Hadis tersebut adalah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ إِذاَ وَلَغَ الهِرُّ
غُسِلَ مَرَّةً. [رواه أبو داود و الدارقطني]
Artinya: “Apabila kucing menjilati (satu
barang), maka dicuci sebanyak satu kali” [HR. Abu Dawud dan ad-Daruquthni]
Hadis ini berkualitas sahih, namun sayangnya
bukan hadis marfu’ (bersumber dari Nabi saw), melainkan mauquf
(perkataan Abu Hurairah), sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Dalam
manhaj yang dipegangi Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, terdapat
kaedah:
اَلْمَوْقُوْفُ الْمُجَرَّدُ لاَ يُحْتَجُّ
بِهِ.
Artinya: “Hadis mauquf murni tidak bisa
dijadikan hujjah.”
Selain itu, isi hadis di atas memang tidak
menerangkan perintah mencuci bejana bekas jilatan kucing sebanyak tujuh kali
dan perintah menggunakan tanah, sehingga tanpa adanya keterangan dari Abu
Hurairah pun kita pasti mencuci bejana atau barang kita yang terkena jilatan
hewan apa saja.
b. Kami tidak
menemukan dalil lain yang menerangkan tentang keharusan mencuci bejana dengan
tanah dan sebanyak tujuh kali dari hewan selain anjing. Sehingga di sini
berlakulah kaedah fikih bahwa sepanjang tidak ada dalil atau keterangan khusus,
maka kita tidak perlu memberikan perlakuan khusus terhadap barang atau bejana
yang terkena jilatan hewan selain anjing. Dalam fikih terdapat kaedah:
اْلأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ إِلاَّ مَا دَلََّ الدَلِيْلُ
عَلَي تَحْرِيْمِهِ.
Artinya:“Segala sesuatu adalah boleh, kecuali
yang telah ditunjukkan keharamannya oleh dalil.”
c. Dalam
hadis tersebut Rasulullah saw menggunakan redaksi “idza” yang dalam
bahasa Indonesia berarti “apabila”. Dalam ilmu dilalah al-alfazh ushul
fikih kata idza dimasukkan ke dalam pasal mafhum syarth.
Dalam pasal ini berlaku kaedah bahwa perintah (Arab: al-amr) yang di
dalamnya terdapat kata idza (berarti mensyaratkan sesuatu terjadi
lebih dahulu), hanya bisa dilakukan jika syarat tersebut sudah
terpenuhi.
Bunyi kaedah tersebut adalah sebagai berikut:
إِنَّ التَقْيِيْدَ بِالشَرْطِ يَدُلُّ عَليَ
إِنْتِفَاءِ اْلمَشْرُوْطِ عِنْدَ إِنْتِفَاءِ الشَرْطِ.
Artinya: “Terikatnya sesuatu (larangan atau
perintah) dengan suatu syarat menunjukkan bahwa yang disyaratkan tidak perlu
dilakukan jika syaratnya tidak ada.” (Ushul al-Fiqh al-Islamiy,
Wahbah az-Zuhaili, 351)
Dalam hal ini, yang menjadi syarat terjadinya
pencucian dengan tanah dalam hadis tersebut adalah adanya jilatan yang
dilakukan oleh anjing, dan yang menjadi konsekwensi (al-masyrut)
adalah mencucinya dengan air yang pada salah satunya dicampur dengan tanah.
Dengan menggunakan kaedah ini kita bisa menarik kesimpulan, jika bukan anjing
yang menjilati bejana berarti tidak ada keharusan mensucikan bejana dengan cara
demikian.
Oleh karena itu, jika bejana saudara terkena
jilatan binatang lain, tidaklah wajib dilakukan penanganan yang serupa seperti
ketika terkena jilatan anjing.
2. Berdasarkan
penelitian kami, hadis-hadis tentang perintah mencuci bejana dari jilatan
anjing bisa diklasifikasikan ke dalam empat kategori.
Kategori pertamaadalah hadis-hadis yang
mencantumkan perintah mencuci bejana sebanyak tujuh kali, tanpa diiringi
perintah menggunakan tanah pada salah satunya. Hadis-hadis tersebut adalah
sebagai berikut:
1. عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ إِذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِى
إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا. [رواه البخاري و مسلم و اللفظ
للبخاري]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah,
bahwa ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Apabila anjing minum
dari bejana salah seorang di antara kamu sekalian, hendaklah ia mencucinya
sebanyak tujuh kali.” [HR. al-Bukhari dan Muslim dengan lafal milik
al-Bukhari]
2. عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ :إِذَا شَرِبَ اْلكَلْبُ فِي إِنَاءِ
أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ. [رواه مالك]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah,
bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Apabila anjing minum dari bejana salah
seorang di antara kamu sekalian, hendaklah ia mencucinya sebanyak tujuh kali.” [HR.
Malik]
3. عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله
عليه وسلم طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِيهِ أَنْ
يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ. [رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah saw bersabda: Sucinya bejana salah seorang di antara kamu
sekalian jika dijilati anjing adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali.”
[HR. Muslim]
4. عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه
وسلم إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ
لْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ. [رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia
berkata: Rasulullah saw bersaba: Apabila anjing menjilati bejana salah seorang
di antara kamu sekalian, maka siramlah dengan air dan cucilah sebanyak tujuh
kali.” [HR. Muslim]
5. عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه
وسلم قَالَ إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِى الإِنَاءِ فَاغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ.
[رواه احمد]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah,
dari Nabi saw, beliau bersabda: Apabila anjing menjilati bejana, maka cucilah
sebanyak tujuh kali.” [HR. Ahmad]
Kategori keduaadalah hadis yang di
dalamnya terdapat redaksi perintah mencuci sebanyak tujuh kali dengan salah
satunya menggunakan tanah. Hadisnya adalah sebagai berikut:
1. عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ
الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ. [رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia
berkata, Rasulullah saw bersabda: Bersihnya bejana salah seorang dari kamu
sekalian apabila dijilati oleh anjing adalah dengan ia mencucinya sebanyak
tujuh kali, salah satu (cuciannya) menggunakan tanah.” [HR. Muslim]
2. عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَبِىَّ اللَّهِ صلى الله
عليه وسلم قَالَ إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِى الإِنَاءِ فَاغْسِلُوهُ سَبْعَ
مَرَّاتٍ السَّابِعَةُ بِالتُّرَابِ. [رواه أبو داود]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah
bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Apabila anjing menjilati bejana cucilah
sebanyak tujuh kali, cucian ke tujuh dengan tanah.” [HR Abu Dawud]
Kategori ketigaadalah hadis yang di
dalamnya terdapat perintah mencuci bejana sebanyak delapan kali, cucian yang
terakhir menggunakan tanah. Hadisnya adalah sebagai berikut:
1.
عَنِ ابْنِ الْمُغَفَّلِ :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي الإِنَاءِ
فَاغْسِلُوهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ ، وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَةَ فِي التُّرَابِ. [رواه
مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Mughaffal,
Rasulullah saw bersabda: Apabila anjing menjilati bejana, maka cucilah sebanyak
tujuh kali, dan gunakanlah tanah di cucian ke delapan.” [HR. Muslim]
Kategori keempatadalah hadis yang
perintah mencuci bejana kurang dari tujuh kali dan tidak menggunakan tanah.
Hadis tersebut adalah:
1.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ:
قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " يُغْسَلُ
الْإِنَاُء مِنْ وُلُوْغِ الْكَلْبِ ثَلَاثاً، أَوْ خَمْساً، أَوْ سَبْعاً. [رواه
الدارقطني]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia
berkata: Rasulullah saw bersabda: Bejana dicuci dari jilatan anjing sebanyak
tiga kali atau lima kali atau tujuh kali.” [HR. ad-Daruquthni]
2. عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ
فِي الْإِنَاءِ فَأَهْرِقْهُ، ثُمَّ اْغسِلْهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ. [رواه الدارقطني]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia
berkata: Apabila anjing menjilati bejana, maka tumpahkanlah, kemudian
cucilah sebanyak tiga kali.” [HR. ad-Daruquthni]
Berdasarkan hadis-hadis tersebut, bisa disimpulkan
bahwa telah terjadi ta’arudh (kontradiksi) antar informasi yang
disajikan oleh masing-masing hadis. Berdasarkan penelitian kami terhadap
kualitas hadis-hadis di atas, hanya hadis-hadis dalam kategori keempat-lah yang
mendapatkan “sorotan” dari para ulama (misal, Ibnu Adi dalam kitab al-Kamil,
Albani dalam kitab al-Silsilah al-Dhaifah, vol. 3, hal. 36). Namun,
Ibnu Daqiq al-Id, seperti dikutip al-Aini dalam kitabnya Syarh Sunan Abi
Dawud mensahihkan hadis-hadis tersebut (vol. 1, hal. 274).
Kemungkinan dari penyebab ketumpangtindihan
hadis-hadis ada dua, yaitu; Pertama, telah terjadi kelupaan dari sisi
sahabat Abu Hurairah ketika meriwayatkan hadis (sebab hampir kesemua hadis
tersebut diwayatkan oleh beliau (Mubarakfuri, Tuhfatu al-Ahwadzi, vol.
1, hal. 257). Kedua, Rasulullah saw mengucapkan keterangan yang
berbeda-berbeda, yang berarti tidak ada bilangan tertentu yang diwajibkan,
sehingga orang bisa saja memilih mana bilangan yang ia mau.
Banyaknya dan tumpangtindihnya hadis-hadis di
atas, telah menyebabkan pendapat para ulama juga menjadi begitu variatif.
Dalam hadis-hadis tersebut, sesungguhnya yang
menjadi obyek perdebatan para ulama adalah dua hal, yaitu tentang “mencuci
bejana dengan tanah (at-tatrib)” dan melakukannya “dengan jumlah
tertentu (at-tasbi’ (tujuh kali), at-tatsmin (delapan kali),
at-tatlits (tiga kali))”. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa tidak wajib
mencuci bejana sebanyak tujuh kali dan juga tidak wajib menggunakan tanah.
Mazhab Maliki mewajibkan bilangan tujuh, tetapi tidak mewajibkan tanah. Adapun
Mazhab Syafii mewajibkan mencuci bejana dengan tanah sebanyak delapan kali
(Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, vol. 1,
hal. 279).
Selain disebabkan keterangan hadis yang
berbeda-beda, perselisihan (ikhtilaf) para ulama juga disebabkan
karena perbedaan pemahaman; apakah perintah dalam hadis-hadis tersebut
menunjukkan kewajiban (al-wujub) ataukah sunnah (an-nadb)
atau hanya petunjuk keduniawian saja yang sama sekali tidak terikat dengan
nilai ibadah (laisa li at-ta’abbud), sehingga bisa ditempuh metode
lain dalam mensucikan bejana.
Berdasarkan kajian yang mendalam terhadap
hadis-hadis tersebut kami berpendapat bahwa perbedaan redaksi dalam hadis-hadis
tersebut menunjukkan bahwa mencuci bejana sebanyak jumlah tertentu dan mencuci
dengan menggunakan tanah bukanlah sebuah kewajiban, dan juga bukan perbuatan
yang disunnahkan. Dengan kata lain perintah tersebut tidak mengandung unsur ta’abbudiy,
melainkan hanya perintah Nabi saw untuk membersihkan bejana dari jilatan
binatang yang mengandung unsur najis (li at-tanajjus) (Syarh Sunan
Abi Dawud, vol. 1, hal. 213).
Dalam ilmu Ushul Fikih diatur bahwa untuk
mengetahui apakah suatu perintah dimaksudkan wajib (ibadah) oleh Nabi saw atau
tidak, kita harus melihat konteks perbuatan yang diperintahkan. Jika ada unsur al-qurbah
(mendekatkan diri) pada Allah pada perintah tersebut, berarti ia bernilai
ibadah, dan dengan demikian tidak bisa tidak harus diikuti.
Dalam kasus ini, kita juga bisa menariknya kepada
klasifikasi para ulama ushul fikih terhadap sunnah Nabi saw. Mereka membagi
sunnah Nabi saw ke dalam dua jenis; (a) yang mengandung unsur pensyariatan (sunnah
tasyri’iyyah) dan, (b) yang tidak mengandung unsur syariat karena terikat
dengan situasi, kondisi dan konteks saat di mana Nabi saw mengeluarkan sabda
tersebut (ghairu tasyri’iyah). Sunnah jenis pertama bersifat abadi,
tidak lekang (daim) dan berlaku untuk semua ruang dan waktu (‘am)
serta tidak terpengaruh dengan perubahan zaman. Sedangkan sunnah jenis kedua
adalah sunnah yang bersifat temporal (khas) dan situasional (hal
mu’ayyan).
Kami berpendapat bahwa mencuci bejana sebanyak
tujuh kali dengan salah satunya menggunakan tanah sesungguhnya bukanlah inti
(subtansi) yang ingin Nabi saw sampaikan dalam hadisnya tersebut. Sehingga ia
bisa disebut sebagai wasilah (sarana) saja, bukan sebagai sunnah
tasyri’iyah. Wasilah sendiri adalah sesuatu yang bersifat dinamis
dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Di zaman sekarang, kita bisa
menggunakan sabun, deterjen dan sarana-sarana lainnya yang bisa mengantarkan
kita sampai pada maqshad (tujuan inti) dari hadis tersebut, yaitu
membersihkan peralatan dari najis yang menempel padanya.
Di samping itu, secara redaksional, dalam hadis
tersebut tidak ada satu indikasi (qarinah) yang menunjukkan wajib atau
sunnahnya perbuatan mencuci bejana sebanyak tujuh kali yang salah satunya
menggunakan tanah. Kaedah yang bisa kita pegangi dalam hal ini adalah: suatu
perintah Nabi saw terkadang bermakna sebagai suatu petunjuk (al-irsyad),
sunnah (an-nadb), makruh (al-karahiyyah) dan wajib (al-wujub)
tergantung dengan indikasi (qarain) yang terdapat dalam perintah
tersebut. Di antara indikasi tersebut adalah apakah terdapat perintah yang
bernada keras (al-tasydid fi al-amr) atau ada ancaman jika
ditinggalkan (al-wa‘id fi ‘adam al-fi’il) (Yusuf al-Qaradlawi, as-Sunnah
an-Nabawiyyah Masdaran li al-Ma’rifah wa al-Hadlarah, hal. 44).
Bila hadis tersebut dibaca ulang, tidak ada satupun qarinah seperti
yang disebutkan di atas yang mengindikasikan wajib atau sunnahnya perbuatan
mencuci bejana sebanyak tujuh kali.
Selain itu, sebagai tambahan jawaban adalah
dengan menggunakan prinsip kemudahan (at-taysir). Di zaman sekarang
mencari sabun yang bersih lebih mudah dari pada mencari tanah yang bersih. Dan,
menurut kami, barangkali suatu saat dunia yang kita tinggali ini akan memasuki
zaman di mana mencari tanah sangat sulit, karena tanah telah tergusur oleh
jalan raya, bangunan atau gedung-gedung, sehingga untuk mencari tanah, apalagi
yang bersih, seseorang harus melakukan perjalanan yang jauh. Oleh karena itu,
di sini kita menerapkan prinsip kemudahan dalam beragama. Nabi Muhammad saw
bersabda:
يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا [رواه البخاري]
Artinya: “Mudahkanlah dan janganlah kamu
persulit.” [HR. al-Bukhari]
Kesimpulan dari jawaban kedua kami adalah saudara
boleh menggunakan sabun pembersih sebagai ganti sabun dari tanah untuk
mensucikan bejana yang terkena jilatan anjing. Namun, jika saudara merasa
ingin tetap melakukannya sesuai dengan yang tercantum dalam hadis Nabi Muhammad
saw, karena faktor kecintaan terhadap segala sesuatu yang berasal dari beliau,
maka dalam pandangan kami, saudara termasuk muhsin (orang yang
melakukan kebaikan) dan insya Allah tetap mendapat pahala karena niat saudara.
Demikian jawaban dari kami.
Wallahu a’lam bish-shawab. M-Rf.
0 Response to "mengenai jilatan Anjing"
Posting Komentar