Jawaban untuk pertanyaan ini akan menjadi jelas bila
kita merujuk kepada pembahasan-pembahasan sebelumnya. Al-Quran - seperti telah
kami paparkan di atas - adalah sebuah kitab universal dan abadi untuk semua
orang, berbicara kepada mereka dan menunjukkan tujuan-tujuan mereka. Dalam
banyak ayatnya, Al-Quran menantang agar didatangkan perkataan yang menyamainya.
Dengan demikian ia mengalahkan pemyataan manusia, dan menempatkan dirinya
sebagai cahaya yang memperjelas segala sesuatu, sehingga kitab ini tidak perlu
dijelaskan dengan yang lain. Untuk membuktikan bahwa ia bukan perkataan
manusia, AlQuran berkata:
"Tidakkah
mereka merenungkan Al-Quran? Seandainya ia itu dari sisi selain Allah, tentu
mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya." (QS 4:82)
Dalam Al-Quran tidak ada satu pertentangan pun.
Andaikata secara selintas tampak ada pertentangan, maka pertentangan itu akan
sirna dengan merenungkan Al-Quran itu sendiri. Seandainya dalam menjelaskan
maksud-maksud kitab ini dibutuhkan sesuatu yang lain, maka kedudukannya sebagai
hujah tidak akan sempurna. Karena andaikata seorang kafir menemukan suatu
pertentangan dalam Al-Quran yang tidak dapat dihilangkan dengan merujuk kepada
ayat-ayat lain Al-Quran itu sendiri, maka ia tidak akan dapat menerima
dihilangkannya pertentangan itu melalui jalan lain, dengan menggunakan hadis,
umpamanya. Hal itu dikarenakan orang kafir tidak mempercayai kebenaran Nabi dan
tidak mempercayai kenabian serta kesuciannya, sehingga ia akan menolak
pernyataan Nabi. Dengan kata lain, akan sia-sia bila Nabi menjelaskan untuk
menghilangkan pertentangan-pertentangan dalam AI-Quran tanpa menggunakan bukti
verbal dari Al-Quran itu sendiri kepada orang yang tidak mempercayai kenabian
dan kesuciannya. Dan ayat di atas memang ditujukan kepada orang-orang kafir
yang tidak beriman kepada Nabi Muhammad s.a.w. Mereka tidak mau menerima
sabda-sabda beliau jika tidak ada bukti kuat dari Al-Quran sendiri. Kita pun
mengetahui bahwa Al-Quran
sendiri mengabsahkan sabda dan penafsiran Nabi. Begitu pula, Nabi mengabsahkan
sabda dan penafsiran Ahlul Baitnya.
Dari dua pernyataan ini dapat kami simpulkan bahwa di
dalam AI-Quran ada sebagian ayat yang dapat dijelaskan dengan ayatayat yang lain,
dan kedudukan Rasulullah serta keluarga beliau berkenaan dengan Al-Quran adalah
sebagai guru dan pembimbing suci yang tidak akan ada kekeliruan atau kesalahan
dalam ajaranajaran dan petunjuk-petunjuk mereka. Oleh karena itu, penafsiran
mereka adalah sesuai dengan penafsiran yang dibuat dari memadukan ayat-ayat
Al-Quran itu sendiri.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kita peroleh dalam pembahasan
yang lalu adalah bahwa penafsiran yang realistis terhadap Al-Quran merupakan
penafsiran yang bersumber dari perenungan terhadap ayat-ayat Al-Quran dan
pemaduan sebagiannya dengan sebagian yang lain. Lebih jelasnya, dalam
menafsirkan Al-Quran, kita dapat menempuh salah satu dari tiga jalan berikut:
1.
Menafsirkan suatu ayat dengan bantuan data ilmiah atau
nonilmiah yang kita miliki.
2.
Menafsirkan suatu ayat dengan bantuan hadis-hadis yang
diriwayatkan dari Imam-imam suci.
3.
Menafsirkan suatu ayat dengan jalan merenungkan dan
mengkaji ayat itu dan ayat lain yang berkaitan, dan dengan bantuan
hadis-hadis.
Jalan ketiga adalah kesimpulan pada akhir pembahasan
yang lalu. Jalan ini diisyaratkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari
Nabi dan Ahlul-Bait beliau. Nabi bersabda:
"Sesungguhnya
sebagian ayat membenarkan sebagian yang lain. "
Ali berkata:
"Al-Quran,
sebagiannya menjelaskan sebagian yang lain, dan sebagiannya menguatkan sebagian
yang lain. "
Dari paparan di atas jelaslah bahwa jalan ini bukanlah
jalan yang dilarang dalam sebuah hadis Nabi yang terkenal:
"Barangsiapa
menafsirkan Al-Quran berdasarkan pendapat pribadinya, maka dia telah
mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka. "
karena
jalan tersebut berupa menafsirkan Al-Quran dengan AlQuran, tidak dengan
pendapat pribadi.
Jalan pertama tidak boleh diikuti. Sebab, pada
hakikatnya ia merupakan penafsiran dengan menggunakan pendapat pribadi. Adapun
jalan kedua adalah jalan yang digunakan oleh para ulama tafsir pada periode
awal, dan telah dipraktekkan selama beberapa abad. Jalan itu adalah jalan yang dipraktekkan
sampai sekarang oleh para penulis hadis dari kalangan Syi'ah dan Ahlus Sunnah.
Jalan ini terbatas dan tidak dapat memenuhi ketidakterbatasan kebutuhan, karena
lebih dari enam ribu ayat dalam Al-Quran menghadapi beratus-ratus ribu
pertanyaan ilmiah ataupun nonilmiah. Dari manakah kita menemukan jawaban untuk
pertanyaanpertanyaan ini, dan bagaimana menghindarinya? Apakah kita akan
mencarinya dalam riwayat-riwayat dan hadis-hadis? Dalam hal ini, jumlah hadis
Nabi yang diriwayatkan oleh kalangan Ahlus Sunnah kurang dari dua ratus lima
puluh hadis. Dan banyak dari hadishadis ini lemah sanad-nya dan sebagiannya
tertolak (munkar). Dan
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh kalangan Syi'ah mencapai beberapa ribu
hadis. Di antaranya ada sejumlah besar hadis yang andal (shahih). Meskipun demikian,
hadis-hadis sebanyak itu tidak mencukupi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang tidak terbatas tentang ayat-ayat Al-Quran.
Di samping itu, ada ayat-ayat yang tidak ada satu
hadis pun yang menjelaskan ayat-ayat itu, baik yang diriwayatkan oleh kalangan
Ahlus Sunnah maupun Syi'ah. Bagaimana tindakan kita terhadap ayat-ayat
tersebut? Menghadapi masalah ini, kita bisa merujuk kepada ayat-ayat Al-Quran
yang sesuai dengan ayat yang ingin kita tafsirkan. Hal ini tidak dilarang.
Mungkin kita menolak untuk membahas ayat itu dan mengabaikan
kebutuhan-kebutuhan ilmiah yang menuntut kita untuk melakukan pembahasan. Jika
demikian, apakah yang akan kita perbuat dengan ayat-ayat berikut yang
menganjurkan pengkajian, perenungan dan pembahasan?
"Kami
telah menurunkan Al-Quran kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu." (QS 16:89)
"Tidakkah
mereka merenungkan Al-Quran?" (QS 4:82)
,
"Sebuah
kitab yang penuh berkah yang telah Kami turunkan kepadamu agar mereka
merenungkan ayat-ayatnya, dan orangorang yang berakal menjadi sadar." (QS 38:39)
"Tidakkah
mereka merenungkan Al-Quran, ataukah telah datang kepada mereka sesuatu yang
tidak datang kepada nenek moyang mereka?" (QS
23:68)
Dalam beberapa hadis sahih yang diriwayatkan dari Nabi
dan para Imam Ahlul Bait, kita dianjurkan untuk kembali kepada Al-Quran ketika
menghadapi masalah. Apakah yang harus kita perbuat dengan hadis-hadis ini?
Hadis-hadis Nabi, pada umumnya, dan khususnya
hadis-hadis mutawatir Nabi dan
para Imam Ahlul Bait, telah menetapkan suatu kewajiban untuk merujukkan
hadis-hadis kepada Al-Quran. Yang sesuai dengan AI-Quran, dapat diikuti dan
yang tidak sesuai, dibuang. Kandungan hadis-hadis ini dipandang benar jika
maksud dan pengertian (tafsir) ayat itu jelas. Apabila untuk mengetahui
pengertian suatu ayat, kita harus merujuk kepada hadis, maka tidak ada ruang
lagi untuk merujukkan hadis kepada Al-Quran. Hadis-hadis yang telah kami
paparkan ini merupakan bukti paling kuat bahwa ayat-ayat Al-Quran itu seperti
kata-kata berarti yang digunakan dalam pembicaraan. Ayat-ayat itu sendiri sudah
merupakan hujah jelas yang tidak memerlukan hadis-hadis untuk menerangkannya.
Dari beberapa pembahasan yang lalu telah menjadi jelas
bahwa kewajiban seorang mufasir adalah memperhatikan hadis-hadis Nabi dan para
Imam Ahlul Bait dalam menafsirkan Al-Quran, dan mengetahui metode mereka.
Kemudian menafsirkan Al-Quran dengan metode Al-Quran dan Sunnah, mengambil
hadis-hadis yang sesuai dengan Al-Quran, dan membuang yang tidak sesuai.
Mau Makalah tentang Tafsir Qur'an menurut Pendapat Syi'ah Klik Di SINI
Mau Makalah tentang Tafsir Qur'an menurut Pendapat Syi'ah Klik Di SINI
0 Response to "Bagaimana Menafsirkan Al-Quran?"
Posting Komentar